• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah Pa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah Pa"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah :

Pandangan Seorang Sejarawan Inggris

tentang Indonesia

Kuliah Perdana

Adjunct Profesor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ( FIB -UI)

Senin, 1 Desember, 2014 10:00-12:00

‘Zaman-zamannya agung, tetapi masa agung hanya dihuni orang-orang kerdil’ (Eine große Epoche hat das Jahrhundert geboren; Aber der große Moment findet ein kleines Geschiecht, ein Deutsches Lusispi’el’ (Johann Christiaan Friederich Schiller, 1759-1805,

Sämmtliche Werken, vol.9, p.261)

‘Di dunia fana ini kita berjalan di atap neraka

memandang bunga’ (Issa)

Yang Mulia Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr Adrianus Wawarontu yang saya hormati, Pak Hashim Djojohadikusumo yang saya hormati, bapak-bapak dan ibu-ibu, teman dan kolega! Kita dapat berkumpul pada pagi yang bahagia ini, Senen, 1 Desember, untuk acara pengukuhan ini. Kita berterima kasih kepada Pak Hashim dan yayasan pendidikannya, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, dimana telah banyak mendukung dalam ilmu pendidikan. Seperti Anda sekalian sudah tahu, YAD merupakan kegiatan sosial keluarga Hashim Djojohadikusumo yang sudah lebih dari duapuluh tahun bekerja dengan misi membangun pendidikan bangsa melalui peningkatan sarana-prasarana yang berkualitas, serta meneruskan cita-cita bangsa dengan melestarikan budaya dan lingkungan tanah-air untuk generasi penerusnya.

(2)

Sayangnya, saya tidak pernah bertemu dengan beliau - almarhum Pak Sumitro - tapi saya diberkati untuk mempunyai kontak dengan kakek Pak Hashim, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), yang sangat menggemari sejarah dan yang pernah menulis memoar yang amat hidup tentang keluarga/leluhur dan zaman kebangkitan nasional (1908-1920-an) dalam Bahasa Belanda yang luwes - Herinneringen uit drie tijdperken [Kenang-kenangan dari Tiga Zaman] (1971).

Kepentingan tertentu Pak Margono adalah sejarah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) pada khususnya. Dua anggota terkemuka dari keluarga Pak Margono – kakek bapak dan ibunda - terlibat dalam Perang Diponegoro itu - Tumenggung Banyakwidé (Raden Tumenggung Kertonegoro IV dari Banyumas alias Raden Tumenggung Mangunyudo Mukti), salah seorang Basah atau komandan setia Diponegoro yang pasca-perang diasingkan ke Ternate; dan Raden Mas Joyoprono (pasca-1832, Raden Tumenggung Joyodiningrat, bupati Karanganyar pertama, 1832-1864), sejarawan pribumi pertama Perang Jawa yang pernah menulis Schetsen over den Oorlog van Java (Sketsa tentang Perang Jawa) (1856-7) yang disunting sejarawan amatir Belanda, Jan Hageman(1817-1871).

Setelah menghabiskan hampir semua hidup dewasa saya sebagai dosen sejarah di

alma mater saya, Universitas Oxford, di mana saya bertugas sebagai Fellow dan Tutor dalam Sejarah Modern di Trinity College (1979-2008), saya mengambil keputusan untuk meninggalkan kenyamanan Oxford untuk Jakarta. Aku ingat komentar Gus Dur dalam pertemuan singkat dengan beliau di Oxford pada awal tahun 1993 bahwa Jakarta adalah sebuah 'gudang uang' – suatu metropolis dimana urusan komersial dan politik adalah raja dan dimana yang ‘berbicara’ adalah duit daripada buku atau lidah cendikiawan.

(3)

abad keduapuluh-satu, dimana setiap hari saya harus memperjuangkan hidup di jalan-jalan dan rel kereta api yang serba macet itu!

Dan apa yang saya temukan di ibukota Republik ini? Precis seperti Dickens di

Dongeng Dua Kota-nya, saya menemukan 'saat yang terbaik’ dan ‘saat yang terburuk' dari hidup saya. 'Yang terburuk’ terserah imajinasi Anda, tetapi tentu ada kaitan dengan empat tahun (2008-12) dimana saya ngengger sebagai project partner kepada Departemen (pasca-2010, Kementerian) Kesehatan, suatu lembaga yang sudah dilukiskan oleh Frans Kafka di dalam Das Schloß (Kastil), yang terbelenggu protokol yang tetek-bengek. Tapi saya juga ingat ucapan dari CEO Cambodia Trust pada waktu itu bahwa sebenarnya saya hanya diberi ‘kesempatan’ bukan tantangan.

Terus terang, dunia ‘kesempatan’ itu tidak begitu tampak saat saya sedang berjoged kepada irama birokrasi yang penuh tetek-bengek itu. Tapi begitu saya telah meninggalkan dunia birokrasi itu dan kembali kepada cinta awal atau ‘first love’ saya – sejarah dan dunia pengarang - 'peluang' baru benar-benar mulai terbuka. Impresario di sini adalah Pak Hashim dan Yayasan Arsarinya: tanpa dukungan mereka mustahil saya bisa kembali kepada dunia akademik.

(4)

Acara yang terakhir ini memicu undangan kepada saya untuk menjadi Adjunct Professor di FIB-UI. Undangan itu datang dari salah seorang narasumber /pembicara pada peluncuran buku di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jakarta (12 April 2012) dan pada 12 November 2013, undangan itu dikukuhkan dengan piagem yang ditanda-tangan oleh Pemangku Jabatan Rektor, Prof Dr Ir Muhammad Anis M.Met.. Ini mengakibatkan saya memberi kuliah perdana hari ini.

Hal ini juga mustahil kalau tidak ada dukungan Yayasan Arsari Djojohadikusumo itu. Sejak saat itu, tepat setahun setelah peluncuran Kuasa Ramalan di Perpusnas, pada awal April 2013 tepatnya, saya mulai pengawasan saya untuk mahasiswa calon S3, banyak di antaranya yang saya temukan termotivasi tinggi dan mampu seperti yang sudah saya memberi bimbingan selama hampir tiga dekade di Oxford (1979-2008).

Pintu lain juga mulai terbuka: setelah bertahun-tahun tertunda, saya mengambil kembali sebuah proyek buku yang pada awalnya disarankan oleh penerbit Oxford, Peter Lang, yaitu membuat penyulingan Kuasa Ramalan menjadi teks yang jauh lebih singkat - 100.000-kata – dan tentu lebih mudah dibaca – tidak lagi berat di tangan dan berat di kepala! Akhirnya biografi singkat ini diterbitkan sebagai Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, yang sekali lagi didukung oleh YAD dengan subsidi yang sangat berarti dan diterbitkan oleh partner senior KPG, Penerbit Buku Kompas. Buku itu diterbitkan pada 8 Maret 2014, hari yang sama dengan pementasan dramatik ketiga Mas Landung Simatupang, yang juga didukung oleh Yayasan Arsari dan yang didasarkan kepada Babad Diponegoro, sebuah otobiografi yang didikte Sang Pangeran sendiri di Manado (1831-1832) selama tahun pertama pengasingan di Sulawesi (1830-1855) dan pada akhirnya diakui UNESCO sebagai suatu naskah yang layak diangkat sebagai naskah Ingatan Dunia (MoW).

(5)

een gordel van smaragd']. Bagi saya penjaga pintu yang memungkinkan semua ini adalah YAD dan kami berkumpul disini hari ini untuk menghormati jasanya.

Jadi, kemana pintu yang baru terbuka itu mengarahkan kami? Hari ini, adalah tugas saya untuk memperingatkan, menasihati dan mendorong dalam hal guna sejarawan. Kita mulai dengan pertanyaan: apa gunanya sejarah dalam era Reformasi ini? Jawab saya - semuanya! Pertimbangkan ini: suatu estimasi terbaru menunjukkan bahwa 90 persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia yang dipublikasikan di luar negeri justru

disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar tentunya

adalah orang asing atau orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri

dan menjadi WNA. Jika angka ini benar, maka Indonesia merupakan salah satu

negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia

luar. Situasi semacam itu tidak baik untuk Indonesia di masa mendatang. Bahkan,

bila ramalan ekonomi terkini dari McKinsey Global Institute (September 2012) benar,

yakni bahwa Indonesia akan bergerak dari kekuatan ekonomi dunia terbesar ke-16

menjadi yang ketujuh pada tahun 2030, maka ia hanya akan menjadi sebuah kapal

yang berlayar tanpa kompas.

Istilah ‘jasmerah’ (‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’) yang diungkapkan Bung

Karno pada pidato 17 Agustus yang terakhir itu (1966) kini terdengar lebih benar

dari sebelumnya. Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri,

Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan ditakdirkan hidup terkutuk

selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka

sebenarnya dan akan kemana mereka pergi. Adalah tugas generasi muda untuk

memenghalangi jangan sampai hal ini terjadi. Adalah tugas generasi lebih tua yang

sekarang ada dalam posisi-posisi kepemimpinan untuk menyediakan sumberdaya

guna memastikan bahwa sejarah memiliki tempat terhormat dalam kehidupan

bangsa. Dalam zaman reformasi dan pembaruan nasional saat ini, Indonesia yang

sungguh-sungguh beradab adalah sebuah keniscayaan.

(6)

Perang Dunia Kedua, Jerman dibangun kembali dirinya dengan berhubungan kembali dengan masa lalu yang lebih beradab, menghadapi setan dari Reich Ketiga (1933-1945) dan genosida Hitler dengan menggunakan contoh yang lebih tua yang tidak ada persentuhan dengan kekaisaran untuk membangun kembali sebuah demokrasi baru sebagai Republik Federal Jerman (Bundesrepublik). Sekarang dunia bisa menyaksikan sukses ini dengan jelas: Jerman telah menggunakan pelajaran dari sejarah untuk merujuk harkat dan membabar layar baru. Lembah gelap Sonderweg

(Jalur Khusus Jerman) telah disisihkan dan Bundesrepublik sekarang menjadi salah satu negara demokrasi yang paling efektif di dunia, model bagi negara-negara lain dengan federalisme dan desentralisasi, penggunaan 75 persen energi daur ulang, dan studi masa lalu Nazi-nya yang diamanatkan oleh konstitusi federal sebagai mata pelajaran pokok di bangku sekolah SMP dan SMA.

Dalam konteks yang sangat berbeda, Korea Selatan juga telah sukses dengan

menoleh kebelakang ke masa sebelum era aneksasi Jepang (1910) untuk mengatasi trauma perang sipilnya (Korean War, 1950-1953), yang membuat negara, saat gencatan senjata Pamunjom (27 Juli 1953), jauh lebih hancur dan miskin

dibandingkan Indonesia yang baru merdeka itu, salah satu ‘tiger economy’ (ekonomi macan Asia) di wilayah Asia. Dengan tekad dan ketabahan yang luar biasa, Korea Selatan telah dibangun kembali di bawah rezim otokratik Park Chung-hee (1961-1979), dan sekarang menjadi ekonomi terbesar kesembilan di dunia, terkenal seantero dunia untuk ekspor budaya, dengan ‘boy band’ dan ‘girl band’ sebagai ujung tombak 'Korean Wave' yang mendunia itu. Tapi jangan salah, ‘boy’ dan ‘girl’ band’ itu juga tidak hanya busa pada gelombang yang direkyasa media, tetapi juga bagian dari tradisi Korea yang jauh lebih tua, yang menjadi motor untuk mendukung keajaiban ekonomi pasca-perang.

Dan bagaimana dengan Indonesia? Bagaimana peran sejarah dalam perjuangan nasional atau revolusi untuk merujuk harkat identitas dan kelangsungan hidup nasional? Jika kita menoleh ke belakang ke generasi yang telah berjuang dan memenangkan kemerdekaan Indonesia, jasa cukup mengajubkan. Ini adalah

(7)

diciptakan, baik yang nyata.

Hal ini paling jelas bisa diilustrasikan pada bulan Agustus 1947, ketika mantan perdana menteri dan menteri luar negeri Indonesia (1945-1947), Sutan Sjahrir (‘Bung Kecil’) (1909-1966), pergi ke Amerika Serikat untuk membahas ‘The

Indonesian Question’ (Masalah Indonesia) di Dewan Keamanan PBB di Lake Success di Long Island. Situasi untuk Republik muda yang berbasis di Yogyakarta cukup memrihatinkan: Belanda baru saja meluncurkan Aksi Polisi (Politioneele Actie) Pertama, ‘Operasi Produk’ (Juli 1947), yang telah merebut kembali sebagian besar lahan yang paling produktif bekas koloni mereka. Di PBB, Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda (High Representative of the Dutch Crown), Mr AGH Lovink, telah berulang kali menolak klaim Indonesia untuk diakui sebagai ‘interlocuteur valide’ atau partai yang sah untuk konflik. Menurut Lovink, para pemimpin Republik adalah ‘boneka Jepang’ yang tidak didukung kalangan rakyat kebanyakan. Apa yang bisa mereka mewakili pula karena 'Indonesia', dalam pandangan Lovink, sama sekali tidak memiliki status independen dalam sejarah. ‘Indonesia’ itu adalah proyek yang disponsori Jepang, suatu khayalan belaka sebab wilayah Nusantara hanya digabungkan dan diberi roh dan jiwa oleh negara kolonial Hindia Belanda (Nederlandsch Oost-Indië) (1818-1942).

Pada tanggal 14 Agustus 1947, Sjahrir naik ke podium untuk berpidato kepada sebelas anggota Dewan Keamanan. Dia berbicara dengan penuh semangat dan dengan tepat, secara terperinci menghancurkan argumen Lovink dalam pidato yang koresponden diplomatik dari New York Herald Tribune menyatakan adalah yang paling bagus dan paling mengharukan yang pernah ia dengar selama ia bertugas di Lake Success (NYHT, 15 Agustus 1947).

(8)

(partai yang sah) dalam perdebatan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan tentang 'Masalah Indonesia' (‘The Indonesian Question’) dan kemudian sebagai anggota resmi dari badan internasional itu. Tindakan Sjahrir bisa dilihat sebagai inisiatif diplomatik yang paling menentukan selama Revolusi Indonesia (1945-49). Pada akhirnya, itu mengakibatkan bahwa ketika Belanda meluncurkan Aksi Polisi (Politioneele Actie) Kedua mereka pada 19 Desember 1948 di Yogya dengan menangkap Presiden Sukarno dan semua kabinetnya, Indonesia telah unggul di ranah diplomatik. Mayoritas anggota PBB pada saat Aksi Kedua Belanda mendukung Indonesia. Malah, Amerika Serikat sampai memberi sanksi kepada Belanda dengan mengancam Den Haag akan hilang alokasi bantuan Marshall Plan untuk fiskal 1950-1951 kalau mereka tidak kembali ke meja perundingan dengan Republik dan

mencapai sepakat politik yang kekal.

Sjahrir kemudian membuat sebuah refleksi tentang pentingnya sejarah dalam keberhasilan misi diplomatiknya ke PBB Agustus 1947:

‘Hanya orang yang telah sanggoep meninjau ke belakang dengan hitoengan abad, dengan lain kata, yang memang berpengertian tentang sedjarah dan masjarakat, akan dapat berhadapan dengan soeasana sedjarah jang beroepa revoloesi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan toedjoean sedjarah ‘.

Melalui pemahaman tersebut tentang arah sejarah dunia, kemerdekaan Indonesia bisa dimenangkan. Sjahrir sendiri memahami ini hanya beberapa minggu setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia dengan menulis pada awal bulan September 1945 di dalam pamfletnya, ‘Perjoeangan Kita’, bahwa takdir RI akan dibentuk oleh kubu kapitalis 'Anglo-Saxon' - yaitu kekuasaan negara adidaya yang baru - Amerika Serikat – dan pengaruh negara adidaya Inggris Raya yang mulai surut - dan bahwa bersama-sama mereka akan menentukan nasib Indonesia. Dan itu terbukti!

Jika generasi pendiri (generasi perintis) telah tidak memiliki rasa sejarah, sangat tidak mungkin bahwa Republik yang mereka perjuangkan akan mencapai

(9)

kemerdekaan di atas ‘piring emas’ di ‘cahya bulan purnama’ bukan ‘di terik

matahari’. Kita bisa ambil contoh dari pemuda, Sukarni (1916-71), baru-baru ini (7 November 2014) diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Pemengertiannya yang kilat tentang kesempatan yang unik yang disajikan penyerahan tanpa syarat Jepang pada 15 Agustus 1945 setelah bom-bom atom di Hiroshima (6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus), mendorongnya untuk membujuk Bung Karno dan Bung Hatta untuk cepat mendeklarasikan kemerdekaan. Sukarni begitu yakin atas pentingnya kesempatan yang dibuka oleh penyerahan tanpa syarat Kekaisaran Jepang bawah dia sampai menodong Sukarno dengan pistolnya dan membawa Presiden pertama RI dan wakilnya ke Rengkasdengklok untuk memaksa mereka membuat deklarasi sebelum

Gunseikan (Komando Tertinggi) Jepang bisa bertindak atas instruksi Mountbatten untuk membekukan situasi politik pada 15 Agustus dan menunggu datangnya pasukan Sekutu.

Seumpamanya saat ini Indonesia dihadapkan dengan situasi seperti Birma sekarang, dimana pemimpin demokrasi, Aung San Suu Kyi, sering bicara tentang 'Perjuangan Kedua Kemerdekaan' (yang pertama adalah melawan Inggris antara 1920-48 dan yang kedua melawan Tentara Burma atau Tatmadaw), apakah para elit politik Indonesia zaman kini akan mampu menoleh ke belakang ke sejarah pra-kolonial untuk memenangkan perjuangan kedua itu? Pertanyaan susah dijawab, tapi kekhilafan elit tentang sejarah Indonesia tidak memberi harapan besar bahwa mereka bisa bergerak secepat dan se-efektif generasi perintis.

(10)

Ketika orang-orang lupa sejarahnya sendiri, seperti sekarang di Indonesia masa kini, mereka tidak hanya kehilangan warisan dan konteks budayanya tetapi mereka juga rawan malapetaka: kekhilafan tentang tradisi lisan dan sejarah bencana alam sangat menonjol disini. Di Aceh, lebih dari 150.000 orang meninggal tersia-sia karena

mereka telah kehilangan akses mereka kepada tradisi lisan tentang tsunami. Namun di pulau yang berdekatan dengan ‘epicentre’ (pusat gempa) tsunami itu, Simeulue, 150 mil laut di lepas pantai barat Sumatera, hampir semua penduduk bisa selamat karena mereka tahu apa yang akan terjadi waktu mereka melihat surut laut yang ajaib itu dan mereka segera naik ke gunung.

Saat ini, amnesia tentang tsunami masih kelihatan - pergi ke toko buku apapun dan Anda akan menemukan banyak buku tentang aspek tahayul dan agamis tsunami, tapi tidak banyak tentang aspek ilmiah. Kesadaran tentang asal-usul tsunami bahkan tidak diajarkan di sekolah: saya bisa ambil contoh dari sekolah SD-SMP anak saya di Kelapa Gading yang kurang dari lima kilometer dari garis pantai Jakarta Utara

dimana tidak ada pelatihan atau sosialisasi apapun tentang bahaya tsunami. Walaupun bencana alam terus terjadi – korban masih akan jatuh tersia-sia sebab tidak ada persiapan yang layak bagi warga. Itulah sebabnya teks seperti Syair Lampung Karam begitu penting menjadi mata-pelajaran umum dan di bangku sekolah pada khususnya.

(11)

sejarawan Belanda. Dan yang aneh disini – bukan hanya warga pedalaman Jawa tengah-selatan yang menderita akibat kepicikan Belanda tapi juga penduduk di Belanda Selatan selama periode yang sama - Persatuan Kerajaan Belanda (1815-1830). Hal ini akan berakhir dengan Revolusi Belgia Agustus 1830, pemberontakan yang didukung – sesuatu yang tidak terjadi dengan perjuangan anti-kolonial Jawa pada Perang Dponegoro (1825-1830) - oleh negara-negara adidaya Eropa.

Dalam pandangan saya, tujuan pokok sejarawan adalah dua: untuk mencapai penutupan (closure) pada peristiwa tragis masa lalu, dan membangkitkan orang yang telah mati seperti diungkapkan bapak historiografi Yahudi modern, Simon Dubnow (1860-1941), yang dibunuh oleh Nazi di Riga pada tahun 1941: ‘the historian’s essential creative act is the resurrection of the dead’ (tugas pokok Sang Sejarawan adalah untuk membangkitkn yang telah mati). Jadi apa yang diperlukan dari sejarawan untuk mewujudkan dua proses ini?

Proces yang kedua adalah mungkin lebih mudah karena sebagian besar melibatkan komitmen berkelanjutan untuk menyelamatkan dan melastarikan catatan sejarah – khusus biografi individu dan komunitas mereka - sebelum lenyap, seperti Dubnow telah lakukan untuk sejarah intelektual Yahudi di Eropa Timur pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Dalam kasus saya sendiri, tugas saya jauh lebih terbatas dan sederhana dari Dubnow ini: yaitu, membangkitkan salah satu tokoh kunci dalam historiografi Jawa modern - Pangeran Diponegoro – dan

mengajukan kronik otobiografi – Babad Diponegoro (1831-32) – kepada UNESCO untuk diakui dan dimasukkan di Daftar Internasional Ingatan Dunia (International Register of the Memory of the World). Dan itu telah terjadi pada 21 Juni 2013.

(12)

Tugas pertama sejarawan jauh lebih rumit dan berat secara moril sebab melibatkan kesediaan berkelanjutan untuk menghadapi, mendokumentasi dan mengakui

kekejaman masa lalu, suatu proses yang ditempuh Jerman setelah Perang Dunia II. Dalam kasus negara saya sendiri Irlandia, ‘historical closure’ dengan sejarah pahit 800 tahun penjajahan Inggris sebagian besar telah dicapai oleh tiga generasi sejak kemerdekaan Irlandia pada bulan Desember 1921, sebuah proses yang mencapai puncak pasca perjanjian damai Jumat Agung April 1998. Kunjungan kenegaraan Ratu Elizabeth II ke Irlandia pada 17-20 Mei 2011 adalah kunjungan pertama oleh seorang raja Inggris selama satu abad (kakek Sang Ratu, George V, telah

mengunjungi pada tahun 1911 ketika seluruh pulau masih menjadi bagian dari Kerajaan Inggris Britania Raya dan Irlandia). Ini melibatkan operasi keamanan

terbesar dalam sejarah Republik, dan kunjungan ke situs penting untuk nasionalisme Irlandia di Dublin seperti ‘Garden of Remembrance’ (Taman Peringatan) dan Croke Park, situs ‘Minggu Pembantaian Berdarah’ pada 21 November 1920 ketika pasukan Inggris telah menembaki kerumunan yang menonton pertandingan sepak bola Gaelic dan menewaskan 14 orang dan melukai 65. Ratu juga menyampaikan pidato yang banyak dipuji tentang sejarah yang amat mengerikan dan tragis antara kedua negara.

Contoh sebaliknya dari negara-negara yang telah melupakan sejarah atau dengan sengaja mengaburkan adalah mitra Jerman dalam kejahatan selama era Nazi, Austria: sulapan yang mengkisahkan bahwa negara sekutu Jerman Nazi itu telah berpura-pura menjadi 'korban' daripada ‘pelaku’ selama Perang Dunia II

(13)

Dalam nada yang sama sekali berbeda dan kontras dengan kasus Irlandia, adalah contoh Skotlandia. Jika kita melupakan pemberontakan Yakobit dari 1715 dan 1745 yang dipicu oleh dukungan warga Katolik Skotlandia untuk bekas keluarga kerajaan Inggris, Stuart, Skotlandia sendiri tidak pernah memberontak dalam perang

kemerdekaan melawan Inggris. Sebaliknya, ia menandatangani Undang-Undang Union (1707). Perjanjian ini adalah landasan yang meluncurkan Inggris Raya sebagai kekuatan dunia, suatu hubungan antar Negara / daerah yang mirib pengalaman Jawa dan Sumatera yang digabung akibat pengalaman kolonialisme Belanda yang membawa mereka bersama memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Tapi tidak berbeda dengan Irlandia, sejarah Skotlandia cenderung diabaikan di Inggris. Selama seluruh periode saya belajar di Oxford untuk S1 dalam bidang Sejarah Modern (1966-1969), saya tidak pernah diminta untuk menulis esai tentang tanggal kunci dalam sejarah Inggris modern – yaitu perjanjian 1707. Meskipun jauh lebih banyak orang Skotlandia menjadi anggota elit pemerintahan Inggris daripada persentase penduduk yang kecil dan remeh-temeh mereka (hanya sepersepuluh dari 60 juta penduduk Britannia Raya). Skotlandia tampil sepintas dalam sejarah Inggris - biasanya sebagai masalah yang berhubungan dengan Highland Clearances

(penyingkiran penduduk dari lahan subur tanah tinggi), depopulasi, keterbelakangan ekonomi dan baru-baru ini siapa yang layak meraih untung dari minyak Laut Utara.

(14)

Jadi apa artinya semua ini bagi Indonesia? Tanah Air bukan Kepulauan Inggris Raya tetapi ada kesamaan yang menarik. Di banyak daerah sejarah belum dihadapi, masa lalu yang mengerikan telh dilupakan. Dalam kasus Timor Timur, yang selama

seperempat abad menderita di bawah kekuasaan militer Indonesia, sekarang ada sumber daya utama untuk meneliti masa lalu yang dalam bentuk publikasi

monumental 2.500 halaman Chega (Cukup! Tidak lagi! Berhentilah!), yaitu, Laporan Akhir Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Timur (CAVR).

Awalnya diterbitkan dalam bahasa Portugis pada bulan Februari 2007, buku ini adalah rekor yang paling komprehensif tentang pelanggaran hak asasi manusia, kematian, perpindahan, penyiksaan, penganiayaan dan ancaman di Timor-Leste antara tahun 1975 dan 1999. Pada bulan Oktober 2010, buku monumental itu

diterjemahkan ke dalam Bahasa dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia dalam lima jilid dengan edisi bahasa Inggris yang diedarkan pada tahun 2013. Tetapi sumber arsip ini belum diambil serius oleh sejarawan atau politisi di Indonesia.

Akibatnya, penutupan sejarah yang telah dicapai di Irlandia setelah 1998 perjanjian damai Jumat Agung masih belum terwujud.

Ketika kita menoleh kepada jurang besar dalam sejarah Indonesia modern,

pembunuhan 1965-1966, situasi ini bahkan lebih minim daripada Timor-Leste, dan penutupan (historical closure) lebih jauh. Belum ada publikasi setara Chega.

Tampaknya semua generasi yang pernah mengalami 1965-66 akan mati dan mengambil kenangan-kenangan dengan mereka sebelum akan ada ‘accounting’ sejarah penuh di Indonesia. Kita masih dihantui oleh penyalahgunaan sejarah di tahun-tahun panjang 'Orde Baru' Suharto (1966-1998). Upaya sia-sia resim Suharto untuk melenyapkan bukti yang 'tidak sesuai dengan sejarah nasional' - orang

berpikir di sini pembakaran silsilah (salasilah) dan buku di Kartowibawan, cabang senior keluarga Soekarno di Blitar, oleh antek-antek Suharto - dan kompromi yang harus dibuat oleh sejarawan yang mendukung resim, seperti Letnan-Jenderal

Nugroho Notosusanto dan unit sejarah militernya. Tapi di luar Indonesia, air pasang sudah mulai berubah: penelitian arsip-arsip oleh sejarawan John Roosa yang

(15)

Joshua Oppenheimer, Jagal (‘The Act of Killing’) (2012) dan Senyap (‘The Look of Silence’) (2014), yang keduanya telah memenangkan penghargaan film

internasional, bahkan yang pertama dinominasikan untuk sebuah Oscar – dalam kategori film terbaik dokumenter.

Pada bulan Mei 2013, bahaya politik memori dan lupa (memory and forgetting) – atau kebutaan huruf historiografi di tanah air - menjadi jelas jelas dalam alma mater saya Oxford – ‘that home of lost causes and impossible passions’ (tempat

perjuangan yang sudah pudar dan pengharapan yang tidak bakal tuntas) (Matthew Arnold) ketika Walikota, Mohammed Abbasi, mengumumkan komitmennya untuk mengkibar bendera Organisasi Papua Merdeka, Bintang Fajar (Kejora), di Balai Kota Oxford setiap 1 Desember (Hari Kemerdekaan Papua dari Belanda). Kita harus bertanya di mana wakil Indonesia di Inggris dalam semua hal ini? Mengapa mereka tidak siap untuk menghadap kepala perwakilan Organisasi Papua Merdeka di Oxford, Benny Wenda, yang telah secara terbuka mendukung kekerasan, dalam perdebatan tentang masa depan Papua di Oxford Union? Tidak seperti Timor Timur Portugis, dalam kasus Papua, Indonesia mempunyai landasan historis yang kuat. Tetapi

sampai sekarang landasan itu belum dimanfaatkan. Kurangnya PD atau kepercayaan diri tentang pemahaman tentang sejarah bangsa mereka mungkin salah satu alasan mengapa para diplomat yang berbasis di London tidak terlibat lebih efektif dengan isu Papua Merdeka di Oxford. Jika Sjahrir atau Sukarni masih hidup akan lain sejarah.

Apa yang bisa disimpulkan dari kladeiscope bersejarah ini? Sebuah bangsa yang lupa - atau lebih buruk mengubahnya kembali - sejarahnya akan menghadapi beberapa bahaya. Kemungkinan reformasi akar-dan-cabang seperti yang berhasil dicapai di era pasca-perang di Jerman dan Korea Selatan tidak mungkin. Indonesia, saat ini anggota dari G-20, dan mungkin akan melebihi Korea dan akan setara dengan Jerman dalam bidang ekonomi tahun 2030 dengan menjadi negara terkaya ketujuh di dunia, tetapi jika tidak bisa menjelaskan dirinya secara internasional apa

(16)

angkatan laut atau divisi lapis baja – malah lebih penting. Sejarah akan menjadi kunci untuk rekoneksi Indonesia ke masa lalu, sebuah sine qua non baik untuk keterlibatan yang efektif dalam urusan dunia dan realisasi potensinya sebagai negara adidaya Asia. Jika tidak, kami akan merenungkan refleksi Friederich Schiller pada awal kuliah ini - ‘Zaman-zamannya agung, tetapi masa agung hanya dihuni orang-orang kerdil’ - dan syair Kipling yang berjudul ‘Recessional’ (1897):

Far-called, our navies melt away. On dune and headland sinks the fire: Lo! All the pomp of yesterday,

Is one with Nineveh and Tyre! Judge of the Nations spare us yet. Lest we forget! Lest we forget!

Referensi

Dokumen terkait

Dari data pengukuran ferro aktif (Fe 2+ ) tanah dan dari hasil sidik ragam ferro aktif (Fe 2+ ) tanah diperoleh bahwa perlakuan kompos TKKS berpengaruh nyata

o Mengembangkan pemasaran dan promosi pariwisata dengan meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 (dua puluh) persen secara bertahap dalam

Pada fase ini juga akan melakukan pembenahan terhadap permasalahan yang ada, sehingga nantinya ketika sudah selesai semua, perusahaan client akan siap untuk menjalankan

Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan bagi anak autistik. adalah

Setelah itu diulangi oleh kata ganti (dhamîr) yang kembali kepadanya atau dengan isim isyarah dengan makna yang lain, atau diulangi dengan dua isim

Perawatan intercooler alternative dalam hal ini meliputi seluruh bagian, baik dari sisi udara maupun sisi air laut, perawatan pada kedua sisi tersebut dibersihkan dengan

Berdasarkan observasi, angket , tes dan wawancara yang telah dilakukan selama proses pembelajaran pembelajaran TAI dilengkapi peta konsep dapat meningkatkan

Tujuan pelaksanaan kegiatan IbM antara lain meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternak ulat hongkong dengan penerapan inovasi teknologi produksi yang tepat guna sehingga