• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan kadar gula darah pada pasien lanjut usia yang diinduksi anestesi umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perubahan kadar gula darah pada pasien lanjut usia yang diinduksi anestesi umum"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PERUBAHAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN LANJUT USIA YANG DIINDUKSI DENGAN ANESTESI UMUM

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ARTHA WAHYU WARDANA G 0008201

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah

mencapai usia 60 tahun ke atas. Di seluruh dunia penduduk Lansia (usia > 60 )

tumbuh dengan sangat cepat bahkan tercepat dibanding kelompok usia

lainnya.Diperkirakan mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan jumlah penduduk

lanjut usia. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan bahwa penduduk

lansia di Indonesia pada tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka

11,34% atau tercatat 28,8 juta orang (BPS, 2007). Setengah dari jumlah

tersebut akan membutuhkan operasi sebelum mereka meninggal. Para manula

ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam anestesi dan

pembedahan karena terdapat kemunduran sistem fisiologis dan farmakologi

sejalan dengan penambahan usia. Kemunduran ini mulai jelas terlihat setelah

usia 40 tahun. Dalam suatu penelitian di Amerika pada tahun 1977, diduga

setelah usia 70 tahun, mortalitas akibat tindakan bedah menjadi 3 kali lipat

jika dibandingkan dengan usia 18 - 40 tahun dan 2% dari mortalitas ini

disebabkan oleh anestesi (Raharjo, 1988).

Sejak umur 31 tahun terjadi penurunan laju metabolisme basal sebesar

1% setiap tahun. Kemampuan untuk memetabolisme glukosa menurun dengan

(3)

commit to user

2

tetapi ada beberapa kemungkinan yaitu susunan makanan yang buruk,

inaktivitas fisik, berkurangnya masa otot, berkurangnya sekresi insulin dan

terjadinya antagonisme terhadap insulin (Raharjo, 1988). Setiap tindakan

operasi pada pasien lanjut usia khususnya akan menyebabkan terjadinya suatu

stres. Stres operasi dapat merupakan stres psikologi, stres anestesi, dan stres

pembedahan. Respon stres normal dicirikan oleh respon sympathetic

neurohormonal akibat stimulasi dari simpatoadrenergik dan jalur pituitari

mengakibatkan peningkatan level pada norepinefrine, epinefrine, glukagon,

dan kortisol (Smiths, 1996). Sudut pandang anestesi umum adalah pada

penekanan aksis hipotalamus pituitari adrenal, 95% aktivitas glukokortikoid

dihasilkan oleh sekresi kortisol. Kortisol, glukagon, dan epinepfrin

meningkatkan pemecahan glikogen menjadi glukosa. Respon ini dengan cepat

menurunkan cadangan glikogen sehingga terjadi mobilisasi karbohidrat dan

protein yang dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya perubahan kadar

gula darah pasien lanjut usia yang diinduksi dengan anestesi umum.

Perubahan kadar gula darah yang terjadi oleh karena stres psikologi dan stres

anestesi dapat mengakibatkan kondisi yang kurang menguntungkan setelah

operasi, seperti memperlama waktu pemulihan ataupun efek-efek lain yang

tidak menguntungkan akibat perubahan tersebut sebagai bentuk respon dari

tubuh. Oleh karena itu, respon stres, khususnya stres anestesi dengan segala

akibatnya dapat diwaspadai secara dini karena dapat meningkatkan mortalitas

(4)

commit to user

3 B. Rumusan Masalah

Apakah ada perubahan kadar gula darah pada pasien lanjut usia yang

diinduksi dengan anestesi umum ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perubahan kadar gula darah pada pasien lanjut yang

diinduksi dengan anestesi umum.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai landasan teori untuk usaha preventif, khususnya yang

berkaitan dengan efek-efek yang tidak menguntungkan dari hiperglikemia

ataupun hipoglikemia pada pasien lanjut usia yang diinduksi anestesi

umum.

2. Manfaat Aplikatif

1. Sebagai landasan teori dalam upaya menerangkan perubahan kadar gula

darah pasien lanjut usia yang diinduksi anestesi umum.

(5)

commit to user

4 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Metabolisme Glukosa

Bahan bakar disimpan dalam 3 bentuk yaitu glikogen (suatu polimer

glukosa), trigliserida (masing-masing mengandung 3 asam lemak yang

diesterifikasikan ke molekul gliserol), dan protein. Fungsi tunggal glikogen

dan trigliserida pada metabolisme manusia adalah sebagai cadangan bahan

bakar. Sebaliknya, protein yang paling utama dibentuk mempunyai fungsi

sebagai katalisator, karier reseptor, dan komponen struktural tubuh (Mayes

dan Bender, 2003; Mistraletti et al., 2005).

Secara garis besar, metabolisme karbohidrat terdiri dari :

a. Produksi

1) Berasal dari pemecahan karbohidrat yang ada dalam makanan.

2) Pemecahan cadangan glikogen dan molekul-molekul endogen lain

seperti protein dan lemak. Kemudian melalui proses metabolisme

glukosa seperti yang terjadi pada hepar dalam keadaan kelaparan,

aktivitas dan lain sebagainya. Glukosa 6 fospat dikonversi oleh

glukosa 6 fospatase hepar untuk dapat dilepas ke dalam sirkulasi.

Sementara pada otot, glukosa 6 fospat dikatabolisme langsung lewat

(6)

commit to user

5

3) Mengubah senyawa-senyawa nonkarbohidrat menjadi glukosa atau

glikogen yang disebut proses glukoneogenesis.

b. Uptake

1) Diambil dari saluran cerna misalnya dengan sistem transport aktif dari

ion sodium.

2) Dari sirkulasi ke dalam sel oleh aksi insulin.

c. Utilisasi untuk produksi energi melalui konversi glukosa 6 fospat dan

pemecahan (glikolisis).

d. Konversi melalui glukosa 6 Fospat dan glukosa 1 Fospat menjadi

glikogen

e. “Heksosa / Pentosa Mono Fospat Shunt” yaitu dengan menghasilkan

energi dari glukosa 6 Fospat melalui reduksi nikotinamida adenin

dinukleotida fospat (NADP).

f. Konversi menjadi lemak dan protein.

Hasil akhir pencernaan karbohidrat adalah glukosa fruktosa dan

galaktosa yang selanjutnya akan dikonversi hepar menjadi glukosa. Sel

akan mengadakan utulisasi glukosa melalui glikolisis (anaerobik) atau

siklus “Citric Acid” (aerobikal). Glukosa disimpan dalam bentuk glikogen.

Insulin akan meningkatkan sintesis glikogen. Sementara Epinefrin dan

glukagon akan menaikkanglikogenolisis. (Berry, 2002; Leksana, 2004).

2. Anestesi Umum

Anetesi umum didefinisikan sebagai hilangya rasa sakit di seluruh

(7)

commit to user

6

anestesi. Anestesi umum didefinisikan lebih jauh sebagai keadaan di mana

sistem fisiologis tertentu berada di bawah kendali obat-obatan anestesi

(Morgan, 1996).

Indikasi anestesi umum :

1. Infan dari anak-anak

2. Operasi yang luas

3. Pasien dengan kelainan mental

4. Bila pasien menolak anestesi lokal

5. Operasi yang lama

6. Operasi di mana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak

menguntungkan

7. Pasien dalam terapi antikoagulan

Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena,

intramuskuler, atau peroral. Pada anestesi umum, terdapat trias anestesi

yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi (Stoelting, 1999).

3. Fisiologi Adrenal

Ada banyak senyawa dihasilkan oleh korteks adrenal ( lebih kurang

40 macam ) akan tetapi hanya beberapa yang dijumpai dalam darah antara

lain kortisol, kortikosteron, aldosteron, dehidroepiandrosteron,

androstenedion dan banyak lagi. Sekresi dari korteks adrenal dipengaruhi

oleh ACTH. Kerja fisiologis utama dari hormon adrenal khususnya

(8)

commit to user

7

a. Berpangaruh terhadap metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yaitu

memacu glikogenolisis, ketogenesis, glukoneogenesis, dan katabolisme

protein.

b. Memiliki kerja anti insulin, glukokortikoid menaikkan glukosa, asam

lemak dan asam amino dalam sirkulasi. Dalam jaringan perifer seperti

otot, adipose dan jaringan limfoid, steroid adalah katabolik cenderung

menghemat glukosa, pengambilan glukosa dan glikolisis ditekan.

c. Terhadap pembuluh darah meningkatkan respon terhadap katekolamin.

d. Meningkatkan aliran darah ginjal dan memacu eksresi air.

e. Pada dosis farmakologis menurunkan intensitas reaksi peradangan, di

mana pada konsentrasi tinggi glukokortikoid menurunkan reaksi

pertahanan seluler khususnya memperlambat migrasi leukosit ke dalam

daerah trauma, dan lain-lain

Sintesis steroid adrenal bermula dari asetat atau kolesterol dan

bergerak melalui beragam langkah enzimik ke pembentukan

glukokortikoid. Jalan reaksi menyangkut sintesis permulaan kolesterol yang

setelah terjadi pembelahan dan oksidasi serangkaian rantai samping, diubah

menjadi A5-pregnenolon. Korteks adrenal mengandung relatif banyak

kolesterol, sebagian besar sebagai ester kolesteril yang berasal dari sintesis

de novo dan sumber-sumber ekstra adrenal. Perubahan esterkolesteril

menjadi kolesterol merupakan langkah yang perlu dalam sintesis steroid

dan diatur oleh ACTH, dalam hal ini ACTH melakukannya dengan

(9)

commit to user

8

mengaktifkan protein-protein melalui fosforilasi untuk mengkatalisis

hidrolisis kolesteril ester. Kinase ini awalnya juga meningkatkan

20-hidroksilasi kolesterol. Hasil akhir reaksi ini adalah C-27 steroid 20α, 22β

-dihidroksikolesterol dan 17α, 20α-dihidroksikolesterol. Senyawa ini diubah

langsung menjadi pregnenolon atau 17α-pregnenolon dengan kehilangan

bagian isokaproat aldehida yang terdapat pada rantai samping (Granner,

2003; Suherman, 1995; Zhang et al., 2000)

Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar,

pada manusia kortisol adalah regulator yang paling penting. Kortisol bebas

di dalam darah memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon

pelepas kortikotropin (corticotropin releasing hormone atau CRH) dari

hipotalamus dan hipofisis. CRH turun melalui vena sistem portal hipofisis

ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH. Respon CRH terhadap

umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari

ACTH dan kortisol dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil pada

malam hari, namun dalam keadan stress baik fisik maupun nonfisik seperti

nyeri, ketakutan, operasi, infeksi, latihan fisik, trauma, hipoglikemia atau

tumor otak dan obat-obatan seperti kortikosteroid, hipnotik, irama sirkadian

ini dapat berubah (Granner, 2003; Suherman, 1995; Cotton et al., 2009).

Hormon adrenal memainkan peranan sentral dalam homeostasis glukosa,

mekanisme pertahanan, respon terhadap stress, psikis dan trauma juga

anabolisme protein. Tidak adanya fungsi kelenjar adrenal merupakan

(10)

commit to user

9

akan menjalani operasi, akibat respon stress yang meningkat baik psikis

maupun karena stress operasi kadar glukosa dalam darahnya mengalami

peningkatan.

4. Pengaruh Anestesi terhadap Metabolisme Glukosa

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kenaikan kadar

gula darah selama operasi, antara lain tindakan operasi, teknik anestesi,

obat-obatan, cairan yang dipergunakan perioperatif dan penyakit dasar yang

diderita pasien yang menjalani operasi akan dapat menyebabkan terjadinya

kenaikan kadar gula darah secara langsung ataupun tidak langsung. Allison

dkk dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa stres emosional, N2O,

halotan, hipoksia, dan pembedahan menyebabkan kenaikan gula darah,

asam lemak bebas, dan menurunkan insulin plasma. Faridnan pada tahun

2003 meneliti respon stres anestesi general + epidural dengan anestesi

general yang menyimpulkan bahwa kombinasi anestesi general + epidural

lebih sedikit menimbulkan kenaikan kadar kortisol darah.

Beberapa tindakan anestesi seperti intubasi dan ekstubasi

endotrakheal meningkatkan respon stress dan hemodinamik yang akan

meningkatkan glukosa darah. Hal ini terjadi karena pada induksi anestesi

umum terjadi stress yang berupa stress psikologis preoperatif dan stress

anestesi yang akan melepaskan hormon - hormon yang dikenal sebagai

neuroendokrin hormon, yaitu: ADH, aldosteron, angiotensin II, kortisol,

(11)

commit to user

10

sama untuk meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah (Stoelting,

1999).

Efek kortisol diperantarai oleh adanya interaksinya dengan sebuah

reseptor spesifik yang terletak di dalam sel target. Oleh karena itu, apabila

ada sesuatu yang menimbulkan peningkatan kadar kortisol plasma maka

kortisol yang salah satu fungsinya memicu metabolisme karbohidrat,

lemak, dan protein dalam hal ini glukogenolisis, glukoneogenesis,

katekolamin akan meningkat pula. Kortisol plasma biasanya meningkat dua

hingga sepuluh kali setelah induksi anestesi selama pembedahan dan

pascaoperasi (Stoelting, 1999). Sama seperti stres lainnya, episode

pelepasan kortisol tetap sama, tetapi amplitudo pelepasannya yang

meningkat. Konsentrasi kortisol plasma akan kembali normal dalam 24 jam

pasca operasi. Namun dapat pula menetap selama 72 jam tergantung dari

derajat keparahan trauma pembedahan. Selain trauma pembedahan,

pemilihan obat dan teknik anestesi juga berpengaruh terhadap respon

hipotalamus-pituitari adrenal (Stoelting, 1999)

5. Penurunan Fisiologis Pasien Lanjut Usia yang Berhubungan dengan

Fungsi Metabolik dan Endokrin

Sejak umur 31 tahun terjadi penurunan laju metabolisme basal

sebesar 1% setiap tahun. Kemampuan untuk memetabolisme glukosa

menurun dengan bertambahnya usia. Gula darah terlalu tinggi disebut

hiperglikemia dan bila terlalu rendah disebut hipoglikemia (Almatsier,

(12)

commit to user

11

sehingga respon regulasi glukosa menurun. Kemampuan pengikatan protein

serum juga menurun. Akibatnya dosis anestesi yang biasa akan

menimbulkan efek berlebihan pada manula. Mekanisme terjadinya

perubahan ini belum jelas, akan tetapi ada beberapa kemungkinan yaitu

susunan makanan yang buruk, inaktivitas fisik, berkurangnya masa otot,

berkurangnya sekresi insulin dan terjadinya antagonisme terhadap insulin

(Kunto, 1988). Respon neuroendokrin terhadap stres tidak berubah atau

sedikit menurun pada lanjut usia yang sehat.

Secara umum dapat dikatakan terdapat kecenderungan menurunnya

kapasitas fungsional baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat organ

sejalan dengan proses menua (Harimurti et al., 2007).

Seperti pada pasien pediatri, manajemen anestesi yang optimal

tergantung pada pemahaman kita pada perubahan dari fisiologi, anatomi,

dan respon terhadap agen anestesi yang menyertai penuaan. Keadaan

fisiologi abnormal pada pasien lanjut usia sangat bervariasi, sehingga hal

ini membutuhkan evaluasi preoperasi yang teliti.

6. Respon Hormonal terhadap Stres

Kelenjar adrenal memiliki peran penting terhadap respon fisiologis

terhadap stres. Berbagai bentuk rangsang baik secara fisik, kimiawi,

psikologis, trauma, maupun psikososial dapat mengurangi kemampuan

tubuh untuk mempertahankan homeostasis dan memicu respon stres.

Apabila tubuh bertemu dengan stressor, tubuh akan mengaktifkan respon

(13)

commit to user

12

adalah keadaan kesiagaan yang tinggi dan mobilisasi berbagai sumber daya

biokimiawi (Sherwood, 2001).

Respon saraf utama terhadap rangsangan stress adalah pengaktifan

menyeluruh sistem saraf simpatis. Hal ini menyebabkan peningkatan curah

jantung dan ventilasi serta pengalihan darah dari daerah-daerah

vasokonstriksi yang aktifitasnya ditekan. Secara simultan, sistem simpatis

merangsang kekuatan hormonal dalam bentuk pengeluaran besar-besaran

epinephrin dari medulla adrenal. Epinephrin memperkuat respon simpatis

dan mencapai tempat-tempat yang tidak dicapai oleh sistem simpatis untuk

melaksanakan fungsi tambahan, misalnya memobilisasi karbohidrat dan

lemak (Sherwood, 2001). Selain epinephrin, sejumlah hormon lain terlibat

dalam respon stress seperti, CRH-ACTH-kortisol, glukagon, insulin,

rennin-angiotensin-aldosteron, dan vasopressin. Respon hormon

predominan adalah pengaktifan sistem CRH-ACTH-kortisol. Kortisol

menguraikan simpanan lemak dan protein sementara memperbesar

simpanan karbohidrat serta meningkatkan ketersediaan glukosa darah

(Sherwood, 2001).

Respon-respon hormonal lain di luar kortisol juga berperan dalam

seluruh respon metabolik terhadap stress. Sistem saraf simpatis dan

epinephrine yang dikeluarkan atas perintahnya menghambat insulin dan

merangsang glukagon. Perubahan-perubahan hormonal ini bekerja sama

untuk meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah. Epinephrin dan

(14)

commit to user

13

meningkatkan glikogenolisis dan (bersama kortisol) glukoneogenesis di

hati. Namun, insulin yang sekresinya tertekan selama stress melawan

penguraian simpanan glikogen hati. Semua efek tersebut berperan

meningkakan kadar glukosa darah. Respon-respon hormonal yang

berkaitan dengan stress juga mendorong pengeluaran asam-asam lemak

dari simpanan lemak, karena epinephrin, glukagon, dan kortisol

meningkatkan lipolisis, sedangkan insulin menghambatnya (Sherwood,

(15)

commit to user

Ada perubahan kadar gula darah pada pasien lanjut usia yang diinduksi

dengan anestesi umum

Operasi dengan anestesi umum

Lansia

Respon stres fisik dan psikis

· Status gizi

Hipotalamus Sistem saraf otonom

(16)

commit to user

15 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian eksperimental uji klinik merupakan penelitian pada manusia

untuk mengetahui efek suatu tindakan medis. Lingkup tindakan medis dapat

berupa aspek diagnostik, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Dengan uji

klinik peneliti dapat meneliti seberapa jauh tindakan medis lebih efektif, lebih

akurat, atau lebih ekonomis dibandingkan dengan tindakan medis

konvensional atau standar (Arief, 2008).Penelitian ini merupakan

eksperimental uji klinik sederhana dengan bentuk one group pretest-postest.

Dalam rancangan ini, pengukuran atau observasi dilakukan sebelum dan

setelah perlakuan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr.

Moewardi Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah pasien lanjut usia yang menjalani

operasi elektif di RSD.dr.Moewardi. Agar diperoleh subjek yang homogen,

(17)

commit to user

16

1. Kriteria inklusi :

a) Menjalani operasi elektif dengan anestesi umum

b) Status fisik ASA I-II

c) Usia >60 tahun (lanjut usia)

d) Pasien non diabetes melitus

e) Lama operasi tidak lebih dari 3 jam

2. Kriteria eksklusi :

a) Mengalami hipoglikemia atau hiperglikemia saat akan dilakukan

penelitian

b) Mendapat transfusi sebelum dan selama operasi berlangsung

c) Pasien yang menolak diikutkan pada penelitian ini

d) Pasien diabetes mellitus

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling pada penelitian ini adalah dengan cara random

sampling. Pasien lanjut usia adalah populasi pada penelitian ini. Agar subjek

penelitian bersifat homogen, diberikan pembatasan berupa kriteria inklusi dan

eksklusi. Kemudian ditentukan besarnya sampel penelitian dengan

menggunakan rumus Lemeshow :

᜘ Zα dZβ Sd

(18)

commit to user

17

Sd = Perkiraan simpang baku 20 mg/dl

D = Selisih rerata kedua kelompok = 14,614 mg/d

= tingkat 0,05 maka Z =1,960

䕠 = tingkat kesalahan 䕠 = 10% maka Z䕠= 1,282 (power

90%)

Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel n = 19,685 orang.

Dalam penelitian ini akan digunakan sampel sebesar 20 orang.

E. Identifikasi Variabel

1. Varibel Bebas : anastesi umum

2. Variabel Terikat : kadar gula darah

3. Variabel Luar :

a. Terkendali :

1) Jenis Obat anestesi

2) Besar dan lama operasi

b. Tidak terkendali :

1) Status gizi

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Bebas

(19)

commit to user

18

Anetesi umum didefinisikan sebagai hilangya rasa sakit di seluruh tubuh

yang disertai hilangnya kesadaran reversibel akibat pemberian obat

anestesi.

b. Skala pengukuran: nominal

2. Variabel Terikat

a. Kadar gula darah

Kadar gula darah yang dimaksud adalah kadar gula darah yang diambil

dari darah arteriol sebanyak dua kali yaitu sebelum induksi anestesi dan

sesudah induksi anestesi tetapi sebelum periode pembedahan dimulai.

Alat yang digunakan adalah Blood Glucose Test Meter GlucoDr. Nilai

normal gula darah puasa adalah < 120 mg/dl.

b. Skala pengukuran: rasio

3. Variabel Luar

a. Terkendali

1) Jenis obat

a. Jenis obat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah obat-obatan

yang dipakai untuk induksi anestesi umum. Obat induksi anestesi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat-obat anestesi

inhalasi.

b. Skala pengukuran: nominal

2) Besar dan lama operasi

a. Besar dan lama operasi yang dimaksud di sini adalah derajat

(20)

commit to user

19

dosis obat-obatan yang diperlukan sehingga berpengaruh juga

terhadap respon hormonal.

b. Skala pengukuran: rasio

b. Tidak terkendali

1) Status gizi

a. Status gizi pada penelitian ini adalah status gizi responden. Status

gizi ini dapat diukur dengan menimbang berat badan, mengukur

lingkar lengan atas, dan lingkar perut, serta menghitung indeks

massa tubuh. Penelitian ini tidak dapat mengendalikan keadaan

gizi responden, apakah termasuk gizi jelek, baik, atau berlebih

(obesitas). Hal ini dikarenakan tidak dilakukan pengukuran

dengan alasan keterbatasan waktu.

b. Skala pengukuran: ordinal

G. Instrumen Penelitian

1. Monitor Siemens sc 7000

2. Mesin anestesi

3. Obat anestesi inhalasi,O2

4. Fentanyl, atracurium

(21)

commit to user

20 H. Jalannya Penelitian

I. Teknik Analisis Data Statistik

Data yang diambil adalah data primer dari pengumpulan data yang

telah dilakukan. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel. Dilakukan

pembuatan grafik kadar glukosa darah sebelum dan setelah induksi dari

kelompok penelitian. Dilakukan uji normalitas distribusi kadar glukosa darah

dengan menggunakan Shapiro-Wilk test. Apabila distribusinya normal

(p>0,005) dilanjutkan dengan uji parametrik yaitu dengan uji t berpasangan. Pasien lanjut Usia

Subjek penelitian

Diukur kadar gula darah Pretes

Induksi anestesi umum

Diukur kadar gula darah postes

· Sevoflurane 2-3

volume % dalam 02 50% dengan aliran gas 5L/menit

· Atracurium besylate

0,5/gr/kg BB IV

(22)

commit to user

21 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian tentang perubahan kadar gula darah pasien

lanjut usia yang diinduksi anestesi umum pada 20 orang pasien yang menjalani

operasi ringan atau sedang dengan status fisik ASA I dan II setelah memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi.

Tabel 1. Uji Normalitas Gula Darah Prainduksi dan Pascainduksi Sebelum

Pembedahan dengan Shapiro-Wilk test

*. This is a lower bound of the true significance.

Pada tabel 1 menunjukan bahwa data kadar gula darah prainduksi dan

pascainduksi sebelum pembedahan bernilai p>0,005 yang berarti memiliki

distribusi normal. Setelah dilakukan transformasi data dan data yang diperoleh

terdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji statistik dengan uji t

berpasangan. Uji t berpasangan digunakan karena kedua kelompok berhubungan

(23)

commit to user

22

Tabel 2. Nilai Rerata Gula Darah Sewaktu Pra induksi dan Pasca Induksi

Sebelum Pembedahan dengan Uji T Berpasangan

Variabel penelitian Gula darah pra induksi Gula darah pasca induksi P Value

0,00

Nilai Rerata GDS 94,20 ± 4,162 mg/dla 99,95 ± 4,371 mg/dlb

Keterangan : Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan signifikan dengan uji t berpasangan

Dari tabel di atas didapatkan rerata nilai gula darah pra induksi adalah

94,20 ± 4,162 mg/dl sedangkan gula darah pasca induksi sebelum pembedahan

dimulai adalah 99,95 ± 4,371 mg/dl. Dari uji t berpasangan diperoleh nilai

significancy 0,000 (p<005), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat

perubahan kadar gula darah yang bermakna antara sesaat sebelum induksi dan

sesudah dilakukan induksi sebelum pembedahan dimulai.

Grafik 1. Gula darah prainduksi

Dari grafik 1 terlihat frekuensi sampel terhadap nilai gula darah

prainduksi. Rerata gula darah prainduksi 94,20 ± 4,162 mg/dl. Frekuensi tertinggi

dengan kadar glukosa 94 mg/dl dan 95 mg/dl masing-masing berjumlah 4 sampel.

(24)

commit to user

23

mg/dl,92 mg/dl, 97 mg/dl, 98 mg/dl, 99 mg/dl 100 mg/dl, dan 101 mg/dl

masing-masing berjumlah 1 sampel.

Grafik 2. Gula darah pascainduksi sebelum pembedahan

Dari grafik 2 terlihat frekuensi sampel terhadap nilai gula darah

pascainduksi sebelum pembedahan. Rerata gula darah pascainduksi 99,95 ± 4,371

mg/dl. Frekuensi tertinggi dengan kadar glukosa 100 mg/dl berjumlah 4 sampel.

Sedangkan Frekuensi terendah dengan kadar glukosa 92 mg/dl, 93 mg/dl, 94

mg/dl, 96 mg/dl, 97 mg/dl, 99 mg/dl, 103 mg/dl, 106 mg/dl, dan 107 mg/dl

(25)

commit to user

24 BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan kadar

gula darah sebelum induksi dan sesaat sebelum pembedahan dimulai pada pasien.

Untuk mengetahui perubahan tersebut digunakan uji t berpasangan. Dari hasil

penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan adanya perubahan kadar gula yang

bermakna (p<0,005) pada pasien lanjut usia yang diinduksi anestesi umum. Hal

ini terlihat dari data.

Perubahan kadar gula darah antara sebelum induksi dan setelah induksi

sesaat sebelum pembedahan dimulai ini terjadi karena adanya stress yang berupa

stress psikologis preoperatif dan stress anestesi yang akan melepaskan

hormone-hormon yang dikenal sebagai neuroendokrin hormone-hormon, yaitu: ADH, aldosteron,

angiotensin II, kortisol, epinephrin dan norepinephrin. Beberapa tindakan anestesi

seperti intubasi dan ekstubasi endotrakheal meningkatkan respon stress dan

hemodinamik yang akan meningkatkan glukosa darah. Perubahan-perubahan

hormonal ini bekerja sama untuk meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak

darah.

Respon saraf utama terhadap rangsangan stress adalah pengaktifan

menyeluruh sistem saraf simpatis. Hal ini menyebabkan peningkatan curah

jantung dan ventilasi serta pengalihan darah dari daerah-daerah vasokonstriksi

yang aktifitasnya ditekan. Secara simultan, sistem simpatis mamanggil kekuatan

(26)

commit to user

25

adrenal. Epinephrin memperkuat respon simpatis dan mencapai tempat-tempat

yang tidak dicapai oleh sistem simpatis untuk melaksanakan fungsi tambahan,

misalnya memobilisasi karbohidrat dan lemak (Sherwood, 2001). Selain

epinephrin, sejumlah hormon lain terlibat dalam respon stress seperti,

CRH-ACTH-kortisol, glukagon, insulin, rennin-angiotensin-aldosteron, dan

vasopressin. Respon hormon predominan adalah pengaktifan sistem

CRH-ACTH-kortisol. Kortisol menguraikan simpanan lemak dan protein sementara

memperbesar simpanan karbohidrat serta meningkatkan ketersediaan glukosa

darah (Sherwood, 2001). Pengaruh hormon kortisol sebagai respon dari stressor

diperantarai oleh adanya interaksinya dengan sebuah reseptor spesifik yang

terletak didalam sel target. Oleh karena itu, apabila ada sesuatu yang

menimbulkan peningkatan kadar kortisol plasma maka kortisol yang salah satu

fungsinya memicu metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dalam hal ini

glukogenolisis, glukoneogenesis, katekolamin akan meningkat pula. Kortisol

plasma biasanya meningkat dua hingga sepuluh kali setelah induksi

anestesi,selama pembedahan dan pascaoperasi.

Respon-respon hormonal lain di luar kortisol juga berperan dalam seluruh

respon metabolik terhadap stress. Sistem saraf simpatis dan epinephrine yang

dikeluarkan atas perintahnya menghambat insulin dan merangsang glukagon.

Epinephrin dan glukagon, yang kadarnya dalam darah meningkat selama stress,

meningkatkan glikogenolisis dan (bersama kortisol) glukoneogenesis di hati.

(27)

commit to user

26

simpanan glikogen hati. Semua efek tersebut berperan meningkakan kadar

glukosa darah.

Obat-obatan yang dipakai sebagai agen anestetikum,obat-obat anestesi

inhalasi khususnya, juga turut mempunyai peran dalam hal ini walaupun tidak

secara langsung mempengaruhi mekanisme stress seperti yang telah dijelaskan di

atas. Isofluran akan mengurangi pengalihan norepinefrin dari sirkulasi paru ke

dalam sel jaringan paru. Pengalihan ini sendiri tidak terjadi pada epinefrin.

Isofluran akan menimbulkan inhibisi pelepasan insulin, sehingga cenderung

terjadi pula kenaikan kadar gula darah. Dengan Isofluran, cenderung terjadi

penurunan aksi insulin dan glukagon sehingga utilisasi glukosa akan menurun.

Opiat yang digumakan sebagai premedikasi menstimulasi pusat otonomik

supraspinal dan menimbulkan aksi simpato adrenal. Hal ini akan menyebabkan

glikogenolisis hati meningkat sehingga terjadi kenaikan kadar gula darah. Dengan

demikian anestesi umum tidak dapat mengeleminasi respon stress secara

sempurna.

Selain adanya respon stress seperti yang dijelaskan di atas, kemampuan

memetabolisme gula darah pasien lanjut usia mengalami penurunan, salah satunya

adalah terjadi resistensi insulin. Sehingga obat anestesi dengan dosis biasa akan

dapat menimbulkan respon hormonal yang berlebihan pada manusia lanjut usia.

Secara umum dapat dikatakan terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas

fungsional baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat organ sejalan dengan

(28)

commit to user

27 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian dan olah data yang telah dilakukan dapat

disimpulkan bahwa pada pasien lanjut usia yang diinduksi dengan anestesi

umum terjadi perubahan kadar gula darah.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini saran yang

dapat diberikan oleh peneliti:

1. Perlu penelitian tentang perbedaan teknik anestesi dalam merubah kadar

gula darah

2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang perubahan kadar gula darah pada

pasien DM dan non DM yang diinduksi anestesi umum

3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang perubahan kadar gula darah pada

pasien dengan status fisik ASA III dan IV yang diinduksi anestesi

umum

4. Perlu penelitian lebih lanjut tentang perubahan kadar gula darah pada

Gambar

Tabel 1. Uji Normalitas Gula Darah Prainduksi dan Pascainduksi Sebelum
Grafik 1. Gula darah prainduksi
Grafik 2. Gula darah pascainduksi sebelum pembedahan

Referensi

Dokumen terkait

Transaksi-transaksi yang dilakukan Bengkel Maju Lancar pada bulan Juli 2006 adalah sebagai berikut :.. 01 Juli Pemilik perusahaan menambah modal sebesar

Pemerintah Indonesia dan Unicef telah membuat kesepakatan untuk menurunkan tingkat kematian ibu di Indonesia yang merupakan priorotas nomor satu dalam

(6) Perjalanan dinas pimpinan tinggi pratama, SPT ditandatangani oleh Bupati dan dalam hal Bupati berhalangan ditandatangani oleh Wakil Bupati atas nama Bupati,

Untuk menjawab pertanyaan ini, prosedur mengenai potensi tiap kuantitas pembelian dan penghitungan biaya rata- rata per periode yang terpenuhi adalah hasil dari penjumlahan

SEGMEN BERITA REPORTER A Konsumsi Masyarakat Saat Puasa Dan Lebaran Diharapkan

Prosedur kerja bagi pegawai di UPTD Pendidikan Kecamatan Tuntang sudah di tunjukan dengan adanya struktur organisasi, akan tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan belum

[r]

Penggunaan Vancomycin sebagai terapi defenitif harus pada pasien dengan hasil uji laboratorium yang terbukti positif terinfeksi bakteri jenis Meticillin-resistant