• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI MADR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI MADR"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI MADRASAH

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan heterogen. Dari survei terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa.1 Begitu juga dengan

agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang terdiri dari enam agama yang diakui. Komposisi agama yang dianut berdasarkan laporan terakhir berturut-turut adalah Islam (87,18 %), Kristen (6,96 %), Katolik (2,91%), Hindu (1,69%), Buddha (0,72%), Khonghucu (0,05%) dan agama lainnya (0,50%).2 Keragaman etnis

dan agama ini menjadi salah satu keunikan bangsa Indonesia dibanding bangsa lainnya di dunia.

Indonesia sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural society) berpotensi memunculkan masalah rapuhnya integrasi bangsa, sehingga perlu diubah secara bertahap menjadi masyarakat multikultural. Secara historis, dengan adanya Sumpah Pemuda pada tahun 1928, proses pemersatuan bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk pada awalnya tidak dilakukan dengan menggunakana cara paksa. Namun, seiring dengan perkembangan sejarah cara paksa pun dilakukan karena adanya beberapa upaya

pemberontakan yang dilakukan kelompok separatis.3

Karena kemajemukan adalah sunnatullah, maka kemajemukan (bhinneka) adalah blessing in disguise

1Lihat “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa,” JPNN.com, 3 Februari 2010, diakses 19 Juni 2014,

http://www.jpnn.com/index.php?id=57455&mib=berita.detail. 2Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012 (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), 13.

3Parsudi Suparlan, “Masyarakat Majemuk Indonesia dan Multikulturalisme”(makalah dalam seminar sehari

(2)

bagi bangsa Indonesia dan merayakan kemajemukan berarti merawat Indonesia.4 Namun, setelah kejatuhan

Soeharto, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi yang pada gilirannya memunculkan budaya

hybrid. Budaya ini berpotensi melenyapkan identitas kultural nasional dan lokal yang mutlak diperlukan bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik bangsa Indonesia.5 Pemahaman kultural dibutuhkan ketika

masyarakat multikultural bertransformasi dari dimensi sosiologis menuju kontestasi politik.6

Peristiwa 11 September 2001 di New York dengan berbagai ekses negatif yang mengiringinya telah

mendapat sorotan tajam dari masyarakat internasional. Perhatian tersebut terfokus pada isu relasi antara

agama, bangsa dan identitas budaya, karakter masyarakat multikultural dan ketidaktahuan publik terhadap agama seperti Islam.7 Hal ini berimbas juga

pada munculnya aksi kekerasan yang

mengatasnamakan agama, mulai dari radikalisme, fundamentalisme, hingga terorisme, tak terkecuali di negeri ini. Persatuan dan kesatuan bangsa terus menerus diuji eksistensinya. Selain itu, konflik yang sering terjadi dan membawa implikasi yang besar terhadap kehidupan masyarakat adalah konflik dengan latar belakang agama.

Konflik berlatar belakang agama kadang-kadang masih terjadi, termasuk di era reformasi, seperti konflik Ambon, Poso, Cikeusik dan lain-lain. Konflik-konflik ini, sebenarnya tidak diawali oleh faktor agama, tetapi persoalan ekonomi, sosial, dan hukum secara umum. Hanya saja, kemudian para pelakunya melibatkan agama untuk mendapatkan dukungan emosional dari kelompok agama. Dalam hal ini, agama dimanfaatkan sebagai faktor pemersatu bagi komunitas agama

4Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 5.

5Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia, 9.

6Donny Gahral Adian, “Reasoning in a multicultural society”,

Wacana Vol. 13 No.2 (Oktober 2011): 362.

7Robert Jackson, Rethinking Religious Education and Plurality

(3)

tertentu, tetapi menjadi faktor pemecah belah antarkelompok agama yang berbeda.8

Kenyataan tersebut seolah menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusif, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Sudah

seharusnya pendidikan agama dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi yang inklusif dan toleran.9

B. Multikulturalisme dalam Lintasan Sejarah Konsep multikulturalisme berkembang seiring perjalanan waktu. Di Amerika misalnya, konsep multikulturalisme dimulai dengan adanya wacana

melting pot, salad bowl, cultural pluralism sampai pada gerakan multikultural yang menuntut keadilan dan hak yang sama bagi warga, dan wacana serupa muncul juga di negara-negara lainnya seperti Kanada, Inggris dan Australia. Meski demikian, gerakan multikulturalisme sangat rentan terjebak dalam politik identitas, seperti terjadi di Indonesia ketika dimulai era otonomi daerah yang justru menghadirkan kembali esensialisme

perspektif monokultural.10

Seperti halnya konsep demokrasi,

multikulturalisme dapat mengandung makna yang beragam. Fleras sebagaimana dikutip Koppelman mengemukakan tipologi multikulturalisme yang memberikan ruang pada kita untuk mengidentifikasi

8Slamet Effendy Yusuf, “Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragama di Indonesia: Perspektif MUI,” (makalah disampaikan dalam “Kongres FKUB” di Jakarta, 21-22 November 2011).

9Erlan Muliadi, “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam

Volume I, Nomor 1, (2012): 55-68.

(4)

level perbedaan makna yang terkait dengan wacana tersebut. Ia mengidentifikasi lima level pemaknaan terhadap multikulturalisme sebagai berikut:

1) Multikulturalisme sebagai fakta empiris yang menggambarkan keberagaman dunia tempat tinggal kita.

2) Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi atau filosofi yang meyakini kewajiban untuk

menghormati perbedaan budaya dan menawarkan kesetaraan sosial.

3) Multikulturalisme sebagai kebijakan dan program resmi yang membentuk mozaik identitas dan etnisitas.

4) Multikulturalisme sebagai praksis yang

mencerminkan konvergensi antara kebijakan dan filosofi dalam level masyarakat.

5) Multikulturalisme sebagai penahan hegemoni yang menantang tatanan konstitusional yang rasialis Eurosentris.11

Sementara itu, Parekh sebagaimana dikutip Azra membedakan lima model multikulturalisme. Pertama, multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. Kedua, multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang

membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Ketiga, multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.

11Kent Koppelman, What Are the Goals of Multiculturalism?,

ASCD Express 6-15, 2011, diakses 19 Juni 2014,

(5)

Keempat, multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan

perspektif-perspektif khas mereka. Kelima,

multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam

percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.12

C. Tantangan Multikulturalisme di Indonesia

Dalam laporan tahun 2013, SETARA Institute mencatat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 292 bentuk tindakan yang tersebar di 20 provinsi. Seperti hasil pemantauan pada tahun-tahun sebelumnya, angka pelanggaran tertinggi terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat menjadi tempat tumbuh suburnya pelanggaran, yaitu dengan 80 peristiwa pada tahun 2013. Disusul kemudian oleh 5 provinsi lainnya dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu; Jawa Timur (29), Jakarta (20), dan Jawa Tengah (19) peristiwa, serta Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (masing-masing 15 dan 12 peristiwa). Dengan demikian, meskipun terjadi penurunan dari angka tahun lalu, angka pelanggaran masih sangat tinggi, yaitu rata-rata 18,5 peristiwa dan 24,33 tindakan setiap bulan.13

Terkait dengan tingginya angka pelanggaran di Jawa Barat, paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan suburnya peristiwa pelanggaran di provinsi tersebut. Pertama adalah menjamurnya kelompok-kelompok intoleran. Di Jawa Barat terdapat

12Azra, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia, 13-16.

(6)

kelompok-kelompok yang kerap melakukan tindakan-tindakan pelanggaran dan intoleransi, terutama di daerah-daerah kabupaten/kota seperti Bekasi, Bandung, Tasikmalaya, Cianjur, dan lainnya.

Kedua, perkembangan sosiologis agama dan budaya Islam di Jawa Barat yang secara faktual, juga secara historis, berbeda dengan Islam yang berkembang secara sosial di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Islam yang berkembang di Jawa Barat cenderung lebih puritan dan kental merasuki budaya lokal. Akibatnya corak ormas-ormas Islam di Jawa Barat juga lebih ketat, cenderung kaku. Dibandingkan dengan Jawa Timur misalnya, ormas-ormas Islam di Jawa Barat memiliki corak dan pola

pergerakan yang berbeda.

Ketiga, rendahnya kesadaran keberagaman (pluralitas dan multikulturalitas) politisi-politisi Partai Islam di sana. Isu-isu agama, seperti yang juga

digunakan oleh Gubernur Aher dalam kontestasi politik Pilkada, dimanfaatkan untuk mendulang suara-suara mayoritas dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Hal ini dengan sendirinya berpotensi

mendiskreditkan kelompok-kelompok minoritas, tidak saja secara sosial, namun juga secara politis pada akhirnya sebagai implikasi dari janji-janji mereka pada kelompok mayoritas Islam.

Keempat, adalah lemahnya pengelolaan dinamika

(7)

menjadi potensi perusak toleransi agama atau keyakinan yang besar.14

Dalam tatanan kebangsaan, Indonesia memang masih berproses dalam membangun budaya nasional. Hal ini bukan proses yang sederhana mengingatfakta banyaknya kelompok etnis dengan karakternya masing-masing. Terkadang proses itu juga memicu ketegangan dan konflik. Lebih jauh lagi, hal tersebut lebih kompleks dengan adanya tren globalisasi yang sangat ekspansif. Hal ini perlu dicermati pemerintah dengan membuat kebijakan yang jelas sehingga negara multietnis dan multicultural memiliki fondasi yang kuat dalam

membangun eksistensinya. Jalan satu-satunya adalah dengan mengembangkan pendidikan nasional yang berbasis pluralitas budaya.15

Suparlan mengemukakan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin terwujud bila: (1) konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini. 16

Terkait agenda multikultural di Indonesia, Adian menyebut dua potensi kesulitan yang mengancam keberhasilan agenda ini. Pertama, politik multikultural adalah subjek yang berada di antara ideologi liberal dan komunitarian. Kedua, kegagalan mengartikulasikan batas-batas toleransi melalui consensus yang dibangun. Keyakinan intoleran yang memunculkan kekerasan melawan pihak lain dapat dicegah dengan membangun

14Halili& Naipospos, Stagnasai Kebebasan Beragama …, 27-28.

15Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia: An Alternative for National Education in Global Era,” Sosiohumanika,

3(1) 2010: 53-66.

16Parsudi Suparlan, “Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural,”

(8)

konsep toleransi. Konsep gotong royong nampaknya relevan dalam hal ini sebagai kerangka dari nilai-nilai toleransi tersebut.17 Di sisi lain, Indonesia menghadapi

dua tantangan besar, yaitu masalah mempersatukan budaya, agama serta keragaman etnis dan derasnya arus ekspansi budaya luar. Indonesia perlu memberikan perhatian khusus terhadap dua hal ini untuk menjaga kelestarian bangsa, dan hal ini merupakan tugas krusial bagi dunia pendidikan.18

D. Urgensi Pendidikan Multikultural

Pendidikan adalah faktor fundamental dalam usaha meningkatkan taraf hidup disamping sebagai penentu pembangunan sosial ekonomi yang lebih baik. Pendidikan juga dipandang sebagai strategi untuk mendongkrak reputasi bangsa. Dengan peran krusial penting dari pendidikan, pemerintah memberikan perhatian lebih pada seluruh aspek pendidikan dengan harapan hal tersebut dapat menjadi ujung tombak pembangunan Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam bentuk jaminan hukum, peningkatan anggaran pendidikan dan aturan lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Usaha-usaha tersebut merupakan bagian dari realisasi mandat Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan refleksi dari para ‘founding fathers’ kita. Ayat 2 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah harus menyediakan anggarannya. Ayat 3 pasal yang sama menegaskan bahwa pemerintah menyusun suatu sistem pendidikan nasional yang menekankan aspek keimanan dan ketakwaan dalam kerangka pencerahan intelektual bangsa yang diatur oleh undang-undang.19

Mengenai pendidikan multikultural (multicultural education), Mahfud mendefinisikannya sebagai proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran

17Donny Gahral Adian, “Multicultural Politics in Indonesia: Dialogue and Gotong Royong,” Dialogue and Universalisme Volume 2, Number 2 (2011): 1-12.

18Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia…,” 63.

(9)

terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya fleksibilitas dan

kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.20

Oregon Department of Education mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai proses belajar

sepanjang hayat yang didisain untuk memberdayakan seluruh siswa menjadi memiliki pengetahuan, peduli, dan berpartisipasi aktif dalam komunitas mereka.

Pendidikan ini bersifat inklusif dan menghormati seluruh etnis, ras dan latar belakang budaya termasuk

menghargai staf, keluarga, siswa dan komunitas.21

Dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa inti dari pendidikan multicultural adalah bagaimana mengajarkan dan menanamkan pada siswa nilai dan sikap toleransi, cara menghormati, dan berpartisipasi dalam komunitas yang beranekaragam baik secara etnis, ras, latar belakang budaya dan agama, maupun strata sosial orang lain.

Dalam konteks Indonesia, sejak pelaksanaan otonomi daerah mulai tahun 2001, pemerintah provinsi dan kabupaten juga bertanggung jawab dalam

pembangunan pendidikan sebagai salah satu kebijakan strategis. Hal ini sejalan dengan pesan reformasi yang secara bertahap memberikan ruang gerak lebih bebas dalam konteks otonomi. Tak terkecuali di bidang

pendidikan, hal ini mengindikasikan adanya desentralisasi dalam manajemen pendidikan.22

Meski demikian, dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan otonomi daerah adalah adanya

kecenderungan egosentrisme lokal, dalam bentuk perasaan tidak suka pada orang yang berasal dari luar

20Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 67.

21Oregon Department of Education, “Multicultural Education – Definition”, diakses 19 Juni 2014,

http://www.ode.state.or.us/search/page/?id=2575,

(10)

daerahnya. Isu ini memunculkan apa yang disebut dengan sebutan putra daerah. Tidak sedikit isu ini

berujung konflik seperti yang terjadi di Poso, Ambon, dan Kalimantan. Semua ini terjadi disebabkan kemiskinan, kekurangpahaman terhadap perbedaan etnis, budaya dan agama, begitu juga dengan pengaruh budaya global yang agresif dan penuh persaingan.23

Dalam konteks teoretis, konsep pendidikan multikultural terdengar persuasif, namun belum tentu efektif dalam tataran praksis. Kesulitan utama dalam menerapkan program pendidikan multikultural adalah perbedaan tujuan yang ditentukan oleh masing-masing sekolah. Nieto dan Bode menggambarkan empat tipe program yang tujuannya lebih luas, yaitu: (1) toleransi, yaitu menekankan pergaulan dengan orang yang

berbeda dan menolak signifikansi dari perbedaan tersebut; (2) penerimaan, yaitu mengakui bahwa perbedaan adalah hal yang penting dan tidak mempermasalahkan keragaman; (3) respek, yaitu memandang perbedaan dalam konteks positif dan

mendorong belajar tentang keragaman, dan (4) afirmasi, solidaritas dan kritik, yaitu membangun isu komitmen keadilan sosial di luar kelas, menolak pandangan budaya yang direkayasa, dan mendorong pemahaman bahwa budaya itu dinamis dan berubah sepanjang waktu.24

Terkait tujuan pendidikan berbasis multikultural, Rus’an dan Lisnawaty mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun

perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; dan (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun

23Sutijono, “Multicultural Education in Indonesia …,” 55.

(11)

ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.25

E. Perkembangan Madrasah di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia memiliki tiga jalur utama, yaitu pengajian Qur’an, pesantren atau pondok dan madrasah.26 Madrasah adalah sekolah keagamaan

dengan ruang-ruang kelas dan kurikulum standar yang memuat mata pelajaran umum. Madrasah negeri yang memuat 30% mata pelajaran agama dan 70% pelajaran umum memberikan ijazah yang bisa digunakan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.27

Dalam perspektif historis, madrasah diakui oleh negara secara formal sebagai lembaga penyelenggara pendidikan pada tahun 1950. Hal ini ditegaskan oleh Undang-undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, pada pasal 10 yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan

pengakuan Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu secara teratur disamping pelajaran umum.28

Peluang untuk menegerikan madrasah swasta untuk semua tingkatan, Madrasah Ibtidayah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri (MTsIN) dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) terbuka

25Rus’an dan Sri Dewi Lisnawaty, “Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Poso Pesisir, Istiqra, Vol. 1, No. 1 (2013): 97-98.

26Robert W. Hefner, Schools, Social Movements & Democracy in Indonesia, dalam Robert W. Hefner (ed.), Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia

(Honolulu: University of Hawai’i Press, 2009), 59.

27Lihat Martin van Bruinessen,”Traditionalist and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia” dalam Farish A. Noor, Yoginder Sikand & Martin van Bruinesssen (eds), The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkages (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008), 222.

(12)

pada tahun 1967. Namun ketentuan itu hanya

berlangsung 3 tahun, dan dengan alasan pembiayaan dan fasilitas yang sangat terbatas, maka keluarnya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 tidak ada lagi penegerian bagi madrasah madrasah swasta.

Milestone perkembangan madrasah berikutnya ditandai dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 6 tahun 1975 dan No. 037/U/1975 antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidiikan pada Madrasah. SKB ini muncul dilatarbelakangi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah yang ingin melanjutkan, diperkenankan melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang setingkat di atasnya.

Dalam SKB tersebut disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan

sekurang-kurangnya 30 % dibanding dengan mata pelajaran umum, meliputi Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah setingkat SMA.

Tonggak sejarah perkembangan madrasah

berikutnya terjadi pada tahun 1984 saat dikeluarkannya SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama tentang Pengaturan Pembakuan

Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Lahirnya SKB tersebut dijiwai oleh Ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya Penyesuaian Sistem Pendidikan, sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dengan melakukan

perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara

(13)

No. 100/1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan No. 101 Tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah.

Sejarah kemudian mencatat lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan dan berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989. Undang-undang ini memberikan perbedaan yang sangat mendasar bagi pendidikan agama. Pendidikan agama tidak lagi diberlakukan berbeda untuk negeri dan swasta, dan sebagai konsekuensinya diberlakukan Peraturan Pemerintah sebagai bentuk operasional undang-undang tersebut, yaitu PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP. No. 30/1990 tentang Pedidikan Tinggi (disempurkankan dengan PP.22/1999). Semua itu mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga umum.

UU dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi dampak positif bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sejak diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tersebut lembaga-lembaga pendidikan Islam

menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.

Regulasi paling mutakhir tentang arah pendidikan agama tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Pada undang-undang ini terdapat pasal yang

diperdebatkan yaitu pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian

(14)

UU ini juga sekaligus menggantikan bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latarbelakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan

pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik.

UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa `kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu

pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal. 29

Melihat perjalanan sejarah madrasah yang begitu panjang, sudah sepantasnya bila kita mencermati

perkembangan madrasah yang semakin tumbuh dengan pesat. Madrasah merupakan aset bangsa yang

berpotensi meningkatkan kualitas taraf hidup bangsa Indonesia melalui pendidikan yang

mengimplementasikan muatan keagamaan dan muatan umum sekaligus.

F. Potensi Madrasah di Indonesia

Madrasah (RA, MI, MTs dan MA) yang disebutkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 merupakan lembaga pendidikan formal yang tidak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional. Secara yuridis, kedudukan madrasah disetarakan

dengan sekolah umum walaupun dalam beberapa hal madrasah memiliki keunikan. Pembelajaran keagamaan

29Selengkapnya silakan lihat website Ditjen Pendis Kemenag RI, “Sejarah Pendidikan Islam dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam”, diakses 18 Juni 2014,

(15)

yang lebih intensif menjadi ciri khas tersendiri yang membedakan madrasah dan sekolah umum. Madrasah (RA, MI, MTs dan MA) adalah satuan pendidikan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang secara teknis pembinaannya dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Madrasah.30

Dari pendataan terkini mengenai Raudhatul Athfal (RA) dan Madrasah (MI, MTs, MA) yang mencakup 33 provinsi diperoleh data secara nasional pada tahun pelajaran 2011-2012 sebanyak 25.435 Raudhatul Athfal, 23.071 Madrasah Ibtidaiyah, 15.244 Madrasah

Tsanawiyah, 6.664 Madrasah Aliyah. Persentase sebaran lembaga yang berhasil didata adalah 36,13% untuk RA, 32,77% untuk MI, 21,65% untuk MTs, dan 9,45% untuk MA.31

Selanjutnya mengenai jumlah keseluruhan peserta didik atau siswa madrasah tahun pelajaran 2011-2012 sebanyak 8.079.426 orang yang tersebar mulai dari tingkat RA sampai dengan tingkat MA. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.074.131 orang (13,29%)

merupakan siswa RA, kemudian sebanyak 3.200.459 orang (39,61%) adalah siswa MI, dimana dari jumlah tersebut sebanyak 412.577 orang siswa MIN, dan

sebanyak 2.787.882 orang merupakan siswa MIS. Siswa MTs sebanyak 2.745.022 orang (33,98%), yang terdiri dari 651.444 orang adalah siswa MTsN, dan sebanyak 2.093.578 orang adalah siswa MTsS. Sedangkan pada jenjang MA, jumlah siswanya adalah 1.059.814 orang (13,12%), yang terdiri dari 354.740 orang siswa MAN, dan sebanyak 705.074 orang adalah siswa MAS.32

Dari perolehan data di atas, dapat disimpulkan bahwa potensi madrasah begitu besar, terlihat dari meningkatnya jumlah lembaga dan jumlah siswa yang mengambil jalur pendidikannya di madrasah. Potensi ini tentunya harus terus dikembangkan dalam bingkai

30Ditjen Pendis Kemenag RI, “Analisis Deskriptif Pendidikan RA dan Madrasah Tahun Pelajaran 2011-2012,” diakses 19 Juni 2014,

http://pendis.kemenag.go.id/index.php? a=artikel&id2=analisis2011,1.

(16)

pendidikan berbasis multikulturalisme sehingga pada akhirnya dapat menjadi sumber kekuatan bangsa di masa depan.

G. Implementasi Pendidikan Berbasis Multikultural di Madrasah

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Islam memandang posisi umat agama lain dengan istilah

mu‘a>hadah aw muwa>thaqah, artinya sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara damai, bukan posisi muqa>talah aw muh}a>rabah, artinya kelompok lain yang harus diperangi. Sehingga dalam perspektif Islam, kelompok umat agama lain adalah merupakan sama-sama warga bangsa yang tidak boleh diperangi atau dimusuhi. Bahkan ada sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa barangsiapa yang membunuh non muslim yang hidup berdampingan secara damai, maka tidak akan memperoleh bau surga. Dalam merajut kebersamaan berbangsa dan bernegara ini, landasan teologis ini juga diajarkan oleh agama-agama lainnya. Sehingga landasan teologis ini seharusnya menjadi acuan dalam hubungan antarumat beragama dan antarwarga negara di negeri ini.33

Paradigma pendidikan multikultural (multicultural educational paradigm) merupakan tindak lanjut dari strategi pendidikan multukultural dan pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme yang sejak lama sudah berkembang di Amerika, Eropa, dan negara-negara maju lainnya.34 Pendidikan multikultural

merupakan strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, jender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.35

33Yusuf, Refleksi 5 Tahun…, 5-6.

(17)

Jackson menyatakan bahwa pendidikan agama membutuhkan keterampilan penafsiran, kritik dan dialog untuk mengakses sumber informasi. partisipasi dalam perdebatan yang relevan menghubungkan dunia sosial dengan dunia individu dan merupakan bentuk komunikasi antar agama dan antar budaya yang dibutuhkan untuk demokrasi yang plural. Sekolah negeri merupakan tempat yang cocok untuk eksplorasi semacam ini untuk mengembangkan pluralitas dan pluralism secara epistemologis.36

Sementara itu, Nieto dan Bode menegaskan bahwa dalam kerangka reformasi sekolah, pendidikan

multikultural berpengaruh besar dalam proses dan tujuan belajar seorang siswa. Untuk menerapkan

reformasi sekolah dengan perspektif multikultural, kita harus memulai dengan pemahaman tentang pendidikan multicultural dalam konteks sosiopolitik. Konteks ini menempatkan pendidikan sebagai bagian dari ranah sosial dan kekuatan politik yang lebih besar. Dalam perspektif ini, kebijakan yang terkait dengan reformasi kurikulum dan pendidikan dipengaruhi oleh kebijakan sosial yang lebih luas.37

Pendidikan agama memiliki kontribusi yang penting dalam pendidikan antarbudaya, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan nilai, terutama dalam memahami berbagai aspek pluralitas sosial dalam

hubungannya dengan pengalaman individual seorang siswa. Kemajemukan sosial ini mengkombinasian antara dimensi tradisional dengan modern atau postmodern, juga menghubungkan elemen lokal, nasional dan global. Dengan ikut serta dalam berbagai diskusi tentang isu terkait, seorang siswa dapat terbantu untuk menguji

35M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 25.

36Jackson, Rethinking Religious Education …, 18.

(18)

asumsi dirinya sendiri maupun teman-temannya dan merefleksikan identitas mereka sendiri.38

Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan multikultural tidak dapat dilepaskan dengan konsep pluralisme. Pola pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk

mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.39

Implementasi pendidikan berbasis multikultural di madrasah dapat dimulai dengan pengembangan

kurikulum yang mengadopsi nilai-nilai multikultural seperti perdamaian, toleransi dan hak asasi manusia. Kurikulum pendidikan berbasis multikultural juga merupakan sebuah kurikulum yang mengacu pada keragaman budaya. Kurikulum tersebut senantiasa mengeksplorasi perbedaan sebagai sebuah keniscayaan.

Meski demikian, mengimplementasikan pendidikan multikultural di madrasah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Zuriyani mengemukakan beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:40

1. Perbedaan Persepsi terhadap Pendidikan Multikultural

Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya.

Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal

38Jackson, Rethinking Religious Education …, 141.

39Rus’an dan Lisnawaty, “Urgensi Pendidikan Multikultural …”, 90-107.

40Elsy Zuriyani, “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Mata Pelajaran IPA MI,” 26 November 2013, diakses 19 Juni 2014,

(19)

pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis.

2. Fenomena Diskontinuitas Nilai Budaya

Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka

mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Dalam hal inilah tugas pendidikan, khususnya sekolah dan madrasah menjadi cukup berat. Oleh karena itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik.

3. Rendahnya Komitmen dari Berbagai Pihak

Keberhasilan implementasi pendidikan

multikultural sangat tergantung dari pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru. Hal ini dikarenakan pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah atau madrasah.

Bila berbagai elemen yang terlibat dalam

pendidikan menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan pendidikan

multikultural akan mudah dicapai sebab dalam

(20)

egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.

4. Kebijakan-kebijakan yang Lebih Menyukai Keseragaman

Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu

diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi,

madrasah memiliki potensi untuk bisa mengembangkan pendidikan multikultural yang didasarkan pada landasan teologis dan realitas sosioetnis yang ada di negeri ini. Kelebihan madrasah dalam mengintensifkan pendidikan multikultural adalah surplusnya muatan keagamaan dalam kurikulum yang diterapkan. Diharapkan bonus konten kurikulum ini dapat dijadikan upaya intensifikasi pemahaman keagamaan yang lebih inklusif dan toleran. Hal ini dapat diimplementasikan dengan cara

mengintegrasikan berbagai materi pelajaran dengan konsep multikulturalisme yang dilandasi keyakinan teologis yang lebih terbuka.

H. Penutup

Keragaman, kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa silam, masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural yang diberlakukan secara menyeluruh terhadap

berbagai lapisan masyarakat merupakan langkah yang tepat untuk membentuk masyarakat kultural Indonesia yang demokratis.

Untuk memperbaiki, menjaga dan merawat

(21)

permasalahan sosial, ekonomi, politik yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa dan negara. Proses transformasi menuju masyarakat multikultural dapat dilakukan dengan memasukkan pengajaran

multikulturalisme ke dalam kurikulum sekolah. Kurikulum pendidikan multikultural harus mencakup tema-tema seperti toleransi, perbedaan etnokultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralitas,

kemanusiaan universal, dan subyek lain yang relevan. Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut, sebagaimana dikemukakan Suparlan, sebaiknya Kemdikbud mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antarsukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan berbagai tempat lainnya).41

Agar agama tidak menjadi faktor pemecah belah (disintegratif), dan sebaliknya menjadi faktor pemersatu (integratif) bagi persatuan dan kesatuan bangsa,

semestinya agama tidak dipahami secara ekslusif dan ekstrem (tat}arruf). Para tokoh agama semestinya

memahami agama dengan melihat juga kondisi obyektif bangsa Indonesia yang majemuk (multikultural,

multiagama, dan multietnis), sehingga pemahaman keagamaan lebih bersifat moderat, tentu saja dengan tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama.

Pemahaman yang moderat akan menghasilkan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang (rah}mah), perdamaian (sala>m), dan toleransi

(tasa>muh}) dalam hubungan antarmanusia. Di sinilah peran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam harus lebih diintensifkan dalam sosialisasi dan

41Suparlan, “Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural,” Antropologi

(22)

impelementasi pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme. Hal ini membutuhkan partisipasi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di

(23)

Daftar Pustaka

A. Buku, Jurnal dan Laporan Penelitian

Adian, Donny Gahral. “Multicultural Politics in Indonesia: Dialogue and Gotong Royong,” Dialogue and Universalisme Volume 2, Number 2 (2011): 1-12.

----. “Reasoning in a multicultural society”, Wacana Vol. 13 No.2 (Oktober 2011): 352-364.

Azra, Azyumardi. Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Banks, James A. & Cherry A. McGee Banks (eds).

Multicultural Education Issues and Perspectives: Seventh Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2010.

Budianta, Melani. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum”.Tsaqafah, Vol 1, No.2 (2003): 8-16.

Fleras, Augie. “Multiculturalism as Governance: Principles and Paradoxes, Policies and

Perspectives” dalam Augie Fleras (ed), The Politics of Multiculturalism: Multicultural Governance in Comparative Perspective (Pelgrave Macmillan, 2009), 1-22.

Halili dan Bonar Tigor Naipospos, Stagnasi Kebebasan Beragama Laporan Kondisi Kebebasan

Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2014.

Hefner (ed.), Robert W. Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia.

Honolulu: University of Hawai’i Press, 2009.

(24)

Mahfud, Chairul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Muliadi, Erlan. “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam Volume I, Nomor 1, (2012): 55-68.

Nieto, Sonia & Patty Bode, “School Reform and Student Learning: A Multicultural Perspective” dalam James A. Banks & Cherry A. McGee Banks (Eds.),

Multicultural Education Issues and Perspectives: Seventh Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2010.

----. Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education. Boston: Pearson, 2008.

Noor, Farish A, Yoginder Sikand dan Martin van

Bruinessen (Eds.). The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkages. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2008.

Rus’an dan Sri Dewi Lisnawaty. “Urgensi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Poso Pesisir. Istiqra, Vol. 1, No. 1 (2013): 97-98.

Suparlan, Parsudi. “Masyarakat Majemuk Indonesia dan Multikulturalisme.” Makalah dalam seminar sehari

“Mengembangkan Akselerasi Perwujudan Masyarakat Multikultural dan Multikulturalisme dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Jangka Menengah Indonesia”, UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 24 Juli 2004.

----. “Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural.”

(25)

Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita, 2000.

Sutijono. “Multicultural Education in Indonesia: An Alternative for National Education in Global Era.”

Sosiohumanika, 3(1) 2010: 53-66.

Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi

Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2004.

----. 50 Tahun Pengembangan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT

Grasindo, 1995.

Tim Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013.

Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.

Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Yusuf, Slamet Effendy. “Review 5 Tahun Kehidupan Umat Beragama di Indonesia: Perspektif MUI.” Makalah disampaikan dalam “Kongres FKUB” di Jakarta, 21-22 November 2011.

B. Website

“Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa.” JPNN.com. 3 Februari 2010. Diakses 19 Juni 2014.

http://www.jpnn.com/index.php? id=57455&mib=berita.detail.

(26)

http://pendis.kemenag.go.id/index.php? a=artikel&id2=analisis2011.

Ditjen Pendis Kemenag RI. “Sejarah Pendidikan Islam dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam.” Diakses 18 Juni 2014.

http://pendis.kemenag.go.id/index.php?

a=artikel&id2=sejarahpendis#.U6PxMkAyE1E.

Koppelman, Kent. “What Are the Goals of

Multiculturalism?.” ASCD Express 6-15, 2011. Diakses 19 Juni 2014. http://www.ascd.org/ascd-express/vol6/615-koppelman.aspx

Oregon Department of Education. “Multicultural Education – Definition.” Diakses 19 Juni 2014. http://www.ode.state.or.us/search/page/?id=2575

Zuriyani, Elsy. “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Mata Pelajaran IPA MI,” 26 November 2013, diakses 19 Juni 2014,

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan tanaman kelapa sawit yang ditumbuhkan tanpa Ganoderma dan dengan bakteri S. Pengujian aktivitas enzim; (A)

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh sport massage terhadap perasaan lelah setelah latihan di UKM pencak silat UNY dengan nilai p = 0,004, maka p <

Mata Pelajaran Nilai Rata-rata Rapor.. Nilai Ujian

Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional pasal 28, bahwa seorang pendidik atau guru memiliki; (1) Kualifikasi akademik dan

Buku-buku cerita mungkin sudah menumpuk di lemari buku kalian, begitu juga dengan e-book cerita anak dari berbagai jenis, mungkin sudah melimpah-limpah di

87 • Menilai korelasi kadar serum troponin I dengan APACHE II pada pasien gangguan respirasi tanpa adanya kelainan jantung.. Analisis multivariat skor APACHE II

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan di Desa Sungai Asam wilayah kerja Puskesmas Sungai

Dari penyampain motivasi kepada karyawan yang baik serta pemberian kompensasi yang sesuai tentunya akan meningkatkan disiplin kerja bagi karyawan untuk bekerja