• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra) - Pengukuran Kadar Antibodi Ig M Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra) - Pengukuran Kadar Antibodi Ig M Anti PGL-1 pada Penderita Kusta : Suatu Studi Banding antara Sampel Darah Kapiler Cuping Telinga dengan Kertas Saring dan Sampel Darah Vena Mediana Kubiti d"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta (Morbus Hansen, Lepra)

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian

atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan

saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik,

namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai

kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki.

2.2 Epidemiologi

1-4

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya

diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di

daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi

tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai

laki-laki daripada wanita.

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada

tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta

dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO

mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita

baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%

(2)

dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi

ketiga setelah India, dan Brazil.

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi

dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan

tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta

namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi

peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta

baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan

penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi

Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk.

2,7

2

Pada

tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka

prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat

19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per

100.000 penduduk.

2.3 Etiologi

6,16

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan

oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873.

Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron

dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar

satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak

dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan

(3)

Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :

A. Kapsul

1,17

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron

dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur

khas bentuk M. leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,

phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan

protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga

molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol

pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang

unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae

B. Dinding sel

Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung

lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan

yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip

dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.

b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang

dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian

asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun

peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen

(4)

C. Membran

Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu

membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan

keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein

sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang

baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen

protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang

sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan,

material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang

merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi.

Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai

M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan

menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik,

terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.

2.4 Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda

utama atau tanda kardinal, yaitu:

1,2,7,18,19

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan

(hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa

(5)

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan

kronis pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan

fungsi saraf tepi berupa:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan

(paralise).

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

2.5 Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap

selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat

diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf

yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi

dan pemeriksaan imunologi.

Klasifikasi bertujuan untuk:

2,4,19,20

A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

4

B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang

menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target

utama pengobatan.

(6)

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah

klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan

klasifikasi menurut WHO.

A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)

1,2,7,19,21

Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas

Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),

Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling

sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis,

dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International

Leprosy Association di Madrid tahun 1953.1,2,7,19

B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)

Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis

mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai

mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi

yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI)

seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta

apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang

akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini

banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa

menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon

imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.

Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe

Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid

(7)

Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe

Tuberculoid (T).

C. Klasfikasi menurut WHO

1,2,7,19,22-24

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk

memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh

penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB)

dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan

Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman

pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan

manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.

Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO (1982)*

2,24-26

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)

Bercak kusta. Jumlah 1 sampai

dengan 5

Jumlah lebih dari 5

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi (gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan.

Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf

Pemeriksaan bakteriologi. Tidak dijumpai basil tahan asam (BTA negatif)

Dijumpai basil tahan asam (BTA positif)

(8)

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi menurut WHO (1982) pada penderita kusta*

Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan

Pausibasiler (PB)

Multibasiler (MB)

1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil b. Distribusi Unilateral atau

bilateral asimetris

Bilateral simetris

c. Konsistensi Kering dan

kasar

Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak

Selalu ada dan tegas

Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut f. Kehilangan

kemampuan berkeringat, rambut rontok pada bercak

Selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut

2. Infiltrat

a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang

tidak ada b. Membran mukosa Tidak pernah

ada

Ada, kadang-kadang tidak ada

c. Ciri-ciri Centralhealing - Punched out lession - Madarosis - Ginekomasti - Hidung pelana - Suara sengau d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris *dikutip dari kepustakaan no.2 sesuai aslinya

2.6 Antigen M. leprae

Unsur kimia utama dari M. leprae bersifat antigenik, tetapi M. leprae

mengandung antigen yang relatif sedikit (sekitar 20) yang dikenali antibodi

di dalam serum pasien penderita lepra dibandingkan dengan BCG (sekitar

(9)

1981, saat Brennan melaporkan phenolic glikolipid dan menunjukkan

bahwa phenolic glikolipid bersifat spesifik pada M. leprae, semua antigen

yang diidentifikasi sampai sejauh ini umumnya bereaksi-silang dengan

Mycobacteria lainnya, walaupun ada sebagian kecil molekul, suatu epitope,

yang spesifik pada M. leprae. Spesifisitas epitope memungkinkan tes

antibodi spesifik bisa ditetapkan dengan menggunakan serum yang telah

diabsorbsi dengan spesies Mycobacteria lainnya.

Antigenisitas dari M. leprae didominasi oleh antigen yang

mengandung karbohidrat, yang stabil secara fisik-kimia.

1,16

A. Phenolic Glicolipid (PGL)

1

Terdapat varian-varian kecil pada struktur ditandai dengan I, II

dan III. PGL-1 mengandung suatu kelompok glikosilasi fenol dengan

karakteristik trisakarida yang hanya dijumpai pada M.leprae. PGL-1

berbeda dengan PGL-2 dan PGL-3 dalam pola residu gula. Trisakarida

terminal pada PGL-1 memberikan spesifisitas antigenik pada M.leprae.

Trisakarida ini telah berhasil disintesis dan dapat berikatan dengan

sample carrier protein yang digunakan pada seroepidemiologik pada

beberapa penelitian.

Antigen PGL-1 dapat menstimulasi produksi antibodi IgM.

Antigen ini ditemukan pada semua jaringan yang terinfeksi dengan

M. leprae dan tetap bertahan dalam waktu yang lama bahkan setelah

organisme mati. Individu dengan indeks bakteri yang tinggi umumnya

menunjukkan titer antibodi IgM anti PGL-1 yang tinggi.

(10)

Kecenderungan kadar antibodi IgM anti PGL-1 yang rendah untuk tetap

positif mungkin berhubungan dengan persistensi basiler. Antigen

PGL-1 itu sendiri tidak larut dalam air dan dapat menetap di jaringan

dalam jangka waktu yang lama, menstimulasi respon antibodi yang

rendah tanpa adanya basil yang hidup. Respon antibodi anti PGL-1

terutama pada kelas IgM mengindikasikan bahwa sifat IgM tidak

tergantung oleh respon sel T terhadap antigen glikolipid ini, berbeda

dengan respon IgG yang predominan terhadap antigen karbohidrat

utama lipoarabinomannan (LAM).1,16,28-31

B. Lipoarabinomannan (LAM)

Ini merupakan komponen utama dari dinding sel M. leprae;

komponen ini stabil dan tidak bisa dicerna. Komponen ini

bereaksi-silang dengan Mycobacteria lainnya, tetapi mengandung epitope

spesifik yang dikenali oleh serum yang terabsorbsi, dan memicu

antibodi IgG.

C. Antigen protein

1,16

Ada banyak antigen protein pada M. leprae, di mana lima di

antaranya sangat menarik perhatian karena antibodi monoklonal tikus

menunjukkan bahwa antigen protein ini mengandung epitope spesifik

M. leprae. Protein yang bisa larut yang diekstraksi dari M. leprae

terbukti berguna meskipun bukan merupakan antigen yang sangat

(11)

dan diekspresikan pada E. coli, yang sangat membantu dalam analisa

antigen tersebut.

2.7 Imunologi Kusta 1,16

Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana

melibatkan respon imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan

komplikasi penyakit ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen

yang dimiliki oleh M. leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi

cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal

sehingga dapat mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis

selanjutnya.

M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun

yang berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah

respon imun seluler. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi

makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan

multiplikasi atau menghancurkan bakteri.

1,32

Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel

limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah.

Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel

limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan

membantu proses opsonisasi. Namun pada penyakit kusta, fungsi respon

imun humoral ini tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan timbulnya

beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara berlebihan yang tampak

pada kusta lepromatosa.

1,32

(12)

2.8 Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling

banyak dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis

penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi

M. leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan

untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam

darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul

manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit

sedini mungkin.

Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup

banyak manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah

endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada

keadaan yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak

jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta

maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang

maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada

kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun

di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam

kadar yang cukup tinggi.

33

(13)

Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan,

antara lain:

A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang

telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan

sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena

adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.

B. Radio Immunoassay (RIA)

34

Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan

dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.

C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

34

Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik

PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang

praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining

kasus seropositif.

D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa

M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan

sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah

suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap

M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma

pada pasien kusta dan kontak.

34

(14)

E. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi

untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu

sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu

enzim yang berfungsi sebagai penanda.35

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji

kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen

dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga

dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar

antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa

spektrofotometer.

Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen

antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim)

pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat

diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu.

Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat

terjadinya reaksi.

35

Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:

34-36

35

A. Direct ELISA

Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan

bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian

ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat

(15)

B. Indirect ELISA

Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan

bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan

antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi antara

antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim,

kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna

yang dapat diukur dengan spektrofotometer.

C. Sandwich ELISA.

Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan

direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen

yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi.

Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk

mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti

PGL-1, antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang

diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1

dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih

dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA dikembangkan

menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang telah terbukti

sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan memungkinkan

deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk

menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya

(16)

yang tidak sakit kusta. Di daerah Jawa Timur, nilai ambang untuk

antibodi IgM anti PGL-1 telah diketahui sekitar 605 μ/ml.

Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect ELISA

untuk mengukur kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita kusta.

Salah satu keuntungan dari uji ELISA adalah sensitif karena dapat

mendeteksi dari level 0,01 μg/ml.

34,35

2.9 Kerangka Teori

35

Gambar 1. Diagram kerangka teori penelitian Penderita

kusta

Mycobacteriu m leprae

Kapsul

Dinding sel

Membran sel

Sitoplasma

Phthioceroldimycoserosate

(PDIM)

Phenolic glycolipid (PGL)

PGL-1

Antigenik lipid M.leprae yang spesifik

Gula terminal

Sintesis disakarida natural dan trisakarida natural

Pemeriksaan ELISA Dikonyugasi dengan Bovine

Serum Albumin (BSA)

(17)

2.10 Kerangka Konsep

Gambar 2. Diagram kerangka konsep penelitian Darah kapiler cuping

telinga dengan kertas

Darah vena mediana kubiti dengan kertas

Darah vena mediana kubiti metode

Kadar antibodi IgM anti PGL-1 Penderita

Gambar

Tabel 1.  Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta menurut WHO (1982)*
Tabel 2.  Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi menurut WHO (1982) pada penderita kusta*
Gambar 1. Diagram kerangka teori penelitian
Gambar 2. Diagram kerangka konsep penelitian

Referensi

Dokumen terkait

a) Variabel Kepemilikan manajerial pada perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014-2017 yang diukur dengan jumlah

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan (Suryani, 2010) Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel struktur kepemilikan institusional, kepemilikan

Dengan melihat hasil perhitungan metode regresi linier berganda yang peneliti dapat menarik kesimpulan untuk hasil pengujjian hipotesis menyatakan bahwa tingkat suku bunga

Pokyčių, ku- rie vyksta pereinant nuo vienos techninės- ekonominės paradigmos prie kitos (t.y. nuo vienos Kondratjevo bangos prie kitos), esmę bene tiksliausiai galima

Independen pada penelitian ini adalah LnTA ( Size Bank ), KreditTA (Kredit dalam Total Aset), DPKTA (Dana Pihak Ketiga dalam Total Aset), TETA (Total Ekuitas dalam Total Aset), IEPO

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media papan berpaku berpengaruh untuk meningkatkan kemampuan mengenal bangun datar pada anak

Hasil dari proses drilling yang pertama digunakan sebagai tempat untuk memasang nut yang selanjutnya akan berhubungan dengan roda, sedangkan hasil dari proses drilling

Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk menganalisis dampak yang terjadi pada pasar ekspor perikanan dengan komoditas udang dan ikan ke Eropa bila