• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi Rawat Jalan dengan Kepuasan Pasien di RS Baptis Batu: Peran Kepesertaan Asuransi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi Rawat Jalan dengan Kepuasan Pasien di RS Baptis Batu: Peran Kepesertaan Asuransi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Alamat Korespondensi: Megawati, Program Magister Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Univer-sitas Brawijaya Malang Jurnal Aplikasi Manajemen ( JAM) Vol 14 N o 1, 20 16 Terindek s dalam Google Scholar

JAM

14, 1

Diterima, Juni 20 15 Direvisi, September 20 15

Januari 2016 Disetujui, Februari 2016

Hubungan Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi Rawat Jalan

dengan Kepuasan Pasien di RS Baptis Batu:

Peran Kepesertaan Asuransi

Megawati Tatong Hariyanto

Asih Tri Rachmi

Program Magister Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Abstract: This study aims to determine whether the level of user satisfaction pharmacy ser-vices in the Baptist Hospital. It is related to the users’ perception on the quality dimension of pharmaceutical ministry. Moreover, to determine whether the level of users’ satisfaction in installation services Outpatient Pharmacy (IFRJ) RSBB is influenced by insurance member-ship status. This study uses cross-sectional study approach. The instrument uses a question-naire with Likert scale. Validity and reliability testing uses Cronbach Alpha and non addi-tivity Tuckey testing. Normality testing uses One-sample chi-square. The correlation analy-sis uses Spearman rho, while the differences between the two groups use Two Way ANOVA analysis. There is no significant difference in gender, marital status, educational background, and employment status unless the age characteristics in which BPJS-K respondents’ age were older than un-insured patients. The results show the seven dimensions of pharmaceuti-cal care outpatient quality can be used to measure patients’ satisfaction un-insured or BPJS-K. However, if look closely at the component dimensions turned out to be no difference between the dimensions of information provision and waiting times services in which a group of un-insured higher scores than insured BPJS-K group. While the level of respon-dents’ satisfaction on each quality dimension of outpatient pharmacy services is not the same between the two groups. It can be seen that the dimensions of satisfaction with lounge facilities and dimensions of satisfaction with the speed waiting time drug services in un-insured group, higher than the un-insured group BPJS-K.

Keywords: quality of care, outpatient pharmacy, patient satisfaction, un-insured, insured BPJS-K

(2)

rawat jalan terbukti dapat dipakai untuk mengukur kepuasan pasien un-insured maupun BPJS-K tetapi kalau melihat komponen dimensinya ternyata ada perbedaan pada dimensi pemberian informasi obat dan waktu tunggu pelayanan obat di mana kelompok yang un-insured lebih tinggi skornya daripada kelompok yang terasuransi BPJS-K. Sedangkan tingkat kepuasan responden terhadap masing-masing dimensi mutu pelayanan farmasi rawat jalan tidak sama antara kedua kelompok responden. Terlihat bahwa dimensi kepuasan terhadap fasilitas ruang tunggu dan dimensi kepuasan terhadap kecepatan waktu tunggu pelayanan obat pada kelompok un-insured, lebih tinggi dibanding kelompok yang terasuransi BPJS-K.

Kata Kunci: mutu pelayanan, farmasi rawat jalan, kepuasan pasien,un-insured, terasuransi BPJS-K

Hasil survei sebelum dan sesudah intervensi, me-nunjukkan sudah ada pemendekan masa tunggu obat yang bermakna. Namun demikian, masih ada 18,5% pengambil obat yang belum puas. Keluhan mereka ini meliputi: ketidakpuasan pada: sikap petugas, fasilitas ruang tunggu, ketersediaan obat dan penambahan biaya obat (cost sharing). Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor lain selain waktu tunggu yang mempengaruhi kepuasanpasien terhadap pelayanan farmasi di Instalasi Farmasi Rawat jalan RS Baptis Batu.

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah seluruh aspek kefarmasian yang dilakukan di rumahsakit (5). Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau serta pelayanan farmasi klinik. Peningkatan mutu pelayanan farmasi harus dilakukan dengan mengubah orientasi pada produk menjadi orientasi pada pasien (patient oriented) (6). Instalasi Farmasi RS Baptis Batu merupakan sumber pendapatan ketiga terbesar di rumah sakit setelah rawat inap dan kamar operasi, karena itu kepuasan pengguna layanan farmasi sangat penting untuk meningkatkan pendapatan rumah sakit (7).

Pengukuran kepuasan pelayanan farmasi, ter-nyata tidaklah sederhana. Banyak peneliti telah mengembangkan pengukuran kepuasan pengguna jasa pelayanan farmasi. Kepuasan pelayanan farmasi bersifat multi dimensi meliputi (1) sikap petugas far-masi; (2) pemberian informasi obat;(3) ketersediaan obat; (4) fasilitas; (5) lokasi; (6) waktu tunggu pela-yanan obat; dan (7) harga obat (1, 8–16).Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Jaminan Kese-hatan Nasional, maka RS Baptis Batu, sejak Januari 2014 mulai menerima pasien yang terasuransi BPJS Kesehatan (BPJS-K).

Kepuasan pasien menjadi komponen integral dari mutu pelayanan kesehatan dan digunakan untuk penilaian kinerja, penggantian (reimbursement) dan manajemen mutu pelayanan kesehatan (1). Mendefi-nisikan dan mengukur kualitas layanan untuk kepuas-an pelkepuas-anggkepuas-an, menjadi strategi penting dkepuas-an tkepuas-antkepuas-angkepuas-an besar bagi manajemen kesehatan dan pemasar (2). Menciptakan kepuasan pelanggan merupakan kunci keberhasilan perusahaan (3). Untuk dapat bertahan dan berkembang, rumah sakit sebagai penyedia pela-yanan kesehatan harus mengubah paradigmanya men-jadi efektif, efisien dan berorientasi pada pelanggan (4).

Untuk meningkatan mutu pelayanan rawat jalan, RS Baptis Batu (RSBB) mengadakan survei kepuas-an terhadap pasien rawat jalkepuas-an mulai Jkepuas-anuari–Juni 2014. Hasil survei menyimpulkan 3 peringkat terba-wah (paling tidak memuaskan) adalah unsur Farmasi, Parkir dan Aksesibilitas. Untuk mengetahui pelayanan farmasi apa yang menjadi penyebab ketidakpuasan pasien, maka dilakukan survei lanjutan dan didapatkan hasil kepuasan terendah pada pelayanan farmasi ada-lah waktu tunggu pelayanan obat.

(3)

Data kunjungan poli rawat jalan sampai Oktober 2014 (sumber data RS Baptis Batu), menunjukkan semakin meningkatnya kunjungan pasien BPJS-K . Mengingat rumitnya administrasi pelayanan farmasi bagi peserta BPJS – K, dan agar pasien yg tidak ter-asuransi (un-insured) tidak di kecewakan oleh sistem administrasi layanan farmasi, maka pengambilan obat bagi kelompok terakhir ini dilakukan oleh perawat rawat jalan. Bagi pasien peserta asuransi BPJS-K, karena pengambilan obat perlu verifikasi administrasi dan pengambilan ulang obat pasien lama, maka peng-ambil obat pasien BPJS-K harus di lakukan sendiri. Untuk memudahkan pengambilan obat, bagi pasien

fee for service diberi kartu pengambilan obat warna merah muda, sedang pengambilan obat bagi peserta BPJS-K diberi kartu putih. Perbedaan perlakuan ini mungkin akan mempengaruhi perbedaan tingkat ke-puasan pengambil obat, antara kelompok pasien yang tidak terasuransi dengan kelompok pasien terasuransi BPJS- K (1, 13, 14, 16).

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apa-kah tingkat kepuasan pengguna jasa pelayanan far-masi di Instalasi Farfar-masi Rawat Jalan RS Baptis Batu, berkorelasi dengan persepsi pengguna jasa tentang dimensi mutu pelayaan farmasi. Juga untuk mengetahui apakah tingkat kepuasan pengguna jasa di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSBB.

METODE

Desain penelitian adalah penelitian deskriptif analitik observasional denganpendekatan studi potong lintang terhadap pasien un-insured dan yang ter-asuransi BPJS-K yang mengambil obat di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSBB tentang dimensi mutu pelayanan farmasi terhadap kepuasan pasien.Uji variabilitas dan reliabilitas dengan Cronbach Alpha dan test non additivity Tuckey. Uji distribusi nor-malitas dengan uji One sample chi square . Analisis korelasi menggunakan Sperman rho sedangkan perbedaan korelasi antara dua kelompok mengguna-kan analisis Two Way ANOVA. Variabel independen-nya terdiri dari tujuh variabel yaitu: sikap petugas/ staf farmasi, pemberian informasi obat,ketersediaan obat,fasilitas, lokasi, waktu tunggu pelayanan obat dan harga obat.Variabel dependennya adalah kepuasan pasien (un-insured dan pasien terasuransi BPJS-K).

Penelitian ini dilakukan di ruang tunggu obat Instalasi Farmasi Rawat Jalan(IFRJ) RS Baptis Batuselama bulan April 2015. Sampel penelitian sebanyak 170 orang terdiri dari 80 pasien un-insured dan 90 pasien yang terasuransi BPJS-K. Kriteria inklusi: (a) respon-den berusia 16 tahun atau lebih; (b) responrespon-den me-ngerti bahasa Indonesia; (c) responden bisa baca tulis bahasa Indonesia; (d) responden yang bersedia men-jawab pertanyaan peneliti saat wawancara. Kriteria eksklusi: responden yang menolak di wawancarai atau tidak bersedia mengisi kuesioner. Teknik pengambilan sampel menggunakan metoda purposive (purposive sampling). Pengumpulan data menggunakan kuesio-ner pada responden. Kuesiokuesio-ner menggunakan skala Likert. Kuesioner yang digunakan telah dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Kuesioner berisi identitas responden, 17 pertanyaan yang termasuk 7 dimensi mutu pelayanan farmasi dengan 3 pertanyaan tentang kepuasan umum dan kepuasan masing-masing dimensi.

HASIL

Karateristik Responden

Secara umum, distribusi karakteristik sampel ke-lompok pasien rawat jalan un-insured dan yang ter-asuransi BPJS- K hampir sama. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan yang ditamatkan dan status bekerja kecuali karakteristik umur, dimana umur responden BPJS-K rata- rata berumur 42, 8 ± 13.265 tahun yang lebih tua dibanding responden pasien yang tidak terasuransi yang rata-rata umurnya 32,7± 9.916 tahun ( beda signifikan dengan t = 5,497, p < 0,001). (tabel 1)

Korelasi antara Tingkat Kepuasan dengan

Persepsi Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi

Rawat Jalan pada Kelompok Pasien

Un-insured

dan yang terasuransi BPJS-K

(4)

Tabel 1. Karakteristik Responden dibagi Menurut Kelompok Sampel

Sumber: Data diolah, 2015

No Karakteristik Pasien

un-insured N=80

Pasien BPJS-K N=90

Total Pasien N=170

Keterangan

jum l

% Juml % Juml %

1 Jenis Kelamin: Fischer’s

Exact Test p 0,345 (NS)  Laki-laki 53 66,3 5 3 58,9 106 62,4

 Perempuan 27 33,8 3 7 41,1 64 37,6  Ju mlah 80 100.0 9 0 100,0 170 100,0

2 Umur

Indep t-test, Unequal variance, t= 5,497** (df 163,3; p <0.001)

yang terasuransi BPJS-K seperti yang tertera pada tabel 3.

Persepsi Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi

Rawat Jalan

Mutu pelayanan farmasi rawat jalan , mempunyai 7 dimensi, terdiri dari 17 item, skor persepsi terhadap mutu pelayanan farmasi rawat jalan berkisar antara

Tabel 2. Karakteristik Responden dibagi menurut Kelompok Sampel

Sumber: Data diolah, 2015

No Karakteristik Pasien

un-insured N=80

Pasien BPJS-K N=90

Total Pasien N=170

Keterangan

Jum % Juml % Juml % 4. Pendidik an yg ditamatkan

T ak bisa pakai 2 test krn 28,6 sel jml sampel < 5.

V ariable berskala ordinal, beda distribusi diuji memakai

Median Test,

dg hasil p= 0,327 (NS) 1. Td k Tamat SD 1 1,2 3 3,3 4 2,4

2. Tamat SD 2 2,5 13 14,4 15 8,8 3. Tamat SLTP 8 10,0 17 18,9 25 14,7 4. Tamat SLTA 44 55,0 36 40,0 80 47,1 5. Tamat Diploma 16 20,0 10 11,1 26 15,3 6. Tamat Sarjana 9 11,2 8 8,9 17 10,0 7. Tamat Pasca

Sarjana

0 0,0 3 3,3 3 1,8

Jumlah 80 100,0 90 100,0 170 100,0

5 Status Bekerja

Fischer’s Exact T est p 1,000 (NS)  Tidak Bekerja 33 41,2 38 42,2 71 41,8

 Bekerja 47 58,8 52 57,8 99 58,2  Jumlah 80 100,0 90 100,0 170 100,0

(5)

Tabel 3 Koefisien Korelasi Antara Tingkat Kepuasan dengan Persepsi

Sumber: Data diolah, 2015

n Koefisien korelasi tingkat kepuasan dengan persepsi mutu (P)

Total responden 170 R = 0,611 (P < 0,001**)

BPJS-K 90 R = 0,388 (P < 0,001**)

Un-insured 80 R = 0,727 (P < 0.001**)

Tingkat Kepuasan Responden terhadap

masing-masing Dimensi Mutu Pelayanan

Farmasi Rawat Jalan

Sesuai dengan kuesioner, di samping meneliti kepuasan pasien secara umum (Y) juga dilakukan

penelitian mengenai kepuasan terhadap masing-masing dimensi. Setiap dimensi ditanyakan “apakah puas dengan...(sikap petugas, pemberian informasi obat dst...). Hasilnya tidak semua dimensi mutu, tingkat kepuasannya sama antara kedua kelompok Tabel 4. Nilai Statistik Skor masing-masing Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi Rawat Jalan di RS Baptis Batu

Dimensi & kepesertaan N Mean Std. Dev Min Max Uji t-test

Sikap p etugas

BPJS-K 90 11.99 .828 8 15

t= -0.187, df 98,8; p 0,852

un-insured 80 12.04 2.196 7 15 Total 170 12.01 1.617 7 15

Pemberian in formasi o bat

BPJS-K 90 15.43 1.438 10 20

t= - 7,334, df 105,4;

p < 0.01* un-insured 80 18.35 3.288 11 25

Total 170 16.81 2.877 10 25

Ketersediaan obat

BPJS-K 90 8.02 .821 4 10

T= - 1,833, df 120,7; p 0,069

un-in sured 80 8.36 1.469 6 10 Total 170 8.18 1.180 4 10

Fasilitas BPJS-K 90 15.29 1.368 12 20 T= - 0,032, df 111,9; p 0,974

un-in sured 80 15.30 2.785 11 20 Total 170 15.29 2.147 11 20

Lokasi

BPJS-K 90 3.31 1.035 1 5

T= - 0,656, df 156,4; p 0,513

un-insured 80 3.43 1.209 1 5 Total 170 3.36 1.118 1 5

Waktu tunggu pelayanan obat

BPJS-K 90 2.54 1.172 1 5

T= - 4,028, df 15 4,4;

p < 0,01* un-insured 80 3.35 1.406 1 5

Total 170 2.92 1.346 1 5

Harga obat

BPJS-K 90 3.94 .483 2 5

T= -1,630, df 108,6 , p 0,106

un-insured 80 3.74 1.040 1 5 Total 170 3.85 .799 1 5

Persep si Total

BPJS-K 80 60,53 3,439 51 73

T= - 3,987, df 10 2,1; p < 0.01*

un-insured 90 64,56 8,437 47 85 Total 170 62,43 6,601 47 85

(6)

responden. Pada tabel 5 terlihat bahwa dimensi ke-puasan terhadap fasilitas ruang tunggu dan dimensi kepuasan terhadap kecepatan waktu tunggu pela-yanan obat pada kelompok un-insured, lebih tinggi dibanding kelompok yang terasuransi BPJS-K.

mana umur responden yang terasuransi BPJS-K rata-rata berumur 42, 8 ± 13.265 tahun , lebih tua dibanding responden pasien un-insured yang rata-rata umurnya 32,7± 9.916.Hal ini dapat dijelaskan karena pasien yang terasuransi BPJS-K yang berobat di RS sebagian

Tabel 5. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi Rawat Jalan menurut

Sumber: Data diolah, 2015

Dimensi Mutu Kepesertaan N Mean Std. Dev Uji-t

K_Pelayanan farmasi

BPJS-K 90 11.32 1.015 T= -3,683 (df 106.5) p < 0.01

un-insured 80 12.34 2.272

K_Sikap petu gas BPJS-K 90 1.00 .260 T= -1,447 (d f 117.9) p < 0.137

un-insured 80 1.09 .482

K_Pemberian Informasi obat

BPJS-K 90 .96 .207 T= -1.70 7 (df 168) p= 0,098

un-insured 80 1.03 .317

K_Ketersediaan obat

BPJS-K 90 .99 .280 T= -1.90 5 (df 168) p= 0.058

un-insured 80 1.08 .309

K_Fasilitas BPJS-K 90 .99 .183 T= -2.989 (df 112,6)

p 0.003*

un-insured 80 1.13 .369

K_Lokasi BPJS-K 90 .68 .493 T= -1.3455 (df 167.8) p 0 .181

un-insured 80 .78 .449

K_Waktu tunggu BPJS-K 90 .37 .589 T= -4.129 (df 168)

p < 0.01

un-insured 80 .76 .661

K_Harga obat BPJS-K 90 .93 .292 .t= 0.572 (df 168) p = 0.568

un-insured 80 .96 .371

Saran Responden pada IFRS pada pertanyaan

terbuka

Hasil wawancara berupa pertanyaan terbuka yang meminta komentar atau saran terhadap pela-yanan farmasi rawat jalan di RS Baptis Batu sebagian besar responden mengusulkan agar waktu tunggu pengambilan obat dapat dipercepat dengan menambah tenaga dan antrian yang adil. Untuk fasilitas ruang tunggu yang banyak diusulkan adalah mengenai kursi ruang tunggu yang kurang nyaman.

DISKUSI

Secara umum, distribusi karakteristik sampel kelompok pasien un-insured dan yang terasuransi BPJS- K hampir sama, kecuali karakteristik umur, di

besar adalah pasien rujukan yang berpenyakit kronis. Dengan demikian, dipandang dari aspek desain penelitian, karakteristik kedua kelompok sampel responden pasien yang terasuransi BPJS- K cukup komparabel disandingkan dengan kelompok sampel responden yang membiayai pengobatan mereka sen-diri. Komposisi kedua kelompok yang komparabel ini memungkinkan dianalisis perbedaan respons persepsi dan tingkat kepuasan responden terhadap pertanyaan tentang mutu pelayanan farmasi di RS Baptis Batu.

(7)

Tabel 6. Saran- saran Responden

Saran/Komentar BPJS-K

Jumlah

Un-insured Jumlah

Total

Waktu Tunggu Pelayanan Obat

Waktu tunggu obat dipercepat 7 8 15

Perlu ditambah petugas supaya pengambilan o bat cepat 9 11 20 Pengambilan no mer antrian perlu diperhatikan( ada

kecurangan

5 5

Untuk pengambilan obat harus sesuai urutan tidak mendahulukan yang umum, BPJS-K harus disamakan

1 1

Pelayanan kasir dipercepat 1 1

Fasilitas

Peningkatan fasilitas ruang tunggu 2 2

Kursi ruang tunggu dibuat nyaman(tambah spon/ ganti baru )

6 1 7

Ada ruang tunggu khusus bagi yang membawa bayi supaya terpisah dengan pasien dewasa

1 1

Peningkatan kebersihan ruang tunggu 1 1

Peningkatan kebersihan kamar mandi 2 3 5

Penerangan di toilet ditambah 1 1

Tambah mushola dekat ruang tunggu 2 1 3

Colokan untuk charger hp 5 5

Penambahan Loket Pendaftaran 2 2

Ditambah Mainan anak-anak 1 1

maupun pada kelompok pasien un-insured maupun yang terasuransi BPJS-K. Semua dimensi memiliki pengaruh walau skornya berbeda. Ada banyak studi tentang kepuasan pasien dengan pelayanan medis, tetapi hanya sedikit yang meneliti hubungannya dengan mutu pelayanan farmasi dan belum ada yang meneliti hubungan kepuasan dan mutu pelayanan far-masi dengan perbedaan responden dalam hubungan dengan kepesertaan asuransi ( un-insured dan

BPJS-K). Pengujian yang eksplisit mengenai hubungan antara kepuasan dan farmasi dilakukan oleh MacKeigan dan Larson (1989), dengan mengembang-kan dan memvalidasi survei kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi. Ada tujuh dimensi kepuasan yaitu penjelasan, perhatian, kompetensi tehnik dari petugas, pembiayaan, aksesibilitas, pengobatan yang efisien, ketersediaan obat bebas dan kualitas obat. Dua dimensi yang terakhir yaitu ketersediaan obat bebas Tabel 7. Saran-saran Responden

Saran/Komentar BPJS-K

Jumlah

Un-insured Jumlah

Total

Ketersediaan Obat

Obatnya dileng kapi supaya tidak perlu beli di ap otek luar 1 1

Sikap Petugas

Peningkatan pelayanan petugas farmasi 3 3

Petugas ramah 1 3 4

Pelayanan sudah memuaskan tapi ditingkatkan 12 18 30

Lain-lain

Dokternya tepat waktu 1 1

(8)

dan kualitas obat perlu diuji lagi karena nilainya rendah sedangkan nilai tertinggi yaitu pasien paling puas dengan kompetensi petugas farmasi.

Briesacher dan Corey (1997) mengadakan pene-litian mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi di apotek independen dan rantai (chain)di Philadelphia dengan empat dimensi kepuasan yaitu waktu tunggu pelayanan obat,ketrampilan teknis dan kesopanan petugas, kenyamanan lokasi dan aspek lain dari pengalaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua dimensi mempengaruhi kepuasan pasien di ke-dua jenis apotek. Pasien paling puas dengan lokasi farmasi dan paling tidak puas dengan waktu tunggu pelayanan obat dan secara keseluruhan apotek inde-penden lebih memuaskan daripada apotek rantai.

Kamei, et al. (2001) melakukan investigasi di 32 apotik di Tokyo dan Osaka dengan mengembangkan tujuh indeks evaluasi untuk pelayanan farmasi yaitu sikap apoteker, ketersediaan obat bebas, jam buka yang nyaman, fasilitas, ketersediaan pelayanan khu-sus, lokasi yang nyaman dan catatan obat. Sikap apo-teker seperti sikap umum dan kegiatan khusus farmasi/ apoteker seperti memberikan informasidan penjelas-an, dan kenyamanan jam buka apotek dinilai sangat penting dan mempengaruhi kepuasan pasien. Fasilitas yang nyaman dan ketersediaan obat bebas sedikit mempengaruhi kepuasan dan kenyamanan lokasi tidak mempengaruhi kepuasan.

Menurut Larson, et al. (2002) yang mengem-bangkan kuesioner untuk mengukur kepuasan dengan pelayanan farmasi di Iowa, ada dua dimensi yang mempengaruhi kepuasan yaitu penjelasanyang bersa-habat (keramahan pelayanan, pengaturan perawatan, dan konseling obat) dan mengelola terapi (melaksana-kan terapi obatdan memecah(melaksana-kan masalahterapi). Hasil analisis menunjukkan kalau dimensi penjelasan yang bersahabat yang lebih mempengaruhi kepuasan.

Oparah dan Kikanme (2006) meneliti kepuasan pelanggan terhadap apotek lokal di Warri Nigeria. Ada 32 item yang ditanyakan yang apabila dirangkum men-cakup beberapa dimensi mutu yaitu sikap petugas, kompetensi apoteker, ketersediaan obat, fasilitas, pelayanan di luar obat (imunisasi, test kehamilan, test hipertensi, promosi kesehatan, dll), lokasi, jam buka apotek yang terus menerus, harga obat , rekam medik obat, kepuasan pada ketersediaan obat asli, apoteker, dan barang-barang konsumsi rumah tangga. Hasil

analisis ada empat variabel yang memiliki korelasi positif dengan kepuasan yaitu sikap petugas, pem-berian informasi obat, jam buka yang nyaman dan ketersediaan obat asli sedangkan yang sedikit mem-pengaruhi kepuasan adalah dimensi fasilitas yang nyaman dan ketersediaan obat OTC. Dimensi yang tidak mempengaruhi adalah lokasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa responden paling puasdengansikap profesional apoteker tetapi tidak puas dengan penye-diaan layanan yang bukan obat.

Marques-Peiro dan Perez-Piero (2008) melaku-kan penelitian di Valencia Spanyol untuk menentumelaku-kan kepuasan pasien HIV dan non HIV yang datang ke farmasi rawat jalan denganpertanyaan sesuai indeks kepuasan yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan Daerah Otonomi Valencia. Ada lima dimensi yang diteliti meliputi ruang tunggu, waktu tunggu obat , ketrampilan petugas, kerahasiaan dan bantuan kepada pasien (sikap petugas), pemberian informasi obat. Hasil analisis tidak ada perbedaan kepuasan antara kedua kelompok tersebut dan aspek yang paling memuaskan adalah ketrampilan petugas farmasi dan kerahasiaan, sedangkan aspek yang paling rendah kepuasannya pada fasilitas ruang tunggu dan waktu tunggu pela-yanan obat. Kemungkinan penyebab ketidakpuasan adalah peningkatan jumlah konsultasi tanpa diikuti dengan peningkatan jumlah apoteker.

Blalock, et al. (2012) mengembangkan dan menguji alat untuk mengevaluasi mutu pelayanan far-masi rawat jalan di Amerika Serikat. Ada 15 item untuk mengukur tiga aspek pelayanan farmasi (komu-nikasi staf, komu(komu-nikasi kesehatan dan obat, dan pem-berian informasi obat). Hasilnya alat survei ini dinilai andal dan valid untuk digunakan mengevaluasi mutu pelayanan farmasi.

(9)

Hasan, et al. ( 2013) mengembangkan dan mem-validasi alat untuk menilai kepuasan pasien dengan pelayanan farmasi komunitas di Uni Emirat Arab dengan menggunakan alat yang sudah divalidasi. Instrumen terdiri dari empat dimensi yaitu informasi, hubungan, aksesibilitas dan ketersediaan. Hasil pene-litian menunjukkan bahwa peserta memerlukan infor-masi lebih lanjut tentang obat-obatan dan manajemen pribadi dan peningkatan kompetensi petugas. Keter-sediaan obat relatif mempengaruhi kepuasan sedang-kan kepuasan terendah pada aksesibilitas yang dise-babkan oleh karakteristik fisika potek seperti ruang tunggu dan kurangnya area pribadi.

Malewski, el al. (2014) meneliti kepuasan pasien terhadap apotek komunitas didaerah perkotaan (Detroit) dan pinggiran kota (Ann Arbor) di USA. Tujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kepuasan pasien yang berhubungan dengan pelayanan farmasi. Ada 30 pertanyaan yang terdiri dari 15 per-tanyaan mengenai hubungan dengan apoteker, 10 pertanyaan tentang kepuasan dan aksesibilitas apotek dan 5 pertanyaan mengenai biaya. Hasil penelitian didapatkan kepuasan yang tinggi tanpa perbedaan yang signifikan di kedua lokasi dalam hal hubungan dan pelayanan apoteker. Sedangkan dalam hal aksesi-bilitas layanan farmasi, layanan pelanggan dan bebe-rapa masalah kepercayaan pasien/apoteker ada perbedaan kepuasan yang signifikan antara apotek perkotaan dan pedesaan.

Walaupun ketujuh dimensi semuanya berpenga-ruh pada kepuasan pasien un-insured maupun yang terasuransi BPJS-K, tetapi dari penelitian didapatkan adanya perbedaan pada komponen dimensi pemberian informasi obat dan waktu tunggu pelayanan obat di mana kelompok pasien un-insured lebih tinggi skornya daripada pasien yang terasuransi BPJS-K.

Dari beberapa penelitian terdahulu yang menya-takan kepuasan tertinggi pada pemberian informasi obat (kompetensi apoteker) adalah penelitian yang dilakukan oleh Mac Keigan dan Larson (1989), Kamei,

et al. (2001), Larson, et al. (2002), oparah dan Kikanme (2006), Marques-Piero dan Perez Piero (2010), Malewski, et al. (2014). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kompetensi teknis apoteker dalam hal pem-berian informasi obat dan ketrampilan personal (teliti, hati-hati, tidak ada kesalahan pemberian obat).

Berdasarkan lima dimensi untuk mengukur mutu layanan dengan pendekatan SERVQUAL yang dike-mukakan oleh Parasuraman, et al. (1988 ), pemberian informasi obat merupakan dimensi reliability (kean-dalan) yaitu kemampuan untuk melakukan layanan farmasi yang andal dan akurat. Kepuasan yang tinggi pada dimensi pemberian informasi obat terjadi karena sebenarnya pasien tidak seberapa mengerti mengenai kualitas teknis dan tidak dapat menilainya dengan akurat, sehingga kualitas fungsional biasanya meru-pakan penentu utama dari persepsi pasien (17).

Pasien tidak mengetahui standar maupun jenis pelayanan farmasi yang menjadi haknya. Jenis pela-yanan farmasi yang harus diketahui pasien adalah khasiat, cara pemakaian, efek samping, kegunaan dan cara penyimpanan obat juga tindakan bila terjadi efek samping obat maupun salah dosis (18). Dari hasil pe-nelitian oleh Handayani, dkk. (2009) ditemukan bahwa pelayanan farmasi masih berorietasi pada obat (drug oriented) belum pada pasien (patient oriented) dan belum menerapkan pharmaceutical care yang merupakan bagian dari standar pelayanan farmasi komunitas. Komponen dari pharmaceutical care

antara lain informasi obat, konseling, monitoring penggunaan obat, edukasi, promosi kesehatan, dan evaluasi terhadap pengobatan.

Petugas farmasi harus memberikan informasi tetang obat secara jelas untuk mencegah kemungkinan terjadinya salah cara pakai obat, salah dosis dan efek samping obat Penyuluhan oleh apoteker kepada pasien dan keluarganya dalam hal penggunaan dan penyimpanan obat dapat meningkatkankepatuhan dalampenggunaanobat (1, 9-11, 14, 19). Dan kepuasan pasien meningkat dengan semakin tingginya frekuensi konseling, monitoring dan bimbingan yang dilakukan oleh petugas farmasi (19).

Perbedaan kepuasan pada dimensi waktu tunggu pelayanan obat terjadi karena pasien un-insured

dilayani dengan alur yang berbeda dengan pasien yang terasuransi BPJS-K. Sejak awal resep sudah dibawa-kan oleh perawat poliklinik ke IFRS dan diambildibawa-kan nomer urut khusus (warna merah). Pelayanan peng-isian resep relatif lebih cepat karena jumlah pasien

(10)

pasien yang terasuransi BPJS-K (2x lipat dari pasien

un-insured) maka antrian berlangsung lama, ini yang menimbulkan rendahnya angka kepuasan pasien terhadap waktu tunggu pelayanan obat.

Pada penelitian kepuasan pasien terhadap masing-masing dimensimutu pelayanan farmasi didapatkan hasil pada kedua kelompok responden tingkat kepuas-annya berbeda. Kepuasan terhadap fasilitas ruang tunggu dan kecepatan waktu tunggu pelayanan obat pada kelompok un-insured, lebih tinggi dibanding kelompok BPJS-K.

Lima dimensi untuk mengukur mutu/kualitas layanan yang diharapkan dan dirasakan dalam pendekatan SERVQUAL yang dikemukakan oleh Parasuraman, et al., 1991) dapat diterapkan di Insta-lasi Farmasi yaitu:

Tangibles (berwujud): fasilitas fisik yang lang-sung dapat dirasakan pelanggan. Dalam penelitian ini adalah kebersihan ruang tunggu, kenyamanan kursi di ruang tunggu, toilet yang mudah dijangkau dan bersih serta lokasi instalasi farmasi yang dekat dengan rumah.

Reliability (keandalan): kemampuan untuk mela-kukan layanan yang andal dan akurat dalam pelayanan farmasi adalah pemberian informasi obat.

Responsiveness (daya tanggap): kerelaan untuk membantu pelanggan dan memberikan layanan yang cepat dan tepat yang ditunjukkan dengan waktu tung-gu pelayanan obat yang cepat.

Assurance (jaminan): kepastian yang ditunjukkan oleh ketersediaan obat yaitu obat yang diterima penuh bukan setengah resep dan macam/jenis obat yang diterima sesuai resep dokter serta harga obat yang lebih murah atau setidaknya setara bagi pasien un-insured dan tidak ada penambahan biaya bagi yang terasuransi BPJS-K.

Emphaty (kepedulian): perhatian dengan sikap petugas serta sikap petugas yang baik, bersedia men-dengarkan pertanyaan dan memberi jawaban yang sesuai dengan pertanyaan.

Fasilitas merupakan dimensi tangibles yang me-nurut pendekatan SERQUAL dapat langsung dirasa-kan oleh pengunjung. Fasilitas menjadi dimensi yang memberikan kepuasan pada pasien karena pasien lebih dapat menilai sesuatu yang bersifat fisik. Bebe-rapa penelitian yang terdahulu yang menyatakan ada-lah pengaruh fasilitas terhadap kepuasan pasien

dilakukan oleh Oparah dan Kikanme (2006), Marques-Piero dan Perez–Marques-Piero( 2008) serta Hasan, et al.

(2013).

Pada penelitian ini dimensi fasilitas yang diper-sepsikan baik oleh pasien adalah ruang tunggu pela-yanan obat yang bersih, kursi ruang tunggu yang nya-man, kamar kecil yang mudah dijangkau dan bersih. Sedangkan Handayani, dkk. (2009) yang melakukan penelitian mengenai persepsi konsumen apotek terha-dap pelayanan apotek di tiga kota di Indonesia mene-mukan bahwa kebersihan ruang tunggu,kenyamanan ruangtunggu, serta kelengkapan danmutu merupakan dimensi tangible yang dipersepsikan baik oleh seba-gian besar konsumen.

Menurut Engel (1993) kenyamanan dalam me-nunggu merupakan salah satu faktor yang dapat mem-pengaruhi minat pasien dalam membeli obat di apotek RS. Pasien datang ke rumah sakit membutuhkan waktu cukup lama untuk antre pendaftaran, diperiksa dokter, selanjutnya pada proses pengambilan obat mulai dari resep masuk ke instalasi farmasi sampai pasien menerima obat yang sudah selesai diracik diharapkan tidak terlalu lama supayapasienmerasa nyaman menunggu. Dan salah satu usaha untuk mem-berikan kenyamanan pada pasien adalah penampilan fisik yang menarik dan tersedianya sarana penunjang. Dari hasil wawancara dengan pertanyaan terbu-ka terlihat banyak usulan responden untuk penam-bahan fasilitas ruang tunggu pelayanan obat di IFRS rawat jalan antara lain adanya mushola, ruang tunggu khusus pasien bayi yang terpisah dari pasien dewasa, mainan anak-anak serta adanya colokan listrik untuk men-charge HP. Sedangkan meningkatan fasilitas meliputi penggantian kursi dengan yang lebih nyaman, peningkatan kebersihan ruang tunggu dan kamar kecil serta penambahan penerangan pada toilet. Fasilitas yang nyaman dapat membuat waktu tunggu menjadi lebih menyenangkan.

Hasil penelitian terhadap waktu tunggu pelayanan obat ternyata mempengaruhi kepuasan pasien secara umum maupun secara khusus dan ada perbedaan yang signifikan antara pasien un-insured dengan yang terasuransi BPJS-K. Selain karena alur yang berbeda, hal ini dapat disebabkan oleh adanya persepsi yang berbeda terhadap waktu tunggu.

(11)

pasien dilakukan oleh Mac Keigan dan Larson (1989), Briesacher dan Corey (1997), Kamei, et al. (2001), Marques Piero dan Perez Piero (2008), Blalock, et al. (2012), Hasan, et al. ( 2013) dan Malewski, et al.

(2014). Survei yang dilakukan Chou, dkk. (2007) di pusat medis di Taiwan menunjukkan bahwa penentu ketidakpuasan pasien adalah waktu tunggu pelayanan obat sehingga memperpendek waktu tunggu sangat penting dan menjadi pusat tujuan farmasi.

Kebutuhan konsumen untuk menghemat dan mengefisienkan waktu menjadi isu penting dalam lite-ratur pemasaran jasa dan menyebabkan peneliti fokus pada pentingnya waktu dalam pengalaman pembelian. Menunggu adalah elemen yang banyak mempenga-ruhi pembelian terutama pada pelayanan kesehatan yang pasiennya rutin menunggu menit, jam, hari bah-kan ada beberapa kasus sampai berbulan-bulan untuk mendapatkan pelayanan (Taylor, 1994). Penelitian menunjukkan bahwa dalamsituasimenunggu, orang bereaksi terhadap persepsi mereka tentang waktu yang dihabiskan dari pada tujuan tunggu waktu (Pruyn & Smidts, 1998; Thompson, Yarnold, Williams, & Adams, 1996).

Pryun dan Smitdts (1998) meneliti 3 variabel sub-yektif dari waktu tunggu yaitu waktu tunggu yang dirasakan (perceived waiting time), waktu tunggu yang diterima (acceptable/actual waiting time ) dan waktu tunggu kognitif dan afektif (evaluasi dan respon dari menunggu). Variabel yang bersifat obyektif hanya

actual waitingtime sedangkan yang lain bersifat subyektif. Ada kesenjangan antara persepsi waktu tunggu dengan waktu tunggu yang sebenarnya (20) dan persepsi menunggulah yang menentukan kepuas-an daripada waktu tunggu ykepuas-ang sebenarnya (21).

Maister (1985) mengidentifikasi delapan hal yang berkaitan dengan psikologi menunggu yang menye-babkan waktu tunggu terasa lebih lama yaitu menung-gu tanpa kegiatan, menungmenung-gu proses sebelum layanan, kecemasan, ketidakpastian, tanpa penjelasan, antrian yang tidak adil, layanan tidak berharga dan menunggu sendirian. Davis dan Heineke (1994) menambahkan bahwa situasi yang tidak nyaman dapat membuat antrian terasa lebih lama. Sedangkan Peppiat (1995) menambahkan faktor pelanggan yang baru atau yang jarang berkunjung ke layanan kesehatan tersebut merasa menunggu lebih lama dari pelanggan yang sudah sering berkunjung.

Katzetal. (1991) menguji tiga hipotesis dalam studi 1989 yang dilakukan dicabang bank di Boston, Massachusetts. Hipotesis ini adalah: antrian lama me-nurunkan kepuasan pelanggan, persepsi waktu tunggu dapat dikurangi dengan pengalihan perhatian, dikenal oleh petugas mengurangi stres dan meningkatkan kepuasan. Hasilnya yang menyebabkan waktu tunggu terasa lebih lama adalah menunggu tanpa kegiatan, menunggu sendirian dan pengguna baru (22).

Parasuraman, et al. (1985) mengembangkan model untuk mengidentifikasi lima potensi kesenjangan kualitas .dan tiga diantaranya berkaitan dengan waktu tunggu yaitu kesenjangan antara layanan yang aktual dengan layanan yang dirasakan (hal ini waktu tunggu), kesenjangan antara komunikasi eksternal sesuai stan-dar pelayanan dengan persepsi pelanggan dan kesen-jangan antara persepsi pelanggan dengan harapan pe-langgan. Beberapa hal yang dapat dianggap berkaitan dengan kesenjangan antara komunikasi eksternal dengan pelayanan yang dirasakan adalah faktor yang mempengaruhi semua pengguna (layanan yang ber-harga, menunggu sendirian, menunggu tanpa ada ke-giatan, antrian yang tidak adil, kenyamanan dan peng-guna baru), faktor yang sering mempengaruhi adalah penjelasan penundaan dan faktor yang sedikit mempe-ngaruhi (kecemasan, ketidakpastian, menunggu proses sebelum tindakan.

Dalam situasi yang kompetitif, penyedia layanan kesehatan harus memperhitungkan kerugian pasien akibat menunggu layanan karena akan mempengaruhi kepuasan pasien dan berakibat pada pemanfaatan layanan (23).

Implikasi

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara dimensi mutu pelayanan farmasi rawat jalan dengan kepuasan pasien baik bagi pasien un-insured

maupun yang terasuransi BPJS-K. Pasien un-insured

(12)

JKN menuju jaminan kesehatan semesta/Universal Health Coverage (UHC) di tahun 2019.

Pada akhirnya semua RS akan bekerjasama dengan BPJS-K untuk menjadi FKRTL sehingga akan terjadi persaingan yang kompetitif antar RS untuk menarik pelanggan. Oleh karena itu kepuasan pasien akan menjadi penentu utama yang membuat pasien memilih rumah sakit.

Sesuai dengan visi RS Baptis Batu yaitu menjadi rumah sakit pilihan utama masyarakat Malang Raya karena pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien dengan mengutamakan mutu dan keselamatan pasien maka survei ini dapat dijadikan dasar untuk pengembangan kepuasan pasien terhadap semua la-yanan yang ada di RS Baptis Batu. Dengan semakin meningkatnya kunjungan pasien maka semakin me-ningkat pula pendapatan RS yang akhirnya berdam-pak pada kesejahteraan karyawan di RS Baptis Batu. Fasilitas ruang tunggu obat sebagai salah satu dimensi yang mempengaruhi kepuasan pasien perlu diperlengkapi dan ditingkatkan. Juga diperlukan ruang-an untuk pelayruang-anruang-an pemberiruang-an informasi obat. Karena adanya perbedaan nomer antrian antara pasien un-insured dengan yang terasuransi BPJS-K menimbul-kan kecurigaan adanya kecurangan sistem antrian dan pasien merasa diperlakukan tidak adil maka perlu di desain ulang mengenai antrian dan kalau diperlukan diadakan loket yang terpisah. Perasaan diperlakukan tidak adil dan dan menunggu tanpa kepastian (kurang informasi mengenai antrian) dapat membuat pasien merasa waktu tunggunya lebih lama dari seharusnya dan akhirnya mempengaruhi kepuasan.

Davis dan Heineke (1993) mengelompokkan kemampuan yang harus dimiliki oleh manajer layanan untuk mengontrol persepsi pelanggan yang antri yaitu mengendalikan antrian sesuai proporsi dan adil dengan mendesain ulang sistem antrian yang mengunakan prediksi giliran, mendesain ruang tunggu yang nyaman, kepastian penjadwalan, memastikan kapasitas yang ideal dan update antrian. Waktu kosong diisi dengan pemberian hal yang menarik perhatian pelanggan misalnya musik atau aquarium, kecemasan dikurangi dengan adanya petugas yang terlatih juga dilihat apakah pelanggan datang sendirian atau ada yang mengantar. Thompson, et al. (1996) dalam penelitian menge-nai pengaruh actual waiting time, perceived waiting time, penyampaian informasi dan kualitas ekspresi

terhadap kepuasan pasien di IGD MacNeal Hospital, Berwyn, Illinois, USA menemukan bahwa memberi-kan informasi, memproyeksimemberi-kan kualitas ekspresif, dan mengelola persepsi waktu tunggu dan harapan dapat menjadi strategi yang lebih efektif untuk mencapai kepuasan pasien daripada mengurangi waktu tunggu yang sebenarnya (actual waiting time).

Selain masalah antrian, dengan meningkatnya biaya kesehatan, populasi yang menua, dan kekurangan tenaga terlatih penting bagi manajemen farmasi RS untuk membuat keputusan operasional yang baik. Karena semakin kompleknya sistem dan variasi perin-tah pengisian resep maka perlu dibuat keputusan ten-tang kepegawaian dan penjadwalan kerja (24). Faktor manusia memang memegang peranan yang paling penting sesuai penemuan penelitian di Sahlgrenska University Hospital clinics Gothenburg, Swedia tetapi menambah sumber daya manusia (SDM) bukanlah pilihan dimasa depan karena perkembangan tehnologi medis dan perubahan demografi (25).

Untuk mengurangi antrian, penelitian di Singapore General Hospital, Pharmacy Department mereko-mendasikan untuk penjadwalan kerja yang cocok dengan ketersediaan tenaga dan pola kedatangan pasien (26).

Perlu dilakukan pengukuran kepuasan pasien secara berkesinambungan setidaknya 6 bulan sekali agar dapat segera diketahui apabila ada faktor-faktor yang membuat pasien tidak puas terhadap mutu pela-yanan farmasi rawat jalan, sehingga rumah sakit dapat mengantisipasi. Kuesioner untuk pengukuran kepuasan pasien dengan pelayanan farmasi ini dapat diguna-kan.

Keterbatasan

(13)

jasa farmasi dari kelompok peserta yang terasuransi BPJS-K, lebih rendah dibanding kelompok peserta

un-insured, terutama dalam dimensi fasilitas dan waktu tunggu pelayanan obat.

KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan, hasil uji hipotesis dan pem-bahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa ketujuh dimensi mutu pelayanan farmasi rawat jalan terbukti dapat dipakai untuk mengukur kepuasan pasien un-insured maupun pasien yang terasuransi BPJS-K tetapi kalau melihat komponen dimensinya ternyata ada perbedaan pada dimensi pemberian informasi obat dan waktu tunggu pelayanan obat di mana kelompok un-insured lebih tinggi skornya daripada yang BPJS-K. Sedangkan tingkat kepuasan responden terhadap masing-masing dimensi mutu pelayanan farmasi rawat jalan tidak sama antara kedua kelompok responden. Terlihat bahwa dimensi kepuasan terhadap fasilitas ruang tunggu dan dimensi kepuasan terhadap kecepatan waktu tunggu pelayan-an obat pada kelompok un-insured, lebih tinggi diban-ding kelompok yang terasuransi BPJS-K.

Saran

Penelitian mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan farmasi rawat jalan dapat terus dilakukan minimal 6 bulan sekali dengan memakai kuesioner yang sudah diuji. Perlu adanya penambahan fasilitas (ruang tunggu yang terpisah untuk bayi, mushola, colokan listrik dan mainan anak) dan peningkatan fasilitas (kursi ruang tunggu yang nyaman, pening-katan kebersihan ruang tunggu dan kamar kecil serta penambahan penerangan pada toilet) ruang tunggu pelayanan obat di RS Baptis Batu. Untuk memberi kepastian antrian pasien dapat digunakan sistem an-trian dengan memakai mesin anan-trian. Untuk memberi rasa adil dapat dilakukan pemisahan loket antara pa-sien un-insured dengan yang terasuransi BPJS-K. Tetapi bila masih belum ada anggaran untuk pem-belian mesin antrian ataupun pemisahan loket dapat menambah masalah SDM maka disarankan adanya petugas khusus ruang tunggu instalasi farmasi rawat jalan yang bertugas memberi informasi pada pasien yang menunggu. Petugas ini dapat berganti-ganti per-sonilnya sesuai jadwal penugasan dan petugas tidak

harus dari Instalasi Farmasi. Di era permulaan pelak-sanaan BPJS-K belum banyak penelitian mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS-K, jadi terbuka kesempatan untuk mela-kukan penelitian-penelitian yang akhirnya dapat me-nyempurnakan sistem BPJS-K di Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN

Aditama, T.Y. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. 2 ed. Jakarta Penerbit Universitas Indonesia 2010. 1–11 p.

Blalock, S.J., Keller, S., Nau, D., Frentzel, E.M. Develop-ment of the Consumer AssessDevelop-ment of Pharmacy Ser-vices survey. Journal of The American Pharmacists Association: Japha. 2012;52(3):324–32.

Briesacher, B., Corey, R. Patient satisfaction with ceutical services at independent and chain pharma-cies. American Journal Of Health-System Pharmacy: AJHP: Official Journal Of The American Society of Health-System Pharmacists. 1997;54(5):531–6. Choi, B.J., Kim, H.S. The impact of outcome quality,

inter-action quality, and peer-to-peer quality on customer satisfaction with a hospital service. Managing Ser-vice Quality. 2013;23(3):188–204.

Eriksson, H., Ing-Marie, B., Berrum, I., Mörck, B. Reducing queues: demand and capacity variations. International

Journal of Health Care Quality Assurance. 2011;24 (8):592-600.

Hasan, S., Sulieman, H., Stewart, K., Chapman, C.B., Hasan, M.Y., Kong, D.C.M. Assessing patient satisfaction with community pharmacy in the UAE using a newly-validated tool. Research in Social and Administra-tive Pharmacy. 2013;9(6):841–50.

Handayani, R.S., Raharni, G.R. Persepsi Konsumen Apotek terhadap Pelayanan Apotek di Tiga Kota di Indonesia.

Makara, Kesehatan. 2009;13(1):22–6.

Hong Choon, O., Wai Leng, C., Jane, Ai, W., Mui Chai T. Evaluation of manpower scheduling strategies at out-patient pharmacy with discrete-event simulation. OR Insight. 2013;26(1):71–84.

Jones, P., Peppiatt, E. Managing perceptions of waiting times in service queues. International Journal of Ser-vice Industry Management. 1996;7(5):47–61. Kamei, M., Teshima, K., Fukushima, N., Nakamura, T.

In-vestigation of patients’ demand for community phar-macies: relationship between pharmacy services and patient satisfaction. Yakugaku zasshi. 2001;121(3): 215–20.

(14)

Qatar. International Journal of Health Care Quality Assurance. 2013;26(5):398–419.

Katz, K.L., Martin, B.R. 1989. Improving customer satis-faction through the management of perceptions of waiting: Massachusetts Institute of Technology.

Larson, L.N., Rovers, J.P., MacKeigan, L.D. Patient satis-faction with pharmaceutical care: update of a vali-dated instrument. Journal of The American Pharma-ceutical Association (Washington, DC: 1996). 2002;42 (1):44–50.

Laporan Tahunan RS Baptis Batu 2013.

MacKeigan, L.D., Larson, L.N. Development and valida-tion of an instrument to measure patient satisfacvalida-tion with pharmacy services. Medical Care. 1989;27(5): 522–36.

Malewski, D.F., Ream, A., Gaither, C.A. Patient satisfaction with community pharmacy: Comparing urban and suburban chain-pharmacy populations. Research In Social & Administrative Pharmacy: RSAP. 2014. Márquez-Peiró JF, Pérez-Peiró C. Evaluation of Patient

Satisfac-tion in Outpatient Pharmacy. Farmacia Hospitalaria (English Edition). 2008;32(2):71–6. Maister, D.H. The psychology of waiting lines: Harvard

Business School; 1985.

Naik Panvelkar, P., Saini, B., Armour, C. Measurement of patient satisfaction with community pharmacy

services: a review. Pharmacy World & Science. 2009; 31(5):525–37.

Oparah, A.C., Kikanme, L.C. Consumer satisfaction with community pharmacies in Warri, Nigeria. Research in Social and Administrative Pharmacy. 2006;2(4):499– 511.

Permenkes. RI No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. 2014.

Rahman, M.S., Khan, A.H., Haque, M.M. A Conceptual Study on the Relationship between Service Quality towards Customer Satisfaction: Servqual and Gronroos’s Service Quality Model Perspective. Asian Social Science. 2012;8(13):201–10.

Siregar, C., Amalia. 2004. Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit EGC.

Sohail, M.S. Service quality in hospitals: more favourable than you might think. Managing Service Quality.

2003;13(3):197–206.

Spry, C.W., Lawley, M.A. editors. Evaluating hospital phar-macy staffing and work scheduling using simulation.

Proceedings of the 37th conference on Winter simu-lation; 2005: Winter Simulation Conference. Zabada, C. Patient satisfaction: An analysis of the effects

Gambar

Tabel 2. Karakteristik Responden dibagi menurut Kelompok Sampel
Tabel 3 Koefisien Korelasi Antara Tingkat Kepuasan dengan Persepsi
Tabel 5. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Dimensi Mutu Pelayanan Farmasi Rawat Jalan menurut
Tabel 7. Saran-saran Responden

Referensi

Dokumen terkait

(8) Bagi PGAPT yang melakukan perdagangan Gula Kristal Rafinasi antar pulau selain wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), wajib melampirkan Surat

PENGARUH PROFITABILITAS, LIKUIDITAS, SIZE DAN LEVERAGE PERUSAHAAN TERHADAP YIELD OBLIGASI DENGAN PERINGKAT OBLIGASI.. SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Yuinar Laeli Nur

Seberapa efektif peran perwakilan para pendatang terlibat sebagai pihak ketiga dalam konflik laten antara Pemerintah Indonesia dengan Papua dan Papua Barat.. Setelah

Bahwa untuk memberi landasan, arah dan tujuan badan – badan kelengkapan Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada agar memudahkan perjalanan organisasi, maka

Otomikosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur baik bersifat akut, sub akut, maupun kronik yang terjadi pada liang telinga luar ( kanalis auditorius

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, jelaslah bahwa melalui sharing dan penggunaan media audio visual pada mata pelajaran Pendidikan Agama

Volume setara (equivalent volume,Veq) menyatakan volume batuan yang diharapkan terbongkar untuk setiap meter kedalaman lubang ledak yang dinyatakan dalam m 3 /m.. Jadi,

Model sistem informasi pariwisata terpadu kabupaten Jombang ialah model implementasi program pariwisata kabupaten Jombang yang dapat dilakukan dengan menerapkan