• Tidak ada hasil yang ditemukan

LUCIA PANCANI ANGGRAENI G.0009121

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LUCIA PANCANI ANGGRAENI G.0009121"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN FREKUENSI

BANGKITAN PADA PENDERITA EPILEPSI PARSIAL DI RSUD DR.

MOEWARDI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

LUCIA PANCANI ANGGRAENI

G.0009121

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan pada Penderita Epilepsi Parsial di RSUD Dr. Moewardi

Lucia Pancani Anggraeni, NIM : G.0009121, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Kamis, Tanggal 13 Desember 2012

Pembimbing Utama

Nama : Diah Kurnia M, dr., Sp.S

NIP : 19680707 200312 2 001 (………)

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr.H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes

NIP : 19560320 198312 1 002 (………)

Penguji Utama

Nama : Agus Soedomo, dr., Sp.S (K)

NIP : 19490516 197602 1 002 (………)

Anggota Penguji

Nama : Prof. Dr. Kijatno, dr. M.Or., PFK, AIFO

NIP : 19480118 197603 1 002 (………)

Surakarta,

(3)

commit to user

iii

Muthmainah, dr., M.Kes. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 13 Desember 2012

(5)

commit to user

v ABSTRAK

Lucia Pancani Anggraeni, G0009121, 2012. Hubungan antara Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan Penderita Epilepsi Parsial di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Kecemasan adalah salah satu gangguan psikologis yang merupakan manifestasi klinis dari gangguan pada sistem saraf, sedangkan sistem saraf adalah suatu sistem tubuh yang berperan penting dalam pengendalian bangkitan pada penderita epilepsi. Oleh karena itu, secara tidak langsung kecemasan mempengaruhi timbulnya bangkitan pada penderita epilepsi. Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya hubungan antara kecemasan dan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi.

Metode: Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian adalah penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi yang didiagnosis berdasar gambaran EEG. Sampel yang digunakan sebanyak 31 orang. Sampel diambil secara purposive sampling setelah diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner kecemasan TMAS, wawancara frekuensi bangkitan 1 bulan terakhir, dan rekam medik penderita. Data skor kecemasan dan frekuensi bangkitan yang diperoleh dianalisis dengan model analisis regresi linier

menggunakan program SPSS 17.0 for Windows.

Hasil: Hasil analisis variabel menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara kecemasan dan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi. Penderita dengan kecemasan lebih tinggi memiliki risiko mengalami frekuensi bangkitan yang lebih sering. Hasil analisis variabel menunjukkan hubungan yang signifikan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi (p = 0.008; CI 95% = 0.06 s/d 0.37).

Simpulan: Terdapat hubungan yang positif antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi. Penderita dengan skor kecemasan lebih tinggi memiliki risiko mengalami frekuensi bangkitan lebih sering.

(6)

commit to user

vi ABSTRACT

Lucia Pancani Anggraeni, G0009121, 2012. The Relation between Anxiety with Frequency of Seizure on Patients with Partial Epilepsy in RSUD Dr. Moewardi. Mini thesis, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Anxiety is a psychological disorder which is the clinical manifestations of disorders of the nervous system, while the nervous system is a system of the body that plays an important role in the control of seizure in patients with epilepsy. Therefore, anxiety affects the onset of seizure in patients with epilepsy indirectly. This study aims to demonstrate an association between anxiety and seizure frequency of partial epileptic patients in hospitals Dr. Moewardi.

Methods: This study was an observational analytic cross-sectional approach. Subjects were patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi diagnosed based EEG picture. Samples used as many as 31 people. Samples were taken by purposive sampling after selected based on specific inclusion and exclusion criteria. Data collection techniques using TMAS anxiety scale, interviews about frequency of seizures in last one month, and the patient's medical record. Scores of anxiety and frequency of seizure were analyzed with linear regression test models using SPSS 17.0 for Windows.

Results: The results of the analysis of the variables showed that there is a positive relationship between anxiety and frequency of seizure on patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi. Patients with higher anxiety had a risk of have more often frequency of seizure. The results of the analysis of the variables showed a statistically significant relationship between anxiety and frequency of seizure on patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi (p = 0.008; CI 95% = 0.06 s/d 0.37).

Conclusion: There is a positive relationship between anxiety and frequency of seizure on patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi. Patients with higher anxiety had a risk of have more often frequency of seizure.

(7)

commit to user

vii PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Mahakasih atas segala berkat dan kasih yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan pada Penderita Epilepsi Parsial di RSUD Dr. Moewardi”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini adalah hasil dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

3. Diah Kurnia M, dr., Sp.S, selaku pembimbing utama atas bimbingan, motivasi, dan waktu yang telah diluangkan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes, selaku pembimbing pendamping atas bimbingan, arahan, dan saran yang senantiasa diberikan.

5. Agus Soedomo, dr., Sp.S (K), selaku penguji utama yang telah berkenan menguji serta memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Kijatno, dr., M.Or., PFK, AIFO, selaku anggota penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. 7. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc., Ph.D, yang telah berkenan

memberikan bimbingan tambahan pada penulisan skripsi ini.

8. Bagian SMF Saraf dan Poliklinik Saraf RSUD Dr. Moewardi.

9. Ibu Eny dan Bapak Nardi selaku Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

10.Yohanes S, Maria Magdalena R, FX. Kuncoro H, Victora Putri M, dan seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

11.Nani Isyrofatun, Locoporta Agung, Fitri Prawitasari, Nurrasyidah, Asri Sukawati P, Daniel Pardameian S. Teman-teman terbaik yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

12.Fillisita Chandramalina Dewayani, teman seperjuangan dalam penyelesaian skripsi, atas semangat yang selalu memotivasi penulis.

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, 13 Desember 2012

(8)

commit to user

e. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan ... 9

(9)

commit to user

ix

3. Hubungan Kecemasan dengan Bangkitan Epilepsi ... 20

B. Kerangka Pemikiran ... 21

F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 25

G. Definisi Operasional Variabel ... 25

H. Rancangan Penelitian ... 28

I. Instrumen Penelitian ... 28

J. Cara Pengambilan Data ... 30

K. Analisis Data ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 31

A. Karakteristik Responden ... 31

(10)

commit to user

x

DAFTAR SINGKATAN

TMAS : Taylor Manifest Anxiety Scale

DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid

IPSPs : Inhibitory Post Synaptic Potentials

ILAE : International League Against Epilepsy

SSP : Sistem Saraf Pusat

LMMPI : Lie Minnesota Multhiphasic Personality Inventory

RTA : Reality Testing Abillity

SPSS : Statistic Program for Social Science

(11)

commit to user

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik Responden ... 31

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan ... 32

Tabel 4.3. Karakteristik Responden menurut Pengelompokkan kecemasan... 33

(12)

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran ... 21

Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian ... 28

Gambar 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Bangkitan 1

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan (Informed Consent)

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

Lampiran 3 Kuesioner LMMPI

Lampiran 4 Kuesioner TMAS

Lampiran 5 Surat Keterangan Ijin Penelitian

Lampiran 6 Data Primer Agustus 2012

Lampiran 7 Lembar Analisis Statistik

Lampiran 8 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Terhadap Hubungan antara Skor

(14)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar,

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart, 2006).

(Yates, 2012). Sebuah meta-analisis terhadap 46 studi menemukan bahwa

sekitar 17% orang suatu saat pernah mengalami kecemasan (Pinel, 2009).

Epilepsi adalah gangguan kronis yang ditandai dengan kejang, atau

disfungsi otak paroksismal akibat impuls saraf yang berlebihan (Titlic, 2008).

WHO tahun 2009 menyebutkan bahwa sekitar 50 juta penduduk di seluruh

dunia menderita penyakit epilepsi. Insidensi epilepsi terjadi pada 4 sampai 10

per 1000 populasi umum. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan bahwa di

negara berkembang insidensi epilepsi dapat terjadi hingga 6 sampai 10 per

1000 penduduk. Hampir dari 90 persen penderita epilepsi di seluruh dunia

ditemukan di negara-negara berkembang (WHO, 2009). Di Indonesia

diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan

atau membutuhkan pengobatan berkisar antara 1,8 juta penduduk dari 237,6

juta penduduk di Indonesia atau sekitar 0,76 persen dari jumlah penduduk

Indonesia (Lumbantobing, 2006).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi bangkitan epilepsi,

yaitu antara lain kurang tidur, stres emosional, infeksi, demam, konsumsi

(15)

commit to user

2

atau stres fisik, fotosensitif (Harsono, 1996). Kecemasan sebagai salah satu

faktor emosional yang mungkin dapat berpengaruh pada bangkitan epilepsi

belum banyak diteliti, sehingga penelitian mengenai hubungan antara

kecemasan dengan bangkitan epilepsi masih perlu dilakukan. Torta (1999)

menyebutkan bahwa risiko kecemasan lebih tinggi pada pasien epilepsi

parsial terutama dengan fokus pada lobus temporal dibandingkan pada

epilepsi umum.

Dengan meneliti hubungan antara kecemasan dengan frekuensi

bangkitan epilepsi, maka dapat diperoleh informasi ilmiah dan sumbangan

pengetahuan yang berguna dalam menunjang pengobatan penderita epilepsi

guna mengurangi dampak negatif epilepsi bagi kehidupan penderitanya.

Dampak epilepsi pada kehidupan penderita di antaranya adalah cedera akibat

epilepsi, menurunnya kualitas hidup (Disability Adjusted Life Years), stigma

sosial, dan risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi umum. Oleh

karena itu, bangkitan epilepsi pada penderita harus dicegah sehingga tidak

terjadi kerusakan yang lebih besar pada kehidupan penderitanya (Shafer,

2002).

Kecemasan adalah salah satu gangguan psikologis yang merupakan

manifestasi klinis dari gangguan pada sistem saraf akibat berbagai faktor,

sedangkan sistem saraf sangat berperan penting dalam pengendalian

bangkitan pada penderita epilepsi. Oleh karena itu, secara tidak langsung

(16)

commit to user B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan

pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan

pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis

Memberikan sumbangan pengetahuan hubungan antara kecemasan

dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi khususnya epilepsi

parsial.

2. Aspek Aplikatif

Memberikan informasi ilmiah pada masyarakat dan tenaga medis

mengenai hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada

penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi sehingga dapat

memberi masukan informatif untuk menunjang pengobatan penyakit

(17)

commit to user

4 BAB II

DASAR TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kecemasan

a. Definisi

Kecemasan merupakan pengalaman takut atau cemas dalam

usaha mengantisipasi bahaya yang bersumber dari internal atau

eksternal yang disertai oleh beberapa atau semua dari tanda-tanda

fisik seperti ketegangan otot, gelisah, hiperaktif simpatik, dan tanda

serta gejala kognitif (kewaspadaan yang berlebihan, kebingungan,

konsentrasi menurun, atau takut kehilangan kontrol) (Yates, 2012).

Definisi lain menyebutkan bahwa kecemasan adalah rasa khawatir

bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi disertai dengan gejala

somatik yang menandakan adanya aktivitas yang berlebihan dari

susunan saraf pusat autonomik (Scaphiro, 2003). Kecemasan dapat

berupa perasaan gelisah yang subjektif, sejumlah perilaku (tampak

khawatir dan gelisah), atau respon fisiologis yang bersumber dari

otak dan tercermin dalam bentuk peningkatan denyut jantung dan

ketegangan otot (Barlow, 2006).

Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga

diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu. Kecemasan

(18)

commit to user

kehidupan sehari-hari, menghasilkan peringatan yang berharga dan

penting untuk memelihara keseimbangan diri dan melindungi diri

(Suliswati, 2005).

Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang

sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab

kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak

diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional

terhadap ancaman atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar

yang dihadapi secara sadar. Kecemasan dianggap patologis bilamana

mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan

atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005).

Walaupun merupakan hal yang normal dialami namun

kecemasan tidak boleh dibiarkan karena lama kelamaan dapat

menjadi neurosa cemas melalui mekanisme yang diawali dengan

kecemasan akut, yang berkembang menjadi kecemasan menahun

akibat represi dan konflik yang tak disadari. Adanya stres pencetus

dapat menyebabkan penurunan daya tahan dan mekanisme untuk

mengatasinya sehingga mengakibatkan neurosa cemas (Maramis,

2005).

b. Patofisiologi

Dalam Sistem Saraf Pusat (SSP), mediator utama dari gejala

gangguan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dopamin, dan

(19)

commit to user

6

peptida, seperti corticotropin-releasing factor, ada kemungkinan

juga terlibat dalam patofisiologi terjadinya gangguan kecemasan.

Sistem saraf otonom, khususnya sistem saraf simpatik, berperan

penting dalam proses timbulnya gejala pada gangguan kecemasan

(Freitas, 2010).

Kecemasan adalah respon dari persepsi terancam yang

diterima oeh sistem saraf pusat akibat adanya rangsangan berupa

pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsangan tersebut

dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem

saraf pusat yang melibatkan cortex cerebri diteruskan ke limbic

system lalu ke reticular activating system kemudian ke

hypothalamus yang memberikan impuls ke kelenjar adrenal,

selanjutnya memacu sistem saraf otonom (Mudjadid, 2007).

c. Klasifikasi dan Derajat

Menurut DSM-IV-TR ( Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders edisi IV Teks Revisi) gangguan kecemasan

diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Kecemasan menyeluruh

2) Kecemasan berhubungan dengan kondisi medis

3) Panik adalah serangan tidak terduga dan spontan yang terdiri

atas periode rasa takut intens sampai sedikit serangan selama

(20)

commit to user

4) Panik dengan atau tanpa agoraphobia. Agoraphobia yaitu rasa

takut berada sendirian di tempat umum dimana terdapat

banyak orang/keramaian, berpergian ke luar rumah, atau

berpergian sendirian.

5) Agoraphobia dengan atau tanpa riwayat panik

6) Spesifik phobia yaitu kecemasan yang terbatas pada adanya

objek atau situasi tertentu

7) Phobia sosial yaitu rasa takut yang menetap dan kuat akan

situasi yang menimbulkan rasa malu .

8) Obsesif kompulsif adalah pikiran atau sensasi berulang untuk

melakukan perilaku yang disadari dan standar secara berulang.

9) Post-traumatic disorder (Sadock, 2010).

Respon seseorang terhadap kecemasan tergantung dari

tingkat kecemasan yang dideritanya. Peplau membagi tingkat

kecemasan menjadi empat (Videbeck, 2008), yaitu:

1) Kecemasan ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari.

Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas.

Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu

memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan

(21)

commit to user

8

2) Kecemasan sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi

perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih

dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.

3) Kecemasan berat

Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya

pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir

tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk

mengurangi kecemasan dan perlu banyak perhatian atau arahan

untuk terfokus pada area lain.

4) Kecemasan berat sekali atau panik

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang.

Karena hilangnya kontrol maka tidak mampu melakukan

apapun meskipun dengan perintah.Terjadi peningkatan

aktifitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan

dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya

pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif.

Biasanya disertai disorganisasi kepribadian.

d. Faktor Pencetus

Beberapa faktor yang dapat mencetuskan terjadinya kecemasan

(22)

commit to user

1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis

yang terjadi atau menurunnya kemampuan fisik untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2) Ancaman terhadap sistem diri yang dapat membahayakan

identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terdapat pada suatu

individu (Stuart, 2006).

e. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Berikut adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan

(Stuart, 2006):

1) faktor psikoanalitis

Cemas merupakan konflik emosional yang terjadi antara id dan

superego. Id meliputi dorongan insting dan impuls primitive,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani yang

dikendalikan norma budaya.

2) faktor interpersonal

Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan

penolakan interpersonal.

3) faktor perilaku

Cemas merupakan suatu bentuk kekhawatiran yang

mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang

(23)

commit to user

10

4) faktor keluarga

Gangguan cemas seringkali muncul dalam keluarga yang pada

akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecemasan individu.

5) faktor biologis

Otak memiliki reseptor-reseptor khusus terhadap

neurotransmiter yang bekerja khusus dalam timbulnya

kecemasan. Selain itu kesehatan umum serta fungsi fiologis

suatu individu sangat berperan dalam timbulnya perasasan

cemas terhadap suatu individu.

f. Manifestasi Cemas

Menurut Stuart dan Sundeen, (1998) manifestasi cemas dapat

meliputi respon fisiologi, kognitif, tingkah laku, dan efektif.

1) Respon Fisiologi

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme

protektif dan adaptif untuk memelihara keseimbangan

homeostasis dalam tubuh. Karena mengakibatkan peningkatan

fungsi sistem organ vital secara umum. Seperti pada sistem di

bawah ini (Stuart dan Sundeen, 1998):

a) Sistem Kardiovaskuler

Palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah, dan denyut nadi

menurun, pingsan.

(24)

commit to user

Napas cepat, pernapasan dangkal, rasa tertekan pada dada,

rasa tercekik dan terengah-engah.

c) Sistem Neuromuskuler

Peningkatan reflek, reaksi kejutan, insomnia, ketakutan,

gelisah, tegang, kelemahan secara umum, gerakan lambat.

d) Sistem Gastrointestinal

Kehilangan nafsu makan, rasa tidak nyaman pada abdomen,

mual, diare.

e) Sistem Perkemihan

Tidak dapat menahan buang air kecil, sering buang air

kecil.

f) Sistem Integumen

Rasa terbakar pada muka, berkeringat pada telapak tangan,

gatal-gatal, perasaan panas atau dingin pada kulit, muka

pucat, berkeringat seluruh tubuh.

2) Respon Kognitif, Perilaku, dan Efektif

Respon kecemasan pada pasien juga dapat mempengaruhi

pada sistem kognitif, seperti: gangguan perhatian, konsentrasi

hilang, pelupa, salah tafsir, bloking pada pikiran, lahan persepsi

menurun, kreatifitas menurun, bingung, kesadaran diri yang

berlebihan, khawatir yang berlebihan, objektivitas hilang, takut.

Pada sistem perilaku, seperti: gelisah, ketegangan fisik, tremor,

(25)

commit to user

12

hiperventilasi. Dan sistem afektif, seperti: tidak sadar, tegang,

takut yang berlebihan, gugup yang luar biasa, sangat gelisah.

Kecemasan juga melibatkan disregulasi sistem saraf

perifer dan pusat di dalam patofisiologinya. Sistem

neurotransmiter utama yang terlibat adalah norepinefrin,

serotonin, dan GABA (Kaplan & Sadock, 2005).

2. Epilepsi

a. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai gejala kronis yang ditandai

adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak

secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik

abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi

(Pallgreno, 1996).

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan

serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung

secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel

saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

(unprovoked). Bangkitan dapat berupa gangguan motorik, sensorik,

(26)

commit to user b. Anatomi dan Fisiologi

Otak tersusun atas kurang lebih 15 miliar neuron yang

membentuk subtansia alba dan substansia grisea. Otak merupakan

organ yang sangat komplek dan sensitif, berfungsi sebagai

pengendali dan pengatur seluruh aktivitas yaitu gerakan motorik,

sensasi, berpikir dan emosi. Selain itu, otak merupakan penyimpan

memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom.

Sel-sel otak bekerja bersama-sama dan berkomunikasi melalui

signal-signal listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik

yang berlebihan dan tidak teratur dari sekelompok sel yang

menghasilkan bangkitan atau seizure. Sistem limbik merupakan

bagian otak yang paling sensitif terhadap bangkitan. Ekspresi

aktivitas otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik,

kognitif atau psikis (Bate, 1999).

Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak),

hipokampus, dan area fronto-temporal sering kali merupakan letak

awal munculnya bangkitan epilepsi., Area subkorteks misalnya

thalamus, substansia nigra dan korpus striatum berperan dalam

menyebarkan aktivitas bangkitan dan mencetuskan bangkitan

epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area

subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan

area otak lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal.

(27)

commit to user

14

penderita epilepsi dapat memudahkan penyebaran aktivitas

bangkitan mengikuti awal bangkitan parsial atau munculnya

bangkitan epilepsi umum primer (Bate, 1999).

c. Etiologi

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh

cedera kepala, strok, tumor otak, infeksi otak, keracunan,

pertumbuhan jaringan saraf yang tidak normal, dan pengaruh genetik

yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel

secara fisik pada cedera maupun strok dan tumor akan

mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan

struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun

plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa

menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga

terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (fokus) di otak (Shorvon,

2001).

Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan

adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan

gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan

eksitatorik neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait

akan membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang berlebihan

ke dalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang berdampak

(28)

commit to user

mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri (Holmes,

2001; Christensen, 2007).

d. Patofisiologi

Otak terdiri banyak sel neuron yang berhubungan satu sama

lain. Sel-sel neuron tersebut saling berhubungan melalui impuls

listrik dengan bahan perantara kimiawi yaitu neurotransmiter

(Cotman, 1995).

Impuls listrik tersebut bergantung pada permeabilitas selektif

membran neuron, yakni membran sel yang mudah dilalui oleh ion K

dari ruang ektraseluler ke intraseluler. Ruang intraseluler

mengandung ion Ca, Na, dan Cl yang rendah, begitu sebaliknya pada

ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion – ion tersebut

menimbulkan potensial membran. Membran yang terpolarisasi dapat

dipertahankan oleh adanya suatu proses metabolik aktif (pompa

sodium) yang mengeluarkan ion Ca dan Na dari dalam sel (Harsono,

1996).

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan

ini adalah Glutamat dan GABA. Glutamat yang merupakan

neurotransmiter eksitasi yang memudahkan depolarisasi, sedangkan

GABA bersifat sebagai brain’s inhibitory neurotransmiter yang

menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron stabil dan tidak

(29)

commit to user

16

Bangkitan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak

lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di

dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion

ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya

sinkronisasi neuron memiliki peran yang sangat penting dalam hal

inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas

neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan

intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos

membran neuron (Prasad, 1999).

Bangkitan epilepsi dapat terjadi karena transmisi impuls yang

berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,

sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi dapat terjadi

pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh

neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok

neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari bangkitan

epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron

penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan

impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan

neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan (Budiarto, 1999).

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila

konsentrasi GABA tidak normal. Pada otak manusia yang menderita

epilepsi ternyata kandungan GABA lebih rendah. Hambatan oleh

(30)

commit to user

inhibitory post synaptic potentials) adalah melalui reseptor GABA.

Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan

oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, yaitu suatu zat yang

merupakan neurotransmiter inhibitorik utama pada otak. Penelitian

membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponen GABA

bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah

rangsangan (Budiarto, 1999).

e. Faktor Pencetus

Berikut ini adalah faktor-faktor pencetus yang dapat meningkatkan

risiko bangkitnya bangkitan epilepsi :

1) Kurang tidur: mengganggu aktivitas dari sel-sel otak;

2) Stres emosional: stres dapat meningkatkan frekuensi

bangkitan;

3) Infeksi: biasanya disertai dengan demam. Demam inilah yang

mencetuskan perubahan kimiawi otak, sehingga mengaktifkan

sel-sel epileptik yang menimbulkan bangkitan. Hal ini sering

terjadi pada anak-anak;

4) Obat-obatan tertentu: antidepresan trisiklik, obat tidur/sedatif,

atau fenotiasin. Menghentikan obat penenang seperti

berbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang;

5) Alkohol;

(31)

commit to user

18

7) Terlalu lelah atau stres fisik: menyebabkan hiperventilasi.

Akibatnya, kadar CO2 bertambah dan terjadi penciutan

pembuluh darah otak;

8) Fotosensitif: ada penderita epilepsi yang fotosensitif pada

kilatan sinar pada kisaran antara 10-15 Hz (Harsono, 1996).

f. Klasifikasi

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989

untuk sindroma epilepsi (ILAE, 1981).

1) Berkaitan dengan letak fokus (parsial)

Epilepsi parsial adalah epilepsi yang dimulai dari suatu daerah

di otak dengan gejala bergantung pada lokasi fokus di otak.

a) Idiopatik (primer)

(1) Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di

sentrotemporal (Rolandik benigna )

(2) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

(3) Primary reading epilepsy

b) Simtomatik (sekunder)

(1) Lobus temporalis

(2) Lobus frontalis

(3) Lobus parietalis

(4) Lobus oksipitalis

(32)

commit to user

c) Kriptogenik

2) Umum (generalisata)

Epilepsi generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan

diensefalon serta ditandai dengan bangkitan yang bilateral dan

simetris yang terjadi di kedua hemisferr tanpa tanda-tanda

bahwa bangkitan berasal dari suatu fokus di otak.

a) Idiopatik (primer)

(1) Kejang neonatus familial benigna

(2) Kejang neonatus benigna

(3) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

(4) Epilepsi absans pada anak

(5) Epilepsi absans pada remaja

(6) Epilepsi mioklonik pada remaja

(7) Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik pada saat

terjaga

(8) Epilepsi tonik kionik dengan bangkitan acak

b) Kriptogenik atau simtomatik

(1) Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)

(2) Sindroma Lennox Gastaut

(3) Epilepsi mioklonik astatik

(4) Epilepsi absans miokionik

c) Simtomatik

(33)

commit to user

20

(a) Ensefalopati miokionik neonatal

(b) Sindrom Ohtahara

(2) Etiologi/sindrom spesifik

(a) Malformasi serebral

(b) Gangguan metabolisme

3. Hubungan antara Kecemasan dengan Bangkitan Epilepsi

GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat paling

penting dalam SSP. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa fungsi

abnormal reseptor GABA bisa menjadi faktor yang sangat berperan

dalam patofisiologi gangguan kecemasan dan epilepsi (Chapouthier,

2001).

Ketakutan dan kecemasan sering dikaitkan dengan kejang parsial

sederhana (Torta, 1999). Risiko kecemasan lebih tinggi pada pasien

epilepsi parsial terutama dengan fokus pada lobus temporal dibandingkan

pada epilepsi umum. Trimble (1991) melaporkan bahwa pada 19%

pasien dengan epilepsi lobus temporal didiagnosis mengalami gangguan

(34)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran keterangan

(35)

commit to user

22

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada

penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi, yaitu bahwa kecemasan

meningkatkan terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi parsial di

(36)

commit to user

23 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik non-eksperimental dengan

pendekatan cross-sectional yaitu, peneliti mempelajari hubungan antara

variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek) yang diobservasi

hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqqurohman, 2008).

B. Subjek Penelitian

1. Kriteria Inklusi

a. Penderita epilepsi parsial

Penderita epilepsi dalam penelitian ini adalah penderita epilepsi

parsial yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan penunjang

electroencephalographic (EEG) dan tercatat pada rekam

medik/medical record.

b. Berusia 18-65 tahun

c. Bersedia sebagai responden penelitian

d. Lulus screening Lie-scale Minnesota Multiphasic Personality

Inventory (LMMPI)

2. Kriteria eksklusi

a. Penderita epilepsi parsial mengalami infeksi berat dalam satu bulan

(37)

commit to user

24

b. Penderita epilepsi parsial yang mengkonsumsi obat antidepresan

trisiklik, obat tidur/sedatif, atau fenotiasin dalam satu bulan terakhir

c. Penderita epilepsi parsial yang mengkonsumsi alkohol dalam satu

bulan terakhir

C. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan Juli-Agustus 2012. Penelitian dilakukan di Poliklinik

Saraf RSUD Dr. Moewardi.

D. Teknik Penganmbilan Sampel

Pengambilan sampel dangan cara purposive sampling berdasarkan

kriteria inklusi dan eklusi yang telah ditetapkan (Taufiqqurohman, 2008).

E. Perhitungan Jumlah Sampel

Dalam menentukan ukuran/jumlah sampel menggunakan pedoman

rules of thumb yang dikemukakan oleh Roscoe dalam Sekaran (2000) yaitu:

1. Jumlah sampel yang paling sesuai untuk hampir semua penelitian adalah

30 < n < 500;

2. Sampel dibagi ke dalam beberapa subsampel (laki-laki/perempuan,

senior/junior, dan sebagainya), jumlah sampel minimal untuk kategori

(38)

commit to user

3. Penelitian multivariance (termasuk multipleregression analysis), jumlah

sampel harus beberapa kali (sekitar sepuluh kali atau lebih) lipat dari

jumlah variabel dalam penelitian;

4. Penelitian eksperimen yang sederhana dengan pengendalian

eksperimental yang ketat, penelitian yang baik dapat dilakukan dengan

menggunakan jumlah sampel sekitar 10 sampai 20.

Berdasarkan rules of thumb tersebut, penelitian ini membutuhkan

sampel dengan jumlah minimal 30.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas : Kecemasan

2. Variabel Terikat : Frekuensi bangkitan

3. Variabel Luar

a. Variabel luar terkendali : Infeksi, konsumsi obat tertentu

(antidepresan trisiklik, obat tidur/sedatif, atau fenotiasin), alkohol

b. Variabel luar tak terkendali : Perubahan hormonal, kelainan

pembuluh darah otak, ambang batas rangsang serangan

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas : kecemasan

a. Definisi

Kecemasan (anxiety) adalah gangguan alam perasaan

(39)

commit to user

26

mendalam dan berkelanjutan, tetapi kemampuan dalam menilai

realitas (Reality Testing Abillity/RTA) tidak terganggu, kepribadian

juga masih utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/spletting of

personality), sedangkan perilaku dapat terganggu walaupun masih

dalam batas-batas normal.

b. Cara penilaian

Kecemasan dinilai dengan kuesioner Taylor Manifest Anxiety

Scale (TMAS). Pengisian TMAS diisi sendiri oleh responden.

Responden menjawab keadaan ya atau tidak sesuai dengan keadaan

dirinya dengan memberi tanda (X) pada kolom jawaban ya atau

tidak. Pada pertanyaan favorablejika diisi jawaban “ya” maka diberi

nilai 1, sedangkan dalam pertanyaan unfavorable jika diisi jawaban

“tidak” maka diberi nilai 1. Tiap nilai dari masing masing pertanyaan

kemudian dijumlah. Semakin tinggi skor kecemasan maka semakin

tinggi tingkat kecemasannya (Azwar, 2009). Selain itu, hasil dapat

dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu nilai berjumlah < 21

dikategorikan menjadi kelompok tidak cemas, sedangkan nilai

berjumlah ≥ 21 dapat dikategorikan menjadi kelompok cemas.

c. Skala variabel bebas adalah interval.

2. Variabel terikat : frekuensi bangkitan

(40)

commit to user

Frekuensi bangkitan dalam penelitian ini adalah jumlah

bangkitan epilepsi yang terjadi pada penderita epilepsi parsial dalam

1 bulan terakhir.

b. Cara penilaian

Frekuensi bangkitan dinilai berdasarkan wawancara langsung

kepada penderita atau keluarga penderita. Wawancara meliputi

beberapa pertanyaan berkaitan dengan riwayat frekuensi bangkitan

epilepsi yang terjadi dalam satu bulan terakhir.

c. Skala pengukuran variabel terikat adalah skala rasio.

3. Variabel luar

a. Variabel luar terkendali

1) Infeksi

Infeksi hingga menyebabkan demam mempengaruhi kimiawi

otak sehingga mengaktifkan sel-sel epileptik dan mencetuskan

terjadinya bangkitan epilepsi.

2) Konsumsi obat tertentu

Golongan obat tertentu yang mempengaruhi fungsi otak dapat

mencetuskan terjadinya kejang.

3) Alkohol

Konsumsi alkohol dapat mempengaruhi fungsi otak sehingga

(41)

commit to user

28

b. Variabel luar tak terkendali

1) Perubahan hormonal

2) Kelainan pembuluh darah otak

3) Ambang batas rangsang serangan

H. Rancangan Penelitian

Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian

I. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner Lie Minnesota Mutiphasic Personality Inventory (LMMPI)

Instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam

menjawab pertanyaan yang ada dalam kuesioner penelitian. Skala

LMMPI berisi lima belas butir pertanyaan. Responden menjawab “ya” penderita epilepsi

parsial

analisis data Regresi Linier

kuesioner TMAS

wawancara frekuensi bangkitan

1 bulan terakhir kuesioner

(42)

commit to user

bila butir pertanyaan dalam LMMPI sesuai dengan perasaan dan keadaan

responden, dan “tidak” bila tidak sesuai dengan perasaan dan keadaan

responden. Responden yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan

kejujurannya bila jawaban “tidak” berjumlah sepuluh atau kurang

(Semiun, 2010).

2. Kuesioner Kecemasan

Angka kecemasan yang digunakan adalah Taylor Manifest Anxiety

Scale(TMAS). Kuesioner ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”. Pada

pertanyaan favorable jika diisi jawaban “ya” maka diberi nilai 1,

sedangkan dalam pertanyaan unfavorablejika diisi jawaban “tidak” maka

diberi nilai 1. Tiap nilai dari masing-masing pertanyaan kemudian

dijumlah. Jumlah nilai menentukan derajat kecemasan seseorang

(Azwar, 2009).

Jawaban dari pernyataan-pernyataan tersebut harus memperhatikan

hal-hal berikut :

a. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan atau favourable,

yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26,

27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, dan

49 (35 butir)

b. Butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau

unfavourable, yaitu 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44,

(43)

commit to user

30

TMAS mempunyai derajat validitas yang cukup tinggi, akan tetapi

dipengaruhi juga oleh kejujuran dan ketelitian responden dalam

mengisinya. Karena itu peneliti menggunakan tes LMMPI untuk

menghindari terjadinya perhitungan hasil yang mungkin invalid karena

kesalahan atau ketidakjujuran responden.

3. Rekam medik (medical record) pasien epilepsi di RSUD Dr. Moewardi

sebagai data sekunder.

J. Cara Pengambilan Data

1. Sampel positif penderita epilepsi parsial berdasarkan data Poliklinik

Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan berusia 18-65 tahun.

2. Mengisi kuesioner LMMPI dimana yang memenuhi syarat sebagai

subjek penelitian yaitu apabila jawaban “tidak” berjumlah < 10.

3. Mengisi kuesioner TMAS.

4. Wawancara frekuensi bangkitan epilepsi satu bulan terakhir.

K. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis regresi

linier. Analisis data menggunakan Statistical Program for Social Science

(44)

commit to user

31 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini, responden diperoleh dari Poliklinik Saraf RSUD

Dr. Moewardi. Responden adalah penderita epilepsi parsial berusia 18 sampai

65 tahun.

Tabel 4.1. Karakteristik Responden

Karakteristik Responden n (%)

Umur

-Tidak mengikuti pendidikan formal 2 (6.5)

-Sekolah Dasar 6 (19.4)

-Sekolah Menengah Pertama 8 (25.8)

-Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah

Kejuruan

(45)

commit to user

32

Dari penelitian tersebut didapatkan 31 responden yang memenuhi

kriteria inklusi dan seluruhnya digunakan sebagai subjek penelitian.

Responden terdiri dari 10 orang (38.7%) perempuan dan 21 orang (61.35%)

laki-laki.

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir didapatkan data 2 orang (6.5%)

tidak mengikuti pendidikan formal, 6 orang (19.4%) lulusan Sekolah Dasar, 8

orang (25.8%) lulusan Sekolah Menengah Pertama, 15 orang (48.4%) lulusan

Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan.

Berdasarkan pekerjaan didapatkan data 3 orang (9.7%) tidak bekerja, 7

orang (22.6%) ibu rumah tangga, 4 orang (12.9%) pelajar, 3 orang (9.7%)

petani, 5 orang (16.1%) buruh, 9 orang (29%) pekerja swasta.

B. Kecemasan

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Hasil penelitian menunjukkan 31 responden memiliki skor kecemasan

(46)

commit to user

dikategorikan menjadi kelompok cemas. Berdasarkan pengelompokan

tersebut, 21 orang (67.7%) di antaranya termasuk kategori tidak cemas dan 10

orang (32.3%) lainnya termasuk kategori cemas.

Tabel 4.3. Karakteristik Responden menurut Pengelompokan Kecemasan

*uji Kolmogorov-Smirnov

(47)

commit to user

34

Berdasarkan pengelompokan umur, yang paling banyak mengalami

cemas adalah pada kelompok umur 18-20 tahun, yaitu 4 orang (12.9%). Tidak

didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok umur (p = 0.762).

Berdasarkan jenis kelamin, dapat disimpulkan hanya sepertiga dari

jumlah responden perempuan dan laki-laki yang mengalami cemas. Tidak

didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok jenis kelamin (p = 1.000).

Setengah dari jumlah responden pada kelompok tidak mengikuti

pendidikan formal mengalami cemas, sedangkan pada kelompok responden

dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar, Sekolah Menengah

Pertama, dan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan, hanya

sepertiga dari jumlah respondennya yang mengalami cemas. Tidak

didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok tingkat pendidikan terakhir

(p = 1.000).

Pada pengelompokan responden berdasarkan jenis pekerjaan, pada

kelompok responden pelajar didapatkan jumlah responden yang tidak

mengalami cemas dan jumlah responden yang mengalami cemas adalah

sama, sedangkan pada responden dengan pekerjaan petani tidak didapatkan

responden yang mengalami cemas. Tidak didapatkan perbedaan bermakna

(48)

commit to user C. Frekuensi Bangkitan

Gambar 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Bangkitan 1 Bulan

Terakhir n (%)

Berdasarkan hasil wawancara frekuensi bangkitan epilepsi 1 bulan

terakhir dapat disimpulkan bahwa dari 31 responden, 17 orang (54.8%) di

antaranya tidak mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan 14

orang lainnya (45.2%) masih mengalami bangkitan dengan frekuensi yang

bervariasi dalam 1 bulan terakhir, yaitu 3 orang (9.7%) mengalami 2 kali

bangkitan, 4 orang (12.9%) mengalami 3 kali bangkitan, 1 orang (3.2%)

mengalami 4 kali bangkitan, 2 orang (6.5%) mengalami 6 kali bangkitan, 1

orang (3.2%) mengalami 8 kali bangkitan, 1 orang (3.2%) mengalami 12 kali

bangkitan, 1 orang (3.2%) mengalami 15 kali bangkitan. 17 orang

(49)

commit to user

36

Tabel 4.4. Karakteristik Responden menurut Pengelompokan Bangkitan

*uji Kolmogorov-Smirnov

perhitungan % berdasarkan jumlah responden

Berdasarkan pengelompokan umur, diketahui pada kelompok umur

51-60 dan 61-65 tahun tidak didapatkan responden yang masih mengalami

bangkitan dalam 1 bulan terakhir (0.0%). Tidak ditemukan adanya perbedaan

(50)

commit to user

Berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok responden perempuan 8

orang (66.7%) tidak mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan

4 orang (12.9%) lainnya masih mengalami bangkitan. Pada kelompok

responden laki-laki, jumlah responden lebih banyak pada kelompok yang

masih mengalami bangkitan dibandingkan dengan kelompok tidak mengalami

bangkitan, yaitu 9 orang (29.0%) tidak mengalami bangkitan dalam 1 bulan

terakhir, sedangkan 10 orang (32.3%) lainnya masih mengalami bangkitan.

Tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada distribusi jenis

kelamin (p = 0.956).

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir didapatkan data bahwa pada

responden yang tidak mengikuti pendidikan formal, semuanya mengalami

bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan pada kelompok responden

lulusan Sekolah Dasar dan kelompok responden lulusan Sekolah Menengah

Pertama jumlah yang tidak mengalami bangkitan lebih besar dibandingkan

dengan jumlah yang masih mengalami bangkitan. Pada kelompok responden

lulusan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan didapatkan

data bahwa responden yang masih mengalami bangkitan lebih banyak

daripada yang tidak mengalami bangkitan. Tidak ditemukan adanya

perbedaan yang bermakna pada distribusi pendidikan terakhir (p = 0.990).

Bila dihubungkan dengan jenis pekerjaan responden, didapatkan data

bahwa pada kelompok responden ibu rumah tangga sebagian besar sudah

tidak mengalami bangkitan. Pada kelompok pelajar dari 4 orang responden

(51)

commit to user

38

sedangkan 3 orang lainnya masih mengalami bangkitan dalam 1 bulan

terakhir. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada distribusi

(52)

commit to user

39 BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 31 responden yang memenuhi

kriteria inklusi dan semuanya digunakan sebagai subjek penelitian. Dari hasil

wawancara didapatkan rincian data 17 orang (54.8%) tidak mengalami bangkitan

dalam 1 bulan terakhir, sedangkan 14 orang lainnya (45.2%) masih mengalami

bangkitan dengan frekuensi yang bervariasi. Frekuensi terbanyak adalah 15 kali

bangkitan. Hasil skor kecemasan yang diukur dengan kuesioner TMAS

didapatkan data yang bervariasi dengan skor terendah yaitu 3 poin dan skor

tertinggi adalah 39 poin.

Dari hasil uji analisis regresi linier didapatkan koefisien regresi sebesar

0.471 yang menunjukkan tingkat kekuatan hubungan antara skor kecemasan dan

frekuensi bangkitan ternasuk kategori sedang. Nilai Adjusted R Square sebesar

0.195 menggambarkan bahwa kecemasan mewakili 19.5 % dari varian yang

mempengaruhi frekuensi bangkitan, sedangkan sisanya yaitu 80.5% dipengaruhi

faktor-faktor selain kecemasan individu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan

hubungan antara kecemasan dan frekuensi bangkitan adalah signifikan (CI 95% =

0.06 s/d 0.37; p = 0,008). Selain itu dari hasil uji analisis regresi linier terhadap

data menghasilkan persamaan regresi Y = -1.174 + 0.218X dengan Y adalah

frekuensi bangkitan dan X adalah skor kecemasan. Persamaan regresi

(53)

commit to user

40

positif menunjukkan semakin tinggi kecemasan seseorang maka semakin tinggi

pula kecenderungan orang tersebut untuk mengalami bangkitan yang lebih sering.

Pada uji analisis regresi linier diperlukan uji normalitas data, tetapi uji

normalitas data tersebut bukan dilakukan pada data variabel, melainkan pada data

residual. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov terhadap data residual

menunjukkan bahwa data residual terdistribusi normal (p = 0.076).

Bila dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh

Ulrica (1999) pada penderita epilepsi umum (grand mal), hasil penelitian

menunjukkan simpulan yang sama, yaitu tingkat kecemasan dapat mempengaruhi

frekuensi bangkitan penderita epilepsi. Pengaruh tingkat kecemasan terhadap

frekuensi bangkitan epilepsi memiliki arah yang positif, yang berarti semakin

tinggi tingkat kecemasan seorang penderita epilepsi, maka semakin besar pula

kecenderungan orang tersebut mengalami bangkitan yang lebih sering.

Dampak epilepsi pada kehidupan penderita di antaranya adalah cedera

akibat epilepsi, menurunnya kualitas hidup (Disability Adjusted Life Years),

stigma sosial, dan risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi umum.

Oleh karena itu, bangkitan epilepsi pada penderita harus dicegah sehingga tidak

terjadi kerusakan yang lebih besar pada kehidupan penderitanya (Shafer, 2002).

Manifestasi gangguan kecemasan ditentukan oleh tingkat kecemasan

seorang individu. Tetapi pada penderita epilepsi, gangguan kecemasan diperburuk

dengan reaksi psikososial penderita, termasuk di antaranya kekhawatiran

penderita terhadap bangkitan epilepsi yang dapat timbul kapan saja dan

(54)

commit to user

tersebut juga masih diperburuk dengan rasa rendah diri, stigmatisasi oleh

masyarakat sekitar, dan penolakan sosial yang dialami oleh penderita (Titlic,

2008; de Souza, 2003; Vazquez, 2003). Hal ini mengakibatkan kecemasan dan

epilepsi seperti sebuah lingkaran yang saling berhubungan. Pasien epilepsi

cenderung mengalami kecemasan kemudian kecemasan tersebut mempengaruhi

sistem kerja saraf yang berkaitan erat dengan timbulnya bangkitan epilepsi.

Edeh dan Toone (1987) menyebutkan bahwa dibandingkan dengan epilepsi

umum, gangguan kecemasan lebih sering ditemukan pada pasien epilepsi jenis

parsial terutama pada fokus lobus temporal. Epilepsi parsial banyak ditemukan

pada penderita epilepsi onset dewasa (Garcia, 2012). Pada usia dewasa, seseorang

biasanya mengalami masalah kehidupan yang lebih kompleks sehingga dapat

mengakibatkan masalah psikologis yang lebih kompleks pula. Hal ini tentunya

akan berdampak buruk pada kehidupan penderita.

Penatalaksanaan epilepsi difokuskan pada pengendalian kejang dan

pengobatannya, tetapi masalah psikologis yang terjadi pada penderita mungkin

belum menjadi perhatian khusus. Hal tersebut mengakibatkan masalah psikologis

yang muncul pada penderita epilepsi tidak teratasi dan berdampak buruk pada

kualitas hidupnya. Sackellares dan Berent (1996) menyatakan bahwa perawatan

komprehensif pada penderita epilepsi adalah selain memperhatikan pengendalian

kejang diperlukan pula perhatian terhadap masalah psikologis dan sosial yang

mungkin muncul.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kecemasan memiliki pengaruh

(55)

commit to user

42

Moewardi. Skor kecemasan yang tinggi mengakibatkan penderita memiliki

kecenderungan untuk mengalami bangkitan yang lebih banyak. Oleh karena itu,

selain melakukan pengendalian kejang terhadap penderita dapat diperhatikan pula

faktor psikologis yang akan mempengaruhi timbulnya bangkitan dan juga keadaan

penderita secara keseluruhan. Dalam hal ini tentunya peran dan dukungan

keluarga sangat dibutuhkan.

Dalam penelitian ini belum memperhitungkan faktor-faktor lain yang

mungkin berpengaruh lebih besar terhadap frekuensi bangkitan pada penderita

epilepsi parsial. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut yang

lebih spesifik dan menggunakan jumlah sampel lebih besar sehingga didapatkan

(56)

commit to user

43 BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan yang positif antara

kecemasan dengan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD

Dr. Moewardi. Penderita dengan skor kecemasan lebih tinggi memiliki

risiko mengalami frekuensi bangkitan lebih sering.

B. Saran

Berdasarkan temuan pada penelitian, disarankan sebagai berikut:

1. Untuk penyandang epilepsi

Melakukan edukasi pada penyandang epilepsi untuk selalu optimis

dan menghindari kecemasan dalam menghadapi masalah.

2. Untuk keluarga penderita

Melakukan edukasi terhadap keluarga penderita untuk selalu

memberikan dukungan terhadap penyandang epilepsi dan sebisa

mungkin menghindarkan penyandang epilepsi dari masalah-masalah

berat yang menimbulkan kecemasan.

3. Untuk masyarakat

Selain dukungan keluarga, para penyandang epilepsi juga

membutuhkan dukungan dari masyarakat, terutama masyarakat yang

(57)

commit to user

44

dari masyarakat di sini maksudnya adalah merubah cara pandang

tentang epilepsi, sehingga stimatisasi maupun penolakan sosial yang

sering dialami penyandang epilepsi dapat dihindari.

4. Untuk tenaga medis

Perlunya penanaman pemahaman tentang epilepsi bagi masyarakat

oleh para tenaga medis, khususnya bagi masyarakat yang di

lingkungannya terdapat penyandang epilepsi, sehingga stigmatisasi

sosial dan penolakan sosial terhadap penyandang epilepsi dapat

dikurangi.

5. Untuk penelitian lanjutan

Mengadakan penelitian lanjutan dengan menggunakan jumlah sampel

yang lebih banyak dengan memperhitungkan faktor-faktor lain yang

(58)

Gambar

Tabel 4.4. Karakteristik Responden menurut Pengelompokan Bangkitan ........  36
Gambar 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Bangkitan 1
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran commit to user
Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Router Cisco menggunakan access list di KPP Pratama Palembang Seberang Ulu ? Agar permasalahan lebih terarah dan tidak menyimpang dari permasalahan yang ada, maka

Faktor Umur terhadap Perilaku Perawatan Kebersihan Alat Reproduksi Hasil penelitian di SMA Bhakti Karya Kaloran Temanggung dari 49 responden diperoleh data bahwa sebagian

Wilayah Laut Cina juga mengalami tingkat eror tinggi (RMSE lebih dari 1.5 o C) pada model IPSL-CM5A-LR, dengan nilai model kurang dari oobservasi (model

Oleh sebab itu, untuk saat ini, karena belum adanya pengaturan lebih lanjut mengenai LPD termasuk dalam melakukan pengikatan jaminan dalam transaksi kredit,

Tesis yang berjudul ”Penurunan Titik Awan Biodiesel melalui Penambahan aditif ester asam lemak bercabang&#34; merupakan salah satu syarat dalam menempuh ujian Magister di

[r]

Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan antara empati dan kecerdasan emosional dengan efektifitas kepemimpinan. Penelitian dilakukan di sekolah dasar di kota Palembang.

mengaitkan ilmu baru yang mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya. Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti mengonstruksi informasi