• Tidak ada hasil yang ditemukan

1965 Tahun Matahari Tenggelam Sebuah R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1965 Tahun Matahari Tenggelam Sebuah R"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

http://indoprogress.com/2015/09/1965-tahun-matahari-tenggelam-sebuah-refeesi/

1965 – Tahun Matahari

Tenggelam: Sebuah Refleksi

16 September 2015

Aboeprijadi Santoso

Harian Indoprogress

Print PDF

SEKITAR Lebaran 25 Desember 1965. Saya sudah lupa tanggalnya, tapi apa

yang saya saksikan pada hari-hari itu kemudian melekat di benak hingga

sekarang. Kembali dari Malang menuju Bandung, selepas Yogya, tiba-tiba

semua kendaraan berhenti. Di jalanan orang hilir mudik. Semua diam atau

berbisik-bisik. Tak ada tentara. Ada yang muram, setengah lari kembali ke

rumah. Ada yang hanya saling pandang. Aneh, tak ada riang selepas Lebaran

itu. Yang ada kegalauan yang membuat kami – kala itu saya masih di bangku

terakhir SMA – masygul, terheran-heran ada apa gerangan. Maka kami pun

menuju tepi jembatan tempat banyak orang berkumpul dan memandang ke

bawah, ke sungai. Sejumlah jasad terkapar di pinggir dan tengah sungai yang

dangkal. Terkejut dan terhenyak sesaat, saya tak menghitung jumlahnya. Yang

pasti ada puluhan.

Mikrokosmos

Mereka menonton, diam, lalu pergi. Pertama kali saya menyaksikan puluhan

mayat manusia menjadi tontonan publik dan membiarkannya. Kami pun

(2)

Tak ada yang istimewa dari kesaksian itu – kecuali bahwa hanya mimik dan raut

wajah mereka menjadi bahasa yang bercerita. Sebelumnya, sejak Oktober,

sudah ada kabar media tentang aksi-aksi “Basmi PKI” (Partai Komunis

Indonesia). Kebanyakan orang mungkin tak segera menyadari skala dan betapa

(3)

yang tepat untuk merasakan getaran drama dan tragedi yang tengah

berlangsung. Tetapi, bahasa wajah di Jawa Tengah tadi menunjukkan bahwa

orang menyadari benar yang terjadi, bahwa mayat-mayat terkapar di sungai itu

hanyalah sebuah mikrokosmos dari malapetaka yang lebih besar. Sebuah porsi

lokal dari gambar besar yang menjelma menjadi warna zaman. Meski diam,

takut, atau berbisik-bisik, khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang

melanda bangsa ini – dan sebuah aparat negara berada dibaliknya.

Inilah pembantaian manusia terbesar di Nusantara sejak, sebutlah, anak buah

Jan Pieterzoons Coen membantai penduduk Pulau Banda, sejak aksi Kapten

Westerling di Sulawesi Selatan, sejak Jepang memaksakan Romusha, sejak aksi

pemuda terhadap tawanan Belanda di masa yang disebut ‘Bersiap’ 1945-46.

Kini, dua dasawarsa setelah merdeka, bangsa ini menjadi korban ketika

setengah juta nila tumpah, merusak sebelanga susu republik – yaitu republik

hasil perjuangan bangsa itu sendiri.

Dua Zeitgeist

Tiga tahun kemudian, 1968, semasa mahasiswa di Leiden, Belanda, setiap hari

saya bersepeda melewati sebuah jembatan-gantung yang ditandai

graffiti Soeharto Moordenaar (Soeharto Pembunuh). Di Amsterdam beredar

poster bertajuk ‘The Archipelago of Prisons’ (Kepulauan Penjara) terbitan

Amnesty International sekitar 1974. Tahun 1968 hingga 1980an pergolakan di

Dunia Ketiga mewarnai Eropa. Di Belanda, guru besar sejarah dan sosiologi Asia

Prof. Dr. W. F. Wertheim yang memimpin Komittee Indonesie dan majalah Feiten

en Meningen, memelopori kajian kritis dan penyadaran masyarakat akan isu

kediktaturan dan kekejaman di Indonesia, tepat di saat Belanda memulihkan

hubungan dengan Indonesia.‘Terug van weggeweest’ (‘Belanda Kembali lagi ke

Indonesia’), begitu istilah sinisnya. Di Paris, semacam Mekkah gerakan

mahasiswa tahun 1970an, filsuf Jean-Paul Sartre menyulut kebangkitan cendekia

dan perhatian dunia pada Dunia Ketiga. Di Stockholm, filsuf Bertrand Russel

menggugah nurani dunia melalui Vietnam War Crime Tribunal (1971) dan

mengingatkan bahwa di Indonesia dalam enam bulan jatuh korban sebesar

Perang Vietnam dalam beberapa dekade (1954-1975). Sementara

pemboman-permadani atas Kamboja melahirkan rezim Khmer Rouge yang tak kalah kejam

(4)

Betapa kontras zaman telah memuncak. Di Dunia Ketiga, rezim-rezim di Asia

dan Amerika Latin menemukan ‘solusi’ Perang Dingin dengan jalan pintas berupa

kediktaturan militer dan pembantaian massa, di satu pihak, justru ketika di Eropa

tuntutan Zeitgeist (warna zaman) menyoal ‘solusi’ semacam itu dan di Amerika

masyarakat bangkit menentang Perang Vietnam, di lain pihak. Pada titik itulah

orang menohok hipokrisi dunia: percaturan negara (geo-politik) yang

mencurahkan perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis ala Khmer

Merah di Kamboja, tetapi pada saat bersamaan bungkam tentang pembantaian

manusia 1965-1966, yang memukul sayap kiri di Indonesia.[1]

Kejahatan beranak-pinak

Tahun 1990-2000an, konsep ‘Dunia Ketiga’ tadi lenyap dari khasanah publik,

narasinya hilang dari wacana dunia, dan tokoh-tokoh tadi telah tiada. Tetapi

‘1965’ masih melekat, merasuki naluri masyarakat, menjadi trauma bangsa, dan

kini perlahan tampil di permukaan publik dengan upaya-upaya lokal menggali

kuburan-kuburan massal, fakta dan khasanah baru seputar tragedi itu.

Pasca-1998, tahun ‘1965’ itu terbit kembali. Ada yang menyebutnya ‘Prahara’, ada yang

memilih istilah ‘Holocaust’ dari khasanah Nazi di Jerman 1940an yang lebih

mengena bagi Tragedi Besar ‘1965’.[2]

Di pertengahan 1990an itulah seorang pemilik hotel di Kuta berkisah kalem

tentang perburuan dan pembunuhan di desanya bagaikan hal keseharian yang

wajar saja – tanpa sesal dan pahit. Sehari sebelumnya, seorang supir bus yang

membawa saya ke kota Denpasar bercerita serupa dengan semangat

kebanggaan seorang jago – juga tanpa sesal dan pahit. Menyesal saya tak

merekam cerita mereka. (Bali saat itu tempat transit dalam perjalanan tugas saya

ke Timor Timur).

Betapa pun, setidaknya orang mulai bicara – bahkan kepada orang dari luar desa

mereka. Gejala-gejala seperti itu menandai suasana zaman saat bintang Sang

Jenderal Besar merosot, legitimasi rezimnya mulai goyah, tapi juga saat

tragedi-tragedi berdarah yang membuka jalan bagi Orde Baru makin terungkap – bahkan

berkepanjangan seperti di Timor Timur dan Aceh.

Di provinsi ke 27 itu, dunia memantau lebih intensif sehingga di akhir

pendudukan militer di sana, ketika gelombang kekerasan melandanya selepas

(5)

amuk ABRI dan milisi sepanjang paro kedua September menjadi-jadi justru

karena mereka kaget dan marah. Bukan saja karena kalah dalam referendum,

tapi karena kalah dan menjumpai situasi kebalikan di tahun 1965-66, ketika

mereka bisa menghabisi musuh-musuhnya dengan leluasa.[3] Kehadiran ratusan

pejabat asing, pengamat asing, LSM dan media dunia menghalangi perburuan

massal. Tapi, pada gilirannya, itu mendorong aparat memacu operasi

mendeportasi sekitar 200 ribuan warga Tim-Tim ke NTT dalam tempo kurang

dari seminggu, dengan mengerahkan truk-truk, kapal dan Hercules. Saya

menyaksikannya di kota Dili dan di bandara Comoro.

Di tahun yang sama, akhir 1999, warisan ‘1965’ itu juga membayangi operasi

tentara di Aceh. Rumah Geudong, sebuah gedung mewah disewa oleh RPKAD

untuk menjadi lokasi pemeriksaan dan penyiksaan.[4] Sementara di desa

Jim-Jim, juga di Kabupaten Pidie, seorang ibu bercerita bagaimana tentara

merendahkan martabat musuhnya dengan menelanjangi seorang perempuan

dan menyuruhnya lari memutari lapangan volley. Tersangka separatis itu menjadi

‘hiburan’ bagi satuan serdadu yang menyaksikannya. Seminggu kemudian,

kembali ke Amsterdam, dalam wawancara saya, mantan tokoh Gerwani Ibu

Sulami bercerita bagaimana tahanan perempuan ‘dihukum’ lari telanjang

mengelilingi sebuah kampung di Solo. Lapangan volley di Aceh 1990an dan

kampung di Solo 1970an itu cuma saksi bisu dari penistaan yang sama.

Bandingkan dengan ‘pameran’ kepala manusia di Kediri 1965[5] dan foto kepala

gerilyawan Fretilin dalam adegan pamer ‘kejayaan perang’ di Tim-Tim 1980an.

Sepercik kebuasan yang terwariskan.

Jadi, ‘1965’ adalah tahun yang berkepanjangan. Dia berekor panjang berkat

hegemoni politik-ideologis yang memungkinkan impunitas berjalan laju, tapi juga

karena mewariskan metode dan juklak-juklak sanksi dan represi. Cara-cara itu

bukan monopoli tentara. Manakala perlu, intimidasi pun dilakukan terhadap pers

oleh sementara diplomat (saya mengalaminya di Paris dan di Den Haag awal

(6)

Ilustrasi gambar karya Dadang Christanto

Genosida

Walhasil, Tragedi Besar 1965 itu sesungguhnya tak pernah berdiri sendiri. Dia

semacam diskursus dan model perilaku yang diprojeksikan ke depan, menjadi

pola yang ditularkan ke masa kini. Sebuah induk yang beranak-pinak berkat

hegemoni kuasa, arus ideologis, modus siksa, macho dan jagoisme – di Tim-Tim,

(7)

Sementara ‘1965’ itu sendiri berskala luas, meliputi konsekuensi fisik, psikologis

dan material dari genosida, serial pembantaian massal, perburuan, penahanan,

pemusnahan, aniaya, kekerasan seksual, penghilangan-paksa, kerja-paksa,

perbudakan, pengasingan dirantau (eksil), stigmatisasi dan diskriminasi

sosial-politik dan rasial.[6]

Tragedi Besar 1965 itu ibarat matahari tenggelam yang perlahan terbit kembali.

Bayang-bayangnya mau tak mau akan tampil – lagi dan lagi – di permukaan,

karena ‘1965’ bukan sekadar peristiwa, melainkan rangkaian kejahatan yang

bertujuan spesifik namun berdampak luas dan mendalam. Dengan kata

lain, Genosida: sebuah proyek dengan muatan niat dan tekad untuk menghabisi

suatu kelompok spesifik – kelompok tertuduh-politik – dengan dalih “terlibat”

G30S,[7] dan berdampak perubahan sosial dan politik yang luar biasa bagi

masyarakat dan negara.

Agak mirip Spanyol pasca-Franco di paro awal 2000, Indonesia pada dasawarsa

yang sama menyaksikan upaya-upaya awal untuk memproduksi memori masa

silamnya yang kelam – untuk setidaknya mencari kebenaran sejarah – melalui

publikasi, film, media, penggalian kuburan massal dan perdebatan tentang isu

dan kisah-kisah seputar 1965.[8] Kemudian ada upaya Komnas-HAM dan

terobosan Joshua Oppenheimer dengan kedua filmnya – ‘The Act of

Killing’ (2012) dan ‘The Look of Silence’ (2014) – yang menggugah kesadaran

khalayak di Indonesia dan menjadi momentum baru menjelang setengah abad

‘1965’.[9]

Syahdan, generasi baru datang yang, mau tak mau, akan tampil dengan

pertanyaan “apa yang terjadi”, “mengapa, dan bagaimana, bangsa ini melakukan

pembunuhan massal dan sejumlah kejahatan terhadap sesama mereka sendiri”,

dan “bagaimana mungkin kita selama ini begitu lama mendiamkannya”.

Sebaliknya, kekuatan-kekuatan yang berkepentingan tentu tak tinggal diam.

Mereka akan, dan telah, mengancam dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan “mengapa harus minta maaf kepada musuh?” ketika pokok masalah

sebenarnya adalah azas keadilan dan reparasi bagi korban.[10] Atau

menyerukan stereotip “kalau mereka menang, kami-lah yang akan dibunuh” –

persis senada seruan tokoh Nazi Himmler tentang nasib bangsa Jerman yang

(8)

diandaikan belaka, tapi toh ‘if history’ itu menjadi mitos sekaligus perisai yang

ampuh.

Semua itu seperti mengatakan bahwa alasan-alasan politik layak menjadi dalih

untuk menghabisi nyawa manusia, yang juga sesama warga bangsa, dan

sekaligus untuk mengingkari hak-hak sosial-politik mereka yang tertuduh maupun

organisasi-organisasi tertuduh yang – padahal – berstatus legal pada saat

menjadi korban pembantaian itu.

Dengan begitu, sebuah diskursus yang ditanamkan dengan kuat oleh Orde Baru

sejak Oktober 1965, telah beralih menjadi pelindung kepentingan mapan. Mereka

menjadi kekuatan-kekuatan yang merintangi upaya keadilan sekaligus tampil

melindungi para pelaku yang resah akan kemungkinan terancam sanksi-sanksi

politik dan hukum. Dan akan selalu menjauhkan kebenaran sejarah dari

kesadaran khalayak luas. Atau, seperti sebagian kalangan di Jerman

pasca-PD-II, akan terus menyangkal: “Wir haben es nicht gewusst” (Kami tidak tahu

apa-apa).***

Penulis adalah wartawan. Pernah bertugas untuk Radio Nederland Seksi

Indonesia (1982-2007), sebagai koresponden di Jakarta (2008-2012) dan

menulis di berbagai media.

——————

[1] Di awal 1970an soal pembantaian 1965 mulai hangat dibicarakan di kalangan

cendekia di Leiden. Disini Jusfiq Hadjar yang sering mengangkat isu tersebut

dalam perdebatan di KITLV dengan Onghokham, Lance Castle, Peter Carey, dll.

[2] Aboeprijadi Santoso, Indonesia’s 1965 Holocaust

remembered,

http://www.thejakartapost.com/news/2005/11/14/indonesia039s-1965-holocaust-remembered.html

[3] Geoffrey Robinson di: Aboeprijadi Santoso, What of truth commission for East

Timor?

http://www.thejakartapost.com/news/2005/01/10/what-truth-commission-east-timor.html

[4] Aboeprijadi Santoso, Of Pain and Humiliation: The Velvet Protests in

Aceh, The Jakarta Post 13 Dec.

(9)

[5] Pipit Rochijat, Am I PKI or Non-PKI?, Indonesia, Vol. 40, Okt. 1985, hal.

37-56.

[6] Aboeprijadi Santoso, The 1965 controversy and

need for people’s tribunal,

http://www.thejakartapost.com/news/2015/04/16/the-1965-controversy-and-need-people-s-tribunal.html

[7] John Roosa, Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement and

Suharto’s Coup d’État in Indonesia,2006.

[8] Aboeprijadi Santoso, A Spanish lesson for Indonesia’s

1965,

http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/12/08/a-spanish-lesson-for-indonesias-1965/

[9] Aboeprijadi Santoso, The ‘1965’ killers – What’s gone ‘wrong’ with

Indonesia,https://www.academia.edu/3262094/The_1965_killers_What_s_gone_

wrong_with_Indonesia_2013_

[10] Sri Lestari Wahyuningrum,‘Apology for PKI’: Sorry is not the

point,

Referensi

Dokumen terkait

Pada Proses ini dilakukan bebarapa tahapan penelitian antara lain, tahap pemilihan cover parent, tahap pemilihan data child (child image dan teks), tahap enkripsi child teks,

Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi Berbasis Komputer pada PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Kota

Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Cugenang Guru Mata

Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang

suvervisi klinis adalah bantuan professional kesejawatan oleh supervisor kepada guru yang mengalami masalah dalam pembelajaran agar yang bersangkutan dapat mengatasi masalahnya

5elaskan apa "ang dimaks!d dengan keberagaman dalam bidang sosial b!da"a ekonomi dan gender dalam bingkai #hineka $!nggal Ika dan berikan contoh dalam

Evaluasi Hasil dan Dampak dilakukan antara lain untuk: 1) mengukur kondisi sosial ekonomi warga miskin dan rentan; 2) mengukur dan menganalisis jumlah penerima

Kedua lahwun adalah sifat lalai yang terdapat dalam diri manusia, lalai karena tidak terbiasa berpikir panjang atau sengaja tidak mau berpikir panjang.. Apa yang dilakukan