• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Pendaftaran Atas Tanah docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Pendaftaran Atas Tanah docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah merupakan elemen yang penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu kepastian kepemilikan tanah sangat diperlukan untuk kepastian hukum. Sehingga kepemilikan tanah perlu di daftarkan. Untuk tercapainya kepastian pendaftaran tanah tersebut maka Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya akan disebut sebagai PP 10/1961) yang telah berlaku sejak tahun 1961 dipandang memiliki substansi yang sudah tidak dapat lagi memenuhi tuntutan zaman untuk memberikan kepastian atas pendaftaran tanah tersebut.

Oleh karenanya pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya akan disebut sebagai PP 24/1997) untuk menggantikan PP 10/1961 tersebut. PP ini berlaku tiga bulan sejak tanggal diundangkannya (Pasal 66) yang berarti secara resmi mulai berlaku diseluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 1997 dengan Peraturan Pelaksananya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya akan disebut sebagai PerMen 3/1997). Sementara semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana dari PP 10/1961 yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan PP 24/1997 ini (Pasal 64 ayat (1) ).

PP 24/1997 yang menggantikan PP 10/1961 ini merupakan peraturan pelaksana dari amanat yang ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya akan disebut UUPA) yang mengatur:"Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah".

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 1. Apa dasar hukum pendaftaran tanah di Indonesia?

2. Apa objek pendaftaran tanah di Indonesia?

(2)

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Pendaftaran Tanah

Sesuai pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran Tanah adalah Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Data fisik yang dimaksud adalah, mengenai letak, batas, luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data Yuridis adalah mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun.

2.1.2 Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 19 (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa ;

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a) pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;

b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-haktersebut;

c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(3)

Disamping kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah, masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai pasal 23, pasal 32, dan pasal 38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :

1. Pasal 23 UUPA Ayat 1 : Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

2. Pasal 32 UUPA, Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

3. Pasal 38 UUPA Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.

Sebagai implementasi dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960, maka diterbitkanlah beberapa peraturan-peraturan diantaranya : Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini diangap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan akan kepastian hukum Hak Atas Tanah, sehingga diperbaharui dengan ; Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tertanggal 8 Oktober 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NAsional No. 3 Tahun 1997.

Walaupun Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku lagi, namun peraturan pelaksanaan yang menyertainya tetap dinyatakan berlaku sepanjangtidak bertentangan, diubah atau diganti dalam PP 24 Tahun 1997.

(4)

Tujuan Pendaftaran Tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu ada 3 (tiga) :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah, rumah susun atau hak lain yg terdaftar. Agar mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W.Sumardjono bahwa manfaat daripendaftaran tanah dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu :

1. Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.

2. Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.

3. Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.

2.1.4 Asas Pendaftaran Tanah

Asas pendaftaran tanah dapat dilihat dalam pasal 12 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi ;

1. Sederhana, yaitu asas dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok dan tatacaranya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah. 2. Aman, yaitu suatu asas yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran

tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3. Terjangkau, asas yg dimaksudkan bahwa keterjangkauan bagi pihak-pihak yg memerlukan, dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.

4. Mutakhir, adanya kelengkapan data yg memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, sehingga data pendaftaran tanah harus dipelihara. Data disimpan dalam bentuk buku tanah di kantor pertanahan dan harus selalu diperbaharui jika ada perubahan.

5. Terbuka, masyarakat dapat memperoleh keterangan tentang data yang benar setiap saat.

2.1.5 Objek Pendaftaran Tanah

Objek pendaftaran tanah terdapat dalam pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi :

(5)

2. tanah hak pengelolaan; 3. tanah wakaf;

4. hak milik atas satuan rumah susun; 5. hak tanggungan;

6. tanah Negara.

2.1.6 Sistem Pendaftaran Tanah

Ada 2 macam sistem pendaftaran tanah yaitu ;

1. Sistem pendaftaran akta atau registration of deeds.

2. Sistem pendaftaran hak atau registration of titles, titles dalam arti hak yang lebih dikenal dengan sistem Torrens.

Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran tanah berupa sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tanah meliputi:

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah

b. Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Sistem pendaftaran yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak atau registration of title , hal ini tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang terhimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang di daftar.

(6)

2.1.7 Sistem Pendaftaran Tanah

Menurut Boedi Harsono, menyatakan bahwa sistem publikasi dalam pendaftaran tanah digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu ;

1. Sistem Positif.

Sistem ini menunjukkan bahwa sertipikat tanah yang diberikan adalah berlaku sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak (absolute) serta sertipikat merupakan bentuk satu-satunya tanda bukti hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka meski ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis dan sertifikasi sebagai surat tanda bukti hak. Pencatatan dan pendaftaran nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan (title by registration, the register is everything). Apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Perolehan tanah dengan etikad baik melalui cara sebagaimana diatur dalam undang-undang, memberikan kepada pihak yang memperolehnya suatu hak yang “indefeasible” yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, juga oleh pihak yang sebenarnya berhak sekalipun.

2. Sistem Negatif

Dalam sistem publikasi negatif, bukan pendaftaran tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membuat orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang baru. Sistem publikasi negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yg tercantum didalam sertipikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka pengadilan. Surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, yang berarti pula bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum danharus diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya.

(7)

karena pejabat pendaftaran tanah dalam rangka pengumpulan data bersikap passif dan pada umumnya menggunakan sistem pendaftaran akta yang memuat data itulah yang didaftar. Dalam akta tersebut oleh pejabat pendaftaran dibubuhkan catatan bahwa telah dilakukan pendaftarannya. Akta itulah yang merupakan tanda bukti hak.

Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan atas perintah Pasal 19 UUPA, menghasilkan alat pembuktian yang kuat (bukan mutlak = positif), menurut para pejabat pendaftaran tanah dalam mengumpulkan data fisik dan data yuridis, sejauh mungkin berusaha memperoleh data yang benar. Data pada pendaftaran tanah meliputi: Data fisik, kegiatan pengumpulan data fisik meliputi penetapan batas, pengukuran dan pemetaan tanah yang bersangkutan (diatur dalam pasal 17,18,19 dan 20 PP 24/1997). Pengumpulan data yuridis diatur dalam pasal 23,24 dan 25 PP 24/1997. Dibedakan antara hak baru dan hak lama.

2.1.8 Alat Bukti Kepemilikan Tanah

Pengumpulan data yuridis hak-hak lama diatur dalam pasal 24(1), yaitu hak-hak atas tanah yang data yuridisnya bersumber pada alat-alat bukti pemilikan tanahnya. Sedang yang diatur dalam pasal 24(2) yaitu hak-hak atas tanah yang bukti-bukti yuridisnya bersumber pada alat-alat bukti penguasaan atas tanah.

Alat bukti pemilikan tanah menurut pasal 24(1) bisa berupa alat-alat tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yangbersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Ada 3 (tiga) kemungkinan alat pembuktiannya ;

1. Bukti tertulisnya lengkap, tidak memerlukan bukti lain.

2. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi ; diperkuat keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan

3. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi, diganti keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan.

Untuk hak atas tanah-tanah baru dibuktikan dengan ;

1. Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang apabila hak tersebut dari tanah negara atau hak pengelolaan

(8)

3. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang.

4. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf.

5. Hak milik atas satuan umah susun, dibuktikan dengan akta pemisahan.

6. Pemberian hak tanggungan, dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan.

2.1.9 Pendaftaran Tanah Secara Sistematis

Pendaftaran tanah secara sistimatik menurut Boedi Harsono adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi :

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran 2. Penetapan batas bidang-bidang tanah

3. Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dan peta pembuatan 4. Pembuatan daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur.

Pendaftaran tanah secara sistimatik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan dalam wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistimatik, pendaftarannya dilakukan dengan cara “sporadik”.

2.1.10 Sertifikat Sebagai Alat Pembuktian Yang Kuat

Menurut pasal 1 poin 20 PP No. 24 Tahun 1997, sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang memuat data yuridis dan data fisik obyek yang didaftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian sertifikat meliputi 2 hal yaitu :

1. Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

(9)

sertipikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau oleh orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya(pasal 32(2) PP No. 24 Tahun 1997).

2.1.11 Peranan Kepala Desa dan PPAT dalam Pendaftaran Tanah

Kepala Desa mempunyai tugas-tugas strategis dalam membantu pelaksanaan penylenggaraan pendaftaran Tanah yaitu ;

1. Sebagai anggota panitia ajudikasi yaitu pembantu pelaksana pendaftaran tanah. 2. Berwenang untuk membuat surat keterangan yang menguatkan sebagai bukti hak. 3. Untuk daerah kecamatan di luar kota tempat kedudukankantor pertanahan, surat

keterangan Kepala Kantor Pertanahan dapat diganti oleh surat pernyataan Kepala Desa.

4. Didalam pendaftaran tanah, karena pewarisan, Kepala Desa berhak membuat surat keterangan yang membenarkan surat bukti hak sebagai ahli waris.

5. Untuk desa terpencil, Menteri Negara Pertanahan (BPN) dapat menunjuk Kepala Desa sebagai PPAT Sementara.

PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, sejak ditandatanganinya aktai atau sejak dilakukannya perbuatan hukum terhadap tanah, PPAT wajib menyampaikan akta dan dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

2.1.12 Sertifikat Ganda

(10)

terdapat dalam Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan, Sertifikat Hak Atas Tanah yang cacad hukum administratif adalah sertifikat Hak Atas Tanah yang mengandung kesalahan antara lain sebagai berikut :

1. Kesalahan prosedur

2. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan 3. Kesalahan subjek hak

4. Kesalahan objek hak 5. Kesalahan jenis hak

6. kesalahan perhitungan luas

7. terdapat tumpang tindih hak atas tanah

8. data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau 9. kesalahan lainnya yang bersifat administratif. Yang tidak dikategorikan sebagai sertifikat ganda adalah

1. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang hilang; 2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang rusak. 3. Sertifikat yang diterbitkan sebagai pengganti sertifikat yang dibatalkan

2.2 Contoh Kasus dan Pembahasan Kasus

2.2.1 Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL)

Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang tersebar di dua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang, Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo.

(11)

Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja.

Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan pindah dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati Pasuruan mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500 meter persegi per KK.

Pembahasan Kasus

(12)

Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).

Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu :

1. Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.

2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.

2.2.2 Sengketa T anah Muhammadiyah

(13)

Dalam sebuah pengajian akbar di Bumiayu pada 2002 lalu, Lisa lalu memberikan seluruh tanah wakaf kepada Muhammdiyah. Selang beberapa bulan berdirilah Pondok Pesantren Al Kautzar. Melalui rapat organisasi, Ketua Cabang Muhammdiyah, H. Sudarmo, memberikan wewenang kepada H. Abdul Kodir untuk megelola pondok tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, pengurus Muhammadiyah menilai bahwa Kodir telah melampaui batas wewenang. Dia yang mendirikan Yayasan Al Kautzar mengklaim sebagai pemilik pesantren. Atas hal itu, Muhammadiyah mengirimkan surat peringatan. Dalam waktu enam bulan terakhir, Muhammdiyah melayangkan tiga kali surat peringatan. Namun, hingga tiga kali peringatan itu dilayangkan, Kodir tidak juga mengindahkan peringatan tersebut. Malahan ia melaporkan kasus tersebut ke polisi. Pengurus Muhammdiyah cabang Bumiayu, Fahrudin Abdul Kafi, membantah tindak pemalsuan tanda tangan dalam surat ikrar wakaf tersebut. Dia mengatakan surat itu sah dan diketahui pemilik tanah, Lisa, dan orang tuanya, Hj. Afifah. Pemberian wakaf bahkan dilakukan di depan khalayak ramai dan diadakan pada pengajian akbar. Sebaliknya, ia telah menuduh Abdul Kodir telah menyerobot hak tanah wakaf milik muhammadiyah. Dia memberi bukti pendirian Yayasan Al Kautzar tanpa sepengetahuan Muhammadiyah

Pembahasan Kasus

Kasus diatas ialah mengenai permasalahan Pewakafan Hak Milik yang lalu timbul sengketa karena telah terjadi penyalah gunaan dan pengambil-ahlihan hak milik atas tanah wakaf tadi. Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang/badan hukum untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian dari harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (ps. 1 ayat (1) PP No. 28/1977).

Jadi, dalam kasus, terdapat suatu perbuatan hukum seorang yaitu dr. Lisa Maulida untuk menyerahkan sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana kepada Muhammadiyah Bumiayu dan pada tahun 2001 memberikan tanah wakaf sepenuhnya dengan keperluan ibadah atau kesejahteraan umum.

Yang menjadi Unsur-Unsur Wakaf dan syarat-syarat wakaf (ps. 3 – 6 PP No.28/1977) 1. Wakif : Pihak yang mewakafkan tanah miliknya.

(14)

3. Ikrar :Pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya (sighat). 4. Nadzir : Kelompok orang/badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan

pengurusan benda wakaf. Perseorangan, syaratnya WNI, Islam, dewasa, amanah, mampu secara rohani dan jasmani dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; Organisasi; dan Badan hokum

5. Peruntukan Harta Benda Wakaf 6. Jangka waktu wakaf

Tata Cara Wakaf (ps. 9 PP No.28/1977) 1. Diperlukan ikrar;

2. Ditujukan kepada Nadzir;

3. Dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW); 4. Disaksikan 2 orang saksi;

5. Harus dibuat secara tertulis;

6. Harus didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat dalam jangka waktu maksimum 3 bulan sesudah ikrar;

7. Segala penyimpangan harus mendapat persetujuan dari Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia

Dalam proses pewakafan, disebutkan dalam kasus bahwa dengan berdasar pada ikrar wakaf yang ditujukan kepada Nadzir yaitu Muhammadiyah Bumiayu dr. Lisa Maulida menyerahkan sebagian harta miliknya yaitu pada tahun 2000 berupa tanah hak milik nomor 229 seluas 12.000 m2 di Desa Adisana dan pada tahun 2001 memberikan tanah wakaf sepenuhnya. Walau tidak dijelaskan mengenai apakah prosesnya disaksikan 2 orang saksi, dihadapanan PPAIW atau tidak. Pada prinsipnya, proses pewakafan ini yelah sesuai. Tetapi terdapat permasalahan disini ialah pada proses pendaftaran Tanah wakaf tersebut.

Pengaturan Pendaftaran Tanah Wakaf (ps. 10 PP No.28 Tahun 1977) 1. Didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya;

2. Diajukan oleh PPAIW selambat-lambatnya 3 bulan sesudah ikrar wakaf; Harus melampirkan:

 Sertipikat/tanda bukti tanah milik yang bersangkutan  akta ikrar wakaf

 Surat Pengesahan Nadzir (KUA)

(15)

Muhammadiah Bumiayu (kelompok/badan hukum), tetapi pada pendaftaran tanah yang diupayakan Kodir, yang menjadi Nadir ialah pengurus muhammadiyah, H. Abdul Kodir (perorangan). Maka terdapat pengingkaran terhadap ikrar wakaf.

Dalam perkembangan selanjutnya, H. Abdul Kodir juga telah menyalahgunakan wewenang dan tugas pemeliharaan & pengurusan tanah tersebut, dengan tanpa seizin dari Muhammadiah dia mendirikan Yayasan Al Kautzar dan mengklaim sebagai pemilik pesantren. Kemudian dalam waktu 6 bulan terakhir Muhammadiyah mengirimkan tiga kali surat peringatan, tapi Kodir tidak juga mengindahkan peringatan tersebut. Malahan ia melaporkan kasus tersebut ke polisi.

Maka dalam hal ini, pihak Muhammadiah dapat mengajukan gugatan terhadap Kodir atas perampasan Hak tanah wakaf milik Muhammadiah dan juga menyalahgunakan wewenanng yang ada padanya yaitu mendirikan yayasan tanpa seizin organisasi Muhammadiah.

Catatan:

Masalah wakaf diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri sesuai dengan hubungan antara masalah dengan yurisdiksi masing-masing pengadilan (pasal 12 PP No. 28/1977).

DASAR HUKUM

 Pasal 49 ayat 3 UUPA;

 PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Hak Milik;

 PMDN No. 6/1977 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Hak Milik;

2.2.3 Sengketa T anah Senayan City

(16)

Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) menyatakan kerja sama dengan proyek Senayan City sudah sesuai aturan. Pada saat ini, eksekutif, termasuk Government Public Relations diharapkan dapat membantu mengambil tindakan tegas. Kasus sengketa lahan Senayan City, Jakarta, muncul karena adanya pengaduan atau klaim atas tanah yang digunakan untuk Senayan City oleh orang yang mengaku ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Sengketa lahan yang ditempati Senayan City mencuat setelah ahli waris Toyib bin Kiming mengklaim tanah seluas 6,2 hektare di Jalan Asia Afrika itu sebagai miliknya.

Pengelola GBK yang ada di bawah Sekretariat Negara (Setneg) membantah klaim bahwa tanah tempat Senayan City adalah lahan sengketa. Tanah yang digunakan oleh PT Manggala Gelora Perkasa untuk proyek Senayan City adalah tanah milik negara atau PPK GBK atau Setneg dan apabila ada pihak-pihak lain yang mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut tentunya dapat melakukan upaya hukum. Sebab tanah GBK adalah tanah eks Asian Games IV tahun 1962 yang kepemilikannya adalah milik negara. Namun, menurut Government Public Relations Senayan City, sengketa itu adalah masalah antara pihak Gelora Bung Karno dan keluarga ahli waris. Kepastian dari Sekretariat Negara sangat dibutuhkan, karena ini tanah negara. Hak kepemilikan tanah berada di tangan Sekretaris Negara dan pengelolaannya dipercayakan kepada Gelora Bung Karno. Sebagai penyewa, Senayan City mengajukan permohonan kepada pengelola Gelora Bung Karno mengenai perjanjian sewa-menyewa akan penggunaan lahan itu selama 35 tahun, terhitung sejak 2006.

(17)

Pembahasan Kasus

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan.

Melalui BPN, seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya.

Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain : 1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.

(18)

sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(19)

Penyebab terjadinya sertipikat ganda disebabkan oleh kesalahan dari Pemilik tanah/pemohon itu sendiri dan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional selaku instansi yang menerbitkan sertipikat. Secara garis besar penyebabnya adalah :

1. Pemohon dengan sengaja atau tidak dengan sengaja menunjuk letak tanah dengan batas-batas yang salah.

2. Adanya surat, alat bukti, atau pengakuan haknya dibelakang hari terbukti mengandung ketidak benaran, kepalsuan atau tidak berlaku lagi.

3. Tidak dilaksanakannya UUPA dan peraturan-peraturannya secara konsekwen dan bertanggung jawab, dan Kurang berfungsinya aparat pengawas.

4. Ketidaktelitian pejabat kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat.

5. Ketergantungan BPN pada instansi Pemerintah lainnya, seperti kantor desa/camat dan kantor perpajakan dan keterlibatan Pejabat Umum.

6. Masyarakat kurang memahami mengenai peraturan perundangan menganai prosedur pembuatan sertifikat tanah.

7. Pembeli tidak pernah melihat batas-batas tanahnya. 8. Pengukuran yang tidak tertib bahkan tidak professional. 9. Adanya alas hak yang tidak benar atau dipalsukan.

3.2 Saran

Dengan harapan terciptanya kepastian hukum hak atas tanah, serta tidak terjadinya tumpang tindih overlapping atau sertipikat ganda, maka berdasarkan kesimpulan sebelumnya direkomendasikan beberapa saran, yaitu;

1. Pelaksanaan pendaftaran tanah hendaknya memanfaatkan teknologi tinggi, komputerisasidi bidang pengukuran dan pemetaan yang akurat dan cepat, dan ditunjung oleh sumber daya manusia yang berkwalitas dan handal dibidangnya.

2. Melaksanakan pendaftaran tanah sesuai dengan koridor hukum dan prosedur yang telah ditetapkan disetiap unit kerja dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. 3. Meningkatkan pengawasan terhadap kinerja dan tanggung jawab aparat pelaksana

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku

Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan

Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Situs Internet

Referensi

Dokumen terkait

Keempat argumen para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa umur ekonomis suatu mesin adalah merupakan jangka waktu pemakaian mesin dimana mesin tersebut memiliki biaya

Mesin ini dirancang menggunakan sistem pemakanan tiga pisau yang dipasang sejajar dan diletakkan di rumah pisau dengan cara dibaut sehingga mudah dalam pemasangan apabila

Kini sudah tidak ditemukan, main entrance yang jelas, tetapi sudah memiliki jalur pedestrian dari ruang publik ke kawasan secara menerus, area drop off sebagai ruang

Dalam Islam suatu aktifitas hubungan kelamin ( sexs acts ) hanya boleh dilakukan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, dan hanya boleh dilakukan dengan

Deddy Mauliana (2008 : 203) menjelaskan wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya,

Hasil belajar siswa juga dapat mempengaruhi Minat siswa dalam belajar, jika hasil belajar yang diperolehnya tinggi maka siswa tersebut akan semakin berminat untuk

diperoleh kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi laju perbaikan klinis pasien SKA adalah status penyakit dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi dan profil