PENYAKIT PARU AKIBAT KERJA SILIKOSIS
KELOMPOK 1
AHMAD NOOR YUHDI 1106021475
FIKRI ADAM RABBANI 1106053880
M. ROSIAWAN YULIA PRADITIYA 1106006801
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penyakit Akibat Kerja Penanggung Jawab Mata Kuliah
DR. Dr. L. Meily Kurniawidjaja, M. Sc., Sp. Ok
DEPARTEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... 2
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... 5
BAB I PENDAHULUAN ... 6
BAB II PEMBAHASAN ... 8
2.1. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru ... 8
2.1.1. Anatomi Paru-Paru ... 8
2.1.2. Fungsi Paru-Paru ... 11
2.1.3. Fisiologi Paru-Paru ... 12
2.2. Penyakit Paru Kerja ... 13
2.1.1. Gambaran Umum ... 13
2.1.2. Karakteristik Penyakit Paru Kerja ... 15
2.2. Penyakit Silikosis ... 16
2.2.1. Silikosis ... 16
2.2.2. Manifestasi Klinis ... 17
2.2.3. Patofisiologi ... 18
2.3. Gejala Klinis dan Dasar Diagnosis ... 18
2.3.1. Silikosis Akut ... 18
2.3.2. Silikosis Akselerata ... 19
2.3.3. Silikosis Kronis Simplek ... 19
2.3.4. Dasar Diagnosis ... 20
2.4. Pekerja Berisiko ... 26
2.5. Surveilans ... 26
2.6. Pencegahan dan Penanggulangan ... 27
2.6.1. Promotif ... 27
2.6.2. Preventif ... 27
2.6.3. Kuratif ... 29
2.6.4. Rehabilitatif ... 30
2.7. Aspek Hukum Penyakit Silikosis... 30
3
2.7.2. Penentuan Status PAK ... 31
2.7.3. Masa Penentuan Status PAK ... 33
2.7.4. Santunan Cacat dan Pengobatan ... 33
BAB III KESIMPULAN ... 34
4
Tabel 1 Klasifikasi Penyakit Paru Akibat Kerja ... 14
Tabel 2 Penilaian Kecacatan Paru ... 32
Gambar 1 Anatomi Paru-Paru ... 8
Gambar 2 Anatomi Paru-Paru ... 9
Gambar 3 Anatomi Paru-Paru ... 9 DAFTAR TABEL
5
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Kami dengan ini menyatakan bahwa makalah “PENYAKIT PARU-PARU AKIBAT KERJA: SILIKOSIS” dibuat dengan sejujurnya dan mengikuti kaidah Etika Akademik UI serta menjamin bebas plagiarisme. Apabila kemudian diketahui kami melanggar Etika Akademik, maka kami bersedia dinyatakan tidak lulus/gagal.
Depok, 4 November 2014
Tanda tangan individu:
Nama/NPM Tanda Tangan
6
BAB I PENDAHULUAN
Penyakit paru dan pernapasan merupakan penyakit yang sering dijumpai di tempat kerja. Penyakit paru-paru dan pernapasan menyumbang 8% kasus kematian terkait kerja (ILO, 2011) diseluruh dunia. Banyaknya kasus penyakit paru-paru dipengaruhi oleh mudahnya bahan berbahaya berukuran sangat kecil memasuki paru-paru yang merupakan organ pernapasan. Pentingnya penanganan penyakit paru-paru diakui dunia melalui NIOSH pada tahun 1983 dan 1990 yang menyatakan bahwa penyakit paru akibat kerja termasuk penyakit akibat kerja (Occupational Diseases), ILO pada tahun 2003 menyertakan Penyakit paru akibat kerja kedalam Major Occupational Illnesses, dan pada daftar penyakit akibat kerja ILO revisi 2010. Pemerintah indonesia dalam Keputusan Presiden RI No.22 Tahun 1993 mengakui kehadiran penyakit paru akibat kerja yaitu dengan menyertakan Penyakit paru kedalam penyakit akibat kerja (Occupational Diseases). Penyakit paru akibat kerja adalah sekelompok penyakit yang disebabkan oleh pajanan zat iritan maupun beracun yang terus-menerus, berulang, atau tunggal yang menyebabkan kelainan pernapasan akut maupun kronis (US. Department of Labor , 2009).
Contoh penyakit paru akibat kerja menurut US. Department of Labor adalah
Occupational Asthma, Mesothelioma, dan Pneumokoniosis (US. Department of Labor , 2009). Occupational ashtma adalah ashtma yang disebabkan atau diperparah oleh pajanan di tempat kerja. Mesothelioma adalah jenis kanker yang disebabkan oleh pajanan asbestos. Pneumokoniosis adalah penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposit material di dalam paru yang menyebabkan kerusakan di alveolus, kelompok kami mengambil topik pneumokoniosis untuk pembahasan makalah ini.
7
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis)
2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara 3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)
Silikosis adalah salah satu dari pneumokoniosis yang dapat dijumpai di tempat kerja, Penyakit silikosis terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung kritalin silikon dioksida (Si2) atau silika bebas. Silika adalah unsur utama dari pasir
sehingga pemaparan biasanya terjadi pada pekerjaan yang menghasilkan debu silika yaitu konstruksi, industri semen, tambang, dsb.
Studi surveilans yang dilakukan di Michigan, Amerika Serikat, antara tahun 1987 hingga 1995 menunjukkan bahwa 60% lebih dari 577 pekerja pabrik/ pertambangan yang telah bekerja selama minimal 20 tahun menderita silikosis. Penelitian OSH center tahun 2000 pada pekerja keramik Indonesia, ditemukan kasus silikosis sebesar 1,5%
8
BAB II PEMBAHASAN
2.1Anatomi dan Fisiologi Paru 2.2.1 Anatomi Paru-Paru
Sumber: American Lung Association: Occupational Lung Diseases: An Introduction. New York, NY. Macmillan. 1979: pp 10. (5).
9
Sumber: E.P. Horvath Jr., S.M. Brooks, and J.L. Hankinson [1981]. Manual of Spirometry in Occupational Medicine, U.S. Department of Health and Human Services,
p. 5. (6).
Sumber: E.P. Horvath Jr., S.M. Brooks, and J.L. Hankinson [1981]. Manual of Spirometry in Occupational Medicine, U.S. Department of Health and Human Services,
p. 9. (6).
Gambar 2. Anatomi Jalur Udara Menuju Alveolus
10
Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh struktur tulang selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Berat paru-paru kanan sekitar 620 gram, sedangkan paru-paru kiri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain di dalam rongga dada. Selaput yang membungkus paru-paru disebut pleura. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua yaitu:
1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.
2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar.
Antara kedua pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.
11
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli, atau alveolus). Pada gelembung inilah terjadi pertukaran udara di dalam darah, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari
darah. Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90m2. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700juta buah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan mencegah kolapnya alveolus.
2.2.2 Fungsi Paru-Paru
Fungsi paru yang utama adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar.
Proses respirasi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1. Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.
2. Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.
3. Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh (Siregar, 2004).
12
2.2.3 Fisiologi Paru-Paru
Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada pernapasan melalui paru-paru, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran, yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini, dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen. Di dalam paru-paru, karbon dioksida adalah salah satu hasil buangan metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari alveoler-kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronkhial dan trakhea, dinapaskan keluar melalui hidung dan mulut.
Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutuhkan oksigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tak dapat diperbaiki dan bias menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis, misalnya orang bekerja pada ruangan yang sempit, tertutup, ruang kapal, ketel uap, dll. bila oksigen tidak mencukupi maka warna darah merahnya hilang berganti menjadi kebiru-biruan misalnya di bibir, telinga, lengan, dan kaki (sianosis).
13
dengan rongga perut). Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar. Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara bersamaan.
Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada tempat ini tidak terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan trakea. Udara ini disebut udara ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas ekspirasi paru-paru. Ruang rugi dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem pernapasan selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-kadang, sebagian alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang berdekatan. Oleh karena itu, dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi fisiologis.
2.2 Penyakit Paru Kerja
2.2.1 Gambaran Umum Penyakit Paru Kerja
14
penyakit paru lain yang tidak berhubungan dengan kerja. Penyakit paru kerja ternyata merupakan penyebab utama ketidakmampuan, kecacatan, kehilangan hari kerja dan kematian pada pekerja.
Penyakit paru kerja dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, salah satunya adalah klasifikasi berdasarkan gejala klinis atau penyakit seperti tampak pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Paru Akibat Kerja
Kelompok Penyakit Utama
Agen Penyebab
Asfiksian Karbon monoksida, Ozon, Alkil sianida
Iritasi saluran napas atas Gas iritan, seperti Akrolein, Amonia, Antimon Pelarut organik, seperti Formaldehid, Aseton, Metil
isobutyl karbinol
Gangguan saluran pernapasan
Asma akibat kerja
Sensitisasi
Berat molekul kecil Diisosianat, anhidrida, debu kayu, biji-bijian, epoksi resin, isosianat, toluen disosianat, kapas, western red cahder
Berat molekul besar Alergen bersumber binatang, lateks
Irritant-induced, RADS Gas iritan
Bisinosis Debu kapas
Alveolitis Alergika
Mouldy hay, fungi/jamur, Aktinomisetes, garam
platina
Bronkitis kronik (PPOK) Debu mineral, batubara
Kelainan akibat inhalasi akut
15
Edema paru Asap, Nitrogen, SO2, Klorin dan fosgen
Pneumonitis hipersensitif Bakteri, jamur, protein binatang
Penyakit infeksi
Virus, bakteri, jamur, seperti Tuberkulosis, Antrhax, Coccidiomycetes, Flu burung, Echinococosis, Psitakosis, Legionela sp.
Pneumokoniosis Asbestos, silika, batubara, berilium, kobal, kaolin
Keganasan
Kanker sinonasal Debu kayu
Kanker paru (karsinoma bronkus)
Asbestos, radon, Vinil klorida, radiasi, uranium, krom, nikel, klorometil eter
Mesotelioma Asbestos
Sumber: Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan, 2011
2.2.2 Karakteristik penyakit paru kerja
Terdapat beberapa karakteristik penyakit paru kerja yaitu:
1. Penyakit paru kerja mempunyai gejala yang tidak khas sehingga sulit dibedakan dengan penyakit paru lainnya. Dengan demikian penyebab penyakit paru kerja atau lingkungan harus dievaluasi dan ditata laksana secara berkala.
2. Pajanan di tempat kerja dapat menyebabkan lebih dari satu penyakit atau kelainan, misalnya kobal dapat menyebabkan penyakit pada parenkim paru atau saluran napas.
3. Beberapa penyakit paru disebabkan oleh berbagai faktor, dan faktor pekerjaan mungkin berinteraksi dengan faktor lainnya. Misalnya risiko menderita penyakit kanker pada pekerja terpajan debu asbes yang merokok, lebih besar dibandingkan pekerja yang terpajan asbestos atau rokok saja.
16
nonimunologi seperti pneumonia toksik kimia, asbestosis atau silikosis. Pada penyakit keganasan atau immune-mediated, dosis biasanya lebih berhubungan dengan insidens dibandingkan beratnya penyakit.
5. Ada perbedaan kerentanan pada setiap individu terhadap pajanan zat tertentu. Faktor pejamu yang berperan dalam kerentanan terhadap agen lingkungan masih belum banyak diketahui, tetapi diduga meliputi faktor genetik yang diturunkan maupun faktor yang didapat seperti diet, penyakit paru lain dan pajanan lainnya.
6. Penyakit paru akibat pajanan di tempat kerja atau lingkungan biasanya timbul setelah periode laten yang dapat diduga sebelumnya.
Untuk menentukan apakah penyakit paru disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan, harus ditentukan penyakitnya, ditentukan sifatnya, kemudian ditentukan tingkat pajanan di tempat kerja atau lingkungan yang mungkin menjadi penyebab. Beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu penyakit memang disebabkan oleh agen di tempat kerja atau lingkungan, antara lain gejala klinis dan perkembangannya sesuai dengan diagnosis, hubungan sebab akibat antara pajanan dan kondisi diagnosis telah ditentukan sebelumnya atau diduga kuat berdasarkan kepustakaan medis, epidemiologi atau toksikologi, terdapat pajanan yang diduga sebagai penyebab penyakit serta tidak ditemukan diagnosis lain. (Ikhsan, 2010)
2.3 Penyakit Silikosis 2.4.1 Silikosis
17
paru-paru dalam jumlah banyak. Penyakit silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Bila penyakit silicosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung. (Susanto, 2009).
2.4.2 Manifestasi Klinis
Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernafasan, tetapi mereka bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernafasannya mengalami iritasi (bronkitis).
Silikosis konglomerata bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak nafas. Mula-mula sesak nafas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul bahkan pada saat beristirahat.
Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal.
Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.
Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut:
1. Demam 2. Batuk
3. Penurunan berat badan
4. Gangguan pernafasan yang berat. Komplikasi :
1. Bronkitis
18
2.4.3 Patofisiologi
Partikel-partikel silika yang berukuran 0.5-5 µm bila terhirup akan tertahan di alveolus dan sel pembersih (makrofag) akan mencernanya. Banyak dari partikel ini dibuang bersama sputum sedangkan yang lain masuk ke dalam aliran limfatik paru-paru, kemudian mereka ke kelenjar limfatik. Enzim yang dihasilkan oleh sel pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada kelenjar, makrofag itu kemudian berintregasi, meninggalkan partikel silika yang akan menyebabkan dampak lebih luas. Kelenjar itu menstimulasi pembentukan bundel-bundel nodular dari jaringan parut dengan ukuran mikroskopik, semakin lama semakin banyak pula nodul yang terbentuk, mereka kemudian bergabung menjadi nodul yang lebih besar yang kemudian akan merusak jalur normal cairan limfatik melalui kelenjar limfe.
Ketika ini terjadi, jalan lintasan yang lebih jauh dari sel yang telah tercemar oleh silika akan masuk ke jaringan limfe paru-paru. Sekarang, antibodi baru di dalam pembuluh limfatik bertindak sebagai gudang untuk sel-sel yang telah tercemar oleh debu, dan parut nodular terbentuk terbentuk pada lokasi ini juga. Kemudian, nodul-nodul ini akan semakin menyebar dalam paru-paru.
Gabungan dari nodul-nodul itu kemudian secara berangsur-angsur menghasilkan bentuk yang mirip dengan masa besar tumor. Sepertinya, silika juga menyebabkan menyempitnya saluran bronchial yang merupakan sebab utama dari
dyspnea. Jika penderita silikosis terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.
19
2.4 Gejala klinik dan Dasar diagnosis 2.4.1 Silikosis Akut
Terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu cepat. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah. Gejala lain yang dapat timbul pada penderita silikosis akut adalah demam, batuk, dan penurunan berat badan. Keadaan faal paru adalah restriksi berat dan hipoksemi yang diikuti oleh kapasitas difusi. Pada kondisi-kondisi ekstrim dapat terjadi kesulitan bernafas dan batuk kering dalam beberapa minggu setelah paparan. Dada sesak dan ketidakmampuan bekerja timbul dalam beberapa bulan, kematian akibat kegagalan pernafasan atau kor pulmonale mungkin terjadi dalam 1-3 tahun. Pada pemeriksaan ditemukan gerakan dada yang terbatas, sianosis serta ronchi pada akhir inspirasi, dan dengan kelainan fungsi paru restriktif serta berkurangnya pertugas gas. Radiografi memprlihatkan bayangan- bayangan perifer seperti kapas, yang secara bertahap mengeras dan menjadi linear. Seringkali bayangan- bayangan ini tidak diketahui bahkan pada saat otopsi, hal ini karena kematian makrofag dan reaksi selular seringkali terjadi dalam alveoli tanpa pembentukan nodul-nodul tipikal. Partikel-partikel silika yang refraktil ganda yang sangat banyak dalam jaringan paru.
2.4.2 Silikosis Akselerata
Terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat, fibrosis masif dan sering terjadi mycobacterium tipikal atau atipik. Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang normal. Biasanya penderita mengalami gagal nafas akibat hipoksemia.
2.4.3 Silikosis Kronis Simplek
20
parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada. Pada pemeriksaan spirometri, Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) karena penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis. Mekanisme yang mungkin menyebabkan peningkatan kerentanan penderita sikosis terhadap tuberkulosis adalah sebagai berikut:
a. Partikel Silika yang ditimbun di Alveoli akan dimakan makrofag tetapi karena efek tosik silika maka makrofag cepat mati dan partikel Silika akan terlepas ke jaringan ekstraselular. Partikel silika akan dimakan oleh makrofag lain yang kemudian akan terbunuh pula.
b. Silika dengan dosis subletal juga mengganggu kesanggupan makrofag untuk menghambat pertumbuhan kuman tuberkulosis karena makrofag adalah faktor utama dalam membuat daya tahan terhadap tuberkulosis sehingga alasan meningkatnya kerentanan penderita silikosis terhadap tuberkulosis menjadi jelas
2.4.4 Dasar Diagnosis
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 25 Tahun 2008, diagnosis penyakit paru akibat kerja dapat dilakukan sebagai berikut: A. Anamnesis
1. Riwayat pekerjaan.
a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran/hobby yang terus menerus atau “part time” secara kronologis
b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : - bahan yang digunakan oleh pekerja
- bahan yang digunakan oleh pekerja pembantu. c. Hubungan antara paparan dan gejala yang timbul :
21
- perubahan gejala dan waktu libur, jauh dari tempat kerja 2. Keluhan penyakit :
Ditanyakan tentang adanya keluhan penyakit berupa: a. Batuk :
sifat batuk (kering atau berdahak)
waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-terusan)
frekuensi
sejak kapan?
- batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun
- peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir
b. Dahak
Warna
Jumlah
Konsistensi
Waktu (pagi/siang/malam/terus-menerus)
Sejak kapan?
- batuk selama 3(tiga) bulan, terjadi tiap-tiap tahun
- peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terakhir.
c. Sesak napas/Napas pendek
Ditanyakan sesuai dengan kriteria sesak napas menurut American Thoracic Society (ATS)
0 Tidak ada Tidak ada sesak napas kecuali exercise berat
22
mendatar atau mendaki
2 Sedang Berjalan lebih lambat dibandingkan orang
lain sama umur karena sesak atau harus
berhenti untuk bernapas saat berjalan
mendatar
3 Berat Berhenti untuk bernapas setelah berjalan 100
meter/beberapa menit, berjalan mendatar
4 Sangat berat Terlalu sesak untuk keluar rumah, sesak saat
mengenakan/ melepaskan pakaian
Sejak 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak waktu terbangun dari tidur malam
d. Nyeri dada
Lokasi
Waktu nyeri dada (inspirasi atau ekspirasi)
Deskripsi nyeri dada
Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, yang lamanya 1 minggu
e. Mengi
Waktu mengi (pagi/siang/malam); Inspirasi/ekspirasi
Disertai napas pendek atau napas normal
Sejak kapan? 3. Riwayat Penyakit Dahulu
Ditanyakan tentang adanya penyakit / keluhan penyakit yang pernah dideritanya berupa:
a. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita: - kecelakaan / operasi daerah dada
23
- pneumoni - pleuritis - T B paru - Asma bronkial
- Gangguan dada yang lain - Hay fever
- Dal lain-lain b. Riwayat atopi/alergi. 4. Riwayat kebiasaan
Ditanyakan kebiasaan merokok meliputi: a. Jumlah rokok yang dihisap
- 1 (satu) batang rokok perhari atau 1 batang rokok perbulan atau lebih dari 1 batang rokok
- Jumlah batang rokok / tembakau perhari / perminggu. b. Lama merokok:
Kurang dari 1 tahun / lebih dari 1 tahun. c. Cara mengisap rokok (dangkal/sedang/dalam) d. Umur waktu mulai merokok dengan teratur. e. Jenis rokok:
- buatan pabrik / buatan sendiri - menggunakan filter / tidak - rokok tipe kecil / sedang
- sering berganti-berganti rokok / kombinasi / tidak - kretek / putih
f. Kontinuitas merokok:
24
g. Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
- Ringan: 1 – 200 - Sedang: 201 – 600 - Berat: >600 B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan tanda vital 2. Pemeriksaan pulmonologik - foto toraks: PA dan lateral - spirometri.
2. Khusus:
- uji alergi pada kulit
- uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik/non spesifik di tempatkerja - sputum BTA 3x
- Sputum sitologi - bronkoskopi
- patologi anatomi: biopsi
- radiologi: tomogram, bronkografi, CT – scan - kapasitas difusi terhadap CO (DLCO)
25
D. Penetapan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dalam bidang paru diperlukan data pendukung berupa kondisi lingkungan kerja apakah terdapat faktor dan bahan-bahan yang menimbulkan penyakit akibat kerja.
2.5 Pekerja Berisiko
Silikosis adalah salah satu dari pneumokoniosis yang dapat dijumpai di tempat kerja, Penyakit silikosis terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung kritalin silikon dioksida (SiO2) atau silika bebas. Silika adalah unsur
utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada (Susanto, 2009): - Pekerja tambang logam dan batubara
- Penggali terowongan untuk membuat jalan - Pekerja pemotong batu dan granit
- Pembuat keramik dan batubara - Penuangan besi dan baja
- Industri yang memakai silika sebagai bahan baku, misalnya pabrik amplas, gelas dan tembikar
- Pembuat gigi enamel - Pekerja di pabrik semen.
- Pekerja pengecoran logam, dan pembuat tembikar.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun (Susanto, 2009).
2.6 Surveilans
26
rekomendasi perbaikan yang berkelanjutan. Data surveilans didapat dari pemeriksaan kesehatan, data kunjungan poliklinik, data pola penyakit, data absensi, data keluhan gangguan esehatan, dan data lainnya dari Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, berupa:
1. Deteksi gangguan respirasi berupa batuk, berdahak, dan sesak menggunakan kuesioner standar dan pemeriksaan fisik, baik akut maupun kronik
2. Deteksi gangguan fungsi paru menggunakan tes spirometri
3. Deteksi kelainan anatomi termasuk fibrosis jaringan paru menggunakan foto toraks.
Subyek dari surveilans ini adalah pekerja baru, pekerja yang akan bekerja di lingkungan kerja yang mengandung hazard silika.
2.7 Pencegahan dan Penanggulangan 2.7.1 Promotif
Pada promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti penggunaan Alat Plindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai kesehatan para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya. Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan perorangan, makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak badan untuk kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan, dan perilaku dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
2.7.2 Preventif
27
batas, tindakan perbaikan mesti dilakukan. Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor) juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah tanah, ventilasi yang cukup merupakan prasyarat yang penting untuk mengurangi kadar debu.
Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali denan respirator (masker anti debu). Respirator dilengkapi denga filter hingga mampu mencegah partikel debu terhirup ke dalam paru-paru.
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia yang terkena dampak.
a) Pencegahan terhadap sumber
- Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu di ruang kerja dengan “local exhauster” atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
- Subtitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan debu.
b) Pencegahan terhadap transmisi
Upaya paling praktis dalam pencegahan debu adalah menggunakan air. Air dapat digunakan untuk menyemprot coal face dan loose rock, dan pada permukaan setelah blasting, dumping, atau berbagai rock handling process. Akan tetapi, banyak pekerjaan underground kekurangan suplai air yang cukup.
- Memakai metode basah yaitu penyiraman lantai dan pengeboran basah (
Wet Drilling)
- Dengan alat berupa Scrubber, Elektropresipitator, dan Ventilasi Umum. Ventilasi yang baik penting untuk mengeliminasi debu. Setiap tempat kerja seharusnya memiliki supply udara bersih untuk mengencerkan atau mengangkut airborne dus
28
d) Perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap bahaya kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Antara lain dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker. Penggunaan APD merupakan alternatif lain untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan, APD juga harus sesuai dan adekuat.
- Pre-worker check up
Semua pekerja harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan berkala dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-eksisting lung disease dan perkembangan silikosis.
- Penerangan sebelum kerja
Suatu penjelasan agar pekerja mematuhi dan mentaati peraturan dan undang-undang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja, sehingga dapat bekerja lebih berhati-hati. Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja. Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting, terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaanya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain.
- Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan dan mencegah penyakit. Untuk penambang pasir lakukan pemeriksaan setiap 6 bulan sekali dan untuk pekerja lain dapat dilakukan selama 2-5 tahun sekali. Jika foto rontgen terdapat silika di dalam paru-paru, maka hindari pemaparan terhadap silika.
Prioritas diberikan kepada pekerja yang: - Bekerja di lingkungan berbahaya
- Dipindahkan dari suatu pekerjaan ke pekarjaan lain - Menderita penyakit menahun
- Perlu diperiksa atas permintaan dokter keluarganya atau keinginan sendiri
29
- Akan berhenti bekerja
2.7.3 Kuratif
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah: - Membatasi pemaparan terhadap silika
- Berhenti merokok
- Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.
2.7.4 Rehablitatif
Pengobatan definitif terhadap silikosis tidak ada. Bila terdapat infeksi sekunder berikan terapi yang sesuai. Infeksi pyogenik berikan antibiotik yang sesuai secara empirik, infeksi jamur paru berikan obat anti jamur, dan terhadap tuberkulois paru berikan obat anti tuberkulosis dosis dan lamanya sesuaikan dengan kategorinya.
- Disability limitation (membatasi kemungkinan cacat)
Memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga kerja secara sempurna, pendidikan kesehatan. Pindah ke bagian yang tidak terpapar. Lakukan cara kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik.
30
Rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang menderita cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di jabatan-jabatan yang sesuai.
2.8 Aspek Hukum Penyakit Silikosis 2.8.1 Silikosis dan PAK
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 609 tahun 2012, Penyakit Akibat Kerja yang selanjutnya disingkat PAK (Occupational Disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 disebut Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Menurut Keputusan Presiden No.22 Tahun 1993, Silikosis termasuk kedalam penyakit yang timbul karena hubungan kerja, yaitu pada lampiran nomor 1; Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
Berdasarkan Keputusan Presiden No.22 Tahun 1993 tersebut maka silikosis dapat ditetapkan masuk kedalam kategori PAK apabila syaratnya terpenuhi.
2.8.2 Penentuan Status PAK
Untuk penetapan status silikosis yang diderita termasuk kedalam Penyakit Akibat Kerja atau hanya sebatas Penyakit Terkait Kerja, maka dokter yang merawat atau dokter penasehat yang ditunjuk pemerintah perlu pertimbangan-pertimbangan khusus. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 609 tahun 2012 tentang pedoman penyelesaian kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, mendaftar bahan pertimbangan dalam menganalisisnya dibantu dengan data pendukung antara lain:
31
b. Data hasil pemeriksaan kesehatan berkala (pemeriksaan yang di lakukan secara periodik selama tenaga kerja bekerja di perusahaan yang bersangkutan);
c. Data hasil pemeriksaan khusus (pemeriksaan dokter yang merawat tenaga kerja tentang riwayat penyakit yang di deritanya);
d. Data hasil pengujian lingkungan kerja oleh Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja beserta balai-balainya, atau lembaga-lembaga lain yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
e. Data hasil pemeriksaan kesehatan tenaga kerja secara umum di bagian tersebut;
f. Riwayat pekerjaan tenaga kerja; g. Riwayat kesehatan tenaga kerja; h. Data medis/rekam medis tenaga kerja;
i. Analisis hasil pemeriksaan lapangan oleh Pengawas Ketenagakerjaan; dan/atau
j. Pertimbangan medis dokter penasehat.
Penilaian cacat pada penyakit paru akibat kerja didasarkan kepada hasil penentuan pemeriksaan spirometri dan derajat sesak sebagai berikut:
Tabel 2. Penilaian Kecacatan Paru
Sumber: Permenakertran No. 25 Tahun 2008
32
Cara menetapkan penilaian kecacatan fungsi (Functional disability) ditentukan dengan menilai secara subyektif keluhan sesak napas dan penilaian obyektif dengan pemeriksaan spirometri
Penentuan ganti rugi didasarkan pada persentase cacat fungsi 100% sama dengan 70%.
2.8.3 Masa Penentuan Status PAK
Bagi tenaga kerja yang masih dalam hubungan kerja, pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja ke dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat dan Badan Penyelenggara dalam bentuk form KK2 tidak lebih dari 2 X 24 (dua puluh empat) jam setelah ada hasil
2.8.4 Santunan Cacat dan Pengobatan
Silikosis dapat membuat paru-paru penderitanya cacat sebagian yaitu dengan tanda menurunnya kemampuan fisiologis paru-paru dalam pernapasan. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 609 tahun 2012, santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus dengan besarnya adalah % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 x 80 (delapan puluh) bulan upah. Santunan ini dibayarkan oleh perusahaan tempat pekerja tersebut bekerja melalua BPJS Ketenagakerjaan.
33
34
BAB III KESIMPULAN
Silikosis adalah salah satu dari pneumokoniosis yang dapat dijumpai di tempat kerja terutama pada kegiatan konstruksi, industri semen, tambang, dsb. Penyakit silikosis terjadi karena inhalasi dan retensi debu yang mengandung kritalin silikon dioksida (SiO2) atau silika bebas. Partikel-partikel silika yang berukuran 0.5-5 µm bila
terhirup akan tertahan di alveolus dan sel pembersih (makrofag) akan mencernanya. Aktivitas pembersihan tersebut merusak paru-paru dan menghasilkan jaringan parut yang kemudian secara berangsur-angsur menghasilkan bentuk yang mirip dengan masa besar tumor.
Silikosis dapat dibedakan dari kecepatan pembentukannya, paling cepat adalah, Silikosis Akut, kemudian Silikosis Akselerata, lalu Silikosis Kronis Simplek. Deteksi gangguan fungsi paru menggunakan tes spirometri dan deteksi kelainan anatomi termasuk fibrosis jaringan paru menggunakan foto toraks dapat digunakan sebagai tindakan surveilans terhadap silikosis.
35
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. F, Y., 1994. In: Pneumokoniosis Paru. s.l.:s.n., pp. 22-8.
IB, N. R., 2003. Pneumokoniosis. Patogenesis dan gangguan fungsi. Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter paru Indonesia.
Makassar, s.n.
Ikhsan, Mukhtar. 2010. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. “Penyakit Paru Kerja.”
Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 609 tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
Kurniawidjaja, L. Meily, Departemen Keselamatan, dan Kesehatan Kerja FKM UI-Depok. “Program Perlindungan Kesehatan Respirasi di Tempat Kerja Manajemen Risiko Penyakit Paru Akibat Kerja.”
Mangunnegoro, H., & Yunus, F. (1992). Diagnosis penyakit paru kerja. Dalam: Yunus F, Rasmin M, Hudoyo A, Mulawarman A, Swidarmoko B, editor. Pulmonologi klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 205-14.
Meredith S, Blanc PD. (2002). Surveillance: clinical and epidemiological perspectives. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A. Occupational disorders of the lung; Recognition, management, and prevention. London: WB Saunders, 7-24.
36
Prevention of pneumoconiosis. Using the ILO International Classification of radiographs of pneumo-coniosis, 2000.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 25 Tahun 2008 tentang
Sirajuddin, A., & Kanne, J. P. (2009). Occupational lung disease. Journal of thoracic imaging, 24(4), 310-320.
Sloane, Ethel (2003). Anatomy and Physiology An Easy Learner. Jakarta : EGC
Speizer, F. E., 2000. Environmental Health Perspectives. Occupational and Environmental Lung Diseases: An Overview, Volume 108, p. 603.
Susanto, A. D. (2012). Pneumoconiosis. Journal of the Indonesian Medical Association, 61(12).
Susanto, A., 2009. Silikosis. Jakarta: Bagian pulmoologi dan ilmu kedokteran respirasi FK UI-RS Persahabatan.