• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jumlah Anak - Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jumlah Anak - Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Tahun 2014"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jumlah Anak

Jumlah memiliki arti banyaknya bilangan atau sesuatu yang dikumpulkan menjadi satu, sedangkan pengertian anak secara umum adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu (Poerdarminta, 2003) Sedangkan menurut Undang – Undang no.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Jumlah anak adalah banyaknya hitungan anak yang dimiliki. Jumlah anak menuju pada kecenderungan dalam membentuk besar keluarga yang diinginkan. Dengan demikian, besar keluarga akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah anak, karena setiap keluarga berupaya untuk mencapai jumlah anak dengan menggunakan caranya tersendiri (Bulatao dan Lee, 1983).

Singarimbun (1974) dalam Siregar (2003) melakukan penelitian pada penduduk di sekitar Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah anak yang dianggap ideal 4 dan 5 orang anak. Motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang sedikit dan nilai-nilai tentang anak merupakan aspek yang penting. Kadang-kadang jumlah anak yang diinginkan lebih besar daripada jumlah anak yang mampu dirawat dengan baik.

(2)

diinginkan menjadi: 1) sedikit, jika keluarga menginginkan sebanyak banyaknya memiliki dua anak; 2) sedang, jika keluarga menginginkan anak sebanyak tiga hingga lima anak; 3) banyak, jika keluarga menginginkan sedikitnya memiliki enam anak (BPS, 2013). Berbeda dengan pengkategorian yang dilakukan Muchtar dan Purnomo (2009) yaitu bahwa jumlah anak sedikit adalah jika memiliki 1-2 anak, dan jumlah anak banyak jika memiliki > 2 anak.

2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak

Menurut Hartoyo dkk (2011), faktor - faktor yang memengaruhi jumlah anak yaitu usia ibu, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan nilai anak. Muchtar dan Purnomo (2009) menyatakan terdapat faktor komposisional yang terdiri dari umur ibu, pendidikan ibu,pekerjaan ibu,jumlah anak, indeks kekayaan kuantil, pendidikan suami,pekerjaan suami, agama, jumlah anak sekarang dan tempat tinggal.

Menurut Davis dan Blake (1956), faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Davis and Blake (1996) juga mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang disebut sebagai “variabel antara” (intermediate variables). Ada 11 variabel antara yang

mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:

(3)

A. Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin : 1. Umur mulai hubungan seksual

2. Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin

3. Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubungan kelamin: a. Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah

b. Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia B. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin

1. Abstinensi sukarela

2. Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara) 3. Frekuensi hubungan seksual

II. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables): 1. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak

disengaja

2. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi: a. Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia b. Menggunakan cara-cara lain

3. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)

(4)

2.2.1 Usia Ibu

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Jika dilihat dari sisi biologis, usia 20-35 tahun merupakan saat terbaik untuk hamil dan bersalin dengan tujuan memiliki anak. Karena pada usia ini biasanya organ-organ tubuh berfungsi dengan baik dan belum ada penyakit-penyakit degeneratif seperti darah tinggi, diabetes, dan lain serta daya tahan tubuh masih kuat. (Manuaba, 1999)

Faktor usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ibu terhadap jumlah anak, dimana pada saat merencanakan kehamilan yang harus dihindari antara lain empat T yaitu (Manuaba, 2009):

1. Terlalu muda untuk hamil (< 20 tahun). 2. Terlalu tua untuk hamil (> 35 tahun).

3. Terlalu sering hamil (anak > 3 orang berisiko tinggi). 4. Terlalu dekat jarak kehamilannya (> 2 tahun).

(5)

Menurut Angeles, et.al (2001), melalui penelitian tentang fertilitas dan preferensi secara Meta- Analysis di 14 negara Asia dan Afrika termasuk Indonesia menunjukkan bahwa faktor struktur umur terutama umur wanita berpengaruh negatif terhadap fertilitas. Artinya, semakin tua umur maka tingkat produktivitas dan fertilitas individu semakin rendah atau menurun.

Hal ini juga sejalan menurut Muchtar dan Purnomo (2009), bahwa pada umumnya semakin tua umur wanita, maka semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan. Selain itu umumnya wanita mengalami masa reproduksi pada umur 15-49 tahun dan bervariasi antara wanita satu dengan lainnya. Umur dalam analisis dikelompokkan dalam lima tahunan.

Dari hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009) diketahui bahwa terdapat hubungan antara umur wanita dengan tingkat kelahiran menunjukkan hubungan positip, yakni semakin tua umur semakin banyak kelahiran. Ibu berumur di bawah 24 tahun memiliki rata-rata anak lahir hidup satu anak, sedangkan ibu berumur 35-39 tahun rata-rata anak lahirhidup 3 anak, dan meningkat menjadi 4 anak pada ibu berumur di atas 45 tahun.

Selanjutnya dari hasil SDKI 2012, yang mencatat Total Fertility Rate atau TFR bahwa rata-rata wanita Indonesia akan mempunyai 2,6 anak selama hidupnya. Angka kelahiran menurut kelompok umur pada kelompok umur paling banyak pada kisaran 25-29, 30-34, dan 40-44 tahun.

(6)

menginkan jumlah anak yang sedikit (≤ 2 anak). Selain berhubungan signifikan,

dalam analisis multivariate multilevel diperoleh informasi bahwa variable umur ibu juga merupakan variable komposisional yang paling besar/paling dominant mempengaruhi jumlah anak yang diingkan. Hasil nilai OR didapatkan 1,7 artinya umur ibu muda (≤ 2 anak) artinya wanita yang berumur muda mempunyai peluang mengingkan jumlah anak (≤ 2 anak) , 1,7 lebih tinggi dibandingkan wanita berumur

tua (Hastono, 2009). 2.2.2 Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 1999).

(7)

jumlah anak yang diinginkan. Hasil analisis bivariat hubungan antara pendidikan ibu dengan jumlah anak yang diinginkan diperoleh bahwa, persentase ibu yang menginginkan anak ≤ 2 semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya

pendidikan ibu. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,0005 maka dapat disimpulkan ada perbedaan persentase jumlah anak yang diinginkan antar tingkat pendidikan ibu dengan hasil ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan jumlah anak yang diinginkan (Hastono, 2009).

(8)

Menurut Muchtar dan Purnomo (2009),faktor pendidikan sangat erat kaitannya dengan sikap dan pandangan hidup suatu masyarakat. Pendidikan jelas memengaruhi usia kawin, dengan sekolah maka wanita akan menunda perkawinannya, yang kemudian berdampak pada penundaan untuk memiliki anak. Tingkat pendidikan disini adalah pendidikan yang ditamatkan, yang dalam analisisdikelompokkan menjadi lima, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMTA, dan SMTA+.

Berdasarkan hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009), diketahui bahwa Hubungan antara tingkat pendidikan dan fertilitas menunjukkan hubungan yang negatif, semakin tinggi pendidikan fertilitas semakin rendah. Wanita pernah kawin yang tidak pernahsekolah mempunyai rata-rata jumlah anak lahir hidup 3,7anak, sedangkan wanita tamat SD mempunyai 2,4 anak dan wanita yang berpendidikan tamat SMA atau lebih mempunyai 1,9 anak. Pengaruh pendidikan terhadap fertilitas signifikan (p<0,005)

Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.

2.2.3 Status Pekerjaan Ibu

(9)

Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau mendapatkan nafkah (Hardywinoto, 2007).

Pekerjaan ibu adalah kegiatan rutin sehari-hari ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan.Setiap pekerjaan apapun jenisnya, apakah pekerjaan itu memerlukan kekuatan otot atau pemikiran, adalah beban bagi yang melakukan.Beban ini dapat berupa fisik, beban mental, ataupun beban sosial, sesuai dengan jenis pekerjaan ibu.Kemampuan kerja pada umunya diukur dari ketrampilan dalm melaksanakan pekerjaan.Semakin tinggi ketrampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja,

semakin efesien badan, tenaga dan pemikiran dalam melaksanakan pekerjaan (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009), wanita yang bekerja mempunyai fertilitas sedikit lebih tinggi dibanding wanita yang tidakbekerja (2,5 dibanding 2,3 anak), dan pengaruh pekerjaan terhadap fertilitas signifikan (p<0,05).Bila dilihat menurut kelompok jumlah anak lahir hidup menunjukkan bahwa umumnya wanita yang bekerja mempunyai jumlah anak lahir hidup 3 anak atau lebih, sedangkan wanita yangtidak bekerja umumnya belum mempunyai anak dan mempunyai antara 1-2 anak.

(10)

umum wanita kawin/ pernah kawin di Provinsi Aceh status bekerja, persentase lebih dari 50 persen pada setiap tambahan anak yang dilahirkan (Nasir, 2012).

2.2.4 Pendapatan Keluarga

Menurut Todaro & Smith (2008), tingkat pendapatan yang rendah akan mendorong keluarga miskin untuk menambah anak, karena anak dianggap sebagai tenaga kerja yang murah dan dapat dijadikan sandaran hidup di hari tua. Pendapatan adalah besarnya pendapatan yang dibawa pulang ke rumah baik oleh suami maupun istri yang bekerja. Pendapatan tertinggi oleh kebanyakan keluarga dikonsepsikan berdasarkan atas perbandingan dengan pendapatan orang tua atau pendapatan keluarga sekitarnya (pergaulan). Pendapatan mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah anak.

Apabila pendapatan sebuah keluarga dinilai belum mampu untuk menanggung seluruh biaya sandang, pangan, papan dan pendidikan anak nantinya maka mempengaruhi jumlah anak dalam sebuah keluarga, perhitungan pendapatan keluarga yang tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya bisa juga berakibat fatal terhadap masa depan anak. Oleh karena itu persiapan pasangan dari segi kemampuan pendapatan perkapita keluarga sangatlah penting terhadap jumlah anak pada pasangan usia subur. Banyak wanita yang mempunyai beban tugas yang berat walaupun mereka hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena mereka harus mengurus anak yang jumlahnya banyak (Hurlock, 1999)

(11)

anak kurang dari dua orang mempunyai pola persentase tak jauh berbeda dengan dengan rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua (Nasir, 2012).

2.2.5 Nilai Anak

Menurut Siregar (2003), anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud denganpersepsi nilai anak oleh orang tua adalah merupakan tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantarapilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar.

Pendefinisian nilai anak juga beragam dan tergantung pada lingkup keilmuan. Salah satu definisi yang banyak diacu dikemukakan oleh Arnold et al (1975) dalam Hartoyo (2011) yang menyebutkan nilai anak sebagai nilai keseluruhan dari seorang anak yang terdiri dari nilai positif dan nilai negatif. Nilai positif merupakan kepuasan atau kegunaan yang dirasakan orang tua, sementara itu nilai negatif merupakan biaya atau beban yang ditimbulkan oleh keberadaan seorang anak. Manfaat/kepuasan dan biaya/beban tersebut tidak semata-mata aspek finansial (monetary), tetapi juga aspek psikologis dan sosial.

(12)

dilakukan pada berbagai hal seperti asuransi, tabungan, emas, tanah, rumah, hewan peliharaan, ataupun tanaman peliharaan. Namun pada kenyataannya,di desa penelitian, keluarga tetap memprioritaskan anak sebagai investasi masa depan yang dapat menjamin ekonomi dan perlindungan orang tua di hari tua. Hal ini senada dengan pernyataan Kammeyer (1987) bahwa anak dapat menjamin ekonomi orangtua untuk bertahan hidup di usia tua. Penelitian yang dilakukan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mengharapkan anaknya dapat memberi bantuan ekonomi di hari tua, anak dapat membantu orang tua untuk menyekolahkan adik-adiknya ketika sudah besar dan bekerja, bahkan sejak kecil anak diharapkan dapat meringankan beban pekerjaan orang tua, baik pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja.

Persepsi orang tua terhadap nilai anak berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan (demand for children). Bulatao & Lee (1983) dan Shapiro (1997) menemukan hubungan positif antara nilai anak dan jumlah anak yang diinginkan. Ketika anak dipersepsikan memiliki kegunaan dan manfaat yang besar maka orang tua menginginkan jumlah anak yang lebih banyak. Sementara itu, ketika orang tua berpersepsi bahwa biaya atau beban karena memiliki anak lebih besar, maka orang tua meminginkan anak yang lebih sedikit (Shapiro, 1997). Walaupun demikian, ada faktor lain, seperti pendapatan, latar belakang sosial dan budaya, modernisasi, serta kebijakan pemerintah yang secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap jumlah anak yang diinginkan.

(13)

harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan dimana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orangtua.

Berdasarkan hasil penelitian Hartoyo (2011), secara umum nilai anak (Value

of Children). lebih banyak orang tua yang menyatakan bahwa keberadaan anak akan

menjadi jaminan perlindungan hari tua (91,7%), dapat memberi hiburan (66,7%), menghindari kesedirian (55,0%) dan menjadikan orang tua lebih bertanggungjawab (53,3%)

Dengan pendekatan ini sulit diterangkan mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya permintaan jumlah anak. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan, orangtua ingin agar anaknya berpendidikan lebih tinggi, sehingga mereka lebih memilih kualitas daripada kuantitas anak (Jones 1976 dalam Lucas, 1990).

(14)

Nilai anak yang paling sedikit dinyatakan keluarga terletak pada dimensi status dewasa dan identitas sosial (adult status and social identity). Rendahnya nilai anak pada dimensi tersebut dikarenakan kehadiran anak dalam keluarga hanya memberikan status kebanggaan setelah menjadi orang tua. Dengan demikian, nilai anak dimensi ini kemungkinan besar hanya dirasakan oleh keluarga yang baru pertama kali melahirkan anak. Alasan orang tua memiliki anak adalah menghindar dari tekanan sosial budaya, seperti keluarga yang menuntut segera memiliki anak, agama dan kelompok etnis yang mendorong memiliki anak dalam jumlah banyak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil keluarga yang tidak menjadikan faktor sosial budaya sebagai tekanan untuk memperoleh anak.

(15)

2.2.6 Umur Pertama Melakukan Hubungan Seksual

Umur pertama melakukan hubungan seksual adalah pertama kali sepasang laki – laki dan perempuan melakukan hubungan intim. Rata – rata usia pertama melakukan hubungan seksual di Indonesia menurut beberapa sumber data menunjukkan masih cukup rendah, yaitu dibawah 20 tahun. Perkawinan dibawah 20 tahun secara kesehatan reproduksi bisa dikatakan masih terlalu muda, secara mental sosial belum siap dan secara ekonomi juga biasanya belum mapan (Sukarno, 2010)

Menurut Muchtar dan Purnomo (2009), Umur pertama kali melakukan hubungan seksual sangat berkaitan dengan tingkat fertilitas, karena umur pertama kali melakukan hubungan seksual menandakan dimulainya masa reproduksi wanita. Oleh karena itu semakin muda wanita mulai aktif secara seksual, maka semakin panjang masa reproduksinya, dan pada akhirnya makin besar pula kemungkinan mempunyai anak yang banyak. Umur kumpul pertama dikelompokkan menjadi, 15 tahun, 16-17 tahun, 18-19 tahun, 20-29 tahun, dan 30 tahun.

Melakukan hubungan seksual di usia muda menjadi fenomena sekarang ini pada dasarnya merupakan satu siklus fenomena yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan yang dipengaruhi oleh minimnya kesadaran dan pengetahuan namun juga terjadi di wilayah perkotaan yang secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh “role model” dari dunia hiburan yang mereka tonton. Penelitian yang dilakukan

(16)

pasangan yang melakukan hubungan seksual di usia muda dimana dari 1000 penduduknya dengan usia 15 hingga 19 terdapat 126 orang yang menikah dan melahirkan di usia muda. Kemudian diikuti dengan DKI Jakarta sebanyak 44 orang. Dari data SDKI 1997 diketahui bahwa seekitar 52,6 % wanita pernah melakukan hubungan seksual pertamanya pada kelompok umur 15-19 tahun dengan tingkat pendidikan hanya tamat SD. Sejumlah 5,8 juta remaja pernah melakukan hubungan seksual pertama pada umur kurang dari 16 tahun dan 25% diantaranya bahkan melakukan hubungan seksual pertama dibawah usia 14 tahun. Pihak yang sangat merasakan akibatnya adalah remaja putri atau perempuan karena tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah lagi dan harus menjalani perkawinan yang sebenarnya belum siap baginya, baik dari sisi mental maupun kesehatan reproduksinya (Astuty, 2011).

Dari hasil penelitian Nasir (2012), umur wanita saat melakukan pekawinan pertama yang terbanyak di Provinsi Aceh, berkisar kurang dari 21 tahun ( 69,30 persen) dan hanya 6,84 persen umurnya diatas 25 tahun wanita saat melakukan pekawinan pertama. Cukup tingginya persentase umur perkawinan pertama wanita kurang dari usia 21 tahun, mungkin disebabkan 9 akibat masih sedikitnya kesempatan wanita untuk merebut lapangan pekerjaan dan melanjutkan pendidikan tinggi.

(17)

sarana dan prasarana pendidikan kurang begitu memadai dan kurangnya minat untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Penundaan usia perkawinan akan memberikan kontribusi terhadap kelahiran seorang anak sehingga angka kelahiran / fertilitas dapat ditekan (Sukarno, 2010)

Masalah perkawinan usia muda dikalangan remaja memiliki tingkat masalah yang sama dengan daerah lain, terutama daerah yang memilki tingkat penduduk yang padat, dengan tingkat ekonomi masyarakatnya yang rendah. Dimana kebanyakan remaja yang telah menikah di usia yang relatif masih sangat muda hidup dengan latar belakang dari rendahnya ekonomi orangtua, pengaruh lingkungan sosial yang sangat mendorong remaja untuk memutuskan menikah di usia yang masih muda, serta kurangnya perhatian dan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh keluarga (Astuty, 2011).

Salah satu dampak melakukan hubungan seksual pada usia muda ditinjau dari segi kesehatan adalah meningkatkan angka kematian bayi dan ibu, resiko komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Selain itu bagi perempuan meningkatkan risiko ca serviks karena hubungan seksual dilakukan pada saat secara anatomi sel–sel serviks belum matur. Bagi bayi risiko melakukan hubungan seksual pertama di usia muda dapat terjadinya kesakitan dan kematian meningkat (Widyastuti, dkk, 2010).

(18)

2.3 Landasan Teori

Landasan teori disusun menurut teori tentang faktor-faktor yang memengaruhi jumlah anak dan beberapa variabel antara yang turut memengaruhi yaitu menurut Hartoyo, dkk, (2011) dan Davis & Blake (1974). Menurut Hartoyo, dkk, (2011) faktor – faktor yang memengaruhi jumlah anak yaitu usia ibu, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan perkapita keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan nilai anak. Selanjutnya menurut Davis dan Blake (1974), terdapat 11 variabel antara yang memengaruhi fertilitas yang salah satunya adalah umur pertama melakukan hubungan seksual, dengan alasan umur pertama melakukan hubungan seksual merupakan awal dimulainya masa reproduksi pada wanita, sehingga untuk menganalisis faktor yang memengaruhi jumlah anak perlu mengetahui umur pertama melakukan hubungan seksual.

2.4 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

(19)

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Di samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong peserta didik belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat

// jika nanti condition bernilai benar / true , maka bagian ini akan // dijalankan lagi. } while ( condition

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/ jasa yang memenuhi ketentuan peratur an perundang- undangan untuk menjal ankan kegiatan/ usaha untuk peker jaan Jasa

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah (1) data dari hasil kemampuan guru dalam menyusun rencana pembelajaran meningkat dari skor rata-rata yaitu pada siklus

Seleksi Umum ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan (Memiliki Ijin Usaha Jasa Konsultansi melakukan Kegiatan Usaha Jasa Perencanaan

(5) Penguatan Lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) pencegahan kasus penimbunan komoditas pangan

Maka penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan disiplin kerja dalam upaya meningkatkan prestasi kerja karyawan pada departemen

(kebebasan memilih atau pilihan bebas). Sebagaimana akan ditemukan makna kedua pengertian di atas di dalam uraian-uraian di bawah ini, kelihatannya al Ibn al-‘Arabî memaknai