• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembel"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Kritis dalam Eksplanasi dan Pembelajaran Sejarah Mu’ammar Ali Pradana

Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang Abstrak

Teori kritis merupakan sebuah teori yang berdasarkan pada kritik terhadap sebuah hubungan-hubungan sosial yang nyata. Teori kritis lahir dari para pemikir-pemikir dari Universitas Frankfrut, Jerman sehingga banyak menyebut merupakan sebuah madzhab Frankfrut. Ide besar yang melatar belakangi dari sekolah

Frankfrut ini merupakan dari pemikiran Karl Marx. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Teori kritis mendorong seorang peneliti yang melakukan eksplanasi sejarah untuk dapat berfikir kritis, rasional, dan menjadi emansipatoris. Pembelajaran sejarah secara kritis diidentifikasi berorientasi kepada masalah, bercirikan egaliter, hasil dialogis antara guru dengan siswa dan dokumen kurikulum. Pembelajaran Sejarah secara kritis adalah melalui penerapan model-model pembelajaran yang berdasarkan pada permasalahan. Kata Kunci : teori, kritis, eksplanasi, pembelajaran, sejarah

A. Teori Kritis

Salah satu dari sekian banyak teori sosial yang ada salah satunya adalah teori kritis. Sesuai dengan namanya, teori kritis merupakan sebuah teori yang berdasarkan pada kritik terhadap sebuah hubungan-hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata (Magnis, 1992:176).

(2)

muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan

mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.

Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923.

Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya (Sindhunata, 1990:20). Sedangkan Adorno, seperti dinyatakan William Outhwaite, merupakan the most important thinker of the Frankfurt School (Outhwaite, 1998: 2).

Selain mereka, dalam Lembaga Penelitian di Frankfurt juga ada Frederich Polock (seorang ekonom), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (ilmu kesusasteraan), Eric Fromm (psikolog), dan Karl August Wittfogel. Keberadaan sarjana-sarjana dari belbagai bidang keahlian dalam lembaga ini sejak semula bertujuan agar persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang ilmiah (Bertens, 1990: 176-177).

Untuk memahami gagasan teori kritis Aliran Frankfurt kita perlu memahami perkembangan aliran itu. Ada beberapa fase penting perkembangan aliran tersebut. Pertama, fase pembentukan aliran, yaitu sekitar tahun 1923-1933 ketika penelitian-penelitian pertama dilakukan di lembaga penelitian Frankfurt. Direktur pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli ekonomi, sejarahwan sosial. Grunberg berhasil mengarahkan kajian-kajian teoritis Aliran Frankfurt lebih berorintasi empiris dan menekankan pentingnya pendekatan ekonomi maupun dalam mengkaji fenomena-fenomena sosial.

(3)

mengubah orientasi aliran dari yang bersifat ekonomis historis versinya Grunberg menjadi orientasi filosofis. Hal tersebut mengagasi atau menjadi dasar teori kritis aliran Frankfurt yang mulai terbentuk secara jelas ketika tokohnya kembali ke Jerman pada tahun 1950-an.

Fase ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai pada awal 1950 sampai 1973. Pada fase ini, pengaruh aliran ini mulai memudar dengan meninggalnya Adorno tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973. Dengan kematian dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt terhenti. Aliran itu tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran sosial. Pamornya sebagai avant garde intelektual nyaris berahkir. Aliran ini mulai menapaki masa-masa jayanya kembali dengan munculnya Jurgen Habermas, seorang teoritisi terkemuka yang tetap melestarikan dan

mengembangkan teori dan metodologi para pendahulunya (Musthofa, 2008:2). Ide besar yang melatar belakangi dari sekolah Frankfrut ini merupakan dari pemikiran Karl Marx. Sejak semula Sekolah Frankfurt menjadikan marxisme sebagai sebagai titik tolak pemikirannya. Namun sekolah Frankfurt juga

meletakan dirinya dalam perspektif idealisme Jerman, yang dirintis oleh

Immanuel Kant (kritisisme) dan memuncak pada ajaran Hegel (dialektika). Dan ketika Horkheimer menjabat direktur, ia memasukan ajaran Freud ke dalam pemikiran sekolah Frankfurt (Sindhunata, 1990:29). Sehingga dalam perkembangannya tidak hanya pemikiran Marx yang menjadi dasar dari pengembangan yang dilakukan oleh Sekolah Frankfrut namun juga meliputi pemikiran krtitsisme Kant, dialektika Hegel hingga Sigmund Freud.

(4)

historis dialektisnya Hegel. Imbas dari kolaborasi tersebut melahirkan teori kritis yang mengedepankan pencerahan yang menyadarkan orang terhadap proses penindasan dan ekploitasi manusia dalam tatanan sosial (Musthofa, 2008:6).

Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi

instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.

Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Menurut Horkheimer, teori kritis tidak lagi berpusing dengan prinsip-prinsip umum, membangun pengetahuan yang kukuh dan tertutup pada dirinya sendiri, seperti yang dilakukan teori tradisional. Dari semuula Horkheimer sudah menetapkan tujuan teori kritisnya yakni memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan pula kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional tempat manusia dapat memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya (Sindhunata, 79-80).

(5)

untuk menggunakan menggunakan sifat rasional mereka sehingga dapat mendorong manusia dari sifat yang irasional.

Berdasarkan hal tersebut, Ciri teori kritis adalah sebagai berikut : 1. Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang

mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.

2. Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.

3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan

menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.

4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya

memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat (Musthofa, 2008:3).

Horkheimer mengajukan tiga syarat agar teori dapat menjadi

emansipatoris. Pertama, ia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat. Kedua, ia harus berfpikir secara historis. Ketiga, ia harus tidak memisahkan teori dan praksis. Horkheimer telah memperlihatkan bahwa teori kritisnya yang memenuh tiga syarat tersebut. Maka ia yakin bahwa teori kritisnya dapat memberi kesadaran untuk menjebol keadaan masyarakat yang irasional (Sindhunata, 1990:93). Sehingga untuk mencipatakan yang emansipatoris yang berarti dalam hal ini merupakan masyarakat yang bebas dalam menggunakan sikap kritis dan sifat rasional tersebut haruslah memenuhi ketiga syarat tersebut.

(6)

hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas. Secara garis besar, pokok-pokok pikiran Teori Kritis dapat dicirikan sebagai berikut: pertama, bahwa filsafat bukan hanya kontemplasi, yakni

perenungan tentang sesuatu yang tidak menyentuh realitas kehidupan. Kedua, filsafat seharusnya dapat mengubah masyarakat berupa pembebasan manusia dari hegemoni yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya. Ketiga, objek analisisnya adalah masyarakat masa kini, bukan masyarakat ketika Marx masih hidup.

Keempat, suatu pencerahan sebagai upaya menyadarkan manusia tentang

kemajuan semu masyarakat industri yang dehumanis. Kelima, menolak perubahan dengan cara revolusioner, karena terbukti revolusi telah mengakibatkan hal-hal yang lebih mengerikan dan suasana represi yang lebih jahat (Kartono dkk., 2004:10)

Secara umum teori kritis dalam konteks ilmu sosial dapat didefinisikan sebagai suatu proses kritis untuk mendorong penyadaran orang agar memiliki kemampuan untuk “menghadapi” kondisi struktural yang mendominasi, menekan bahkan mengeksploitasi. Tampak jelas, bahwa pendekatan teori kritis mempunyai komitmen yang tinggi pada terbangunnya tata kehidupan sosial yang setara (equal), berkeadilan dalam arti terbebas (misi pembebasan) dari suatu sistem yang mendominasi/diskriminatif, represif dan eksploitatif. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa ilmu sosial mestinya bukan hanya sekadar memberi pemahaman atas ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melainkan seharusnya berusaha untuk ikut membantu menciptakan kesetaraan dan kemajuan (emansipasi) dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, teori kritis tampaknya juga memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan membangun kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkeadilan (Subekti, 2012:7).

(7)

praktis untuk melakukan perubahan terhadap segala realitas yang dianggap menindas atau mengalienasi manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas dari penindasan (Rozi, 2005:6).

B. Teori Kritis dalam Ekspalanasi Sejarah

Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam teori kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama teori kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman rasio instrumental. Teori kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas (Musthofa, 2008:6).

Teori Kritis menolak pernyataan bahwa teori harus objektif, hanya menggambarkan apa adanya mengenai dunia, lepas dari subjektivitas manusia (Kartono dkk., 2004: 84). Sehingga teori yang mengklaim dirinya objektif justru sebenarnya tidak objektif karena fakta-fakta sosial dibuat oleh manusia.

Dalam penulisan sejarah, subjektifitas memang tidak pisah dipisahkan. Secara metodologis, sebuah penelitian sejarah memiliki langkah-langkah yang harus dilakukan. Penelitian sejarah, terdapat lima tahapan diantaranya, pemilihan topik, pengumpulan data (heuristik), verifikasi/kritik (kritik intern dan ekstern), intepretasi dan historiografi (Kuntowijoyo, 1994: 90). Dalam langkah-langkah sebuah penelitian sejarah tersebut salah satunya adalah mencakup interpretasi. Tahap ini adalah proses peneliti untuk menafsirkan sumber-sumber yang telah melalui proses verifikasi baik secara ekstern maupun secara intern. Tahapan ini bergantung bagaimana sejauh mana intepretasi peneliti terhadap sumber tersebut. Subjektifitas dan subjektifisme peneliti sangat berpengaruh pada proses ini.

(8)

lingkungan mereka dapat menjadi acuan bagi seorang peneliti sejarah untuk menangkap fenomena apa yang dapat mereka lihat dari data-data historis dalam penelitian yang mereka lakukan. Mereka tidak dapat menerima begitu saja hal-hal yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu melakukan kritik didalamnya. Kritik yang mereka lakukan dapat berupa kritik intern maupun kritik ekstern. Dengan melakukan kritik tersebut dapat membantu seorang peneliti untuk menentukan keabsahan sumber, kebenaran sumber, dan apakah sumber tersebut dapat dipercaya atau tidak.

Rasionalitas seorang peneliti juga diuji dalam proses ini. Hal ini penting karena penafsiran yang mereka haruslah masuk akal dan tidak bersifat irasional. Maka dalam tahapan ini teori kritis memberikan sumbangannya dalam hal

membebaskan seseorang individu untuk melihat segala sesuatunya secara rasional dan mendorong mereka untuk lepas dari irasionalitas. Eksplanasi sejarah yang dilakukan oleh seorang peneliti yang akhirnya akan menciptakan sebuah

historiografi tentunya harus mempunyai dasar yang kuat dan dapat diterima akal. Selain menggunakan sumber sejarah baik berupa dokumen, prasasti, candi, lisan, dan lain sebagainya yang dapat dipertanggungjawabkan tentunya seorang peneliti dalam melakukan penafsiran sumber tersebut tidak bisa melakukannya dengan sesukanya. Dalam menafsirkan hal tersebut tentunya peneliti harus menggunakan pemikiran yang diakronis dimana hal tersebut berkaitan dengan kronologis yang merupakan salah satu unsur penting dalam eksplanasi sejarah. Disamping itu seorang peneliti sejarah dalam menafsirkan sumber yang mereka dapatkan hruslah logis dan sesuai dengan apa yang mereka teliti. Sifat rasionalitas yang ditekankan oleh teori kritis dapat menjadi acuan seorang peneliti sejarah dalam melakukan eksplanasi historis.

(9)

Secara normatif, salah satu tujuan dari penulisan sejarah memang berkaitan dengan hal-hal yang demikian. Namun hal ini juga menjadi kelemahan dalam penelitian sejarah. Kebebasan yang ditekankan dalam teori kritis juga dapat menjadi permasalahan baru dalam penelitian sejarah. Kebebasan seorang individu dalam melakukan penulisan sejarah dapat menyebabkan terjadinya

kesimpangsiuran.

Dalam penulisan sejarah Indonesia misalnya menjadi sebuah fakta tatkala penulisan sejarah terhadap sebuah peristiwa tertentu mempunyai banyak versi yang dalam konteksnya saling bertentangan. Perbedaan dalam penulisan sejarah ini seringkali menimbulkan pertentangan diantara para penulis sejarah Indonesia itu sendiri. Mereka saling menyangkal dan menganggap penulisan yang dilakukan oleh dirinya merupakan sebuah kebenaran. Subjektifitas penulis memang menjadi penyebab perbedaan penulisan sejarah Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting dan berdampak pada masyarakat luas mulai dari politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang seringkali menjadi pertentangan dalam penulisan sejarah.

Memang dalam penulisan dan pembelajaran sejarah hal-hal yang demikian tidak dapat dihindari karena pennulisan sejarah tidak pernah lepas dari

subjektifitas. Terkadang subjektifitas penulis dapat menjadi bias tatkala opini yang mereka sampaikan bertentangan dengan fakta-fakta dari objek penelitian mereka sendiri. Memang subjektifitas penulis tak bisa lepas dari penulisan sejarah karena dengan subjektifitasnya itu sendiri fakta-fakta sejarah itu mereka tafsirkan. Sebagai ilmu, tentunya sejarah mempunyai sebuah etika dan disiplinnya yang secara langsung maunpun tidak langsung mengikat mereka saat melakukan penulisan sejarah. Etika dan disiplin itu sendiri yang akan menjaga kualitas sebuah tulisan apakah menjadi tulisan yang ilmiah atau tidak ilmiah. Sejarah memang dapat digunakan sebagai sarana doktrin, pembelaan, pembenaran, menuding kesalahan, dan menyudutkan lawan namun dengan disiplin itu sendiri sejarah harusnya menjadi sebuah pencerahan bagi pembacanya tentang sebuah kajian yang seobjektif mungkin.

(10)

Secara historis, pedagogy kritis (critical pedagogy) dipersepsi sebagai realisasi dari teori kritis (critical theory) dari para pemikir Frankfurt School yang diaplikasikan di sekolah (Supriatna, 2007:1). Pendidikan tidak pernah berdiri bebas tanpa berkait secara dialektis dengan lingkungan dan sistem sosial di mana pendidikan itu diselenggarakan. Dalam hal pendidikan sebagai proses

pembebasan, konteks sosial sebagai penyebab yang juga menyebabkan

dehumanisasi dan keterasingan saat penyelenggaraan pendidikan, menjadi tidak terlepas sangat menentukan. Untuk mendorong proses belajar menjadi peka terhadap persoalan ketidakadilan sosial pada era global ini, diperlukan perumusan visi dan misi yang sesuai dengan perkembang formasi sosial serta menentukan bagaimana keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial dan

menerjemahkannya sehingga dapat diaplikasikan dalam metodologi, dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Dalam perspektif kritis, melakukan refleksi kritis merupakan tugas pendidikan. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, objektif maupun “detachment” dari kondisi masyarakat. Untuk itu, diperlukan kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial serta pengdekonstruksian terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Visi kritis pendidikan yang dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk sistem sosial baru dan lebih adil menjadi agenda pendidikan (Rozi, 2005:8).

Pembelajaran sejarah secara kritis diidentifikasi berorientasi kepada masalah, bercirikan egaliter, hasil dialogis antara guru dengan siswa dan dokumen kurikulum (Supriatna, 2007:5). Teori kritis dapat membantu pembelajaran sejarah dengan konsep-konsep yang mereka usung yaitu kritis terhadap kondisi,

(11)

mereka lakukan. Setelah merangsang siswa untuk dapat bersikap kritis maka guru harus menumbuhkan pemikiran yang rasional dalam diri siswa sehingga sikap kritis tersebut mengarah pada pemikiran rasional mereka.

Memang dalam perjalanannya, kurikulum yang diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak selamanya dapat menunjang hal-hal yang

disebutkan di atas. Sejak kurikulum pendidikan mulai diterapkan pembelajaran sejarah di sekolah mengalami pembatasan. Hal ini terjadi karena pemerintah mengeluarkan sebuah buku induk pembelajaran sehingga hal-hal yang bertentangan dengan buku tersebut dianggap menyimpang dan bertentangan. Namun dewasa ini hal-hal tersebut mulai bergeser. Dalam beberapa dekade pasca kemerdekaan, pembelajaran sejarah di Indonesia, dituntun oleh dokumen

kurikulum yang terpusat (lihat dokumen kurikulum 1975, 1984, 1994) dengan bercirikan pengembangan disiplin ilmu yang menekankan pada materi (bahan ajar) sehingga berkesan mementingkan sisi esensialisme, yang fokus pada kebesaran masa lalu bangsa (positivisme), dan sistem evaluasi pada penekanan ranah kognitif (positivisme). Baru pada dokumen kurikulum 2004 yang kemudian diperbaiki menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), paradigma tersebut mulai bergeser paling tidak by design, dengan otonomi yang diberikan kepada pihak sekolah dan guru untuk mengaplikasikan kurikulum yang

(12)

model dan metode pembelajaran yang inovatif serta dapat mendorong siswa untuk dapat berpikir kritis dan rasional dapat dipilih oleh seorang guru dalam

pembelajaran sejarah di sekolah.

Menggunakan alternatif pembelajaran dapat dipilih oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah. Seorang siswa yang dapat berfikir kritis dan juga memiliki pemikiran yang rasional dapat menjadi sebuah fondasi awal dalam menciptakan generasi yang lebih unggul. Apabila sejak awal seseorang diajarkan untuk dapat berpikir logis dan kritis maka kedepan mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari setelah mereka lepas dari dunia pendidikan formal. Pendidikan inovatif yang tidak monoton dan tertutup dapat menciptakan sebuah individu yang dapat mengaplikasi ilmu dan konsep yang mereka dapat dalam pendidikan formal untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemikiran-pemikiran Teori Kritis tersebut bila diterapkan dalam dunia pendidikan akan memberikan beberapa ciri pokok. Pertama, karena manusia dipandang sebagai subjek yang mempunyai kehendak yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah, ini dapat membawa pada orientasi bahwa dalam pendidikan, manusia akan mendapat perhatian besar. Kedua, dengan menumbuhkan kesadaran melalui rasio, Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan masyarakat dari penindasan yang sifatnya semu. Ketiga, cara berpikir dialektika dalam Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan akan menekankan pada orientasi bahwa subjek didik mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu kesadaran yang tidak abstrak belaka (Rozi, 2005:7). D. Kesimpulan

(13)

mengalienasi manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas dari penindasan.

Teori Kritis berusaha menjadi praktis untuk melakukan perubahan terhadap segala realitas yang dianggap menindas atau mengalienasi manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas dari

penindasan. Teori kritis mendorong individu untuk menggunakan sikap kritisnya dalam melihat dan menafsirkan segala fenomena-fenomena dalam lingkungan mereka dapat menjadi acuan bagi seorang peneliti sejarah untuk menangkap fenomena apa yang dapat mereka lihat dari data-data historis dalam penelitian yang mereka lakukan. Sifat rasionalitas yang ditekankan oleh teori kritis dapat menjadi acuan seorang peneliti sejarah dalam melakukan eksplanasi historis.

Dengan meninggalkan model dan metode pmbelajaran yang kuno dan lebih memilih model dan metode pembelajaran yang inovatif serta dapat mendorong siswa untuk dapat berpikir kritis dan rasional dapat dipilih oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Menggunakan alternatif pembelajaran dapat dipilih oleh seorang guru dalam pembelajaran sejarah. Seorang siswa yang dapat berfikir kritis dan juga memiliki pemikiran yang rasional dapat menjadi sebuah fondasi awal dalam menciptakan generasi yang lebih unggul. Apabila sejak awal seseorang diajarkan untuk dapat berpikir logis dan kritis maka kedepan mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari setelah mereka lepas dari dunia pendidikan formal.

Daftar Rujukan

Bertens, K. 1990. Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.

Kartono, D. T. & Jaya, Fajar H.I. 2004. Lubang Kecil Menuju Teori Kritis. Surakarta: Pustaka Cakra.

Kuntowijoyo. 1994. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius Musthofa, Chatib. 2008. Teori Kritis Madzhab Frankfurt. Surabaya: Fakultas

(14)

Outhwaite, W.. 1998. “Adorno, Theodor Wiesengrund” dalam Stuart Brown dkk. (ed.), One Hundred Twentieth-Century Philosophers. London & New York: Routledge.

Rozi, Achmad Bachrur. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Teori Kritis (ke Arah Kontekstualisasi Pendidikan yang Membebaskan).

Sindhunata. 1990. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta:

Gramedia.

Subekti, Slamet. 2012. Tinjauan Kritis terhadap Kecenderungan Historiografi Indonesia Masa Kini. Semarang: Universitas Diponegoro

Supriatna, Nana. 2007. Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung: Historia Utama Press.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini difokuskan untuk menghasilkan sistem informasi transaksi elektronik yang akan memenuhi kebutuhan dari para penggunanya, kemudian sistem tersebut

Kajian ini telah dijalankan di Simpang Empat, Alor Setar, Kedah bermatlamat untuk memahami amalan inovasi pertanian di kalangan petani Cina. Kajian ini dilaksanakan berasaskan tiga

Identifikasi overlay tersebut jika ketiganya positif ( +++ ) maka dikatakan bahwa sektor tersebut adalah merupakan sektor unggulan di Kota Singkawang dimana merupakan

Nordiana Hamzah (2014) Tesis Universitas Pendidikan Sultan Idris “Evolusi Emosi Novel Zaharah Nawawi” bahwa membuktikan pada peringkat pengkonkritan estetik dengan dibantu

Kesimpulan: Ekstrak biji kopi Semendo ( Coffea canephora ) memiliki daya antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri P.. gingivalis dimulai dari

Citra telur ayam yang digunakan dilakukan pengujian dengan menggunakan data citra telur tunggal, dan data citra telur kelompok, dan dari pengujian yang telah

Untuk mengubah mode, tekan tombol Rana beberapa kali guna menampilkan mode yang diinginkan (Video, Time Lapse (Selang Waktu), atau Photo (Foto)).. Tekan tombol Menu untuk beralih