• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN SEJARAH TEATER TRADISIONAL TRADISIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN SEJARAH TEATER TRADISIONAL TRADISIONAL"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN SEJARAH TEATER TRADISIONAL & MODERN DI INDONESIA

1. Perkembangan Teater Tradisi

Membicarakan teater tradisi di Indonesia tampaknya agak rumit mengingat sejarah perkembangan budaya Nusantara kita yang demikian panjang dan beragam. Jika kita mengacu kepada konsep teater tradisi yang berakar pada sistem religi tertentu, kita akan menemukan setidaknya tiga jenis teater tradisi. Ketiga jenis teater tradisi tersebut adalah teater tradisi yang mengacu kepada sistem religi asli (masyarakat Animisme dan Dinamisme) yang sering dinamakan sebagai bentuk teater primitif, teater yang mengacu kepada sistem religi Hindu-Budha, dan teater tradisi yang mengacu kepada sistem religi Islam.

Fungsi pokok teater tradisional di Nusantara pada masyarakat religi asli menurut Jakob Sumardjo adalah:

a. pemanggil kekuatan gaib;

b. menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukan; c. memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;

d. peringatan kepada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawanannya;

e. perlengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang; f. pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.

D. Djajakusuma membagi teater tradisional menjadi dua kategori, yakni Teater Orang dan Teater Boneka. Masing-masing kategori ini kemudian dibagi lagi menjadi Teater Istana (Keraton) dan Teater Rakyat.

a. Teater Tradisional Rakyat

Teater tradisional rakyat adalah bentuk-bentuk teater tradisional yang hidup, tumbuh, dan berkembang pada lingkungan masyarakat banyak sesuai dengan lingkup budaya setempat. Bentuk teater tradisi rakyat ini ada yang berasal dari tradisi religi asli dan ada pula yang berasal dari sistem religi Hindu-Budha dan Islam. Bentuk teater dari sistem religi Hindu-Budha serta sistem religi Islam dapat diduga berasal dari pengaruh budaya keraton yang menyebar di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa sistem religi Hindu-Budha berkembang dan bersumber dari kehidupan keraton.

Meskipun bentuk-bentuk teater tradisi rakyat ini berasal dari sistem religi tertentu, fungsi pokok dari teater ini telah berubah ke bentuk hiburan yang ditonton secara gratis oleh masyarakat. Pementasan teater tradisi rakyat ini dilakukan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, kelahiran, khitanan, ruwatan, dan kegiatan lainnya yang dianggap memiliki hubungan dengan sistem religi.

(2)

Unsur teater rakyat yang paling utama adalah cerita, pelaku, dan penonton. Cerita yang disajikan dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai dengan respons dan suasana penonton yang terjadi pada saat pementasan. Cerita dibawakan dengan akting (oemeranan) atau dengan menari dan nyanyian. Kostum para pelaku disesuaikan dengan kondisi budaya masing-masing daerah serta zaman yang berkembang pada saat itu.

Beberapa contoh teater tradisional rakyat yang tumbuh dan berkembang di beberapa daerah Nusantara adalah sebagai berikut.

1) Bentuk teater tutur, seperi pada Kentrung (Jawa Timur), Pantun Sunda (Jawa Barat), Dalam Jemblung (Banyumas), Teater Cepung (Lombok), Sinrili (Sumawesi Selatan), Bakaba atau Kaba (Minangkabau), Wayang Beber Pacitan.

2) Bentuk teater orang: seperti pada Ubrug (Banten), Bedor (Cianjur), Uyeg (Sukabumi), Topeng Banjet (Karawang dan Bekasi), Longser (Bandung, Subang, dan sekitarnya), Sintren (Cirebon), Rongeng Gunung (Ciamis), Topeng Blantek (Jawa Barat bagian Selatan), Srandul (Yogyakarta), Kethoprak (Jawa Tengah dan Yogyakarta), Wayang Wong (Yogyakarta), teater Makyong (Riau), Randai (Minangkabau), Topeng Bali, Wayang Gambuh, Ludruk (Jawa Timur), Topeng Betawi, Lenong, dan Samra.

3) Bentuk teater boneka, seperti yang terlihat pada pementasan wayang golek Jawa Tengah, wayang golek purwa versi Sunda, dan wayang kulit.

b. Teater Tradisional Keraton

Berbeda dari tradisi teater rakyat, teater tradisi keraton baru lahir setelah munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu di Nusantara. Kesenian yang muncul dari lingkungan istana kerajaan-kerajaan bersifat profesional. Artinya, kesenian terlahir dari seniman-seniman keraton yang melulu hidup untuk mengembangkan kesenian. Karya-karya yang terlahir dari seniman kalangan istana ini adalah karya-karya yang ’adi luhung’ baik dari segi nilai seninya maupun kandungan isi serta makna religiusnya.

Profesionalisme keraton ini kemudian melahirkan pembakuan-pembakuan tertentu dalam segi pementasan. Pembakuan dengan atura-aturan yang sangat ketat ini diperlukan sebagai standar kualitas seni yang dapat diakui. Pada konteks inilah kesenian tidak lagi berfungsi sebagai media ekspresi,tetapi juga telah berkembang sebagai satu cabang ilmu.

Teater tradisional keraton, atau juga disebut sebagai teater klasik, ditampilkan berupa cerita di hadapan sejumlah penonton oleh para pemainnya dengan menggunakan unsur tari, musik, dan tuturan. Karenanya, perkembangan teater klasik keraton tidak dapat dipisahkan dari perkembangan seni tari, khususnya dramatari, yang telah hidup berkembang lebih dulu. Bentuk-bentuk dramatari klasik ini terus berkembang sejak periode Hindu-Budha sampai dengan masa kerajaan Islam.

(3)

2. Perkembangan Teater Nontradisional Daerah

Teater modern sebagai budaya serapan dari Barat masuk ke Nusantara melalui bangsa Eropa, khususnya Belanda, yang pada saat itu menguasai berbagai sektor kebudayaan masyarakat. Munculnya teater modern ke dalam wilayah budaya Nusantara tidak sekaligus, tetapi secara bertahap melalui bentuk-bentuk pertunjukan kelompok teater profesional.

Menurut catatan sejarah, bentuk teater Eropa yang pertama kali ditampilkan terjadi pada saat bangsa Indonesia dikuasai oleh Inggris pada tahun 1812. Tahun 1814 baru terdapat bentuk kegiatan teater Barat yang pertama di Batavia ketika tentara Inggris membangun gedung teater yang terbuat dari bambu. Lakon pertama yang dipentaskan pada tahun itu adalah ”The Hair at Law”. Setelah itu, berturut-turut dipentaskan lakon-lakon besar karya William Shakespeare seperti “Hamlet, Prince of Denmark”. Masyarakat sekitar gedung tersebut menyebut tempat itu sebagai Gedung Teater Militer Inggris.

Ketika Inggris kalah dari Belanda, gedung teater tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa Belanda dan direnovasi dan menjadi cikal bakal perkembangan teater di Hindia Belanda. Perkumpulan teater pertama yang dibentuk tahun 1817 dinamakan sebagai Ut Desint. Kelompok ini menjadi kelompok profesional dan menjadi inspirasi bagi terbentuknya kelompok-kelompok teater profesional lainnya di Jawa. Gedung teater peninggalan Inggris pun telah diubah pula menjadi gedung teater permanen yang diberi nama Schouwburg atauComediegebouw, yang dalam bahasa Indonesia berarti Gedung Kesenian. Di gedung inilah kemudian digelar sejumlah pementasan teater standar dengan gaya Eropa, serta menampilkan karya-karya besar dunia seperti Othello dan Saudagar dari Venesia yang keduanya karya William Shakespeare. Kelompok teater Ut Desint ini bertahan cukup lama, yakni sekitar 20 tahun. Pada tahun 1882, teater Ut Desintberakhir karena sejumlah permasalahan politis serta pertentangan budaya di kalangan orang-orang Belanda.

Kebangkitan teater modern di Hindia Belanda mulai lagi dengan munculnya kelompok-kelompok teater profesional. Jakob Sumardjo mengemukakan perkembangan teater di Indonesia dalam beberapa periode sebagai berikut.

1. Masa Perintisan Teater Modern (1885 – 1925) yang terbagi atas periode:

1. Teater Bangsawan (1885 – 1902)

2. Teater Stamboel (1891 – 1906)

3. Teater Opera (1906 – 1925)

2. Masa Kebangkitan Teater Modern (1925 – 1941) yang terbagi atas periode:

1. Teater Miss Riboet Orion (1925)

2. Teater Opera Dardanella (1926 – 1934)

3. Awal Teater Modern Indonesia (1926)

3. Masa Perkembangan Teater Modern (1942 – 1970) yang terdiri atas periode:

1. Teater Zaman Jepang (1942 – 1945)

2. Teater Tahun 1950-an

3. Teater Tahun 1960-an

4. Masa Pertumbuhan Teater Mutakhir (1970 – 1980-an)

(4)

dilanjutkan dengan berdirinya kelompok Komidie Stamboel yang didirikan olehAugust Mahieu, seorang peranakan Indo Perancis kelahiran Surabaya (1860 – 1906). Komidie Stamboel ini populer karena membawakan cerita-cerita dari Timur Tengah, terutama kisah-kisah yang terdapat dalam Hikayat 1001 Malam. Ketika rombongan ini tinggal di Batavia, mereka mulai menampilkan cerita-cerita asli karya penulis-penulis Indo-Belanda dan orang Tionghoa, seperti Nyai Dasima, Oey Tam-bah-sia, Si Tjonat, serta sejumlah certa lainnya. Bahkan pada perkembangan berikutnya, kelompok ini mulai pula menggarap drama-drama besar dunia seperti Hamlet, Romeo dan Juliet, Carmen, Saudagar dari Venesia, serta beberapa repertoar lainnya.

Komidie Stamboel kemudian bubar pada tahun 1906 setelah August Mahieu mengundurkan diri ke Bumiayu dan meninggal dunia. Tradisi Komidie Stamboel kemudian dilanjutkan oleh para anggotanya dengan mendirikan kelompok-kelompok sandiwara serupa seperti Komidie Opera Stamboel, Opera Permata Stamboel, Wilhelmina, Sinar Bintang Hindia, Indra Bangsawan, dan Opera Bangsawan.

Kebangkitan teater modern Hindia Belanda dimulai dengan munculnya pembaharuan-pembaharuan dalam segi pementasan dan manajemen pementasan. Hal ini dimungkinkan karena pemilik-pemilik kelompok teater ini yang semula dari kalangan rakyat jelata atau saudagar, kini menjadi dari kaum terpelajar. Permasalahan yang diangkat ke dalam teater pun semakin beragam dan menarik. Kelompok teater pertama yang membawa warna ini adalah kelompok Miss Riboet’s Orion yang kemudian didukung oleh seorang penulis naskah hebat, yakni Nyoo Cheong Seng.

Di tengah-tengah kejayaan Orion, muncullah kelompok baru di Sidoarjo yang diberi nama dengan The Malay Opera Dardanella. Kelompok ini didirikan oleh Willy Klimanoff (nama lain dari A. Piedro), seorang peranakan Rusia Putih kelahiran Penang. Repertoar awal yang dibawakan kelompok ini berasal dari film-film yang sedang populer seperti The Thief of Bagdad, Mask of Zorro, Don O, The Count of Monte Cristo, The Three Musketeers, dan sebagainya. Pemain yang terkenal pada kelompok ini adalah Tan Tjeng Bok (yang sering digelar sebagai Douglas Fairbank form Java), Fifi Young, dan Dewi Dja. Bahkan, Dewi Dja sempat digelari sebagai Miss Riboet II. Popularitas Dardanella ternyata kemudian mengalahkan Orion sehingga pada tahun 1934 kelompok Orion ini bubar. Bahkan, sejumlah aktor dan aktris dan penulis Orion kemudian bergabung dengan Darnadella. Repertoar yang dibawakan oleh Dardanella pun semakin banyak dan kaya. Bahkan kelompok ini telah mulai menyuguhkan permasalahan-permasalahan yang berat dan memiliki publik penonton dari kalangan terpelajar. Drama-drama yang sering dipentaskan antara lain Dr. Samsi, Ex-Sawah Loento (karya Andjar Asmara), Biroe Moeda, Mantoe Prijaji, Perantean 99 (karya A. Piedro), R.A. Soemantrie (karya T.D.Tio), serta sejumlah repertoar lainnya.

Pada tahun 1935, kelompok Dardanella mengadakan perjalanan keliling Asia (Tour d’Orient) ke sejumlah negara di Asia. Perjalanan ini kemudian berlanjut ke Eropa. Nasib kelompok Dardanella ini kemudian tidak berlanjut. Willy Klimanoff bersama Dewi Dja kemudian melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat dan menjadi warga negara di sana, sedangkan rombongan lainnya kembali ke Indonesia persis sebelum meletusnya perang dunia kedua.

(5)

Pertumbuhan teater modern Indonesia ini sesungguhnya makin diperkokoh pada masa pendudukan Jepang. Pada masa ini para intelektual Indonesia tergabung dalam kelompok Sandiwara Penggemar Maya yang didirikan pada tahun 1944 oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma, Rosihan Anwar, dan Dr. Abu Hanifah. Berdirinya kelompok sandiwara ini menandai bergesernya kelompok teater profesional ke teater amatir yang kemudian banyak berkembang di Indonesia.

Warna dan gaya pementasan teater-teater profesional yang sekian lama berkembang di Indonesia, secara tidak sadar telah mempengaruhi pula bentuk-bentuk pementasan teater tradisional yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat. Dari hasil pengaruh pementasan teater tradisi dan teater modern ini pula kemudian terlahir bentuk-bentuk baru teater modern yang berakar pada budaya daerah setempat. Kelompok-kelompok sandiwara modern berbahasa daerah dengan pengelolaan konvensional banyak bermunculan di berbagai daerah. Kelompok sandiwara Miss Tjitjih yang sering mengadakan pertunjukan keliling di Jawa Barat dan Jakarta merupakan salah satu contoh bentuk teater modern dengan warna kedaerahan.

B.

Unsur Estetis Pertunjukan Teater Nontradisional

Karaktristik utama dari pertunjukan teater nontradisi adalah adanya pemisahan yang tegas antara penonton dan tempat pemain. Bentuk pementasan serupa ini merupakan pengaruh budaya teater Eropa. Pada awal perkembangan teater modern melalui kelompok-kelompok teater Bangsawan dikenal bentuk pentas prosenium yang memisahkan panggung dengan penonton. Secara garis besar, bentuk pentas prosenium tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Prosenium adalah bingkai pembatas yang membatasi ruang pentas tempat bermain dengan letak penonton. Antara prosenium dan penonton ini sesungguhnya masih terdapat ruang selasar depan layar yang dinamakan dengan apron, serta ruang di bawah panggung tempat para pemain musik yang dinamakan pit. Bentuk pentas ini pada pementasan teater-teater amatir di daerah dapat disederhanakan lagi menjadi seperti berikut.

Aspek kedua dari pertunjukan teater modern adalah adanya naskah yang ditulis terlebih dahulu sebelum melakukan pementasan. Naskah ini bukan lagi merupakan garis besar cerita, melainkan telah berbentuk naskah lengkap yang dapat dihapal dan dipelajari oleh seluruh pemain. Adanya naskah lengkap ini dalam pementasan membuat aspek-aspek dramaturgi menjadi lebih terjaga serta pertunjukan lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ketiga yang ada pada pementasan teater modern adalah hilangnya pengisian hiburan dalam bentuk nyanyian dan tarian pada jeda pergantian babak. Perpindahan antara babak yang satu ke babak yang lain berlangsung cepat dan tidak banyak memakan waktu sehingga pementasan hingga menjelang pagi dapat dihindari. Di samping itu, kelompok musik yang ada pada sebuah kelompok teater semata-mata berfungsi sebagai pemberi efek suasana dalam pementasan teater dan bukan untuk keperluan lain. Penataan lampu, penataan rias, penataan busana, serta penataan pentas (setting) telah diolah sedemikian rupa sehingga tidak terlalu besar dan berlebihan. Kesederhanaan pementasan teater amatir ini dianggap wajar mengingat tujuan utama kelompok-kelompok teater amatir ini adalah mencapai kepuasan batin dan bukan mencari popularitas dan komersial.

(6)

Kearifan budaya biasanya selalu terkandung dalam setiap karya seni daerah maupun karya seni modern. Nilai-nilai yang dibawa oleh karya seni ini sering berupa simbol yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Tidak jarang nilai-nilai kearifan budaya ini bersifat universal dan relevan dengan berbagai situasi zaman.

Kearifan budaya dalam karya seni sering menyangkut masalah moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa demikian? Moralitas dan nilai kemanusiaan selalu bersifat universal. Bahasa seni yang universal itu sendiri sesungguhnya mengusung nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan di atas segala-galanya. Pertunjukan seni dengan berbagai unsur estetika yang terdapat di dalamnya sesungguhnya hanya merupakan alat belaka untuk menyampaikan gagasan. Esensi atau intisari sebuah karya seni adalah nilai seni itu sendiri yang diukur dari sisi kearifan budaya.

Marilah kita lihat sebuah contoh yang universal tentang posisi Karna dalam kisah Mahabharata. Karna adalah anak tertua Kunti Nalibrata, sekaligus kakak tertua dari pada Pandawa. Sejak kecil, Karna telah dibuang oleh ibunya karena malu melahirkan anak tanpa diketahui ayahnya, meskipun sejarah mencatat Karna sebagai putra Dewa Surya. Sejak kecil Karna dipelihara oleh keluarga istana melalui kusir Adirata. Bahkan, setelah besar Karna diberi kedudukan sebagai Adipati oleh Kurawa yang secara teknis adalah musuh Pandawa.

Menjelang perang Bharatayudha, Karna diberitahu tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Tidak kurang dari Sri Krishna yang titisan Wishnu membujuk Karna untuk bergabung dengan adik-adiknya, para Pandawa. Karna menolak meskipun secara tulus ia sangat mencintai adik-adiknya dan membenarkan tindakan mereka. Karna tetap berjuang di pihak Kurawa dan gugur sebagai pahlawan di tangan adik kandungnya sendiri, Arjuna. Permasalahan yang timbul, mengapa Karna tetap membela Kurawa yang ia ketahui sangatlah jahat dan tidak berhak dibela? Mengapa pula ia harus bertempur melawan adik-adiknya sendiri para Pandawa yang diakui sangat ia hormati dan ia cintai? Permasalahan Karna adalah permasalahan moral. Ia diangkat dan dibesarkan derajatnya oleh Kurawa. Ia harus membalas budi baik mereka terhadap dirinya atau dirinya akan dihantui rasa sesal sepanjang hidupnya jika harus bergabung dengan Pandawa yang ia yakini pasti akan menang. Permasalahan yang sama juga terjadi pada diri Kumbakarna yang karena kecintaannya kepada tanah airnya harus berjuang melawan Rama dan membela kakaknya, Rahwana, yang ia tahu sangat angkara murka.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Karena itu pula dalam konteks postmodernisme Indonesia, bentuk teater postmodern Indonesia pada JL, yakni sebagai bentuk dekonstruksi postmodernisme Indonesia

5 Sama bisa bekerjasama dalam kelompok pelatihan dasar pemeranan teater modern. 6 Saya menciptakan suasana menyenangkan dalam pelatihan dasar pemeranan

Pementasan Dasar Langit karya Toni Morrison, sutradara Rahmat Basuki, 11-12 Desember 1998 di Teater Arena, TBJT, Surakarta .... Pementasan Dalam Bayangan Tuhan karya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang berkembangnya teater modern di Medan, perkembangan aktivitas teater modern di Medan pada tahun 1933-2000,

Bentuk tata panggung teater dalam pertunjukkan musik tradisional di Indonesia berdasarkan dari teori dan hasil pengkajian oleh Sumarsan, 1995 bahwa bentuk arena (teater in round)

Data pada penelitian ini adalah nilai-nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan sesenggak sasak dalam pementasan teater tradisional Kemidi Rudat?. Data berupa

Pada dasarnya masyarakat Sasak tidak mengenal istilah teater, musik, atau tari dalam seni tradisi mereka, misalnya teater Cupak Gerantang hanya disebut Cupak Gerantang

Bentuk tata panggung teater dalam pertunjukkan musik tradisional di Indonesia berdasarkan dari teori dan hasil pengkajian oleh Sumarsan, 1995 bahwa bentuk arena (teater in round)