• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) . SEJARAH MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan bahwa Manejemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manjemen, berbasis dan sekolah.

Pertama, istilah manejemen memiliki banyak arti. Secara umum manejemen dapat diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektifuntuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan, manejemen pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangkan panjanga. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasarbasis atau dasar. Ketiga, kata sekolah merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manejemen Berbasis Sekolah dapt diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya yang berdasar pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.

Slamet PH(2001) mendefinisikan manajemen berbasis sekolah dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis dan sekolah. Menurut Slamet bearti koordinasi dab peneyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, untuk berbasis artinya “ berdasarkan pada” atau “berfokuskan pada”, sedangkan sekolah merupakan organi sasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesional-listik (kualifikasi,untuk daya manusia).

(2)

sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para frofesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.

Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) menyatakan bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kpada partisipan sekolah di tingkat lokat guna memajukan sekolahanya.sedangkan Myers dan Stonehil (1993) mengemukakan bahwa MBS merupakan strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengembilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah kesekolah-sekolah secara individual.

Sementara itu, Ogawa & Kranz (1990:290) memendang MBS secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan(gevormance) yaitu pada distribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan kepercayaan dan juga sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan.

Senada dengan pengertiaan Ogawa & Kranz , Kubick & Kathelen (1988:22) menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem administrasi dimana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan.

Perihal MBS ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat(1) menyertakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar peleyanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Selanjutnya, penejelasan pasal 51, ayat (1) menerangkan bahwa, “Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidkan, yang dalam hal ini kapala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”.

(3)

Secara lebih ringkas definisi MBS adalah otonomi manajemn sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif. Otonomi sekolah adalah kwenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah dan sesuai dengan peraturan perundang undangan pendidikan yang berlaku. Sementara itu, pengambilan keputusan partisipatif ada lah cara pengambilan keputusan dengan menciptakan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaiannya tujuan sekolah.

Departeman Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Secara umum MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberi otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan pastisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasioanal.

Beberapa definisi lain yang juga perlu disimak adalah School Based Management Is A Strategy to imoprove education by transfering significant decision making autority from state and district offices to individual school. Bahwa MBS adalah suatu strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan memindahkan kewenangan pengambilan keputusan yang penting dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada pihak pengelola sekolah.

MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision Making refes to an inclusif or reprensentative decision making proses in which all members of the group participate as aquels, bahwa MBS merujuk pada suatu representasi proses pengambilan keputusan dimana seluruh anggota kelompak berpartisipasi secara seimbang.

(4)

B. Sejarah MBS

Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) tak lepas dari kinerja pendidikan suatu negara berdasarkan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Di hongkong misalnya, kemunculan MBS dilatarbelakangi kurang baiknya sistem pendidikan saat itu. Antara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui pengnalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di banyak negara lain seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Prancis, Selandia Baru, dan Indonesia.

Sebelumnya berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pndidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti sperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, mitode pengajaran, dan sistem evaluasi yang kesemunya itu kurang memberikan hasil maksimal. Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada tahun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapanya di industri dan organisasi komersial.

Keberhasilan aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk di terapkan di dunia pendidikan. Sejak saat itu masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pndidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran didalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem secara struktural dan gaya manajemen sekolah.

(5)

Namun, banyak pakar yang berpendapat bahwa desentralisasi kekuasaan dari tingkat pusat ke tingkat skolah tidak dapat menjamin bahwa sekolah akan menggunakan kekuasaanya secara efktif untuk meningkatkan kualitas pendidsikan. Oleh karena itu, kedua-duanya, yaitu antara orang yang bertanggung jawab terhadap sekolah dan orang yang menerima layanan pendidikan harusa andil bersama-sama dalam penggambilan keputusan pada tingkat sekolah. Oleh karena itu, muncullah kesadaran akan pentingnya andil seluruh stakeholder sekolah dalam pengambilan keputusan skolah.

Pendeglasian otoritas adalah suatu fundamental di dalam MBS. Namun demikian hanya semata-mata pendeglasian kepada kelompok lain tidak menjamin terjadinya peningkatan kualitas keputusan. Pengambilan keputusan organisasi akan berhasil secara efektif apabila didukung oleh perubahan pada berbagai aspek dalam organisasi. Salah satu hal terpenting yang mndukung kualitas keputusan adalah kualitas kepemimpinan dan gaya kepemimpinan.

Pada akhir tahun 1980-an berbagai bentuk MBS segera menjadi topik sentral dan menjadi stratgi-strategi dalam reformasi pendidikan di berbagai blahan dunia. Ciri MBS adalah adanya kerja sama secara partisifasif dalam mengambil keputusan sekolah secara bersama-sama antara sekolah dan masyarakat.

Di Kanada, kemunculan MBS yang menggunakan istilah school-site Decision Making disadari adanya kelemahan manajemen dari pendeketan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Bawahan disepelekan kekuatanya sehingga terjadi ketidakseimbangan kekuasaan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan nyata maka perlu dikembangkan, yaitu dalam bentuk MBS.

Saat sekolah-sekolah sebagai penyelenggara pendidikan tida diikutkan dalam setiap pngambilan keputusan sekolah, apalagi masyarakat sebagai penggunaan jasa layanan pendidikan jauh dari keterlibatan pengambilan keputusan skolah. Setiap keputusan yang menyangkut skolah ditentukan birokrasi diatasnya, yaitu pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Dari sinilah terjadinya ketimpangan dalam penyediaan layanan pendidikan karena semuanya ditentukan dari atas.

(6)

kekuatan (kekuasaan) antara atasan dan bawahan. Dalam pengertian proses pengambilan keputusan lebih banyak didominisasi oleh atasan, sementara itu bawahan kurang berperan. Kedua, dalam konteks sosialschool-site Decition Making sbagai alternatif baru bagi sistem adminitrasi yang sentralisis. Sistem administrasi sentralistis menimbulkan banyak masalah sosial seperti tingkat partisipasi, tingkat keterwakilan, bentuk evaluasi yang cocok dan akuntabilitasnya. Sistem sentralistis semacam ini tidak dapat diperhankan karena munculnya masalah-masalah sosial seperti tingkat pengangguran, kesulitan ekonomi, keterbatasan dana, dan meningkatnya tingkat kekecewaan masyarakat. Ketiga, dalam keterkaitan antar sekolah dengan lingkungan sosial. School-site Decision Making sebagai stategi administratif untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial.

Di amerika Serikat kemunculan MBS dilatarbelakangi karena masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dngan tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu kinerja sekolah-sekolah di nergri panasam dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang diperlukan siswa untuk terjun ke dunia kerja. Sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil maksimal dalam konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu indikasinya adalah prestasi siswa untuk mata pelajaran matematika dan IPA tidak memuaskan. Selanjutnya, langkah yang ditempuh adalah mengubah manajemen sekolah melalui konsep MBS sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal itu terjadi setelah masyarakat dan pemerintah menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan.

Oleh karena itu, Reynolds (1997) menyarankan perlunya restrukturasi sekolah yang mencakup empat area utama, yaitu: bagaimana kita memandang siswa dan pembelajaran itu sendiri, bagaiman kita mendinifikasikan program pengajaran dan pelayanan yang diberikan, bagaimana kita mengorganisasi hingga menyampaikan program dan pelayanan, serta bagaimana cara mengelola skolah.

(7)

dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan sekolah.

Selama bertahun-tahun upaya perbaikan upaya perbaikan selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam. Hingga buku ini ditulis pun belum ada upaya refomasi pendidikan yang sesungguhnya, yang terjadi hanyalah inovasi pendidikan yang masih setengah hati karena keenganan para birokrat pendidikan. Apa yang disebut dengan MBS di Indonesia sebenarnya belumlah merupakan bentuk reformasi, karena tidak terpenuhi beberapa prasyarat dan melewati tahap-tahap yang benar.

Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa MBS muncul karena beberapa alasan. Pertama , terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kwenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan mengesampingkan bawahan. Kedua kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di banyak negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan para pencinta pendidikan untuk merestrukturisasi pengolahan pendidikan.

(8)

B. MOTIF,TUJUAN dan MANFAAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Secara politis, MBS sebagaimana bentuk reformasi desentralisasi laimya digunakan untuk mendorong adanya partisipasi demokratis dan kestabilan politik, dimana pemerintah pusat memberikan kesempatan mendesentralisasikan beberapa aspek pengambilan keputusan dibidang pendidikan untuk mendorong keleluasaan yang lebih besar kepada daerah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Gamage, D (2003:2) yang menyatakan bahwa reformasi pendidikan, termasuk MBS pada dasarnya karenafaktor politik, dimana terjadi proses restrukturisasi birokrasi dalam sistem pendidikan di sekolah. Kepala sekolah berbagi kekuasaan dan kewenangan dengan pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan dalam pengambilan keputusan.

Motif profesional menggambarkan bahwa para profesional sekolah mempunyai pengalaman dan keahlian untuk membuat keputusan pendidikan yang paling tepat untuk sekolah dan siswanya. Para profesional juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan pendidikan yang memiliki berkenaan dengan kurikulum, pedagogik, pembelajaran dan proses manajemen sekolah.

(9)

Menurut departemen Pendidikan Nasional, terdapat empat motif penerapan MPMBS :

1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.

2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah

3. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah dan kontrol dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, sehingga penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif

4. Akuntabilitas sekolah tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat, mendorong sekolah untuk berupaya semaksimal mungkin melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang direncanakan, dengan melakukan upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua siswa , masyarakat dan pemerintah.

TUJUAN DAN MANFAAT MBS

Manajemen berbasis sekolah di Indonesia yang menggunakan model MPMBS (Depdiknas, 2001:5) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif salam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, MBS bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevan pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau proses.

2. Partisipatif, yakni meningkatkan keperdulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.

(10)

4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang pendidikan yang akan dicapai. 5. Mendorong munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan di sekolah

tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin. Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan.

6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi setiap komunitas sekolah dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam setiap pemecahan masalah disekolah telah memperlancar alur komunikasi di antara warga sekolah.

Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa manfaat MBS adalah sebagai berikut: 1. Memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk memberikan

kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlebitan mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran.

2. Memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas)

3. Memfokuskan akuntabilitas pada keputusan

4. Mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain program

5. Mengatur ulang suber daya untuk mendukug tujuan yang dikembangkan disekolah

6. Mengarah pada penganggaran yang relastik, yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadarai akan status keuangan sekolah, batasan pembelajaran, dan biaya dari setiap program

7. Meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan baru pada setiap tingkat. Kubick & Kathelin (1988:2) menungkapkan bahwa kelompok kerja The American Association of School Administrators, the National Assosiation of Elementary School Principals, and the National Association of Secondary School Principals (1988) mengidentifikasi sembilan manfaat dari MBS.

1. Secara formal MBS dapat mengenali keahlian dan kompetensi orang-orang yang bekerja di sekolah dalam rangka membuat keputusan untuk meningkatkan pembelajaran

2. Melibatkan guru, staf sekolah, dan masyarakat dalam pengambilan keputusan 3. Meningkatkan moral para guru

(11)

5. Membawa keuangan dan sumber daya pembelajaran dalam mengembangkan tujuan pembelajaran di setiap sekolah

6. Memlihara dan merangsang pemimpin baru di semua tingkatan 7. Meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi

8. Masing-masing sekolah lebih fleksibel dalam mendesain program menuju kreativitas yang lebih besar dan dalam memenuhi kebutuhan para siswanya

9. Penganggaran menjadi nyata dan lebih realistik

Sementara itu, situs program Managing Basic Education (MBE) menungkapkan bahwa manfaat MBS bagi sekolah adalah menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang sekolah. Di samping itu, pelaksanaan PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau pembelajaran kontekstual dalam MBS, mengakibatkan peningkatan kehadiran anak di sekolah, karena mereka senang belajar.

Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah

Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah adalah manajemen yangbernuansa otonomi, kemandirian dan demokratis.

a. Otonomi, dimaknai sebagai kewenangan sekolah dalam mengaturdan mengurus kepentingan sekolah dalam mencapai tujuan sekolah untuk menciptakan mutu pendidikan yang baik. b. Kemandirian, dimaknai sebagai langkah dalam pengambilan keputusan,tidak tergantung pada birokrasi yang sentralistik dalam mengelola sumberdaya yang ada, mengambil kebijakan, memilih strategi dan metode dalammemecahkan persoalan yang ada, sehigga mampu menyesuaikan dengan kondisilingkungan dan dapat memanfaatkan peluang – peluang yang ada.

(12)

sekolah untuk terciptanya mutu pendidikan sehinggamemungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang mendapatdukungan dari seluruh elemen-elemen sekolah.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memahami Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diantaranya adalah :

1. Pengkajian Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terutama yang menyankut kekuatan desentralisasi, kekuasaan atau kewenangan di tingkat sekolah, dalam system keputusan harus dikaitkan dengan program dan kemampuan dalam peningkatan kinerja sekolah. 2. Penelitian tentang program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berkenaan dengan desentralisasi kekuasaan dan program peningkatan partisipasi ( local stakeholders. Pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pemberdayaan sekolah, perlu dibangun dengan efektifitas programnya.

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)

Karakteristik utama MBS terletak pada pola pengelolaan pendidikan baru yang berwatak desentralistis, yang ditawarkan sebagai pengganti pola pengelolaan pendidikan lama yang berwatak sentralistis. Dengan kebijakan deregulasi, diharapkan berkembang kebiasaan kerja baru. Kebiasaan kerja serba diatur harus ditanggalkan, diganti dengan kebiasaan kerja yang berbasis motivasi diri, yang akan bermuara pada adanya keberanian mengambil prakarsa atau inisiatif serta melakukan inovasi dalam bidang pendidikan.

MBS memiliki karakter yang bertolak belakang dengan pola pengelolaan pendidikan lama yang sentralistis. Karakter utama MBS adalah desentralisasi, pemberian otonomi kepada daerah dan sekolah, deregulasi, pemberdayaan (sekolah dan stakeholder), pengutamaan profesionalisme, inisiatif, pengambilan resiko, pertanggungjawaban keuangan, teamwork yang kompak dan cerdas, kepemimpinan yang demokratis, partisipasi, berbagi informasi dan organisasi yang non hierarkhis atau datar.

Penerapan MBS harus selalu difokuskan pada motivasi dan tujuan utamanya yaitu peningkatan mutu pendidikan sebagaimana tercermin dalam peningkatan prestasi belajar peserta didik.

(13)

diterapkan ketika sekolah menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang didesentralisasikan di sekolah. Prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik juga harus diterapkan oleh Guru dalam mengelola pembelajaran di tingkat kelas.

penerapan prinsip-prinsip good governance harus dilakukan ketika sekolah menjalankan kewenangan pengelolaan (manajemen) pendidikan di tingkat sekolah baik dari segi fungsinya (perencanaan (planning), pengorganisasian (Organizing), pelaksanaan (Actuating), pengawasan (controlling).

Sesuai dengan tujuan MBS untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui proses pembelajaran, maka pengelolaan proses belajar mengajar di kelas juga harus mencerminkan ciri ciri pemerintahan yang baik, seperti:

1) Prinsip partisipatif mengimplikasikan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus menjadi pihak yang aktif mengkonstruksi pengetahuannya, di mana Guru tidak boleh menggantikan proses belajar siswa. Strategi strategi yang dapat mengkatifkan siswa untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan pembelajarannya sendiri dan kelasnya merupakan konsekuensi logis dari prinsip di atas. Prinsip partisipatif juga mengimplikasikan keterlibatan orang tua dalam menopang keberhasilan belajar anak di sekolah.

2) Prinsip taat norma atau “rule of law” mengimplikasikan bahwa proses pengelolaan kelas harus dilSaudarasi oleh norma norma yang berlaku dalam dunia pendidikan dan pengembangan ilmu seperti kejujuran , kebenaran, disiplin terbuka dan menjunjung tinggi akal sehat.

3) Prinsip tranparansi mengimplikasikan pengelolaan pembelajaran yang jelas bagi anak didik dan stake holder tentang tujuan, proses belajar mengajar maupun teknik evaluasi hasil belajar yang dipergunakan. Kejelasan tujuan akan membuat siswa sadar sejak awal ke mana proses belajarnya hendak diarahkan. Kejelasan proses belajar akan membuat siswa berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, sementara kejelasan proses evaluasi akan membuat siswa merasa diperlakukan secara fair dan adil.

4) Prinsip kepekaan mengimpiklisaikan bahwa Guru harus peka terhadap kebutuhan belajar para siswanya, sesuai dengan keragaman modalitas, potensi kecerdasan serta latar belakang sosial-ekonomi mereka.

(14)

individualistis kompetitif. Prinsip ini tidak harus diartikan sebagai sikap kompromis terhadap hal hal yang bertentangan dengan nilai nilai akademis semacam kebenaran, kejujuran dsbnya.

6) Prinsip kesamaan dan kemencakupan mengimplikasikan bahwa proses belajar mengajar harus terbebas dari diskriminasi, bias gender, SARA dan kecepatan belajar siswa (siswa lambat, normal dan cepat) dan sejenisnya.

7) Prinsip efektif dan efisien mengimplikasikan bahwa pembelajaran harus dirancang dan dilaksanakan dengan memanfaatkan seluruh sumber belajar secara tepat, dan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.

8) Prinsip pertanggungjawaban mengimplikasikan bahwa baik guru maupun siswa harus mampu mempertanggungjawabkan kegiatan dan hasil kegiatan belajar mengajar di kelas kepada pengembangan ilmu pengetahuan, orang tua murid, stake holder pendidikan maupun masyarakat pengguna hasil pendidikan. Tak ketinggalan tentu bahwa murid harus bertanggung-jawab atas belajarnya sendiri, karena memang muridlah yang paling menentukan hasil belajarnya sendiri. Tanggung jawab Guru adalah memfasilitasi agar setiap murid bersempatan untuk mewujudkan tanggungjawab pribadinya untuk belajar.

Kewenangan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)

Terjadi perubahan paradigma manajemen pendidikan di sekolah, yang semula diatur dan dikendalikan oleh pusat dan birokrasinya (sentralistik menjadi pengelolaan yang berdasar pada potensi atau kemampuan sekolah itu sendiri (desentralistik).

Dalam konteks desentralisasi, sekolah mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur pendidikan dan pembelajaran, merencanakan, mengorganisasikan, mengawasi, mempertanggungjawabkan, serta memimpin sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

 bertolak dari kata manajemen, berbasis, dan sekolah.

Manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

(15)

Sekolah merupakan organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesiona-listik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).

MBS adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif).

Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.

Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) menyatakan bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah di tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal itu terdiri atas: kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa.

Myers dan Stonehill (1993) mengemukakan bahwa MBS merupakan strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentansfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah-sekolah secara individual.

 Penerapan MBS memberikan kewenangan kepada kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan msyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang anggaran, personil, dan kurikulum.

 Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) lokal dalam pengambilan keputusan akan dapat meningkatkan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa.

(16)

kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan kepercayaan, dan juga sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan.

Beberapa kewenangan formal adalah untuk membuat keputusan tentang sumber-sumber pendanaan (budget), ketenagaan, dan program yang didelegasikan dan didistribusikan kepada orang-orang antarberbagai level. Beberapa struktur formal seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan kadang-kadang siswa dan masyarakat sekitarnya yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapat secara langsung dilibatkan dalam pembuatan keputusan sekolah secara luas.

 Kubick & Katheleen (1988:2) menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem administrasi di mana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

penduduk terhadap harga tanah di Kecamatan Jati Agung... Pokok bahasan skripsi ini sesuai dengan program studi penulis

Variabel keputusan yang optimum yang akan meminimumkan total ongkos gabungan akan ditentukan dalam penelitian ini, yaitu ukuran lot produksi, jumlah pengiriman

Oleh karenanya, sebelum lembaga litbang menganalisis kebutuhan jumlah formasi pejabat fungsional peneliti, perlu adanya penyelarasan IKK yang ada dimasing-masing

Metode Hybrid case based adalah sebuah sistem atau teknik yang digunakan untuk menggunakan kombinasi (hybrid) metode case-based reasoning dan rule based

Tujuan dari penelitian tersebut adalah 1) untuk mengetahui peran penyidik Kepolisian dan peran penyidik KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi 2) untuk mengetahui

Matumizi ya takriri yanajitokeza katika methali nyingi za jamii ya Kisimbiti kutokana na hali halisi kwamba methali hutumika katika kusisitiza mambo muhimu katika maisha

〔商法一二二〕 取締役会決議を経ずに代表取締役以外の取締役が招 集した総会決議の効力 広島高裁昭和四三年十二月十七日第三部判決 衣笠,

Bagi kebanyakan orang, vektor telah menjadi objek yang digunakan untuk merepresentasikan informasi yang memiliki besar dan arah, walau ketika orang tersebut