• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengapa Perempuan Harus dalal Berpolitik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengapa Perempuan Harus dalal Berpolitik"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Mengapa Perempuan Harus Berpolitik?

Doktrin tentang larangan seorang perempuan menjadi pemimpin, semakin tidak relevan dengan hadirnya sosok-sosok perempuan tangguh yang mampu berkiprah di dunia publik khususnya politik. Munculnya beberapa pemimpin perempuan baru-baru ini, menunjukan kesadaran masyarakat tentang arti kesetaraan gender. Bahkan dimungkinkan masyarakat mulai lelah atau bahkan kecewa dengan gaya kepemimpinan kaum laki-laki yang cenderung otoriter, represif dan korup. Masyarakat mulai rindu sosok pemimpin yang berkarakter keibuan; mengayomi, menyayangi dan selalu memperhatikan masyarakatnya.

Tidak Ada Larangan Agama, Perempuan Berpolitik

Wacana perempuan berpolitik telah berkembang mulai dari tingkatan lokal, nasional, bahkan internasional yang membicarakan suksesi kepemimpinan kaum perempuan. Meskipun di sela keragu-raguan atas dogma agama yang mengharuskan perempuan untuk selalu menjadi “makmum”. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap superioritas kaum laki-laki atas perempuan masih menjadi doktrin utama di kalangan masyarakat Muslim. Pendapat ini biasanya dasarkan pada Surat an-Nisa [4] 34 yang berbunyi “ar-rijalu

qawwamuna alan-nisa`i” (laki-laki adalah pelindung/pemimpin bagi perempuan). Berbekal ayat inilah, sebagian ulama memandang bahwa laki-laki lebih layak untuk menjadi seorang pemimpin baik domestik (rumah tangga) maupun publik (politik pemerintahan).

Tetapi, setelah ditelusuri bahwa, ayat tersebut lebih bersifat privat. Artinya, ayat tersebut adalah suatu kasuistik dan tidak bisa digeneralisasikan. Bahkan, ayat tersebut menggunakan kata “rijal” yang berarti mampu atau dalam istilah modern adalah

“profesional” yang lebih bermakna gender atau peran sosial, bukan seks atau jenis kelamin. Karena al-Qur’an tidak menggunakan kata “dzakaru” yang bermakna jenis kelamin laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat mendorong siapapun baik itu laki-laki maupun perempuan, untuk berperan aktif dalam bidang politik dan kepemimpinan publik, dengan syarat ia memiliki kemampuan dan profesionalisme.

Permasalahannya adalah, selama ini anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin. Ini adalah suatu dogma yang keliru dan bersifat sumir dengan bumbu-bumbu politik demi memposisikan rendah kaum perempuan. Supaya dapat dengan mudah diperalat, dikontrol dan dimanfaatkan oleh laki-laki.

Mari kita lihat bagaimana al-Qur’an menerima kepemimpinan seorang perempuan. Di dalam Surat an-Naml [27]: 29-35 tercatat sejarah seorang ratu bernama Bilqis yang memimpin kerajaan Saba` saat menyikapi surat yang datang dari Raja Sulaiman. Sebuah kerajaan yang penduduknya menyembah matahari.

(2)

Al-Qur`an secara tersirat menunjukan bahwa seorang perempuan juga bisa memimpin suatu negeri dengan sangat baik dan bijaksana (Syamsuddin, 2011: 55).

Jika dipahami lebih mendalam ayat-ayat di atas, terdapat beberapa pesan moral yang hendak disampaikan kepada manusia terkait masalah kepemimpinan. Sebagai makna terdalam yang menggambarkan karakteristik kepemimpinan Ratu Bilqis.

Pertama, pemimpin bertipe demokratis. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa saat menerima surat dari Raja Sulaiman, Ratu Bilqis meminta pertimbangan kepada pembesar pemerintahan dan tidak memutuskan sendiri dengan bersikap otoriter.

Kedua, pemimpin berkarakter bijaksana. Tercermin dalam keputusannya memilih untuk melakukan jalur diplomasi dan perdamaian demi menjaga kesejahteraan dan kententraman masyarakatnya.

Ketiga, pemimpin berintegritas tinggi. Hal ini dapat terlihat dari sifatnya yang sangat teliti dan cerdas dalam mengambil setiap langkah yang menentukan nasib seluruh rakyatnya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Ratu Bilqis merupakan karakter pemimpin yang ideal meskipun seorang perempuan (Syamsuddin, 2011: 57). Ratu Bilqis menjalankan pemerintahannya dengan sangat arif dan bijaksana, serta memperhatikan kepentingan rakyatnya. Hal ini secara tersirat diapresiasi oleh al-Qur`an dan diabadikan di dalamnya.

Dengan beberapa argumentasi di atas, telah menjadi jelas bahwasanya jenis kelamin bukanlah pembatas bagi seseorang untuk menjadi pemimpin. Keberhasilan memimpin tidak hanya diukur melalui jenis kelamin, melainkan dari kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memimpin. Maka, tidak heran jika di tahun 2016 lalu banyak bermunculan pemimpin-pemimpin perempuan yang memang diberikan kepercayaan oleh masyarakat. Sebut saja seperti, bupati dan wakil bupati Klaten (Sri Hartini & Sri Mulyani), wakil Walikota Semarang (Hevearita Gunaryati Rahayu), Mirna Annisa (Bupati Kendal), Sri Sumarni (Bupati Grobogan), Idza Priyanti (Bupati Brebes), Kusnidar Untung Yuni Sukowati (Bupati Sragen), Siti Masitha Soeparno (Walikota Tegal), serta sederetan nama mentri yang sedang menjabat saat ini. Keberhasilan pemimpin perempuan dalam menjalankan pemerintahan, nantinya yang akan menggempur pandangan-pandangan yang bias gender. Serta akan melucuti dalil-dalil yang bernuansa misoginis. Sehingga, nilai-nilai egalitairanisme (kesetaraan) akan terwujud di dalam masyarakat. Perempuan tidak lagi sebagai ajang diskriminasi. Justru akan menjadi rival yang harus diperhitungkan dalam pentas kepemimpinan publik.

Kuota 30% untuk Perempuan di Kursi Parlemen

30% adalah angka yang cukup besar untuk sebuah representasi. Angka ini secara khusus diberikan kepada kaum perempuan untuk berperan aktif dalam dunia politik. Melalui UU No. 2 dan No. 10 Tahun 2008, mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat sebagai prasyarat mengikuti pemilu.

Menurut PBB (Peserikatan Bangsa-Bangsa), angka 30% merupakan jumlah yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak positif pada kualitas keputusan yang diambil pada suatu lembaga pemerintahan.

(3)

Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen dari populasi. Sayangnya, besarnya populasi perempuan tersebut tidak terepresentasikan dalam parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan proporsi laki-laki (Tirto.id).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kegiatan yang diikuti oleh peserta para kader Posyandu yang ada di Desa Barengkok, yaitu sepuluh orang dari perwakilan 6 kelompok Kader Posyandu (Perkutut

Orcalindo Lamtama Mandiri diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam

(1) Teknologi Transaksi Tol Nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) diterbitkan oleh Penerbit Uang Elektronik baik Bank dan/ atau Lembaga Keuangan non-Bank

bahwa meski terdapat peningkatan mutu pendidikan dan cukup menggembirakan, akan tetapi pembelajaran dan pemahaman peserta didik pada beberapa mata pelajaran

Berdasarkan hasil wawancara dan angket diketahui bahwa guru lebih sering menjelaskan materi pem- belajaran menggunakan media cetak, dan metode ceramah tanpa meng- gunakan

Laporan Tugas Akhir Magang ini disusun sebagai syarat kelulusan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Bisnis

Segala puji bagi Allah subhana wa ta’ala , yang telah melimpahkan rahmat serta anugerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ PERAN BANTUAN

Untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena