• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Permasalahan Pada Implementasi. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Permasalahan Pada Implementasi. pdf"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/282606397

ANALISIS PERMASALAHAN PADA

IMPLEMENTASI POLA PENGELOLAAN

KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM

Article · December 2014

CITATIONS

0

READS

3,886

1 author:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Performance Measurement in Higher Education InstitutionsView project Budi Waluyo

University of Leicester 3PUBLICATIONS 1CITATION

SEE PROFILE

(2)

ANALISIS PERMASALAHAN PADA IMPLEMENTASI

POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM

Budi Waluyo

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara budiwaluyo@stan.ac.id

ABSTRAK

Pemerintah telah menciptakan model baru dalam pengelolaan instansi pelayanan publik (public service agency) dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) Badan Layanan Umum (BLU). Model ini diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan

berbasis pada hasil. Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat, didorong untuk menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Namun demikian, PPK BLU tidak dapat diimplementasikan dengan mudah. Berbagai kendala dan permasalahan muncul, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan keuangan pada BLU.

Tujuan kajian ini adalah untuk menelusuri secara mendalam mengenai implementasi PPK BLU

untuk memberikan pemaparan secara menyeluruh dan mendalam mengenai implementasi PPK BLU, permasalahan yang muncul dan beberapa usulan solusinya. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman atas fenomena empirik yang utuh terkait implementasi PPK BLU. Data dan informasi diperoleh melalui pengamatan terlibat (participant observation), dan studi dokumentasi. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif berdasarkan telaah teoritik yang diolah dari konsep-konsep manajemen keuangan pemerintah.

Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi PPK BLU belum berjalan secara efektif dikarenakan tarik menarik kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, dan Satuan Kerja (Satker) BLU; konten PPK BLU yang kurang memperhatikan prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU; serta lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi

pemerintah; sehingga temuan pada ketiga elemen tersebut mengakibatkan implementasi PPK BLU belum memberikan manfaat yang optimal bagi BLU dan masyarakat.

Kata kunci : Pengelolaan Keuangan, Badan Layanan Umum.

LATAR BELAKANG

BLU merupakan instansi pemerintah yang diberikan mandat oleh Kementerian/Lembaga untuk menyelenggarakan layanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan dan pengelolaan dana. Menurut Thynne (2003) dalam Egeberg dan Trondal (2010) pemberian mandat tersebut dimaksudkan untuk membedakan fungsi

(3)

Dalam pelaksanaannya, upaya peningkatan layanan kepada masyarakat saat ini masih belum maksimal dan terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan administrasi pengelolaan keuangan BLU. Sebagai upaya meminimalisir permasalahan yang terjadi, pada tahun 2013 Kementerian Keuangan memberlakukan moratorium penetapan BLU baru. Dalam periode tersebut, tidak ada satuan kerja instansi pemerintah yang ditetapkan untuk menerapkan PPK BLU. Kementerian Keuangan melakukan beberapa perbaikan kebijakan yang terkait PPK BLU, antara lain penataan regulasi, monitoring dan evaluasi terhadap satker BLU, dan penyusunan road map bagi satker BLU.

METODE KAJIAN

Kajian ini bertujuan menelusuri secara mendalam mengenai implementasi PPK BLU menggunakan pendekatan kualitatif

(qualitative approach) untuk memberikan pemaparan secara menyeluruh dan mendalam mengenai implementasi PPK BLU, permasalahan yang muncul dan usulan solusinya. Pemaparan dan penjelasan tersebut menggunakan deskripsi yang disusun untuk mengungkap apa yang tampak maupun yang terdapat di balik implementasi PPK BLU dengan maksud mencari pemahaman yang terkandung di dalamnya. Temuan kajian ini tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk perhitungan lainnya, tetapi diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam sarana.

Melalui kajian ini, penulis hendak memahami peristiwa yang terjadi atas implementasi PPK BLU secara konstruktif-interpretatif. Kajian ini tidak bermaksud membuktikan atau menguji hubungan atau adanya hubungan antar variabel, menguji teori, atau mencari generalisasi. Pada kajian ini, penulis melakukan konstruksi untuk memahami peristiwa atau fenomena yang

terjadi berdasarkan hasil pengamatan, terutama pengalaman penulis selama menjadi salah satu pelaku dalam implementasi PPK BLU pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, penulis melakukan interprestasi untuk melihat dan memahami makna dari implementasi PPK BLU.

Objek kajian ini adalah Badan Layanan Umum di lingkungan pemerintah Pusat, tidak termasuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ruang lingkup pembahasan terbatas pada PPK BLU yang mencakup aspek penganggaran, perbendaharaan, pelaporan, dan pengendalian.

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga penulis menjadi ujung tombak sebagai pengumpul data (instrument) dengan terlibat secara langsung di lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan. Data-data dalam kajian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari menggunakan teknik pengamatan terlibat

(participant observation) dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek kajian di mana sehari-hari mereka berada dan biasa melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini, penulis berinteraksi secara langsung dengan para pengelola keuangan BLU dalam berbagai kesempatan, seperti rapat koordinasi dan kunjungan studi banding. Peneliti melibatkan diri sebagai pelaku atas implementasi PPK BLU.

(4)

hasil kajian, jurnal ilmiah, dan makalah secara

online.

TINJAUAN TEORI

Konsep New Public Management yang telah diimplementasikan di berbagai negara maju, terutama di Eropa dan Amerika, memberi dampak yang luas terhadap tata kelola pemerintahan di berbagai negara. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya transformasi manajemen pemerintahan di Indonesia, yang mencakup penataan kelembagaan, kepegawaian, dan pengelolaan keuangan negara (Mahmudi, 2003 dalam Waluyo, 2011). Dalam konsep ini, pemerintah diarahkan untuk meninggalkan paradigma lama seperti administrasi tradisional yang cenderung mengedepankan sistem dan prosedur, birokratis, pemberian layanan yang tidak efektif dan efisien, agar digantikan dengan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kinerja dan hasil. Pemerintah dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik, dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan, serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil (Meidyawati, 2011 dalam Waluyo, 2011).

Hal ini yang mendasari dibentuknya BLU berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana diperbaharui dengan PP Nomor 74 Tahun 2012. BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan BLU merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan

praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Suatu satker pemerintah dapat menerapkan pengelolaan keuangan BLU, terlebih dahulu harus memenuhi tiga kelompok persyaratan. Pertama, persyaratan substantif bahwa Instansi pemerintah tersebut menyelenggarakan layanan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa, pengelola dana khusus, atau pengelola kawasan atau wilayah. Kedua, persyaratan teknis bahwa kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah tersebut layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU. Penilaian ini dilakukan oleh menteri teknis; dan Kinerja keuangan instansi pemerintah tersebut harus sehat. Ketiga, persyaratan administratif. Apabila persyaratan pertama dan kedua telah dipenuhi, maka menteri teknis mengusulkan instansi/satker berkenaan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan penilaian melalui dokumen persyaratan administratif yaitu: (1) Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja; (2) Pola Tata Kelola; (3) Rencana Strategis Bisnis; (4) Laporan Keuangan Pokok; (5) Standar Pelayanan Minimum (SPM); dan (6) Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit. Berdasarkan hasil penilaian atas dokumen administratif tersebut, Menteri Keuangan menerbitkan ketetapan suatu instansi pemerintah layak atau tidak layak ditetapkan sebagai satker BLU.

(5)

memiliki tugas yang sangat mulia, yakni turut berperan dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tugas dan fungsi BLU adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel, menonjolkan produktivitas, efisiensi dan efektivitas. Tujuan dibentuknya BLU adalah untuk lebih memberikan keleluasaan kepada satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanan untuk mengelola sumber daya yang ada sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.

Untuk mencapai tujuan tersebut, BLU diberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan berupa pengecualian atas asas universalitas dan fleksibilitas lainnya, yaitu:

1. Pendapatan dapat digunakan langsung, tanpa terlebih dahulu disetorkan ke Kas Negara;

2. Belanja menggunakan pola anggaran fleksibel dengan ambang batas tertentu; 3. Dapat mengelola kas BLU untuk

memanfaatkan idle cash BLU yang hasilnya menjadi pendapatan BLU;

4. Dapat memberikan piutang usaha maupun menghapus piutang sampai batas tertentu;

5. Dapat melakukan utang sesuai jenjang dengan tanggung jawab pelunasan berada pada BLU;

6. Dapat melakukan investasi jangka panjang dengan seijin Menteri Keuangan;

7. Dapat dikecualikan dari aturan umum pengadaan barang/jasa dan dapat mengalihkan barang inventaris;

8. Dapat diberikan remunerasi sesuai tingkat tanggung jawab dan profesionalisme; 9. Surplus dapat digunakan untuk tahun

berikutnya dan defisit dapat dimintakan dari APBN untuk Public Service Obligation

(PSO);

10. Pegawai dapat terdiri dari PNS dan profesional non PNS;

11. Pengaturan organisasi dan nomenklatur diserahkan kepada Kementerian/Lembaga dan BLU yang bersangkutan dengan seijin Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Direktorat PPK BLU, 2014).

Pemberian fleksibilitas tersebut dimaksudkan untuk mendorong satker BLU agar dapat menerapkan praktik bisnis yang sehat. Penerapan praktik bisnis yang sehat merupakan suatu upaya untuk mengadopsi prinsip dan kaidah manajemen yang baik dalam pengelolaan keuangan negara. Fungsi-fungsi manajemen diadaptasi dengan tujuan agar tercipta tata kelola organisasi yang baik, akuntabel dan transparan.

Konsep manajerial yang diterapkan dalam pengelolaan BLU yaitu let the managers manage and make the managers manage .

Ko sep let the managers manage

mengandung makna memberi kesempatan kepada manager (pimpinan satuan kerja) mengelola layanan pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan dengan menggunakan anggaran secara efisien dan efektif. “eda gka ko sep ake the managers manage bermakna memastikan bahwa pimpinan satuan kerja tersebut telah melakukan pengelolaan dengan efisien dan efektif sehingga menghasilkan output yang optimal (Waluyo, 2011).

Konsep BLU sebenarnya muncul dari reformasi sektor publik di Inggris pada tahun 1980-an semasa Perdana Menteri Margareth Thatcher. Institusi publik dikelola secara lebih otonom dengan tata kelola seperti swasta (private-like manner). Institusi publik yang semi otonom dan dikelola dengan mekanisme

layak ya e titas is is itu dise ut de ga

the next step agencies . Negara-negara lain juga melakukan hal yang sama seperti

(6)

Menurut Lane, Stiglitz, dan Walsh, pada teori principal-agent, agent berusaha memenuhi keinginan dari principal, karena

principal pada dasarnya adalah merupakan representasi kepentingan publik. Dengan kata lain, principal disini dapat juga berperan

se agai controller agent. Hal ini dikarenakan dalam kondisi politik yang demokratis, pemegang kekuasaan tertinggi adalah warga masyarakat (citizen) atau konsumen dari pelayanan publik (Batley, 2004 dalam Prakoso, 2014). Pendekatan principal-agent

ini menjadi dasar untuk menempatkan birokrat sebagai pelayan masyarakat yang sebenarnya. Penerapan pendekatan ini diharapkan mampu menyadarkan birokrat sebagai agent yang bertanggung jawab kepada masyarakat (principal) dan bukan sebaliknya. (Prakoso, 2014).

Dalam konteks BLU, implementasi konsep

principal-agent diwujudkan dengan posisi pemerintah sebagai principal melalui menteri atau pimpinan lembaga dan yang menjadi agen adalah BLU. Menteri/pimpinan lembaga sebagai policy maker dan BLU sebagai pelaksananya. BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta kepada menteri sebagai principal. Dalam melaksanakan misi pelayanan publik, BLU memiliki tantangan yang cukup besar mengingat pemerintah sebagai principal, meminta kepada BLU sebagai agent untuk menjalankan misi tersebut dengan berpedoman kepada prinsip bisnis. Prinsip ini menekankan efisiensi dan produktivitas sebagaimana layaknya diterapkan pada dunia usaha, namun dengan tetap mengutamakan pada peningkatan kualitas pelayanan. BLU harus memiliki banyak inovasi agar bisa melakukan kegiatan yang kreatif dalam menciptakan metode pelayanan terbaik dan juga cara terbaik dalam menjalankan prinsip-prinsip bisnis.

HASIL KAJIAN DAN ANALISIS

Hasil kajian dan analisis akan diuraikan dalam tiga bagian. Masing-masing bagian didahului dengan paragraf yang tercetak dengan huruf tebal.

Bagian Pertama, bahwa dalam implementasi PPK BLU sering terjadi tarik menarik kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, dan Satker BLU. Permasalahan ini

terjadi pada masa transisi, pemanfaatan idle cash, remunerasi, dan pengukuran kinerja. Berikut penjelasan masing-masing permasalahan.

Masa Transisi

Ketika suatu Satker ditetapkan menjadi BLU, harus melakukan langkah-langkah transisi keuangan yaitu menyetorkan PNBP, menyusun RBA dan merevisi DIPA. Untuk Satker yang sebelumnya berstatus sebagai Pengguna PNBP, harus menyetorkan seluruh PNBP yang diterimanya sebelum ditetapkan sebagai Satker BLU ke rekening Kas Negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan untuk kemudian ditarik kembali menggunakan mekanisme penggunaan PNBP. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa permohonan pengembalian sisa PNBP yang dapat ditarik kembali adalah hanya PNBP yang disetor pada tahun Satker ditetapkan menjadi Satker BLU, dengan syarat dana PNBP yang telah disetor tersebut belum dipergunakan atau belum diterbitkan SP2D-nya.

(7)

Langkah berikutnya adalah merevisi DIPA. Ketika masih sebagai Pengguna PNBP maka

DIPA ya g di ilki adalah DIPA iasa ,

sebagaimana Satker lainnya. Namun ketika sudah menjadi Satker BLU maka DIPA yang

ada harus dire isi e jadi DIPA BLU . Per edaa e dasar a tara DIPA iasa da DIPA BLU selai u ul ya aku BLU juga

pada halaman pengesahan terdapat saldo awal dan saldo akhir. Pada masa transisi tentu belum ada saldo kas karena seluruh PNBP telah disetor ke kas negara. Pada periode berikutnya jika memang pendapatan BLU tidak seluruhnya dibelanjakan, maka akan ada saldo awal yang dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya.

Di samping itu, pada awal masa transisi, beberapa Satker melakukan penyesuaian kelembagaan setelah menjadi Satker BLU. Perubahan kelembagaan bukan merupakan suatu keharusan, dalam arti kelembagaan Satker tersebut dapat tetap seperti sebelum menjadi BLU.

Seringkali ada anggapan bahwa kelembagaan BLU menjadi berbentuk komersial, padahal tidak demikian. PPK BLU dapat diterapkan oleh setiap instansi Pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional yang dapat berasal dan berkedudukan pada berbagai jenjang eselon (struktural) atau non eselon (non struktural). Sebagian besar Satker PPK BLU berbentuk struktural, misalnya: Universitas Negeri Jakarta (Eselon I), dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Cipto Mangunkusumo (Eselon II). Namun demikian terdapat juga Satker PPK BLU berbentuk nonstruktural, misalnya: Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (LLP KUKM) dibawah Kementerian Koperasi dan UKM, Pusat Pengelola Kawasan Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPK GBK) dan Pusat Pengelola Kawasan Kemayoran (PPKK) di bawah Sekretariat Negara.

Perubahan organisasi sering mengalami kendala karena berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Teknis. Di samping itu, harus berpedoman pada ketentuan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara terkait organisasi dan tata kerja yaitu:

1. Perubahan organisasi dan tata kerja bagi Satker PPK BLU di lingkungan Pemerintah Pusat dapat dilakukan berdasarkan analisis organisasi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan;

2. Perubahan tersebut dapat meliputi penyempurnaan tugas, fungsi, struktur organisasi dan tata kerja, dan atau eselon jabatan;

3. Usulan perubahan harus dilengkapi dengan naskah akademik;

4. Perubahan organisasi dan tata kerja Satker PPK BLU di lingkungan Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Pemanfaatan Idle Cash

BLU dapat melalukan optimalisasi pengelolaan kas dalam bentuk investasi jangka pendek atas saldo kas yang ada di BLU. Investasi jangka pendek dilakukan dalam kerangka pengelolaan kas melalui pemanfaatan surplus kas BLU, pada instrumen keuangan dengan risiko rendah seperti deposito ataupun surat berharga jangka pendek lainnya.

(8)

pada investasi jangka pendek seperti deposito?

Atas permasalahan ini, Kementerian Keuangan kemudian menerbitkan pengaturan bahwa BLU hanya diperbolehkan melalukan optimalisasi pengelolaan kas dalam bentuk investasi jangka pendek atas saldo kas yang telah menjadi haknya, dalam arti telah dimiliki dan atau dikuasainya. Dengan demikian, saldo dana Jamkesmas dan uang muka pasien pada BLU rumah sakit, serta saldo dana beasiswa pada BLU universitas tidak dapat ditempatkan dalam instrumen investasi jangka pendek. Saldo kas yang telah menjadi hak BLU bersumber dari:

1. pendapatan BLU sebagai hasil penyelenggaraan layanan, kerjasama, dan usaha lainnya yang sah, misalnya: pendapatan jasa layanan rumah sakit, jasa layanan pendidikan, jasa kajian, imbal hasil/bunga atas investasi / dana bergulir; 2. Pengeluaran pembiayaan anggaran yang

bersumber dari BA BUN, misalnya dana kelolaan BLU untuk investasi, dana bergulir untuk KUKM/pengadaan tanah; 3. Dana lainnya yang secara sah dikuasasi

oleh BLU, misalnya BLU Universitas menguasai dana abadi yang diperoleh dari para alumninya untuk dikelola dan hasilnya diperbolehkan untuk digunakan oleh BLU dimaksud (Direktorat PPK BLU, 2014).

Di samping itu, pendapatan jasa perbankan sebagai hasil dari pemanfaatan iddle cash

merupakan pendapatan PNBP Satker BLU, yang harus diajukan pengesahannya ke KPPN.

Remunerasi

Dalam pengelolaan BLU, kepada pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan. Remunerasi dapat berupa tunjangan tetap, bonus atas

prestasi, pesangon dan atau pensiun. Pegawai BLU (Khususnya PNS) hanya dapat diberikan tunjangan tetap, bonus atas prestasi dan atau pesangon. Sedangkan untuk pegawai BLU (Non PNS) dapat diberikan tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi, pesangon dan atau pensiun.

Besaran remunerasi dihitung berdasarkan kemampuan keuangan (jumlah omset dan aset BLU), prestasi kerja, lokasi kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kelangkaan profesi, dan unsur pertimbangan rasional lainnya. Satker BLU terlebih dahulu harus mengajukan pola remunerasi kepada Menteri Keuangan melalui kementeriannya untuk mendapat penetapan. Komponen remunerasi terdiri dari:

1. Gaji, adalah imbalan finansial bersih yang diterima setiap bulan oleh pejabat pengelola dan pegawai BLU;

2. Honorarium, adalah imbalan finansial bersih yang diterima setiap bulan oleh Dewan Pengawas dan Sekretaris Dewan Pengawas;

3. Tunjangan (tetap), adalah tambahan pendapatan di luar gaji yang diterima oleh pejabat pengelola dan pegawai BLU, yang diberikan berdasarkan prestasi kerja, lokasi kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kelangkaan profesi, dan unsur pertimbangan rasional lainnya;

4. Bonus atas prestasi, adalah pemberian pendapatan tambahan bagi pejabat pengelola, pegawai, Dewan pengawas dan sekretaris dewan pengawas BLU yang hanya diberikan setahun sekali bila syarat-syarat tertentu dipenuhi (Direktorat PPK BLU, 2014).

(9)

compensable factor, meliputi segala jenis faktor yang dipilih untuk menentukan seberapa besarnya nilai suatu jabatan. Pertimbangan yang dapat digunakan untuk mengukur proporsionalitas atas besaran remunerasi adalah:

1. Posisi Jabatan. Posisi jabatan yang sama, untuk jenis layanan yang berbeda ataupun berdasarkan besar kecilnya unit yang dikelola tentunya tidak dapat disamakan besaran remunerasinya. Contoh: Rektor Universitas Diponegoro tidak dapat disamakan besaran remunerasinya dengan Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran;

2. Kualitas individu yang bersangkutan. Pegawai dengan reputasi atau pengalaman tertentu tidak dapat disamakan dengan orang yang belum punya reputasi atau pengalaman. Contoh: pegawai baru dan pegawai lama tidak dapat disamakan karena meskipun menangani pekerjaan yang sama, orang yang memiliki pengalaman biasanya akan menghasilkan hasil kerja yang lebih baik; 3. Kinerja. Pegawai yang mempunyai kinerja

lebih baik tentu tidak dapat disamakan remunerasinya dengan pegawai dengan kinerja yang biasa-biasa saja (Direktorat PPK BLU, 2014).

Aspek kesetaraan memiliki pengertian memperhatikan industri sejenis, yang bidang usahanya sama atau pada wilayah yang sama. Untuk posisi tertentu, contoh: akuntan, tidak bergantung pada bidang usaha karena akuntan bisa bekerja pada berbagai perusahaan yang berbeda-beda bidang usahanya. Selanjutnya juga yang perlu dibandingkan adalah gaji dasar (basic salary) dan total penghasilan (take home pay). Masing-masing satker BLU kemungkinan menerapkan remunerasi yang bervariasi sesuai dengan desain remunerasi yang mereka susun.

Aspek kepatutan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kemampuan pendapatan BLU yang bersangkutan. Proporsi

pendapatan yang digunakan untuk remunerasi juga menjadi salah satu pertimbangan yang digunakan untuk memberikan justifikasi atas usulan remunerasi yang diajukan.

Sedangkan aspek kinerja operasional yaitu kinerja operasional BLU yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, yang sekurang-kurangnya mempertimbangkan indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat dari masyarakat. Kinerja operasional ini bisa dijadikan pertimbangan dalam penentuan remunerasi ataupun dasar pemberian bonus atas prestasi kerja.

Agar diperoleh remunerasi yang dapat dikaitkan dengan kinerja pegawai, tahapan dalam pengelolaan remunerasi dapat dilaksanakan sebagai berikut:

1. Analisa dan Uraian Jabatan (Job Description and Analysis)

Analisa jabatan adalah proses secara sistematis untuk mendapatkan informasi-informasi yang penting dan relevan mengenai suatu Jabatan. Sedangkan uraian jabatan adalah menjelaskan mengenai apa yang harus dikerjakan, mengapa dikerjakan, di mana dikerjakan, dan secara ringkas bagaimana mengerjakannya;

2. Penilaian Jabatan (Job Evaluation)

Adalah proses secara sistematis untuk menilai besar-kecilnya atau bobot (secara relatif) jabatan-jabatan yang terdapat dalam suatu organisasi. Berdasarkan penilaian jabatan akan diperoleh pemeringkatan jabatan (Job Grading). Yang dibutuhkan untuk menilai suatu jabatan adalah Compensable Factor, yaitu segala jenis faktor yang dipilih untuk menentukan besarnya nilai jabatan.

Compensable factor memiliki beberapa derajat/tingkatan pengukuran, yang umumnya meliputi:

(10)

b. Aktivitas (effort) yang meliputi aktivitas fisik dan aktivitas mental; c. Tanggung jawab (responsibility) yang

meliputi: akibat terhadap organisasi, pengambilan keputusan, hubungan internal atau eksternal organisasi, dan akuntabilitas;

d. Kondisi kerja (working condition) yang meliputi: tingkat resiko lingkungan kerja dan tingkat kenyamanan tingkat kerja.

3. Struktur Remunerasi

Pembuatan struktur remunerasi bertujuan untuk mendapatkan perimbangan/interaksi dari keadilan internal, kesetaraan eksternal, dan kemampuan BLU. Struktur remunerasi ditentukan dengan skala remunerasi tertinggi dan skala remunerasi terendah berdasarkan pemeringkatan jabatan; 4. Penilaian Kinerja

Untuk kepentingan penghargaan atas pekerjaan, maka setiap peringkat pekerjaan dapat ditetapkan indeks berupa nilai atau angka. Indeks kinerja ini ditetapkan indeks kinerja individu dan indeks kinerja unit. Indeks kinerja individu berupa perbandingan antara pencapaian total target individu dengan Satuan Kerja Individu pada faktor-faktor yang ditentukan targetnya. Total target wajib dideskripsikan secara spesifik, terukur, realistis, dapat dicapai, menantang dan jelas waktu pencapaiannya. Sedangkan indeks kinerja unit, pencapaian total target unit kerja sesuai struktur organisasi. Tujuannya adalah agar setiap individu memberikan perhatian tinggi pada pencapaian kinerja unit kerjanya. Penilaian kinerja ini dapat dijadikan acuan untuk memberikan reward (misalnya: bonus) dan punishment (Direktorat PPK BLU, 2014).

Permasalahan yang muncul adalah ketentuan bahwa BLU harus membayar remunerasi kepada seluruh pegawai di semua Unit. Padahal di beberapa BLU, hanya Unit tertentu yang bersifat revenue center,

sementara yang lain adalah cost center dan kegiatannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan BLU.

Permasalahan lain, remunerasi menghendaki agar pegawai diberikan single salary payment, namun dalam praktiknya masih berpeluang menimbulkan double payment, misalnya pembayaran honorarium yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi satker BLU. Ketentuan APBN menggariskan, bahwa dalam pengelolaan keuangan, honor yang dapat dibayarkan adalah honor yang termasuk dalam belanja barang operasional dan belanja barang non-operasional. Honor yang termasuk dalam belanja barang operasional adalah honor yang terkait dengan operasional satker, misalnya honorarium pejabat pembuat komitmen. Sedangkan honor yang termasuk dalam belanja barang non-operasional adalah honor yang terkait dengan output kegiatan, yaitu honor untuk tim pelaksana kegiatan, namun pembayarannya harus selektif dengan ketentuan:

1. Pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok kerja;

2. Mempunyai output jelas dan terukur; 3. Sifatnya koordinatif dengan

mengikutsertakan satker/organisasi lain; 4. Sifatnya temporer sehingga

pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau di luar jam kerja;

5. Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS disamping tugas pokoknya sehari-hari;

6. Bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker.

Pengukuran Kinerja

(11)

rasio horizontal. Rasio Vertikal meliputi antara lain Rasio Kas (cash ratio), Rasio Lancar (current ratio), Periode Penagihan Piutang (collection period), Perputaran Aset Tetap (fixed asset turnover), Imbalan atas Aktiva Tetap (return on asset), dan Imbalan Ekuitas (return on equity). Rasio Horisontal meliputi antara lain Peningkatan Pendapatan (PNBP), Peningkatan Pendapatan Usaha Jasa Layanan, Peningkatan Pendapatan Usaha Lainnya, Peningkatan Nilai Aset, dan Peningkatan Nilai Aset Tetap. Sedangkan aspek kepatuhan meliputi antara lain penilaian terhadap pelaporan keuangan, pentarifan, dan

Standard Operating Procedure (SOP) pengelolaan keuangan.

Atas capaian indikator-indikator di atas kemudian dilakukan scoring/penilaian dan pembobotan dengan nilai tertentu. Skor/nilai total kemudian diberi kriteria kurang baik, cukup, atau baik, yang menunjukkan nilai kinerja satker BLU dari aspek keuangan.

Terdapat banyak faktor yang dijadikan dasar dalam penilaian BLU. Mengingat tujuan pembentukan BLU adalah pelayanan kepada masyarakat dan tidak berorientasi mencari keuntungan, maka penilaian atas aspek keuangan saja tidak akan mampu menggambarkan kinerja pelayanan yang dilakukan oleh BLU. Demikian juga apabila penilaian didasarkan atas aspek kepatuhan pengelolaan keuangan BLU saja, maka penilaian tersebut tidak akan mampu menggambarkan kinerja keuangan yang telah dilaksanakan.

Dalam hal penilaian, tujuan dilakukan penilaian terhadap aspek keuangan adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengelolaan keuangan BLU telah diselenggarakan berdasarkan praktek-praktek bisnis yang sehat (best practice) yang tercermin dari laporan keuangannya. Namun demikian, beragamnya core business dan size tiap BLU, mengakibatkan pengukuran kinerja antar-BLU menjadi sulit dibandingkan.

Bagian Kedua, hasil kajian terkait dengan konten PPK BLU yang kurang memperhatikan prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU. Permasalahan ini terkait dengan tarif layanan dan pencatatan Saldo Kas BLU di

KPPN. Berikut penjelasan masing-masing permasalahan.

Tarif Layanan

Setiap BLU harus menyusun tarif layanan atas jasa yang telah diberikan kepada masyarakat. Tarif layanan BLU disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan, yang merupakan salah satu komponen di dalam RBA satker BLU. Tarif layanan diusulkan oleh BLU berkenaan kepada Menteri Teknis yang selanjutnya akan diajukan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan. Perhitungan tarif layanan harus memperhatikan empat aspek, yaitu: (1) kontinuitas dan pengembangan layanan; (2) daya beli masyarakat; (3) asas keadilan dan kepatutan; dan (4) kompetisi yang sehat. Keempat aspek tersebut akan digunakan oleh Tim Penilai Usulan Tarif dan Remunerasi BLU di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menyetujui atau menolak usulan dimaksud.

(12)

Di samping itu, dalam praktiknya ada BLU yang tarif untuk semua layanannya adalah

ol atau gratis. “eperti BLU Le aga Pe gelola Da a Pe didika LPDP . BLU LPDP

bertugas mengelola dana abadi pendidikan yang dialokasikan setiap tahun dari APBN. Dana tersebut disalurkan dalam bentuk program beasiswa pendidikan, pendanaan kajian dan rehabilitasi sarana pendidikan yang rusak akibat bencana. Semua layanan tersebut diberikan secara Cuma-Cuma. Sehingga, LPDP tidak memiliki pendapatan yang terkait dengan layanan utamanya. Dampaknya, LPDP tidak memiliki tarif layanan.

Pencatatan Saldo Kas BLU di KPPN

Standar Akuntansi Pemerintahan memungkinkan saldo kas pada BLU disajikan pada aku Kas pada BLU da I estasi

Ja gka Pe dek BLU di Nera a BLU. Deposito

berjangka waktu 1-3 bulan, masih

diklasifikasika se agai aku Kas pada BLU ,

sedangkan deposito berjangka waktu lebih dari 3-12 bulan diklasifikasikan sebagai akun

I estasi Ja gka Pe dek BLU .

Secara periodik, KPPN melakukan rekonsiliasi dan analisis kas BLU dengan didukung rekening koran satker BLU. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah pencatatan ganda (double counting) atas

saldo Kas BLU di KPPN. Aku I estasi Ja gka Pe dek BLU erfu gsi u tuk e a pu g

saldo kas yang ada di Rekening Pengelolaan Kas BLU dalam bentuk deposito berjangka lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (duabelas) bulan, namun tidak termasuk dana kelolaan yang bersumber dari BA BUN. Sehingga, de ga u ul ya aku I estasi

Ja gka Pe dek BLU terse ut, KPPN tidak perlu melakukan perubahan terhadap akun

Kas pada BLU ya g telah ter atat di KPPN. KPPN perlu e astika ah a aku Kas pada BLU dita ah de ga aku I estasi Ja gka Pe dek BLU sa a de ga aku Da a La ar BLU . Ke udia , aku Da a La ar

BLU dala Nera a “AI harus sa a de ga

saldo kas BLU pada Laporan Daftar Rincian Kas BLU di KPPN.

Bagian Ketiga, hasil kajian terkait dengan lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum

bagi satuan kerja instansi pemerintah. Permasalahan ini terkait dengan Standar Biaya dan Pencatatan Pendapatan Dalam Bantuk Barang. Penjelasan masing-masing permasalahan adalah sebagai berikut.

Standar Biaya

Setiap BLU wajib menyusun RBA yang memuat antara lain kondisi kinerja BLU tahun berjalan, asumsi makro dan mikro, target kinerja (output yang terukur), analisis dan perkiraan biaya per output dan agregat, perkiraan harga, anggaran, serta prognosa laporan keuangan. RBA juga memuat prakiraan maju (forward estimate) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. RBA disusun dengan menganut pola anggaran fleksibel (flexible budget) dengan suatu persentase ambang batas tertentu. RBA dimaksud merupakan refleksi program dan kegiatan dari kementerian negara/lembaga.

(13)

penggunaan standar biaya berdasarkan perhitungan akuntansi biaya sebagai bagian dari biaya satuan (unit cost) pada saat penetapan tarif oleh Menteri Keuangan.

Mulai tahun 2011 apabila satker BLU telah mempunyai perhitungan akuntansi biaya maka penyusunan RBA-nya menggunakan standar biaya tersebut, sedangkan untuk satker BLU yang belum mampu menyusun standar biaya, RBA disusun berdasarkan Standar Biaya Umum (SBU). PP Nomor 74 Tahun 2012 memberi peluang baru yaitu Pemimpin BLU dapat menetapkan standar biaya sendiri, sepanjang tidak menambah penghasilan dan fasilitas bagi pejabat/pegawai.

Di samping itu, pengalokasian anggaran BLU pada RKA-K/L dirinci hanya pada satu program, satu kegiatan, dan satu output, sedangkan rincian pagu anggaran BLU dituangkan dalam RBA. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan keleluasaan bagi BLU dalam pemberian jasa layanannya dengan meminimalkan kemungkinan untuk melakukan revisi/perubahan anggaran. Namun demikian, konsep tersebut sampai saat ini belum dapat diimplemetasikan karena Aplikasi RKA-K/L belum dapat mengakomodir penyajiannya.

Pencatatan Pendapatan Dalam Bantuk Barang

Sebagai instansi pemerintah yang dikelola dengan model business like, BLU memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan pendapatan. Sebagaimana umumnya transaksi bisnis, BLU dapat saja menerima imbalan dalam bentuk barang atas layanan yang diberikan. Misalnya, BLU menempatkan deposito di suatu bank, di samping mendapat bunga juga mendapat imbalan berupa kendaraan. Di saat yang bersamaan, BLU telah menganggarkan pembelian kendaraan untuk keperluan operasional. BLU menerima imbalan berupa

kendaraan tersebut dengan pertimbangan mekanisme ini menguntungkan bagi BLU yaitu tidak perlu melakukan kontrak pengadaan kendaraan. Di sisi lain, BLU diwajibkan untuk melakukan pencatatan atas pendapatan tersebut melalui mekanisme pengesahan ke KPPN. Di sini muncul permasalahan pencatatan pendapatan tersebut.

Pengesahan pendapatan BLU ke KPPN, akan berdampak bertambahnya Saldo Kas BLU. Hal ini terjadi karena aplikasi SPM akan membaca setiap penambahan pendapatan sebagai penambahan kas, kecuali pendapatan hibah barang. Aplikasi SPM tidak mengenal pendapatan bunga deposito non-kas. Akun pendapatan non-kas hanya dapat mencatat hibah dalam bentuk barang. Padahal, kendaraan yang diperoleh BLU tadi bukan merupakan hibah. Kendaraan tersebut diperoleh dengan menempatkan deposito, artinya bukan merupakan pemberian secara cuma-cuma (hibah) dari bank. Sehingga harus dicatat sebagai pendapatan bunga deposito.

Solusinya, BLU melakukan pengesahan

Pe dapata sekaligus Bela ja de ga

nominal yang sama dalam satu dokumen SP3B. Hal ini dapat dikatakan sebagai

pe atata i -out , sehi gga saldo kas BLU tidak mengalami perubahan (ditambah

se esar pe dapata da dikura gi se esar ela ja , de ga o i al ya g sa a).

Kemudian, kendaraan tersebut dicantumkan dalam Neraca sebagai Asset. Namun demikian, hal ini harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan untuk memberikan penjelasan bahwa ada Pendapatan Non-kas berupa kendaraan, dan ada Belanja yang sebenarnya tidak terjadi (tidak ada dokumen pengadaan belanja kendaraan).

SIMPULAN DAN SARAN

(14)

kepentingan antar pelaku kebijakan yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, dan Satker BLU. Faktor ini antara lain dapat ditunjukkan dengan permasalahan yang terjadi pada masa transisi, pemanfaatan idle cash, remunerasi, dan pengukuran kinerja.

Kedua, konten PPK BLU yang kurang memperhatikan prinsip fleksibilitas dan kemudahan bagi BLU. Faktor ini dapat dijelaskan dengan contoh kasus pada penetapan tarif layanan dan pencatatan saldo kas BLU di KPPN. Ketiga, lingkungan kepemerintahan yang menunjukkan kuatnya kultur birokrasi dalam pengelolaan keuangan dan secara konsisten melaksanakan prosedur keuangan dengan rujukan pada peraturan yang berlaku umum bagi satuan kerja instansi pemerintah. Faktor ini dapat dijelaskan dengan permasalahan yang terkait dengan standar biaya dan pencatatan pendapatan dalam bentuk barang.

Hasil kajian pada ketiga elemen tersebut mengakibatkan implementasi PPK BLU belum memberikan manfaat yang optimal bagi BLU dan masyarakat. Sehingga, untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat dan memperlancar penerapan penerapan PPK BLU, pemerintah perlu melakukan perubahan pengaturan BLU secara berkala. Namun perubahan tersebut harus tetap memperhatikan akuntabilitas kinerja dan keuangan sebagai penyeimbang terhadap fleksibilitas yang telah diberikan.

Referensi:

Batley, Richard. 2004. Development and

Change. 35 (1): 31-56. Blackwell

Publishing, Oxford, UK.

Box, Richard C. (1999). Running Government Like a BusinessImplications for Public

Administration Theory and Practice. The American Review of Public Administration (Impact Factor: 1). 01/1999; 29(1):19-43.

Direktorat PPK BLU. (2014). Arsip Konsultasi. http://www.ppkblu.depkeu.go.id/index.p hp/baca/ berita/44/arsip-konsultasi. (diakses 21 Agustus 2014)

Egeberg, Morten dan Jarle Trondal. (2010)

Agencification and Location: Does Agency Site Matter?. Working Paper No. 3, March 2010. ARENA Working Paper. Hughes, O. E. (1998) Public Management

and Administration, 2nd Ed., London:

MacMillan Press Ltd.

Meidyawati. (2011). Analisis Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) Pada Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit Tinggi. Diakses 10 Desember 2011.

Prakoso, Cathas Teguh. (2014). Eksistensi Badan Layanan Umum Ditinjau Dalam

Perspektif New Institutional Dan

Principal-Agent Theory. eJournal

Administrative Reform, 2014, 2 (4): 2422-2432.

Thynne, I. (2003). Making Sense of Organizations in Public Management: A Back-to-Basics Approach. Public Organization Review, Vol. 3: 317-332. Waluyo, Indarto. (2011). Badan Layanan

Umum Sebuah Pola Baru Dalam

Pengelolaan Keuangan Di Satuan Kerja Pemerintah. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. IX. No. 2 – Tahun 2011, Hlm. 1 – 15.

http://www.tbs-sct.gc.ca (diakses pada tanggal 21 Agustus 2014)

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengertian-pengertian qiyas yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan pengertian qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada

Dari gambar 3 dan 4 dapat dilihat bahwa pengujian data-data dengan menggunakan isoterm model Freundlich dan Langmuir menunjukkan grafik linierisasi yang baik untuk adsorbsi

Analisis rasio keuangan adalah salah satu teknik analisis laporan keuangan yang menggambarkan hasil perbandingan antara pos satu dengan pos lainnya dengan menunjukkan

Tesis yang berjudul: “Implementasi Model Discovery Learning Dengan Pendekatan Saintifik Untuk Meningkatkan Kesadaran Sejarah dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMK N

Teori-teori tersebut mempunyai daya guna untuk membahas masalah-masalah kemanusiaan antarbudaya yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara

Siswa yang sebelumnya kurang aktif akan apabila guru dapat mengarahkan siswa dalam model pembelajaran yang baik, siswa akan terpancing untuk belajar aktif bertanya, menemukan

Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang

ayam ras pedaging ditentukan dari jumlah lemak abdominal yang terdapat dari. ayam ras pedaging