• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI ISLAM dan KEADILAN sosial docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKONOMI ISLAM dan KEADILAN sosial docx"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI ISLAM dan KEADILAN

Dinnul Alfian Akbar1

Abstrak

Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Sistim ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al-qur’an agar harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan

Kata Kunci: Keadilan, Distribusi, Efisiensi

Pendahuluan

Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997, para pakar ekonomi kapitalis yakin bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar “kekayaan”, sehingga setiap orang akan memperoleh lebih banyak bagian. Pertambahan Produk Domestik Bruto bagi

suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi suatu wilayah daerah

diyakini sebagai pertambahan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Korten (dalam Merza Gamal; 2006), usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar “pertumbuhan ekonomi” telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam memperebutkan

sumberdaya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti

nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Semakin terpusatnya kekuasaan yang

semakin hebat di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti

pemerintah dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial dan

lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas. PDB (PDRB) merupakan

sebuah petunjuk nilai pasar secara kasar dari transaksi uang terhadap barang dan jasa pada

suatu bangsa atau regional. Sedangkan kerja produktif yang dilakukan untuk diri sendiri

tidak diperhitungkan, meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan. Namun sebaliknya,

transaksi yang paling merugikanpun bisa dimasukkan selama diperhitungkan dengan uang.

1Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang,

(2)

Untuk mengetahui kemakmuran perekonomian suatu negara atau wilayah daerah,

kemudian para Ekonom membagi angka PDB (PDRB) dengan jumlah penduduk, yang

disebut dengan PDB (PDRB) per Kapita. Sebuah wilayah yang mempunyai PDRB per

Kapita yang tinggi akan dianggap sebagai sebuah wilayah yang makmur dan mempunyai

tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi terlepas apakah terdistribusi secara seimbang

ataupun terdapat kesenjangan yang tinggi antara satu kelompok masyarakat dengan

kelompok masyarakat lainnya.

Beberapa waktu lalu The New Economics Foundation (NEF) meneliti hubungan

pertumbuhan pendapatan per kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut

yang dinikmati oleh kaum miskin. Hasil riset lembaga yang berkedudukan di Inggris

tersebut menunjukkan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 100 dolar AS

pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 dolar AS, atau

sekitar 2,2 persen. Artinya, 97,8 persen lainnya dinikmati oleh orang-orang kaya.

Kemudian, antara tahun 1990 hingga 2001, kesenjangan tersebut makin menjadi-jadi.

Setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100 dolar AS, maka persentase yang

dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau sekitar 0,6 persen. Sedangkan

sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh kelompok kaya dunia. Hal tersebut menunjukkan

adanya penurunan share kelompok miskin sebesar 70 persen.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia saat ini cenderung

bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, yang

menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya, dan kelompok miskin semakin miskin.

Fakta tersebut paralel dengan kenyataan di banyak negara Muslim, di mana strategi trickle

down effect yang dahulu begitu diagung-agungkan para ekonom kita, ternyata hanya

menghasilkan kesenjangan sosial yang luar biasa besar.

Hal itu mengindikasikan adanya persoalan ketidakadilan ekonomi yang sangat

signifikan. Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik

yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif

kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan

mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita

kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat

menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat

demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup

sehari-hari.sehingga dibutuhkan adanya suatu konsep ekonomi yang lebih menjamin rasa

keadilan masyarakat, yaitu ekonomi Islam.

Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang

kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya

(3)

setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam

tangan segelintir orang dikutuk. Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan

sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqaah,

hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.

Pertanyaannya, apakah keadilan ekonomi yang dimaksud adalah keadilan yang

berdasarkan prinsip ''sama rata, sama rasa'' seperti yang dulu pernah menjadi sangat populer

dalam sistem sosialis-komunis? Tentu saja, yang dimaksud bukanlah keadilan dalam

konteks tersebut. Bagaimanapun juga, kaya dan miskin adalah sunnatullah. Artinya, Islam

mengakui bahwa perbedaan itu eksis—termasuk perbedaan dalam kekayaan—dan menjadi

bagian dari fenomena kehidupan. Islam sebagai sistem hidup (way of life) dan merupakan

agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan

aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang

ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong

kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk

mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.

Permasalahannya sekarang adalah, apakah perbedaan penguasaan aset itu muncul

sebagai akibat proses alami, misalnya karena rasa malas, ataukah sebagai akibat

ketidakadilan sistem? Dalam konteks ini, harus diakui bahwa faktor utama penyebab

perbedaan tersebut adalah akibat ketidakadilan sistem. Karena itu, kemiskinan yang

ditimbulkannya—dalam bahasa Didin Hafidhuddin—adalah kemiskinan struktural. Karena

itu, diperlukan adanya paradigma pembangunan ekonomi yang tidak hanya berorientasi

pada pertumbuhan semata, tetapi juga menitikberatkan pada keadilan distribusi 'kue'

pembangunan.

Kalau melihat fakta yang ada, maka akan ditemukan bahwa antara pertumbuhan

ekonomi dan keadilan distribusi seolah-olah terdapat kontradiksi atau pertentangan. Jika

satu faktor meningkat, maka faktor yang lain akan turun. Bagaimana sebenarnya posisi

Islam terkait hal ini? Sesungguhnya, diskusi tentang konsep pertumbuhan ekonomi telah

banyak dibahas dalam literatur-literatur ekonomi Islam klasik. Salah satunya yang terkenal

adalah konsep pertumbuhan yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun, seorang ulama besar abad

ke 14 Masehi, dalam bukunya Muqaddimah. Konsep tersebut dikenal dengan istilah 'umran

(pembangunan).

Teori tersebut muncul ketika Ibn Khaldun menganalisis proses kemunculan dan

kejatuhan sebuah dinasti (baca: pemerintahan negara). Ibn Khaldun mengatakan bahwa

ketika populasi mengalami pertumbuhan, maka akan terjadi surplus of labor (kelebihan

tenaga kerja). Kemudian dengan adanya pembagian kerja dan kerja sama antar-labor, maka

output akan meningkat. Peningkatan output ini akan mendorong peningkatan pendapatan.

(4)

permintaan agregat dalam istilah modern), yang pada akhirnya akan mendorong

peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, tingginya pertumbuhan ini—jika tidak dibarengi dengan

kebijakan pemerintah untuk melindungi kelompok masyarakat lemah—akan menimbulkan

ketidakseimbangan pasar yang mengancam perekonomian itu sendiri. Apalagi jika kondisi

tersebut diperparah oleh adanya kolusi antara penguasa dan pengusaha dalam menguasai

aset negara. Inilah bentuk monopoli ekonomi yang sangat berbahaya. Sehingga tidaklah

mengherankan, jika Ibn Taimiyyah (abad 13 M) dan Ibn al-Qayyim Al-Jauziyyah (abad

13-14 M) sangat mengecamnya. Inilah sistem yang akan mengakibatkan perputaran aset dan harta hanya berada di tangan kelompok ”berada” saja, padahal Allah SWT sangat membencinya (QS 59:7).

Bahkan, al-Maqrizi (abad 14-15 M) menegaskan lebih lanjut bahwa perputaran

harta di tangan segelintir kelompok itu merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya

ghila (inflasi). Padahal masyarakat banyaklah yang harus menanggung akibatnya. Daya beli

mereka menjadi turun dan nilai riil uang mereka menjadi berkurang. Ia pun kemudian

mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang paling dirugikan oleh dampak

inflasi ini, yaitu kelompok fixed-income people.

Tingginya inflasi yang terjadi negara Indonesia dan semakin melemahnya daya beli

masyarakat merupakan bukti yang sangat valid. Keterkaitan antara inflasi dan monopoli—

di mana monopoli merupakan sumber inflasi sebagaimana yang diungkap al-Maqrizi—

adalah suatu diskusi yang sangat dihindari oleh para ekonom kapitalis. Alasannya

sederhana, karena hal tersebut akan mengancam kedudukan kaum kapitalis itu sendiri yang

saat ini mendominasi dunia. Bahkan, kalau mau jujur, dunia saat ini berada di bawah

kendali dan dominasi perusahaan-perusahaan multinasional. Merekalah yang mendikte arah

perekonomian global saat ini.

Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan

sebagaimana menurut kaum kapitalisme adalah merupakan pemahaman yang salah, sebab

manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual).

Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia

kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi

non materi.

Dalam ekonomi yang berbasis islam kedua dimensi tersebut (material dan non

material) tercakup didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang

dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab

(Nawab Heidar Naqvy).Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan

makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap

(5)

pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk

Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari Islam yang dalam perspektif yang

lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan

social. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan

yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat

dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan

konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di

dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.

Keadilan distribusi

Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem

ekonomi Islam maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya

berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga

menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.

Dalam muamalah islam, seseorang tidak dilarang untuk meningkatkan kesenangan atau

kesejahteraannya dengan syarat dalam melakukan hal tersebut ia tidak melanggar syarat

dan tidak merugikan atau mendzalimi orang lain. Pada saat ini realita yang nampak adalah

telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan

kekayaan baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang yang

memepergunakan sistem kapitalis sebagai system ekonomi negaranya, sehingga

menciptakan kemiskinan dimana-mana. Menanggapi kenyataan tersebut islam sebagai

agama yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan

sekaligus menjadi sistem perekonomian suatu negara.

Berbicara mengenai keadilan distribusi, maka masyarakat jangan sampai terjebak

dengan penyamarataan pendapatan, karena hal tersebut tidak mungkin dan tidak sesuai

dengan Sunnatullah. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi kesenjangan pendapatan

dengan menjamin keadilan bagi setiap anggota masyarakat untuk berusaha, termasuk

menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Di sinilah urgensi peran pemerintah

untuk dapat bertindak jujur dan adil. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Pertama, mengembangkan sistem zakat, infak, dan shadaqah nasional sebagai instrumen yang mampu ''memaksa'' aliran kekayaan ke tangan kelompok dhuafa

masyarakat. Kedua, melindungi hak-hak tenaga kerja dari eksploitasi berlebihan dengan

mengembangkan konsep share economy. Selama ini, yang selalu menjadi andalan negara

Indonesia untuk mempertahankan daya saing dalam perekonomian global adalah dengan

mempertahankan upah murah tenaga kerja. Seolah-olah tidak ada jalan lain. Tentu saja hal

tersebut sangat tidak adil. Untuk itu, pemerintah perlu membuat regulasi agar para pekerja

(6)

meminta perusahaan memberikan 10 persen sahamnya kepada para pekerjanya. Terhadap

perusahaan pun pemerintah harus bersikap adil, misalnya dengan menghilangkan berbagai

pungutan liar yang membebani cost perusahaan dan meminimalisasi regulasi yang tidak

kondusif untuk investasi.

Ketiga, melindungi dan mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha kecil dan menengah, termasuk memberikan dukungan fasilitas pelatihan dan pembiayaannya. Dalam

hal ini, pemerintah harus secara pro-aktif mendorong sistim perbankan syariah dan LKS

non bank untuk lebih terlibat dalam pengembangan UKM, terutama yang berada di

wilayah-wilayah pinggiran kota dan pedesaan. Tentu saja perlu diciptakan regulasi yang

jelas dan transparan. Keempat, secara konsisten memerangi segala bentuk kolusi dan

korupsi yang merusak, yang telah mengakibatkan high-cost economy, termasuk

menghilangkan privilesee yang berlebihan kepada segelintir perusahaan-perusahaan besar

tertentu.

Dalam ekonomi konvensional, suatu kondisi di mana pada titik tertentu seseorang

tidak bisa lagi mengubah sesuatu menjadi lebih baik tanpa membuat orang lain menjadi

buruk keadaannya disebut efisiensi alokasi atau lebih sering disebut Pareto Efficient. Suatu

alokasi dikatakan pareto efficient bila barang-barang tidak dapat dialokasikan ulang untuk

membuat sesorang lebih baik keadaannya. (Robert Pindyck dan Daniel Rubinfield, dalam

Samuelson dan Nordhaus, 2004). Untuk lebih jelasnya dapat disederhanakan dengan contoh

sebagai berikut:

Individu Alokasi Awal Pertukaran Alokasi Akhir

A 7 Makanan (M), 1 Pakaian (P) -1M, + 1P 6M, 2P

B 3M, 5P +1M, - 1P 4M, 4P

Asumsi yang dipakai dalam contoh ini adalah seakan-akan di dunia ini hanya ada 2

barang yaitu makanan dan pakaian, dan trade yang dipakai adalah one on one basis.

Katakanlah A dan B mempunyai 10 unit manakanan dan 6 unit pakaian. Awanya A

memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian. Bagi B, ia bersedia memberikan 3 unit

pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. B bersedia memberikan ½ unit pakaian untuk

mendapatkan 1 unit makanan. Karena A lebih menyukai pakaian daripada B, maka

keduanya dapat lebih tinggi kepuasannya (utility) dengan melakukan pertukaran.

Pertukaran diantara keduanya akan terus terjadi sampai keduanya mencapai

kepuasan (utility) yang optimal selama MRS (marginal rate of substitution) nya berbeda.

Dengan kata lain alokasi belum efisien sampai MRS dari keduanya sama. Untuk

menggambarkannya secara grafik akan lebih mudah bila menggunakan diagram Edgeworth

(7)

IC 1 IC 2

OA A 10F

6C

IC 1 IC 2

OI B 10F

6C

Kedua grafik di atas adalah Indeference Curve (IC) dari A dan B yang menunjukkan titik

kombinasi konsumsi terhadap makanan dan pakaian pada tingkat kepuasan yang sama.

Dimana pergerakan kurva ini semakin ke atas tingkat kepuasannya semakin tinggi. Dalam

hal ini berlaku transivity (A < B < C) sehingga IC1, IC2, dan seterusnya tidak boleh

berpotongan satu sama lain.

Efisiensi dan Keadilan

Menurut Chapra (dalam Merza Gamal, 2006), setiap perekonomian dapat dikatakan telah

mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumberdaya

manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa

maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas

ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang akan datang.

Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai

hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro

ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau

tatanan moral dari masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai

keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian

rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Di samping itu

juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa menimbulkan pengaruh

buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan usaha.

Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumberdaya yang ada habis

teralokasi, maka alokasi yang efisiensi tercapai. Tidak dijelaskan apakah alokasi tersebut

adil atau tidak. Kajian terhadap ekonomi menunjukkan bahwa asumsi terhadap

faktor-faktor non-materialistik seperti motivasi/niat jelas tidak realistik. Sehingga dengan

demikian faktor-faktor non-materialistik tersebut dapat disisihkan dari analisis ekonomi

dengan maksud memisahkan gejala-gejala ekonomiknya. Namun demikian meskipun hal

ini bisa menyederhanakan persoalannya demi mencapai tujuan, faktor-faktor non-material

seharusnya diintegrasikan kedalam dalam tahap analisis yang lebih tinggi. Untuk konsep

tentang keadilan dalam ekonomi, menurut Robert Pindyck dan Daniel Rubinfied (dalam

Samuelson dan Nordahaus, 2004), para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang

(8)

1. Konsep Egalitarian: setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang

sejumlah yang sama.

2. Konsep Rawlsian: memaksimalkan utility orang paling miskin (the least well off

person)

3. Konsep Utilitarian: memaksimalkan total utility dari setiap orang dalam kelompok

masyarakat.

4. Konsep Market Oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang

paling adil.

Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar.

Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi

juga dengan meningkatkan insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom,

sebelumnya berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme

trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan distribusi

pendapatan. Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin

kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti output per kapita

yang lebih besar.

Keadilan menurut Qardhawi (2001) adalah keseimbangan antara berbagai potensi

individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat),

antara komunitas dengan komunitas. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena

menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama.

Kedua tindakan tersebut tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak

adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia. Dengan

demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai dengan batas-batas

persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang

berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.

Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta

mengakui perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang

disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan

kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk

melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun yang tidak

mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut.

(9)

mempunyai selera yang berbeda. Dalam konsep Islam, bukan sama rata sama rasa yang

penting, bukan pula you get what you deserve, tapi yang penting adalah tidak ada yang

didzalimi dan tidak ada yang mendzalimi.

Keadilan merupakan karakteristik utama pesan Islam. Usaha membentuk

masyarakat egalitarian dan makmur tidak bisa dilepaskan dari aspek keadilan. Keadilan

memberikan sesuatu berdasarkan kebutuhan dan kontribusi. Max Webber pernah

mengatakan bahwa masyarakat yang dibangun tidak berdasarkan merit system akan menuju

kemundurannya. Prinsip akuntabilitas dan transparansi menjadi bagian tidak terpisahkan

dari keadilan karena sangat vital bagi proses evaluasi yang obyektif. Penerapan etika

keadilan secara konsisten akan menyebabkan tenaga kerja buruh dibayar sebagaimana

mestinya dan pada waktunya. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan

harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme

yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap

pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya

sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat

menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang

produktif.

Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus

ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak

menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan

pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan

aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak

berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang

semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak

mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut

merupakan penyakit yang amat parah.

Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa,

mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez

Faire Laissez Fasser). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang

telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan

motivasi dan kepribadian. Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut “masyarakat”, yang tercermin dalam “Negara”. Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah

individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas

penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 2001). Oleh

karena itu, perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan

(10)

Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad

pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil.

Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana

ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan

ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab Al Qur’an. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak

menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama

Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak

berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.

Guna mencapai keseimbangan tersebut, dibutuhkan adanya lingkungan yang baik

dan sadar secara moral yang dapat membantu reformasi unsur manusia di pasar

berlandaskan sebuah keimanan. Dengan demikian akan melengkapi sistim harga di dalam

memaksimalkan efisiensi maupun keadilan pada penggunaan sumber daya manusia dan

sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua

individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu

menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran

komplementer.

Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan

dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik,

bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat

basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Oleh karena

itu, telah dirasakan bahwa system ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara

kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam

distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian,

maka memahami model dinamika sosial ekonomi Syariah yang ditawarkan oleh Ibnu

Khaldun pada abad ke 14 menjadi relevan dalam aplikasi pembangunan pada saat ini. Perlu

disadari, kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak

bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana

proses ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia

dengan memasukkan nilai-nilai Syariah bukan suatu hal yang irrelevant.

Infak dan Maksimilisasi Kepuasan

Dalam teori ekonomi konvensional, seserang dikatakan rasional dan semakin puas jika

dengan pendapatannya yang ada, ia memaksimumkan kepuasannya dengan memilih

kombinasi barang yang terbaik sesuai dengan seleranya. Akan tetapi di dalam konsep

(11)

menjalankan syari’ah Islam dengan baik dan berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, sehingga dapat merefleksikan akhlak yang baik seperti suka menolong,

jujur, ikhlas, dan lain-lain dalam kehidupan sehari-hari baik dalam hubungannya dengan

Allah maupun yang baik dengan sesama manusia. Katakanlah jika sebagian pendapatan

yang dimiliki diberikan kepada fakir miskin, sementara pendapatan tersebut bisa digunakan

untuk membeli barang-barang konsumsi atau kebutuhan lainnya. Pertanyaannya adalah

apakah kepuasan kita akan menurun? Menurut teori ekonomi konvensional, kepuasan kita

tentu akan menurun dan kita dianggap kurang rasional.

Dalam ekonomi konvensional dikenal dua definisi rational yaitu present—aim dan

self interest. Dalam kebanyakan literatur ekonomi konvensional present—aim selalu

digunakan. Selera pribadi diabaikan dan dianggap sebagai variabel exogenous, dan para

ekonom konvensional menganggap bahwa tidak ada dasar logika untuk

mempertanyakannya. Dalam definisi present—aim, yang penting adalah bagaimana

mencapai tujuan dengan efisien tanpa mempermasalahkan tujuannya. Rationality dalam

kerangka self—interest dapat menerangkan perilaku pemberian donasi, infak sedekah, dan

tindakan menolong lainnya. Misalkan si-A yang tidak saja memikirkan pendapatnnya tetapi

juga memikirkan pendapatan si-B. Secara matematis fungsi utility si-A adalah: Uf = Ma

Mb. Dimana Mf adalah pendapatan si-A, Mz adalah Pendapatan si-B. Secara grafis keadaan ini digambarkan dengan pendapatan si-B pada sumbu X, dan pendapata si-A pada

sumbu Y. Kurva Indifference si-A mempunyai slope negatif yang berarti ia dapat

mentolerir pendapatannya berkurang. Perhatikan pula bentuk utility function si-A yang

convex, yang menunjukkan diminishing MRS yang semakin besar pendapatan si-A,

semakin besar pula jumlah yang ingin diberikanya kepada si-B adar pendapatan si-B

bertambah banyak.

IC 1 IC 2

0

B A

Pendapatan si-A

C

Penutup

Sistem pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan

ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan

(12)

sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan sistem ekonomi islam yang

mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran

agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan. Prinsip utama dalam konsep distribusi

menurut pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar

sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan

merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja.

Referensi Al- Qur’an

Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004

Ahmad, Zainuddin, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998

Anto, M.B. Hendrie, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : Ekonisia UII, 2003.

Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, alih bahasa: Ibnu Sholah, Bangil : Al-Izzah, 2001

Case, Karl E & Fair, Ray C, Prinsip-prinsip Ekonomi Mikro, Alih Bahasa: Barlian Muhammad, Edisi Ketujuh, Jakarta, PT. Indeks. 2005

Gamal, Merza, Ekonomi Keseimbangan Islami, artikel di download tanggal 22 Juli 2006.

Nawab Haider Naqvi, Syed, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, London: The Islamic Foundation, 1981

Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa: Zainal Arifin, Lc dan Dra. Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Samuelson, Paul A, & Nordhaus, William D, Ilmu Makro Ekonomi, alih bahasa: Gretta, Theresa, Bosco, Anna, Jakarta, PT. Media Global Edukasi, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan men- genal faktor-faktor tersebut nantinya bisa men- getahui aspek-aspek hambatan yang terjadi pada siswa dalam perkembangan karier, selain itu sis- wa dapat

Jumlah dana yang dibutuhkan Rp49,460,000 Lokasi Kegiatan Jumlah Tahun n-1 Jumlah Tahun n Rp31,500,000 Capaian Program Masukan.. Koordinasi Penyelenggaraan Peningkatan

1. Kesatuan merupakan prinsip yang utama di mana unsur-unsur seni rupa saling menun+ang satu sama lain dalam mementuk k$mp$sisi yang agus dan serasi. !ntuk

Apabila GKR Pembayun yang kini dikenal sebagai GKR Mangkubumi nantinya berhasil menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana perempuan pertama, maka hal tersebut akan menjadi

Belanja jasa konsultan perencanaan Teknis Pembangunan Gedung Laboratorium Komputer SMAN 1 Kec. Bunguran

Kategoriler tartışmaya açıldığında toplumsal cinsiyetin gerçek­ liği de krize girer: Gerçeğin nasıl gerçekdışından aynlacağı belir­ sizleşir. İşte bu

Segera hubungi sales marketing rumah Napoli @ Gading Serpong sekarang untuk membeli rumah di kawasan kota mandiri yang sudah hidup di Gading Serpong..

Berdasarkan keterangan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil bahwa menurut penulis, pemerintah pada masa orde baru yang dikatakan Bahtiar effendi telah