WAYANG GOLEK
Nama : Muhammad Ammar Rinjani
Kelas : XII RPL 2
Kata Pengantar
Puji serta syukur yang dalam saya sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya buat sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas “SENI TEATER : WAYANG
GOLEK”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memberi informasi terkait akan Wayang
Golek yang mungkin bisa memberi inspirasi ataupun hiburan dikehidupan
kita. Dalam proses pemahaman seni teater ini, tentunya saya mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang
dalam-dalamnya kami sampaikan kepada Mrs. Hesti Yuniarti, S. Pd. selaku guru
mata pelajaran “Seni Budaya & Seni Musik” , rekan-rekan RPL yang telah
banyak memberikan masukan dalam membuat makalah ini.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,
Jakarta, 20 Januari 2014
Penyusun
Lembar Pengesahan
Setelah membaca laporan makalah Seni Musik ini,Maka kami menyetujui laporan ini sebagai
bahan untuk materi seni musik untuk kelas 3 RPL di SMK Negeri 24 Jakarta.
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ...
1
LEMBAR PENGESAHAN ...
2
DAFTAR ISI ...
3
SEJARAH WAYANG GOLEK ...
4
JENIS-JENIS WAYANG GOLEK...
5
PEMBUATAN ...
7
FAKTA WAYANG GOLEK ...
8
SEJARAH
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek
dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
JENIS-JENIS WAYANG GOLEK
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
A. Wayang Lelaki
1. Dewa Guru (Sipit,warna putih) -> Wibisana,Laksmana,Dewabrata (Bisma),Arasoma,Pandu,Arjuna,Yudistira,Karna,Abimanyu dll.
2. Dewa Wisnu (Sipit,putih agak tanggah) -> Kresna,Arjuna Sasrabahu,Regawa (Bapak)
3. Dewa Narada -> Sakuni,Drona
4. Dewa Angin (Bolotot,warna hijau atau biru bersama kuning) -> Bima,Jayadrata,Perjaka Tawang,Antareja,Gatotkaca
5. Dewa Indra (Bolotot,warna pink) ->
Baladewa,Padmanegara,Suyudana,Aswatama,Seta,Drupada dll. 6. Dewa Brahma/Batara Kala (Bolotot,Sihungan,warna Beruem) -> Rahwana,Prahasta,Dursasana,Burisrawa,Arimba,Panca
Braja,Indrajit,Kumbakarna dll.
7. Hewan (Wanara,Burung bersama Oray/Naga) ->
Hanoman,Subali,Sugriwa,Anggada,Aruna,Jatayu,Sempati,Garuda,Baruna,dl l
B.
Wayang Cewek
Ulupi,Subadra,Erawati,Surtikanti,Banowati,Arimbi lanjut usia),Utari,Rukmini,Pertewi,Jembawati,Pergiwa dll.
2. Sipit Putih Tanggah -> Amba bersama Srikandi
3. Raksesi,Bolotot,Sihungan -> Durga,Permoni,Sarpakenaka,Arimbi (Muda)
4. Hewan (Wanara,Ular bersama Udang) Anjani,Nagagini (Muda),Kita Ayu (Muda)
PEMBUATAN
FAKTA WAYANG GOLEK
1. Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengembangkan kode etik
pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan “sapta sila kehormatan seniman seniwati pedalangan Jawa Barat”. Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Ferbuari 1964 di Bandung. 2. Bentuk Wayang Golek
pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.
Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”. 3. Sumber Cerita
Cerita pada pertunjukan Wayang Golek Sunda umumnya bersumber kepada kitab Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dan Mahabarata, yaitu kitab-kitab yang berasal dari kebudayaan Hindu di India. Namun cerita yang paling banyak digemari masyarakat adalah Mahabarata, bahkan dari lakon induk ini telah lahir berpuluh-puluh cerita sempalan/carangan yang
merupakan hasil kreatiftas para dalang. 4. Musik
Musik yang dipergunakan untuk mengiringi pergelaran Wayang Golek adalah karawitan Sunda yang berlaraskan Pelog/Salendro. Instrumen musik tersebut ditabuh oleh beberapa orang Nayaga atau Juru Gending, adapun alat musik tersebut lengkap adalah sebagai berikut :
* Saron 1 Saron 2 - Peking - Demung - Selentem * Bonang - Rincik - Kenong - Gambang
* Rebab - Kecrek - Kendang - Bedug * Gong
Kedudukan musik dalam pergelaran Wayang Golek demikian pentingnya, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan perang wayang, dialog, pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan, semuanya diiringi dengan musik. Di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan dengan karakter-karakter wayang yang diiringinya.
5. Sinden/Juru Kawih
Sinden atau Pasinden, dalam pergelaran Wayang Golek sering pula disebut Juru Kawin, Juru Sekar, atau Suarawati. Tugasnya adalah melantunkan lagu/kawin untuk mendukung sajian Dalang.
Sebagai pendukung, tentu saja Pasinden ini tidak dibenarkan melantunkan lagu semena-mena, ia harus mampu mendukung apa yang sedang dan akan dibawakan oleh Dalang. Misalnya saat Dalang membawakan adegan sedih maka syair (rumpaka) lagunya pun harus bermakna sedih, saat Dalang membawakan adegan romantis maka syairnya pun harus
jelas berbeda fungsi. Bahasa Dalang fungsinya untuk mengungkapkan cerita, sedangkan bahasa yang digunakan Pasinden untuk memberikan gambaran dan mempertegas lukisan-likisan peristiwa yang dituturkan Dalang.
6. Bahasa dan Sastra Pedalangan
Pada dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang yang berjumlah ratusan.
Demikian juga dalam penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.
Selain Murwa dan Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya
dituturkan/dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra, atau untuk Suluk dan Kakawen
Dalam menyempaikan lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak beraturan. Untuk itu
disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita .