MENILIK BAGAIMANA HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA
Herning Setyowati
E-mail: [email protected]
Nama/Judul Buku : “MATI ATAU HIDUP: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua”
Penulis/Pengarang : Markus Haluk Penerbit : Penerbit Deiyai Tahun Terbit : 2013 Kota Penerbit : Jayapura
Bahasa Buku : Bahasa Indonesia Jumlah Halaman : 329 halaman
ISBN Buku : 978-602-17071-3-5
Buku yang berjudul “MATI ATAU HIDUP: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua” ditulis oleh Markus Haluk, salah satu aktivis hak asasi manusia di Papua. Sebelumnya dia juga pernah menulis buku dengan judul “Menggugat Freeport”. Dalam bukunya kali ini dia membahas secara rinci mengenai hak-hak asasi masyarakat Papua yang dirampas dari mereka, begitupun dengan hak hidup mereka. Sesuai dengan judulnya, “MATI ATAU HIDUP”, Haluk mengisahkan bagaimana hilangnya hak asasi bagi masyarakat asli Papua. Di dalam buku ini, beliau masih membahas mengenai penambangan emas yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, dan bagaimana hal itu berpengaruh terhadap hilangnya harapan hidup di wilayah tersebut.
Saat membaca buku ini, kita akan dibuat tercengang dengan pemaparan Haluk yang mengungkap betapa banyaknya pelanggaran hak-hak asasi yang dialami masyarakat Papua. Melalui bukunya, Haluk seperti ingin mengungkap betapa hak asasi manusia di Papua masih sangat minim, sehingga ia menyuarakan penderitaan rakyat Papua dalam bentuk tulisan. Beliau merupakan salah satu tokoh yang menolak adanya penambangan emas oleh PT Freeport karena dinilai penambangan tersebut lebih banyak mendatangkan kerugian dibanding kemanfaatan bagi masyarakat Papua.
Penulisan buku ini sebagai salah satu langkah beliau mewakili masyarakat Papua untuk menuntut pemerintah menegakkan hak asasi manusia di Papua. Sejak dulu Papua dijanjikan dengan pembangunan infrastruktur, perbaikan ekonomi, kesehatan, juga pendidikan, tapi hingga saat ini hal tersebut belum mencapai suatu titik terang yang jelas dan masih banyak permasalahan yang terjadi. Adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua, dinilai tidak membuahkan hasil dan tidak bisa memberi perubahan seperti yang diinginkan.
sebelum diadili di pengadilan. Sedangkan aparat keamanan dan militer yang mejadi pelaku tidak dikenai hukuman atau kebal hukum. Di dalam gambarnya pada halaman 16, dia menyebutkan Komandan Kopassus di Papua, Letkol Hartono pelaku pembunuhan dan penculikan Ondofolo Theys H. Eluay, disidang di Oditur Militer Surabaya dan dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dan dipecat dari kesatuan militer oleh hakim. Akan tetapi setelah kasasi mereka masih aktif sebagai anggota militer dan mendapatkan kenaikan pangkat dan jabatan, begitu pula dengan tiga anggota Kopassus lainnya.
Selanjutnya, dia menyampaikan data tentang penyiksaan berat; pembunuhan di luar prosedur hukum, pembunuhan kilat, dan tindakan sewenang-wenang selama 2008-2012. Tidak tanggung-tanggung, dia menyebutkan lebih dari dua puluh kasus yang pernah terjadi. Haluk juga mengkritik tentang larangan kebebasan berpendapat dan berkumpul, seperti; pembatasan organisasi dan jurnalis internasional yang ingin datang ke Papua (larangan kunjungan anggota Kongres AS, Eni, dan Payne pada 2007, penjagaan secara ketat kunjungan Eni II, penolakan komisioner HAM Jerman, larangan Komite Palang Merah Internasional,PBI, larangan bantuan dari Yayasan CORDAID, penangkapan warga Polandia di Manokwari, pemanggilan dan pemeriksaan Kristina Neubaeur), Haluk juga menjelaskan beberapa kasus terkait dengan kebebasan pers di Papua. Pada bab ini beliau banyak menunjukkan beberapa contoh kasus lain seperti pengekangan demonstrasi damai, larangan demonstrasi melalui penolakan surat pemberitahuan, tuduhan makar dan penahanan warga sipil, tahanan politik Papua, kriminalisasi aktivis pro-demokrasi terorisasi gerakan di Papua.
Pada bab ketiga, membahas Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, dimulai dengan sejarah lahirnya otonomi khusus Papua yaitu, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua untuk merespon aspirasi rakyat Papua yang menuntut kemerdekaan selama tahun 1998 samapai 2000. Munculnya keinginan untuk merdeka dikarenakan tiga hal, yang pertama, sejarah integrasi politik Papua. Kedua, terjadinya berbagai kekerasasn negara dan pelanggaran HAM terhadap orang Papua. Ketiga, kegagalan pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur. Namun pada pelaksanaannya, program-progran di dalam Otonomi Khusus tersebet dinilai gagal oleh berbagi elemen rakyat Papua.
Haluk menjabarkankan masing-masing dimulai dengan Hak atas Ekonomi rakyat Papua. Melalui data yang didapat dari Bdk. Ekspedisi Kompas, beliau menjelaskan masyarakat asli Papua masih terus bergumul dengan permasalahan kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Papua 2006, sejumlah 486. 857 dari 604.922 rumah tangga di Papua atau 80 persen berada dalam kondisi miskin dan miskin absolut. Pada bidang kesehatan (hak atas kesehatan), disampaikan bahwa pada tahun 2001-2012 kondisi kesehatan ibu dan anak di Papua memprihatikan. Dia mengatakan anggaran yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan Otonomi Khusus Papua, dan juga jumlah anggarannya tidak sesuai dengan standar WHO (World Health Organization) yang menetapkan anggaran kesehatan 15% dari APBD. Kemudian banyaknya penderita HIV/AIDS dan kasus kematian, menandakan bahwa kesehatan di Papua kurang terjamin.
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak-anak dan generasi muda Papua untuk mendapatkan hak pendidikan yang layak.
Membahas tentang eksploitasi sumber daya alam serta marginalisasi dan diskriminasi, Markus Haluk mengatakan pemerintah memberikan izin eksploitasi sumber daya alam termasuk pertambangan, hutan, perkebunan skala besar, perikanan, minyak dan gas selama kurang lebih 12 tahun untuk mengejar devisa negara namun tidak diimbangi dengan melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Selanjutnya Haluk mengkritik mengenai isi dari beberapa pasal di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Yang pertama pada Pasal 38 ayat (1), dia mengkritik bahwa dalam ayat tersebut tidak memuat secara spesifk rakyat Papua yang dimaksud adalah penduduk asli Papua. Kemudian pada Pasal 38 ayat (2), Haluk mengatakan bahwa pernyataan pada Pasal ini memuat dua sisi lain yang saling bertolak belakang, membenturkan dua sisi yang berlainan. Hal ini dapat dilihat pada mama-mama (ibu-ibu) pedagang asli Papua, yang terpinggirkan, tidak punya akses ke pasar, masih berjualan di tanah, dan tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Kemudian terjadinya depopulasi orang asli Papua/berkurangnya jumlah penduduk asli Papua atau ancaman menuju kepunahan etnis Papua. Di sini ditunjukkkan tabel analisa perubahan kependudukan di Tanah Papua, yang diungkapkan oleh Dr. Jim Elmslie, di mana tabel tersebut menunjukkan penurunan yang signifkan jumlah penduduk asli Papua. Salah satu contoh wilayah yang mengalami depopulasi adalah Kota Jayapura. Selain itu, hilangnya beberpa bahasa suku di Papua karena penutur-penuturnya sudah tidak ada lagi dan jumlahnya semakin berkurang. Pada bagian terakhir bab, ditampilkan beberapa gambar mengenai pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di Papua yang masih penuh dengan permasalahan.
Bab berikutnya yaitu bab empat, dengan judul Zona-Zona Konfik. Markus Haluk kembali menampilkan tabel berisi daftar kekerasan di Kota dan Kabupaten Jayapura pada tahun 2008-2012. Disebutkan ada dua belas bentuk kekerasan dan kebanyakan pelakunya dari pihak POLRI/TNI. Ada beberapa contoh kekerasan yang terjadi, diantaranya yaitu kekerasan sistematis pemerintah seperti: penembakan di Nafri dan sekitarnya oleh TNI/POLRI, penembakan warga Jerman (Djetmar Pieper), penembakan Mako Tabuni oleh Densus 88 Antiteror, penangkapan ketua KNBP Buchtar Tabuni.
Di bagian B, dibahas mengenai sejarah PT Freeport Indonesia telah menandatangani Kontrak Karya I sejak tahun 1967. Dan sejak itu pula, guna melakukan eksploitasi, perusahaan ini menghalalkan berbagai cara termasuk melakukan kekerasan dan pelanggaran hak-hak dasar penduduk setempat. Salah satunya yaitu pembantaian dan pembunuhan terhadap beberapa suku di sekitar wilayah pertambangan pada tahun 1977. Pada intinya, warga sekitar lebih banyak mengalami kerugian dari pada keuntungan, seperti: pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tatanan adat, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang Amungme.
penjual minuman beralkohol, tempat bermain biliar, dan tempat judi. Haluk mengatakan semua tempat ini dijaga oleh aparat kepolisian khususnya Pasukan Brigade Mobil (Brimob) Polda Papua dengan menggunakan senjata-senjata yang dibeli dari uang negara. Disampaikan oleh salah satu tokoh mahasiswa dari Suku Wolani bahwa hasil penjualan emas, sepanjang hari atau malam dihabiskan di tempat karaoke dan melakukan hubungan seks dengan PSK yang didatangkan dari luar Papua. Perempuan yang dipekerjakan menjadi PSK, beberapa orang telah meninggal karena HIV/AIDS dan yang lainnya ada yang dalam keadaan sakit kritis. Melihat dari sudut pandang Markus Haluk, dampak dari pendulangan emas di daerah ini yaitu terkena HIV/AIDS, yang bisa menyebabkan pemusnahan suku/etnis Wolani secara perlahan-lahan yang pada tahun 2012 disebutkan tinggal 9000 penduduk dan tinggal di daerah Degeuwo, Kabupaten Intan Jaya. Kepala Suku Wolani menilai bahwa pemasukan PSK yang menderita HIV/AIDS ke daerah pertambangan dilakukan secara sadar untuk membunuh suku Wolani. Itulah kenapa menurut Haluk penambagan emas secara tradisional di daerah Degeuwo bisa menyebabkan kematian dan kemusnahan suku/etnis Wolani.
Tragedi Paniai juga diceritakan di dalam buku ini. Gerakan perlawanan masyarakat Paniai melahirkan kelompok-kelompok yang menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kemudian Pemerintah Indonesia kenutuhan rumah tangga, kehilangan tanaman pertanian, korban luka-luka dan korban jiwa. Di bagian akhir bab disajikan lagi gambar-gambar dari penjelasan yang sebelumnya.
Markus Haluk juga mengkritik peran Pemerintah di dalam menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua, serta penegakan hukum bagi pelakunya. Proses hukum bagi aparat keamanan yang telah melakukan pelanggaran HAM di Papua memperoleh kebebasan. Tanggapan Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia terhadap kasus kekerasan yang dilakukan anggota militer di kabupaten Puncak Jaya, menunjukkan indikasi pembiaran terhadap penyalahgunaan wewenang aparat keamanan dilapangan. Sedangkan juru bicara militer lebih menyesalkan bocornya video penyiksaan daripada mengecam kejahatan yang dilakukan oleh anggotanya. Ini menegaskan kurangnya komitmen militer dalam menjaga integritas TNI dan menghargai hak asasi manusia di Papua. Pada bagian penutup seperti biasa, Haluk menampilkan beberapa gambar sesuai dengan penjelasan sebelumnya.
Di dalam buku ini mengungkapkan berbagai kekerasan yang terjadi di areal tambang dan gerakan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Markus Haluk menyimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi di areal tambang emas dipicu oleh ketidakadilan dan pelanggaran nilai-nilai adat dan kemanusiaan orang asli Papua. Militer atau aparat keamanan dipakai oleh pengusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang memicu konfik berkepanjangan. Haluk menilai Negara dan segala perangkatnya tidak menangani serta mencari jalan keluar atas kekerasan di wilayah-wilayah khusus seperti di Kabupaten/Kota Jayapura, Timika, Puncak Jaya, Intan Jaya dan Kabupaten Paniai.
Buku ini juga membahas secara khusus peran pemerintah RI dan aparat keamanan dalam konfik dan kekerasan di Papua. Dari sekian banyak penjelasan Markus Haluk, pelaku kekerasan atau pelanggaran HAM kebanyakan dilakukan oleh aparat keamanan, dengan mnggunakan tuduhan makar dan separatis yang menjadi dasar untuk melakukan penangkapan, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap masyarakat Papua.
Bagi aparat keamanan yang menjadi pelaku kekerasan dan penembakan warga Papua tidak ditangani secara hukum yang serius dan benar. Jadi, Haluk dan masyarakat Papua menganggap bahwa konfk dan kekerasan bersumber dari aparat keamanan negara.
Dari sekian banyak pembahasan yang telah disampaikan oleh Markus Haluk, secara garis besar, seperti yang dikatakan beliau bahwa buku ini ditulis dengan maksud untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa di Papua, masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini semakin menyedihkan ketika Markus Haluk mengatakan fakta behwa pelakunya adalah aparat keamanan negara. Tentu saja hal ini begitu miris, aparat keamanan yang seharusnya menjaga agar terciptanya rasa aman bagi masyarakat, justru menjadi pelaku dari tidak terciptanya rasa aman tersebut.
Kemudian, banyak sekali hak-hak asasi warga Papua yang dilanggar jika kita membaca buku ini. Tentu saja ini hanya merupakan pendapat dari sekian banyak masyarakat di Indonesia, yang menyatakan bahwa Papua mengalami krisis hak asasi manusia. Tapi kita perlu mempertimbangkan bagaimana jika pendapat satu orang ini tenyata mewakili dari sekian banyak penduduk Papua. Meskipun ketakutan akan adanya gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM), tetapi tidak seharusnya penyelesaian konfik ditangani dengan kekerasan.
Hal miris lainnya adalah, bagaimana di dalam buku di jelaskan bahwa di sekitar area penambangan emas tradisional terdapat bar, tempat karaoke, judi dan penjual alkohol, yang beroperasi, ternyata dijaga oleh aparat keamanan bersenjata. Kemudian mengenai PSK yang didatangkan ke sana yang sudah mengidap penyakit HIV/AIDS. Sehingga hal tersebut berdampak buruk terhadap kesehatan dan nyawa masyarakat setempat. Apalagi hal tersebut sedikit demi sedikit bisa memusnahkan suku di sana jika mereka banyak yang meninggal akibat penyakit menular seksual tersebut.
Pada bagian akhir buku, terdapat lampiran. Yang juga menarik di sini adalah, bahwa lampiran ini berisi foto-foto dokumen Negara Indonesia yang telah meratifkasi berbagai instrumen tentang hak asasi manusia dan foto ini digunakannya untuk mendukung argumen-argumennya bahwa sudah seharusnya pemerintah menegakkan hak-hak asasi di negara Indonesia, tidak terkecuali dengan Papua.
Semoga dengan adanya buku ini pemerintah, masyarakat Indonesia, mampu tersadar bahwa ternyata penegakkan HAM di daerah Papua, dan juga daerah-daerah lainnya di Indonesia, masih sangat minim. Membaca judul dari buku ini saja kita akan mengetahui bahwa Haluk, mewakili masyarakat Papua memberikan pilihan yang harus segera dijawab oleh pemerintah. “MATI ATAU HIDUP” bukanlah sebuah pilihan sebenarnya. Ini adalah tuntutan agar pemerintah segera bertindak, jika tidak maka nyawa penduduk/suku/etnis di Papua akan hilang. Jika ditinjau kembali, judul tersebut juga mempertanyakan, apakah selama ini penegakkan HAM di Papua itu MATI atau HIDUP?
Judul tersebut menegaskan bahwa hak hidup masyarakat Papua terancam. Padahal hak hidup dengan jelas diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Begitu pula dengan hak-hak sipil dan politik, serta hak mendapat pendidikan, kesehatan, dan hak di bidang kebudayaan. Semuanya diatur di dalam UUD 1945, bahwa negara melindungi hak warga negaranya, dan barang siapa yang melanggar maka akan dikenakan sanksi. Tapi sayangnya dari buku ini kita melihat bahwa hukum yang mengatur tersebut tidak sepenuhnya berlaku di Papua. Tidak seharusnya pelaku dari tindak kejahatan dibiarkan begitu saja. Padahal kita memiliki hak perlakuan yang adil di dalam hukum. Jika memang benar begitu, maka hukum di Papua belum ditegakkan dan belum bisa memenuhi tujuannya untuk menciptakan keadilan. Bahkan rakyat seperti sudah tidak percaya terhadap hukum, sehingga mereka memilih jalan dengan perlawanan fsik terhadap aparat keamanan yang menyebabkan lebih banyak korban jiwa dan luka fsik. Akibatnya, bukannya selesai justru konfik semakin memanas dan menyebar luas.
Buku ini bisa menjadi referensi bacaan bagi siapa yang ingin mengetahui bagaimana perkembangan HAM di wilayah Papua dan bagi mereka yang ingin memperlajari lebih lanjut mengenai penegakkan hak-hak asasi manusia di wilayah Timur Indonesia.