SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Nama : Galih Laksita Cyrillus
NIM : 039114072
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Nama : Galih Laksita Cyrillus
NIM : 039114072
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 30 Januari 2008
Galih Laksita Cyrillus
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia. Hipotesa penelitian yang yang diajukan peneliti yaitu, ada hubungan positif antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Wredha (PTSW) Abiyoso Pakem Sleman, Komunitas Pensiunan St. Antonius Kota Baru Yogyakarta dan PEPABRI Klaten. Jumlah keseluruhan subyek penelitian adalah 60 orang lansia. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala kepribadian hardiness dan skala kesejahteraan psikologis. Dari hasil uji coba skala, diperoleh koefisien reliabilitas skala kepribadian
hardiness sebesar 0,893, dan untuk skala kesejahteraan psikologis sebesar 0,934. Metode atau tehnik analisis data menggunakan analisis korelasi Product Moment Pearson. Semua perhitungannya dilakukan dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Window versi 12.0.
Hasil penelitian menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,833 pada tingkat signifikansi 0,01 (1-tailed). Hal itu berarti ada hubungan positif yang signifikan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.
Kata kunci : kepribadian hardiness, kesejahteraan psikologis, lansia.
This research was aimed to find out the correlation between hardy personality and psychological well-being of aging people. Positive correlation between hardy personality and psychological well-being of aging people was the hypothesis of this research.
The research subjects were aging people in Panti Sosial Tresna Wredha (PTSW) Abiyoso Pakem Sleman, St. Antonius Kota Baru Yogyakarta Aging retirement, and PEPABRI Klaten. Number of the research subjects were 60 aging people. The data were collected by hardy personality scale and psychological well-being scale. From the try out result, reliability coefficient of hardy personality scale was 0, 893 and psychological well-being scale was 0, 934.
The method of data analysis was the Pearson’s Product Moment Correlation. All of the computations was conduct by Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Window version 12.0.
The result shows that the correlation coefficient was 0,833 at the level significant 0, 01 (1-tailed). It’s means there was significant positive correlation between hardy personality and psychological well-being of aging people.
Keywords : hardy personality, psychological well-being, aging people
karuniaanya, sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk mmperoleh gelar
Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terwujud. Untuk itu
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua
pihak, yaitu :
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas sanata Dharma, yang telah memberikan ijin untuk mengadakan
penelitian.
2. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku Dosen Pembimbing
skripsi yang telah dengan sabar membimbing, memberi saran, kritik dan
nasihat supaya penulis berpikir runtut, kritis dan mampu menyelesaiakn
skripsi dengan baik.
3. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi., Psi., M.Si dan Bapak T. Priyo Widiyanto
selaku Dosen Pembimbing Akademik
4. Ibu Sylvia Carolina Murtisari S.Psi., M.Si, selaku Ketua program studi.
5. Ibu Anantasari dan Pak Minto selaku dosen penguji atas saran yang telah
diberikan. Pak Agung atas informasi-informasi dan jawaban-jawaban
pertannyaan saya. Dosen-dosen Lain yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, terima kasih atas bimbingan belajarnya selama ini.
6. Seluruh Staf Sekertariat Pak Gie, Mbak nanik, Mas Gandung, Mas Muji, dan
mas Doni, yang telah membantu kelancaran studi, skripsi, praktikum,
asistensi, “matur nuwun sanget nggih”.
atas kesediaan dan kerelaan waktunya untuk mengisi angket penelitian.
9. Bapak Ibu warga Pakembinangun Pakem, terimakasih atas kesediaan dan
kerelaan waktunya untuk mengisi angket penelitian.
10.Bapak YB. Soetardjo selaku Ketua Komunitas Pensiunan Gereja St. Antonius
Kota Baru Yogyakarta. Bapak Ibu Anggota Komunitas Pensiunan Gereja St.
Antonius Kota Baru Yogyakarta, terimakasih atas kesediaan dan kerelaan
waktunya untuk mengisi angket penelitian.
11.Bapak Kapt (purn). Suparjo selaku Ketua Pepabri Anak ranting dua Ketandan
Klaten Utara. Bapak Ibu Anggota Pepabri Worokawuri Anak ranting dua
Ketandan Klaten Utara, terimakasih atas kesediaan dan kerelaan waktunya
untuk mengisi angket penelitian.
12.Bapak, Ibu, Mas Adya, Mbak Galuh, Mbah Padyasastra, Mbah Kung & Mbah
Ibu, Keluarga besar Padyasastra dan Keluarga Bejo Sucipto.
13.Loe-76 (Asisten pribadi saya,…he..he) yang telah mencurahkan segala waktu,
tenaga dan dukungan yang tiada terkira. Thx for everything to me…………. 14.Teman-teman Caedewe angkt 03, nanang, indri, beni, atok, rondang, doni,
samsul, ana, diana, dani, dias, suster wigi, mia, tyok, abe, sadel, nug, joko,
dhani,………
15. Temen-teman angkatan 2003 dari A sampai Z yang tidak dapat saya sebutkan
satu persatu, teman-teman seperjuangan ( wedha, thea, novi, fika, cahya, dewi,
dede, dll…), teman-teman angkatan angktan 04,05,06,07…
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharap segala kritik dan saran yang dapat melengkapi
skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv
ABSTRAK... v
ABSTRACT... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR LAMPIRAN... xiv
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D..Manfaat Penelitian ... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 10
A. Kesejahteraan Psikologis Lansia... 10
1. Kesejahteraan Psikologis ... 10
a. Definisi... 10
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 12
c. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis... 17
2. Lansia ... 19
a. Definisi... 19
b. Tugas Perkembangan Lansia... 21
c. Lansia dan Kesehatan Mental ... 21
C. Kepribadian Hardiness dan Kesejahteraan Psikologis Lansia... 28
D. Hipotesis ... 33
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 34
A. Jenis Penelitian... 34
B. Identifikasi Variabel... 34
C. Definisi Operasional ... 34
1. Kepribadian Hardiness... 34
2. Kesejahteraan Psikologis ... 35
D. Subyek Penelitian... 36
E. Alat Pengumpul Data ... 37
1. Skala Kepribadian Hardiness... 38
2. Skala Kesejahteraan Psikologis ... 38
F. Pengujian Alat Ukur Penelitian... 40
1. Uji Validitas ... 40
2. Uji Coba Alat Ukur ... 40
3. Seleksi Aitem Alat Ukur ... 41
4. Uji Reliabilitas ... 45
G. Tehnik Analisis Data... 47
BAB IV. PENELITIAN DAN HASILPENELITIAN... 48
A. Pelaksanaan Penelitian ... 48
B. Hasil Penelitian ... 49
1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 49
2. Deskripsi Data Penelitian... 50
3. Uji Asumsi ... 51
4. Uji Hipotesis ... 53
B. Saran... 61
1. Bagi Para Lansia ... 61
2. Bagi Pihak-pihak Yang Berkompeten Di bidang Kesejahteraan Lansia... 62
3. Bagi peneliti Selanjutnya ... 62
C. Keterbatasan Penelitian ... 62
DAFTAR PUSTAKA... 64
LAMPIRAN... 67
Tabel 2. Blueprint Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis
Sebelum Uji Coba ... 39
Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness Setelah Uji Coba……….. 43
Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba ... 44
Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian ... 50
Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian... 50
Tabel 7. One-Sample Kolmogorov Smirnov... 52
Tabel 8. Compare Means Test for linearity... 53
Lampiran 2. Uji Validitas dan Reliabilitas... 81
Lampiran 3. Tabulasi Data Hasil Penelitian ... 89
Lampiran 4. Uji Asumsi... 98
Lampiran 5. Uji Hipotesis ... 102
Lampiran 6. Skala Uji Coba... 104
Lampiran 7. Skala Final Penelitian ... 116
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ... 127
A. Latar Belakang Masalah
Masa lanjut usia (lansia) adalah periode terakhir dalam rentang kehidupan
seseorang. Pada masa lanjut usia terjadi banyak perubahan, baik kondisi biologis,
psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut mengarah pada
penurunan kondisi biologis, psikologis maupun sosial individu. Penurunan pada
ketiga kondisi tersebut sering disebut penurunan kondisi biopsikososial.
Kondisi biopsikososial individu berhubungan erat dengan kesehatan
mental individu. Kondisi biopsikososial merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan mental individu. Apabila kondisi biopsikososial
individu baik maka kesehatan mental individu juga baik. Notosoedirjo dan
Latipun (2000) mengungkapkan bahwa, sejalan dengan kondisi biopsikososial
orang lanjut usia yang mengalami penurunan tersebut, maka masalah di bidang
kesehatan mental pada orang lanjut usia tidaklah terelakkan.
Orang lanjut usia termasuk kelompok yang memiliki berbagai masalah
dengan kesehatan mental. Darmojo (dalam Kompas, 2002) mengatakan bahwa
para lansia umumnya mengalami kemunduran mental-psikologik. Hal tersebut
diperoleh dari hasil penelitiannya pada tahun 1997 yang menunjukkan bahwa
lansia yang terjangkit penyakit lupa mencapai 50,3 persen, kesepian 20,4 persen,
sulit tidur 21,3 persen, dan depresi 4,2 persen. Itu semua merupakan gejala dini
gangguan mental (demensia) Alzheimer. Sehubungan dengan berbagai kondisi
mental itu, maka kalangan orang lanjut usia perlu memperoleh perhatian khusus
dalam penanganan kesehatan mentalnya.
Seiring dengan kemajuan jaman, berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya di bidang kedokteran, peningkatan kesehatan lingkungan,
serta kesuksesan program keluarga berencana, secara umum meningkatkan usia
harapan hidup penduduk. Peningkatan usia harapan hidup tersebut mengakibatkan
jumlah penduduk yang berusia lanjut semakin banyak dan menyebabkan adanya
ledakan jumlah lansia yang cukup besar. Dalam sensus Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 1998, harapan hidup penduduk Indonesia rata-rata 63 tahun untuk
kaum pria, dan wanita 67 tahun (Kompas, 2002). Pertumbuhan jumlah penduduk
lansia di Indonesia tercatat sebagai paling pesat di dunia (mencapai 414 persen)
dalam kurun waktu tahun 1990-2025 (Kompas, 2002). Menurut Darmojo (dalam
Kompas, 2002) jumlah lansia yang kini sekitar 16 juta orang, akan menjadi 25,5
juta pada tahun 2020, atau sebesar 11,37 persen dari jumlah penduduk. Itu berarti
jumlah lansia di Indonesia akan berada di peringkat empat dunia di bawah Cina,
India, dan Amerika Serikat.
Ledakan jumlah lansia yang cukup besar ini perlu mendapatkan
penanganan yang tepat. Hal ini perlu dilakukan sebab lansia merupakan kelompok
yang memiliki berbagai masalah dengan kesehatan mental. Jika ledakan jumlah
lansia yang cukup besar ini tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka
dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi lansia sendiri, keluarga maupun
masyarakat. Penanganan yang tepat itu adalah mengusahakan kesehatan mental
bagi para lansia, berbagai masalah kesehatan mental yang sering dialami lansia
dapat diantisipasi. Diharapkan pula dengan kondisi yang sehat mental pada para
lansia, ledakan jumlah lansia yang cukup besar tersebut tidak mengakibatkan
timbulnya berbagai permasalahan bagi lansia sendiri, keluarga maupun
masyarakat.
Berkaitan dengan kesehatan mental pada individu, kesejahteraan
psikologis (psychological well-being) merupakan suatu konsep yang membahas kesehatan mental individu. Kesejahteraan psikologis merupakan indikator
kesehatan mental pada individu (Veit & Ware, 1983; Florian, Mikulincer &
Taubman,1995). Individu yang sehat mental adalah mereka yang mengalami
kesejahteraan psikologis. Dengan demikian kesejahteraan psikologis di masa
lansia itu penting, karena dengan sejahtera secara psikologis maka lansia akan
sehat mentalnya dan dengan sehat mental maka diasumsikan akan terhindar dari
gangguan-ganguan mental yang biasanya muncul pada masa lansia.
Beberapa ahli memaparkan bahwa kesejahteraan psikologis itu
dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi itu antara lain
faktor usia dan jenis kelamin (Ryff,1989b; Ryff & Keyes, 1995), status
pernikahan, kondisi keuangan dan kesehatan (Ryff,1989b), serta tingkat
pendidikan (Ryff & Shmotkin, 2002). Selain itu beberapa peneliti juga
mengungkapkan faktor-faktor lainnya seperti; coping (Kling, Seltzer, & Ryff, 1997), budaya (Ryff, 1995), kepribadian big five (Schmutte & Ryff, 1997) serta
Seperti yang telah diungkapkan di atas, sense of control dan dukungan sosial berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis individu. Individu yang
memiliki sense of control pada berbagai macam aspek kehidupan dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapainya, memiliki kesejahteraan psikologis yang
tinggi (Berk, 2007). Kemudian adanya dukungan sosial yang diperoleh individu
ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan, dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis pada individu.
Masa lanjut usia merupakan masa yang sulit bagi individu. Pada masa ini
terjadi peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit seperti penurunan kondisi fisik
dan kesehatan, kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya penghasilan
keluarga dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian
(Sarafino,1994). Adanya sense of control dan dukungan sosial pada individu lansia akan berguna bagi individu dalam menghadapi peristiwa-peristiwa
kehidupan yang sulit tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan psikologisnya.
Terkait dengan sense of control dan dukungan sosial, individu yang berkepribadian hardiness ternyata memiliki sense of control pada dirinya dan kecenderungan untuk mencari dukungan sosial (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi &
Kahn,1982). Kepribadian hardiness adalah kepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment dan challenge. Control merupakan kecenderungan untuk meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol dan
mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
sedang dilakukan atau dihadapi. Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan,
dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman
terhadap rasa amannya.
Seperti yang telah diungkapkan, adanya sense of control dan dukungan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Sementara sense of control dan dukungan sosial ini banyak ditemui pada individu yang berkepribadian hardiness. Jadi hal ini menunjukkan adanya kemungkinan keterkaitan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis.
Penelitian mengenai hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis sebenarnya pernah dilakukan oleh Florian, Mikulincer dan Taubman
pada tahun 1995. Mereka melakukan penelitian mengenai hubungan kepribadian
hardiness dan kesejahteraan psikologis pada siswa pendidikan militer di Israel.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat
kepribadian hardiness yang tinggi, memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan positif antara kepribadian
hardiness dengan kesejahteraan psikologis.
Meski telah terbukti ada hubungan positif antara kepribadian hardiness
dan kesejahteraan psikologis, tetapi penelitian pada subyek lansia sejauh ini belum
pernah dilakukan. Siswa pendidikan militer dan lansia memiliki karakteristik
yang berbeda, jadi belum dapat diketahui apakah hasil temuan Florian,
Mikulincer dan Taubman pada tahun 1995 tersebut berlaku juga pada subyek
kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis pada subyek lansia. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengkaji hubungan kepribadian hardiness
dan kesejahteraan psikologis pada subyek lansia. Selain dengan subyek penelitian
yang berbeda, penelitian ini akan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis
yang berbeda dari penelitian Florian dkk tahun 1995. Jika penelitian Florian dkk
menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware, maka dalam
penelitian ini akan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Carol D.
Ryff.
Berkembangnya penelitian mengenai kesejahteraan psikologis membuat
konsep kesejahteraan psikologis semakin berkembang dan diperbarui. Pada tahun
1989, Carol D. Ryff menyusun konsep baru mengenai kesejahteraan psikologis
dan merevisinya pada tahun 1995. Ryff mengartikan kesejahteraan psikologis
sebagai ada dan berfungsinya sifat-sifat psikologis positif seperti penerimaan diri,
hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan pertumbuhan pribadi. Sejak tahun 1989, banyak penelitian-penelitian
mengenai kesejahteraan psikologis dilakukan dengan menggunakan konsep
kesejahteraan psikologis dari Ryff. Penelitian-penelitian itu dapat dilihat pada
Ryff, 1991; Ryff & Essex, 1992; Heidrich & Ryff, 1993; Ryff & Keyes, 1995;
Kling, Seltzer, & Ryff, 1997; Schmutte & Ryff, 1997; Shmotkin, Ryff & Keyes,
2002; Anantasari, 2004 ; Halim & Atmoko, 2005; Hanita, 2006, dll.
Dari perkembangan penelitian-penelitian mengenai kesejahteraan
psikologis yang sudah dilakukan, dapat kita ketahui bahwa konsep kesejahteraan
adalah konsep kesejahteraan psikologis yang terbaru dan banyak dipakai oleh para
peneliti dalam meneliti kesejahteraan psikologis individu. Sedangkan penelitian
Florian dkk tahun 1995 mengenai kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis, menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware yang
disusun pada tahun 1983. Veit & Ware (1983) mengartikan kesejahteraan
psikologis sebagai adanya afek positif umun dan ikatan emosional dengan orang
lain. Untuk itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengkaji kembali
hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis yang pernah diteliti Florian dkk. Berbeda dengan penelitian Florian dkk yang menggunakan konsep
kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware yang disusun pada tahun 1983,
kesejahteraan psikologis dalam penelitian ini akan menggunakan konsep
kesejahteraan psikologis dari Ryff.
Berdasarkan latar belakang di atas maka secara khusus studi ini tertarik
untuk mengkaji hubungan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia. Kesejahteraan psikologis dalam penelitian ini akan
menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Ryff.
B. Perumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.
D. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoretis :
a. Memberikan sumbangan informasi di bidang psikologi perkembangan, khususnya psikogerontologi mengenai hubungan kepribadian
hardiness dan kesejahteraan psikologis lansia.
b. Memperkaya penelitian Florian, Mikulincer dan Taubman pada tahun 1995 yang pernah mengkaji hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis pada siswa pendidikan militer. Berbeda
dengan Florian dkk, penelitian ini akan mengkajinya pada subyek
lansia dan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis yang lebih
baru dan mutakhir. Dalam penelitian Florian dkk tahun 1995,
menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware yang
disusun tahun 1983, sedang dalam penelitian ini akan menggunakan
konsep kesejahteraan psikologis dari Ryff yang disusun tahun 1989
dan direvisi tahun 1995.
2. Manfaat praktis : a. Bagi Lansia
lansia. Dengan demikian dapat menjadi masukan bagi lansia untuk
meningkatkan kesejahteraan psikologisnya.
b. Bagi Keluarga dan Masyarakat pada umumnya
Memberikan informasi bagi keluarga dan masyarakat pada
umumnya dalam rangka berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan
psikologis pada kalangan orang lanjut usia.
c. Pihak-pihak Yang Berkompeten Di bidang Kesejahteraan Lansia
Hasil penelitian ini dapat menjadikan pertimbangan bagi
pihak-pihak yang berkompeten dibidang kesejahteraan lansia seperti panti
wredha, Departemen Sosial, Komnas lansia dsb sebagai pertimbangan
untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan
A. Kesejahteraan Psikologis Lansia 1. Kesejahteraan Psikologis
a. Definisi
Bradburn (dalam Ryff, 1989b) mengartikan kesejahteraan
psikologis sebagai adanya keseimbangan antara afek positif dan afek
negatif pada diri individu.
Veit & Ware (1983) mengartikan kesejahteraan psikologis
sebagai adanya afek positif umum dan ikatan emosional dengan orang
lain. Afek positif umum adalah perasaan bahagia, puas dan senang
dengan segala sesuatu yang ada pada diri sendiri. Selain itu individu
yang memiliki afek positif umum, memiliki kehidupan sehari-hari
yang menyenangkan/menarik, merasakan ketenangan dan kedamaian
serta keceriaan dan sukacita. Secara umum mereka menikmati apapun
yang sedang dihadapi, rileks dan bebas dari ketegangan, hidup dalam
pengalaman yang indah/menarik, mengharapkan/menantikan hari-hari
yang menyenangkan, bagun tidur dengan segar setelah cukup
beristirahat, serta memiliki harapan-harapan/cita-cita tentang masa
depan.
Sedang ikatan emosional diartikan sebagai adanya perasaan
dicintai dan diinginkan oleh orang-orang disekitarnya, serta penuh
cinta kasih dalam hubungannya dengan orang lain.
Veit & Ware (1983) mengungkapkan jika individu memiliki
ciri-ciri yang terdapat di dalam afek positif umum dan ikatan emosional
maka individu tersebut dikatakan mengalami kesejahteraan psikologis.
Sementara itu Ryff (1989b) dan Ryff & Keyes (1995)
mengartikan kesejahteraan psikologis sebagai ada dan berfungsinya
sifat-sifat psikologis positif yaitu penerimaan diri, hubungan positif
dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup
serta pertumbuhan pribadi.
Konsep kesejahteraan psikologis dari Ryffmerupakan integrasi
dari tiga perspektif besar yaitu bidang kesehatan mental, psikologi
klinis, dan psikologi perkembangan (Ryff,1989a, 1989b, 1995; Ryff &
Keyes, 1995). Dari kesehatan mental terdiri dari kriteria positif sehat
mental dari Jahoda dan fungsi-fungsi positif pada masa lanjut dari
Birren. Di bidang psikologi klinis terdiri dari konsep aktualisasi diri
(self-actualization) dari Mazlow, pribadi yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person) dari Rogers, kedewasaan (maturity) dari Allport, dan tentang individuasi (individuation) manusia dari Jung. Dari psikologi perkembangan terdiri dari tahap perkembangan
deskripsi mengenai perubahan kepribadian pada masa dewasa dan tua
dari Neugarten.
Dari tiga perspektif besar tersebut, Ryff mengekstrasikannya
menjadi enam aspek sifat-sifat psikologis positif yaitu, penerimaan
diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Ada dan berfungsinya enam aspek sifat-sifat psikologis positif
seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan pribadi ini
oleh Ryff disebut dengan kesejahteraan psikologis.
Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan konsep
kesejahteraan psikologis dari Ryff. Hal ini dilakukan karena penelitian
ini bertujuan memperkaya penelitian sebelumnya yang mengkaji
hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis, dengan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis yang lebih baru dan
mutakhir, yaitu konsep kesejahteraan psikologis dari Ryff.
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara
lain :
1) Usia
Ryff & Keyes (1995) meneliti kesejahteraan psikologi pada
akhir (lansia). Mereka mengungkapkan bahwa sejalan dengan
bertambahnya usia ada peningkatan aspek penguasaan lingkungan,
aspek hubungan positif terhadap orang lain dan aspek otonomi.
Aspek penguasaan lingkungan dan hubungan positif terhadap
orang lain pada lansia memiliki tingkatan yang paling tinggi dari
dua masa sebelumnya. Sedang aspek otonomi mengalami
peningkatan secara signifikan terutama hanya dari dewasa muda ke
madya dan pada lansia tidak ada perubahan yang signifikan.
Aspek tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami
penurunan sejalan bertambahnya usia. Bila dibandingkan dengan
dua usia sebelumnya, lansia memiliki tingkat aspek tujuan hidup
dan pertumbuhan pribadi yang paling rendah. Sedang untuk aspek
penerimaan diri tidak ada perbedaan pada ketiga kelompok usia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usia berpengaruh
terhadap aspek penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup,
pertumbuhan pribadi dan hubungan positif terhadap orang lain.
Sejalan dengan peningkatan usia, aspek penguasaan lingkungan,
otonomi (terutama dari dewasa muda ke dewasa madya), dan
hubungan positif dengan orang lain meningkat, sedang untuk aspek
tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan.
2) Jenis Kelamin
Wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjalin
pribadi daripada pria (Ryff ,1989b; Ryff & Keyes,1995). Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa wanita cenderung berpotensi
memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dari pada pria.
3) Status Pernikahan, Kondisi Keuangan dan Kesehatan, dan Tingkat Pendidikan.
Status pernikahan menjadi prediktor terhadap penerimaan diri
dan tujuan hidup (Ryff,1989b). Status sudah menikah menjadi
prediktor yang baik untuk aspek penerimaan diri dan tujuan hidup.
Kondisi keuangan dan kesehatan menjadi prediktor terhadap
penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup
(Ryff,1989b). Kondisi keuangan dan kesehatan yang baik akan
membuat individu memiliki aspek penerimaan diri, penguasaan
lingkungan dan tujuan hidup yang baik. Untuk tingkat pendidikan,
Ryff, Keyes & Shmotkin (2002) mengungkapkan hasil yaitu
tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi kesejahteraan
psikologisnya.
Jadi status menikah, kondisi keuangan dan kesehatan yang
baik serta tingkat pendidikan yang tinggi memberi dampak yang
positif terhadap kesejahteraan psikologis individu.
4) Coping
individu ketika mengalami stress, berdampak pada kesejahteraan psikologisnya. Individu yang cenderung menggunakan problem-focused coping secara signifikan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi, sedangkan individu yang
cenderung menggunakan emotion-focused coping secara signifikan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah.
Problem-focused coping dan emotion-focused coping secara signifikan berhubungan dengan aspek-aspek dari kesejahteraan
psikologis. Penggunaan problem-focused coping meningkatkan aspek penguasaan lingkungan dan tujuan hidup pada individu.
Sedang penggunaan emotion-focused coping menurunkan aspek penguasaan lingkungan dan penerimaan diri pada individu.
5) Kepribadian
Schmutte & Ryff (1997) meneliti korelasi trait kepribadian
Big Five (trait extraversion, neuroticism, conscientiousness, openness to experience dan agreeableness) terhadap kesejahteraan psikologis. Trait neuroticism, extraversion dan conscientiousness
menjadi prediktor yang kuat dan konsisten terhadap aspek-aspek
kesejahteraan psikologis terutama aspek penerimaan diri,
hubungan positif terhadap orang lain. Selain itu trait neuroticism
menjadi prediktor yang terkuat dari trait lainnya terhadap aspek otonomi.
Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwa
karakteristik kepribadian tertentu akan memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap aspek-aspek dalam kesejahteraan psikologis.
6) Budaya
Budaya memberikan pengaruh yang mendasar terhadap
konsepsi diri dan hubungan terhadap orang lain (Ryff,1995).
Budaya yang cenderung individualistik memiliki pengaruh yang
berbeda terhadap konsepsi diri dan hubungan dengan orang lain,
bila dibandingkan dengan budaya yang cenderung kolektivistik.
Budaya individualistik yang mempunyai nilai self-oriented
menunjukkan tingkat otonomi yang tinggi, dan hubungan positif
terhadap orang lain yang rendah. Namun budaya kolektivistik yang
mempunyai nilai others-oriented menunjukkan tingkat otonomi yang lebih rendah dan hubungan positif dengan orang lain yang
lebih tinggi.
Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa perbedaan budaya
membawa dampak yang berbeda pula pada kesejahteraan
7) Sense of control
Berk (2007) mengungkapkan bahwa Individu yang memiliki
sense of control yang tinggi pada berbagai macam aspek kehidupan dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapinya, memiliki
kesejahteraan psikologis yang tinggi. Adanya sense of control
membuat individu memiliki pandangan yang positif terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan memiliki
keyakinan untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan
yang dihadapi tersebut.
8) Dukungan Sosial
Berk (2007) mengungkapkan adanya dukungan sosial yang
diperoleh individu ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam
kehidupan, berdampak positif pada kesejahteraan psikologis
individu. Dukungan sosial memberikan bantuan bagi individu
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
c. Aspek-aspekKesejahteraan Psikologis Ryff
Menurut Ryff (1989a,1989b, 1995), Ryff & Keyes (1995),
aspek-aspek kesejahteraan psikologis itu antara lain :
1) Penerimaan diri
Penerimaan diri diartikan terpeliharanya sikap positif
diri termasuk di dalamnya kualitas yang baik maupun yang buruk
serta memiliki perasaan yang positif terhadap masa lalu.
2) Hubungan yang positif dengan orang lain
Hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai adanya
kemampuan untuk menjalin hubungan yang hangat dan penuh
percaya dengan orang lain. Selain itu memiliki kepedulian akan
kesejahteraan orang lain, mampu memberi empati, afeksi dan
intimitas serta memahami unsur-unsur memberi dan menerima
dalam suatu hubungan dengan orang lain.
3) Otonomi
Otonomi diartikan memiliki kebebasan dalam menentukan
diri sendiri, mampu bertahan dari tekanan sosial untuk dapat
berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, mengatur perilaku
berdasarkan pertimbangan dari dalam diri, serta mengevaluasi diri
dengan standar diri sendiri/pribadi.
4) Penguasaan lingkungan
Penguasaan lingkungan diartikan sebagai terpeliharanya rasa
untuk menguasai dan kemampuan untuk mengatur lingkungan,
mengendalikan aktivitas-aktivitas eksternal yang kompleks,
menggunakan kesempatan-kesempatan yang tersedia secara efektif,
serta kemampuan untuk memilih atau menciptakan situasi yang
5) Tujuan hidup
Tujuan hidup diartikan sebagai adanya tujuan dalam hidup
dan perasaan hidup yang terarah, perasaan akan bermaknanya masa
lalu maupun masa kini, memegang keyakinan akan berartinya
hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran tertentu yang ingin
dicapai dalam hidup.
6) Pertumbuhan pribadi
Pertumbuhan pribadi diartikan sebagai perasaan akan adanya
perkembangan diri yang berkelanjutan, mampu untuk melihat
dirinya tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman
baru, menyadari potensi diri, melihat peningkatan yang terjadi
dalam perilaku dan dalam diri pribadi setiap saat, serta mampu
untuk senantiasa berubah yang merupakan cerminan dari
bertambahnya pengetahuan/ kemampuan.
2. Lansia a. Definisi
Masa lanjut usia (aging) yang sering disebut dengan lansia adalah masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Dikatakan
sebagai perkembangan terakhir oleh karena ada sebagian anggapan
bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi
berhenti berkembang sampai ia mati. Boleh saja perkembangan fisik
berhenti sampai masa remaja, tetapi perkembangan psikologis, sosial
dan spiritual tidak akan pernah berhenti. Manusia selalu belajar dari
pengalamannya sejak lahir sampai mendekati akhir hayatnya. Ia akan
selalu belajar dan berubah untuk menyesuaikan diri dengan segala hal
yang dihadapinya.
Oleh Hurlock (1991), masa lanjut usia disebut juga dengan
periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di
mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang
menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat.
Bila seseorang telah beranjak jauh dari periode hidupnya yang
terdahulu biasanya ia sering melihat masa lalunya dengan penuh
penyesalan dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang dan
mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin.
Badan kesehatan dunia (WHO) (dalam Sulistyo, 2003)
menetapkan umur 60 tahun sebagai batas umur menuju ke segmen
lanjut usia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 13
Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, menyebutkan bahwa
seseorang disebut lanjut usia jika orang tersebut telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Sementara itu menurut Hurlock (1991), lanjut usia
sebagai tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi
puluh tahun dan lanjut usia yang mulai pada usia tujuh puluh sampai
akhir kehidupan seseorang.
Dalam penelitian ini batasan lansia yang akan digunakan adalah
batasan berdasarkan UU RI No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia yang menyebutkan bahwa seseorang disebut lanjut usia
jika orang tersebut telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Penggunaan
batasan ini dianggap yang paling sesuai digunakan untuk penelitian
pada lansia di Indonesia.
b. Tugas Perkembangan Lansia
Sama halnya dengan tahap-tahap perkembangan sebelumnya
dalam tahap lanjut usia terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus
diselesaikan individu yang memasuki masa ini. Havighurst (dalam
Hurlock,1991) memaparkan tugas-tugas perkembangan lansia antara
lain menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan
kesehatan, menyesuaikan dengan masa pensiun dan berkurangnya
penghasilan keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan
hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia,
membentuk pengaturan fisik yang memuaskan, dan menyesuaikan diri
dengan peran sosial secara luwes.
c. Lansia dan Kesehatan Mental
Pada masa lanjut usia terjadi banyak perubahan, baik kondisi
mengarah pada penurunan kondisi biologis, psikologis maupun sosial
individu.
Perubahan kondisi biologis meliputi penurunan kondisi fisik,
rentan terhadap berbagai penyakit, penurunan kemampuan sensori
motorik, dan penurunan kemampuan seksual dan fungsi reproduksi
yang ditandai dengan fase menopause bagi wanita dan fase climacteric
pada pria (Mappiare dalam Nugraheni, 2005).
Perubahan kondisi psikologis meliputi mudah stress, pikun dan curiga kepada orang lain hal ini disebabkan oleh perubahan hidup yang
dialaminya dan kemunduran fisiknya. Lanjut usia sering mengalami
kesepian, merasa diri terasing dan tidak mempunyai kawan lagi. Hal
tersebut membuat lansia menjadi bosan hidup, putus asa dan memilih
mengakhiri hidupnya. Selain itu pada lansia juga sering mengalami
post power syndrome. Hal tersebut dialami lansia yang baru saja mengalami pensiun, kehilangan kekuasaan, penghasilan dan
kebanggaan (Mappiare dalam Nugraheni, 2005).
Sedang untuk perubahan kondisi sosialnya berupa penurunan
hubungan sosial dan peran-peran sosial. Salah satu teori yang
menjelaskan hal tersebut adalah teori pemisahan (disengagement theory). Teori pemisahan (disengagement theory) menyatakan bahwa orang-orang lanjut usia secara perlahan-lahan menarik diri dari
sendiri (self preoccupation) (Cumming & Henry, 1961 dalam Santrock, 2002).
Notosoedirjo dan Latipun (2000) mengungkapkan bahwa sejalan
dengan penurunan kondisi biologis, psikologis dan sosial
(biopsikososial) pada lansia, maka problem di bidang kesehatan
mentalnya tidaklah terelakkan. Hanya saja sering terjadi gangguan
yang bersifat terselubung, yaitu tampak sebagai gangguan secara fisik,
tapi sebenarnya yang terjadi adalah gangguan psikis. Dengan demikian
tidaklah mudah untuk mengetahui seberapa besar gangguan mental
pada mereka ini.
Orang lanjut usia termasuk kelompok yang memiliki berbagai
masalah dengan kesehatan mental. Tiga gangguan yang lazimnya
dialami oleh orang-orang dewasa lanjut adalah depresi (khususnya
depresi mayor), kecemasan, dan penyakit Alzheimer (Santrock, 2002).
Depresi mayor adalah suatu gangguan suasana hati (a mood disorders) di mana individu merasa sangat tidak bahagia, kehilangan semangat (demoralized), merasa terhina (self-derogatory), dan bosan. Individu dengan depresi mayor tidak merasa sehat, mudah kehilangan
stamina, memiliki nafsu makan yang kurang, dan lesu serta kurang
gairah.
Gangguan kecemasan (anxiety disorders) adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah,
jantung berdebar-debar, atau berkeringat) dan pikiran serta harapan
yang mencemaskan.
Penyakit Alzheimer adalah suatu gangguan otak yang progresif
dan tidak dapat balik, dicirikan dengan kemrosotan secara perlahan
dari ingatan, penalaranan, bahasa, dan tentunnya fungsi fisik.
Darmojo (dalam Kompas, 2002) mengatakan, para lansia
umumnya mengalami kemunduran mental-psikologik. Dalam
penelitiannya tahun 1997 menunjukkan hasil bahwa lansia yang
terjangkit "penyakit lupa" mencapai 50,3 persen, kesepian (20,4), sulit
tidur (21,3), dan depresi (4,2). Itu semua merupakan gejala dini
kelainan mental (demensia) Alzheimer. Dr Rosa Delima (dalam
Kompas, 2002) menyebutkan, penyakit Alzheimer merupakan
penyakit organik yang disebabkan oleh kematian sel. Lebih lanjut
menurut Prof Samino SpS, (dalam Kompas, 2002) sindroma demensia
Alzheimer yang dialami oleh lansia ditandai kemunduran fungsi
kognitif multipel berupa menurunnya kemampuan daya ingat,
intelektualitas, psikis, dan perilaku.
Sehubungan dengan berbagai kondisi mental itu, maka kalangan
lansia perlu memperoleh perhatian khusus dalam penanganan
3. Kesejahteraan Psikologis Lansia
Kesejahteraan psikologis dari Carol D. Ryff merupakan suatu konsep
yang memandang kesejahteraan psikologis individu dari pemberdayaan
sumber-sumber psikologis dalam diri individu. Kesejahteraan psikologis
pada diri individu ditandai dengan ada dan berfungsinya sifat-sifat
psikologis positif yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan
pribadi. Dalam penelitian ini kesejahteraan psikologis individu yang akan
dibahas adalah kesejahteraan psikologis pada individu lansia.
Pada masa lanjut usia individu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa
kehidupan yang sulit seperti penurunan kondisi fisik dan kesehatan,
kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya penghasilan keluarga,
dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian
(Sarafino,1994). Adanya peristiwa-peristiwa kehidupan seperti itu,
diasumsikan akan memberi dampak pada ada dan berfungsinya sifat-sifat
psikologis positif yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan
pribadi pada lansia. Atau dengan kata lain akan mempengaruhi
kesejahteraan psikologisnya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan kesejahteraan psikologis
lansia adalah ada dan berfungsinya sifat-sifat psikologis positif seperti
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan
B. Kepribadian Hardiness 1. Definisi
Kepribadian hardiness adalah tipe kepribadian yang disusun berdasarkan teori dari para ahli psikologi eksistensial yang menekankan
pada kehidupan yang otentik. Kepribadian hardiness merupakan hasil penggabungan dari teori kompetensi dari White, teori usaha proprium
(propriate striving) dari Allport dan tentang orientasi produktif dari Fromm (Kobasa, 1979).
Kepribadian hardiness adalah berkepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment dan challenge (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi & Kahn, 1982). Kepribadian hardiness merupakan suatu konstelasi kepribadian yang menguntungkan bagi individu untuk dapat menghadapi
tekanan-tekanan hidupnya. Adanya karakteristik control, commitment dan challenge tersebut membuat individu tahan banting terhadap tekanan.
2. Aspek-Aspek Kepribadian Hardiness
Menurut Kobasa (1979) dan Kobasa, Maddi & Kahn (1982), aspek-aspek
kepribadian hardiness yaitu :
a. Control
Control merupakan kecenderungan untuk meyakini bahwa dirinya mampu mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang tidak
bukan suatu hal yang asing, tidak diharapkan dan berat untuk dihadapi.
Individu yang memiliki control mampu mengubah peristiwa yang dihadapi menjadi sesuatu yang sesuai dengan tujuan, cita-cita, harapan
dalam hidupnya. Dengan demikian peristiwa yang dihadapi tersebut
tidak menjadi sesuatu yang menganggu dan mengancam. Dengan
adanya control, individu memiliki otonomi diri untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan ketika menghadapi tekanan-tekanan
hidup.
b. Commitment
Commitment adalah kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam apapun yang sedang dilakukan atau dihadapi. Individu yang
mempunyai commitment yang kuat mudah tertarik dan terlibat secara tulus ke dalam apapun yang sedang dihadapi atau dikerjakan. Individu
yang memiliki commitment memiliki kesadaran akan tujuan yang akan dicapai, yang menuntunnya untuk mengidentifikasi dan memberi arti
pada setiap peristiwa, segala sesuatu/benda, dan orang lain yang berada
di dalam lingkungannya. Individu yang memiliki commitment mampu merasakan keterlibatannya dengan orang lain. Keterlibatannya dengan
orang lain ini membuatnya mudah membina dukungan sosial yang
berguna bagi dirinya ketika membutuhkan bantuan ketika menghadapi
tekanan-tekanan hidup.
tidak menghindari tekanan yang dihadapi dan tidak mudah menyerah
ketika menghadapi tekanan tersebut.
c. Challenge
Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam
kehidupan. Perubahan-perubahan hidup yang terjadi merupakan
kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman
terhadap rasa amannya. Adanya challenge dalam diri individu akan menganggap peristiwa yang dihadapi sebagai suatu tantangan,
kesempatan untuk mengembangkan diri dan bukan sesuatu yang
mengancam. Individu yang memiliki challenge dalam dirinya akan berusaha untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan yang
lebih dari yang sebelumnya.
C. Kepribadian Hardiness dan Kesejahteraan Psikologis Lansia
Ryff mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai ada dan berfungsinya
sifat-sifat psikologis positif seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan
orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan
pribadi. Dengan demikian, kesejahteraan psikologis lansia adalah ada dan
berfungsinya enam sifat-sifat psikologis positif tersebut pada para lansia.
Masa lanjut usia merupakan masa yang sulit. Pada masa ini individu
kondisi fisik dan kesehatan, kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya
penghasilan keluarga, dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian
(Sarafino,1994). Peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit seperti itu, menjadi
tantangan bagi lansia untuk tetap dapat mewujudkan kesejahteraan psikologis
pada dirinya.
Individu yang memiliki sense of control dan dukungan sosial ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan, cenderung mengalami
kesejahteraan psikologis dalam dirinya (Berk, 2007). Dengan demikian, sense of control dan dukungan sosial itu penting bagi individu lansia dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit tersebut, karena akan berdampak positif
pada kesejahteraan psikologisnya.
Berkaitan dengan sense of control dan dukungan sosial, individu yang berkepribadian hardiness ternyata memiliki sense of control pada dirinya dan kecenderungan untuk mencari dukungan sosial (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi &
Kahn, 1982). Kepribadian hardiness adalah kepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment, dan challenge. Control merupakan kecenderungan untuk meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol dan
mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
Commitment adalah kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam apapun yang sedang dilakukan atau dihadapi. Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan,
dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman
Control, commitment dan challenge membuat individu lansia menjadi tahan banting ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit di
masa lansia. Ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa tersebut, individu
yang berkepribadian hardiness melalui control memandang peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit tersebut sebagai sesuatu yang dapat dipengaruhi, sesuatu
yang wajar dan bukan sesuatu yang berat untuk dihadapi. Dengan control,
individu memiliki otonomi diri untuk menentukan tindakan apa yang akan
dilakukan dan bagaimana cara mengatasi peristiwa-peristiwa sulit tersebut. Hal
tersebut membuatnya memiliki aspek otonomi yang baik. Adanya control
membuat individu mampu mengubah peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia
menjadi sesuatu yang sesuai dengan tujuan, cita-cita, harapan dalam hidupnya.
Hal itu membuatnya merasa mampu menguasai apa yang sedang dihadapinya,
tetap mempunyai optimisme dan perasan hidup yang terarah serta merasa masih
berdaya dan berguna dalam hidupnya, dengan demikian aspek penguasaan
lingkungan, tujuan hidup dan penerimaan dirinya akan baik.
Commitment membuat individu lansia memandang peristiwa-peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang menarik, penting, dan berarti baginya. Dengan
demikian ia menjadi aktif dan tidak menghindar dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Selain itu dengan adanya commitment juga membuat individu mudah terlibat dengan orang lain yang pada akhirnya membuat individu lansia mudah membina
dukungan sosial yang berguna bagi dirinya ketika membutuhkan bantuan dalam
mengatasi peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia. Dari dukungan sosial, individu
dorongan moral emosional yang sangat berguna ketika mengalamai kesulitan
dalam mengatasi peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan demikian membuatnya
mampu mengatasi peristiwa-peristiwa tersebut, sehingga ia merasa mampu
menguasai keadaan (aspek penguasaan lingkungan), merasa dirinya tetap berdaya
dan berguna (aspek penerimaan diri) serta memiliki optimisme dan perasaan
hidup yang terarah dalam dirinya (aspek tujuan hidup). Selain itu, keterlibatannya
dengan orang lain yang berdampak pada kemampuan membina dukungan sosial
tersebut, membuat dirinya memiliki aspek hubungan yang positif dengan orang
lain.
Challenge membuat individu menganggap peristiwa-peristiwa sulit yang dihadapi sebagai suatu tantangan, kesempatan untuk mengembangkan diri dan
bukan sesuatu yang mengancam. Adanya challenge menjadikan individu lansia menggangap masa lanjut usia yang dihadapkan pada peristiwa-peristiwa sulit
sebagai suatu tantangan untuk dapat terus mengembangkan diri, bukan merupakan
suatu akhir dari hidup yang telah dijalani dan berusaha untuk mengembangkan
kemampuan dan ketrampilan yang lebih dari yang sebelumnya. Hal tersebut
membuatnya tetap merasa adanya perkembangan diri yang berkelanjutan (aspek
pertumbuhan pribadi) dan tetap memiliki tujuan hidup yang terarah (aspek tujuan
hidup).
Jadi melalui karakteristik control, commitment dan challenge individu yang berkepribadian hardiness tetap mampu mewujudkan kesejahteraan psikologis, meskipun pada masa lanjut usia individu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa
lingkungan, tujuan hidup dan penerimaan diri. Adanya commitment dalam menghadapi peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia berdampak positif pada aspek
penguasaan lingkungan, penerimaan diri, tujuan hidup dan hubungan positif
dengan orang lain. Sedang adanya challenge dalam menghadapi peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia, berdampak positif pada aspek pertumbuhan pribadi
dan tujuan hidup pada individu.
Berikut ini adalah bagan yang menjelaskan alur hubungan antara
kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.
Peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit di masa lansia seperti menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya penghasilan keluarga dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian.
Kepribadian Hardiness
Challenge
Otonomi Penguasaan lingkungan
D. Hipotesis
Hipotesa penelitian yang diajukan peneliti yaitu, ada hubungan positif
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan dan apabila ada, seberapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan tersebut (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari ada tidaknya hubungan antara kepribadian hardiness
dan kesejahteraan psikologis pada lansia.
B. Identifikasi Variabel
Identifikasi variabel sebagai berikut ;
1. Variabel bebas : Kepribadian Hardiness. 2. Variabel tergantung : Kesejahteraan Psikologis.
C. Definisi Operasional 1. Kepribadian Hardiness
Kepribadian hardiness adalah berkepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment dan challenge (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi & Kahn, 1982). Ketiga karakteristik ini disebut juga sebagai aspek-aspek kepribadian hardiness. Control merupakan kecenderungan untuk
meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol dan mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Commitment
adalah kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam apapun yang sedang dilakukan atau dihadapi. Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan, dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman terhadap rasa amannya.
Kepribadian hardiness akan diukur dengan menggunakan skala kepribadian hardiness. Skor total pada skala menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kepribadian hardiness pada subyek. Semakin tinggi skor total yang diperoleh semakin tinggi tingkat kepribadian hardinessnya, dan begitu sebaliknya.
2. Kesejahteraan Psikologis
Kesejahteraan psikologis akan diukur dengan menggunakan skala kesejahteraan psikologis. Skor total pada skala menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis pada subyek. Semakin tinggi skor total yang diperoleh semakin tinggi tingkat kesejahteraan psikologisnya, dan begitu sebaliknya.
D. Subyek Penelitian
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah lansia. Metode sampling yang digunakan adalah metode purposive sampling. Dalam metode ini, pemilihan subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, ciri-ciri lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Selain itu sampel lansia yang akan diambil adalah lansia yang masih sehat dan dapat berkomunikasi dengan baik.
E. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala pengukuran. Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adakah skala kepribadian hardiness dan skala kesejahteraan psikologis.
1. Skala Kepribadian Hardiness
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kepribadian hardiness
yang dimiliki oleh subyek. Skala ini disusun peneliti berdasarkan teori kepribadian hardiness dari Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi & Kahn, 1982. Aitem skala kepribadian hardiness ini disusun berdasarkan tiga aspek yaitu control, commitment, dan challenge.
a. Penyusunan aitem
Berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas maka disusunlah skala kepribadian hardiness yang terdiri dari aitem-aitem favorable dan aitem unfavorable. Metode yang digunakan dalam penyusunan skala kepribadian hardiness adalah model skala Likert. Setiap butir aitem memberikan empat kemungkinan jawaban yang bergerak dari “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, hingga “Sangat tidak setuju”.
b. Pemberian Skor
Untuk aitem-aitem yang favorable, jawaban “Sangat setuju “ akan diberi skor 4, demikian seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat tidak setuju”. Sedangkan aitem-aitem yang
total yang diperoleh dari skala kepribadian hardiness tersebut menunjukkan tingkat kepribadian hardiness yang dimiliki subyek.
Tabel 1
Blue print Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness Sebelum Uji Coba
Komponen aitem dan nomor aitem
Aspek
Favorable Unfavorable Jumlah
1. Control 3, 6, 18, 22, 24 10, 16, 19, 29, 30 10
2. Commitment 1, 7, 9, 11, 28, 21 4, 13, 14, 17, 23, 32 12
3. Challenge 2, 8, 20, 26, 27 5, 12, 15, 25, 31 10
Total 16 16 32
2. Skala Kesejahteraan Psikologis
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh subyek. Skala ini disusun peneliti berdasarkan teori kesejahteraan psikologis dari Ryff (1989a,1989b, 1995), Ryff & Keyes (1995). Aitem skala kesejahteraan psikologis ini disusun berdasarkan enam aspek yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.
a. Penyusunan aitem
memberikan empat kemungkinan jawaban yang bergerak dari “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, hingga “Sangat tidak setuju”.
b. Pemberian Skor
Untuk aitem-aitem yang favorable, jawaban “Sangat setuju “ akan diberi skor 4, demikian seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat tidak setuju”. Sedangkan aitem-aitem yang
unfavorable, jawaban “Sangat tidak setuju” diberi skor 4 dan seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat setuju”. Skor total yang diperoleh dari skala kesejahteraan psikologis tersebut menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologisyang dimiliki subyek.
Tabel 2
Blue print Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan PsikologisSebelum Uji Coba
Komponen aitem dan nomor aitem
No Aspek
Favorable Unfavorable Juml
ah 1. Penerimaan diri 2, 13, 18 6, 25, 44 6
2. Hubungan positif
dengan orang lain 1, 14, 24, 26 12, 19, 31, 36 8
3. Otonomi 3, 15, 40, 45 11, 20, 37, 46 8
4. Penguasaan
lingkungan 4, 16, 23, 41 10, 27, 32, 35 8
5. Tujuan hidup 5, 28, 39, 42 9, 21, 33, 47 8
6 Pertumbuhan
pribadi 7, 17, 29, 34, 43 8, 22, 30, 38, 48 10
F. Pengujian Alat Ukur Penelitian 1. Uji Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2007).
Dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian validitas pada skala kepribadian hardiness dan skala kesejahteraan psikologis, untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan kedua skala ukur tersebut dalam melakukan fungsi ukurnya.
Pengujian validitas kedua alat ukur ini dilakukan dengan metode validitas isi. Validitas isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi skala dengan analisis rasional / professional judgement
(Azwar, 2007). Dalam penelitian ini validitas isi diperoleh dengan cara mengkonsultasikan aitem yang telah disusun kepada dosen pembimbing dengan tujuan apakah aitem-aitem yang telah disusun telah mencakup isi objek yang hendak diukur.
2. Uji Coba Alat Ukur
ukur. Uji coba dilaksanakan pada bulan Agustus 2007. Subyek uji coba adalah individu yang memiliki ciri sama dengan ciri subyek untuk data penelitian, yaitu individu lansia (berusia 60 tahun keatas). Subyek uji coba berjumlah 52 orang. Limapuluh dua subyek ini terdiri dari 4 penghuni Panti Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem Sleman, 15 warga Pakembinangun Pakem Sleman, 16 anggota PEPABRI anak ranting dua Ketandan Klaten, 9 anggota Worokawuri (Janda-janda Purnawirawan) ranting kota Klaten dan 8 anggota kelompok doa Lingkungan St. Valentinus Karangduwet Klaten.
3. Seleksi Aitem Alat Ukur a. Prosedur Seleksi Aitem
Kualitas skala pengukuran psikologis sangat ditentukan oleh kualitas aitem-aitem yang ada di dalamnya. Untuk itu perlu dilakukan seleksi terhadap aitem-aitem skala yang telah dibuat. Seleksi aitem pada skala yang akan digunakan dalam penelitian ini memakai parameter daya beda aitem. Daya beda aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2006).
Product Moment Pearson, karena setiap aitem diberi skor pada level interval. Perhitungannya akan menggunakan corrected item-total correlation melalui sub menu scale pada pilihan Reliability Analysis Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Window version 12.0.
Adapun kriteria aitem yang dinyatakan dapat diterima jika koefisien korelasinya positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,30 (rix ≥ 0,30) (Azwar, 2006). Apabila aitem yang memiliki koefisien korelasinya sama dengan atau lebih besar dari 0,30 jumlahnya melebihi jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka dipilih aitem-atem yang memiliki koefisien korelasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah aitem yang lolos ternyata tidak mencukupi maka dapat menurunkan sedikit batas kriteria menjadi sama dengan atau lebih besar dari 0,25 (rix ≥ 0, 25). Selain itu seleksi aitem yang dilakukan juga akan mempertimbangkan bobot tiap-tiap aspeknya. Karena tidak ada dasar teori atau hasil analisis faktor yang menjelaskan aspek mana yang lebih signifikan dari aspek yang lainnya, maka bobot aspek dalam kedua skala final akan dibuat sama.
b. Hasil Seleksi Aitem
1) Skala Kepribadian Hardiness
Koefisien korelasi aitem-total (rix) 32 aitem skala hardiness
rix ≥ 0,30. Aitem-aitem yang gugur (< 0,30) adalah aitem 2, 3, 12,
20, 23, 27, 28, 29 , 30 dan 31. Namun dengan mempertimbangkan kesaman bobot per aspek untuk skala final, maka aitem 2 dan 12 yang merupakan aitem aspek challenge tidak digugurkan. Selain itu diambil tiga aitem lagi dari aspek commitment untuk digugurkan, yaitu aitem 1, 7, 21. Jadi dari 32 aitem, terdapat 11 aitem yang digugurkan, yaitu aitem 1, 3, 7, 20, 21, 23, 27, 28, 29, 30, 31. Koefisien korelasi aitem-total (rix)21 aitem skala hardiness
yang lolos seleksi berkisar dari 0,276 sampai dengan 0,739.
Tabel 3
Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness Setelah Uji Coba
Komponen aitem dan nomor aitem
Aspek
Favorable Unfavorable Jumlah
1. Control 6, 18, 22, 24 10, 16, 19 7
2. Commitment 9, 11 4, 13, 14, 17,32 7
3. Challenge 2, 8, 26, 5, 12, 15, 25 7
Total 9 12 21
2) Skala Kesejahteraan Psikologis
maka aitem 18 yang merupakan aitem aspek penerimaan diri tidak digugurkan. Selain itu diambil lima aitem lagi, yaitu 2 dari aspek otonomi (aitem 11, 15), 2 dari aspek pertumbuhan pribadi (aitem 7, 22) dan 1 dari aspek penguasaan lingkungan (aitem 27) untuk digugurkan. Jadi dari 48 aitem, terdapat 12 aitem yang digugurkan, yaitu aitem 4, 5, 7, 11, 14, 15, 17, 22, 24, 27, 39, dan 48. Koefisien korelasi aitem-total (rix) 36 aitem skala kesejahteraan psikologis
yang lolos seleksi berkisar dari 0,294 – 0,759.
Tabel 4
Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba
Komponen aitem dan nomor aitem
No Aspek
Favorable Unfavorable Jumlah 1. Penerimaan diri 2, 13, 18 6, 25, 44 6
2. Hubungan positif
dengan orang lain 1, 26 12, 19, 31, 36 6
3. Otonomi 3, 40, 45 20, 37, 46 6
4. Penguasaan
lingkungan 16, 23, 41 10, 32, 35 6
5. Tujuan hidup 28, 42 9, 21, 33, 47 6
6 Pertumbuhan
pribadi 29, 34, 43 8, 30, 38 6
4. Uji Reliabilitas
a. Prosedur Pengujian
Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kesetabilan, konsistensi dan sebagainnya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapar dipercaya (Azwar, 2007).
Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada pada rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas yang diperoleh semakin tinggi reliabilitasnya, dan begitu sebaliknya (Azwar, 2007).
Pengujian reliabilitas pada kedua alat ukur ini akan menggunakan pendekatan konsistensi internal. Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subyek (single trial administration) (Azwar, 2007). Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah teknik koefisien reliabilitas alpha dari Cronbach (Azwar, 2007). Dalam perhitungannya akan menggunakan Model Alpha Reliability Analysis
b. Hasil Pengujian Reliabilitas 1) Skala Kepribadian Hardiness
Koefisien reliabilitas (rxx’) (alpha dari Cronbach) 32 aitem
hardiness sebesar 0,872. Kemudian setelah seleksi aitem jumlah aitem skala menjadi 21 aitem dan koefisien reliabilitas (rxx’)
menjadi 0,893. Menurut Budi (2006), koefisien reliabilitas sebesar 0,893 ini menunjukkan tingkat reliabilitas yang sangat reliabel. Dengan demikian 21 aitem skala kepribadian hardiness ini dapat dipercaya dan diandalkan untuk mengukur kepribadian hardiness,
serta apabila dilakukan pengukuran ulang pada subyek yang sama diasumsikan hasilnya akan konsisten.
2) Skala Kesejahteraan Psikologis
Koefisien reliabilitas (rxx’) (alpha dari Cronbach) 48 aitem skala
kesejahteraan psikologis sebesar 0,934. Kemudian setelah seleksi aitem jumlah aitem skala kesejahteraan psikologis menjadi 36 aitem dan koefisien reliabilitas (rxx’) sebesar 0,934. Menurut Budi
G. Tehnik Analisis Data
Tehnik analisis data dengan menggunakan Analisis Korelasi Product Moment
A. Pelaksanaan Penelitian
Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta surat ijin penelitian pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Pada tanggal 16 Juli 2007, oleh Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dikeluarkan surat ijin penelitian dengan No. : 72a. / D / KP / Psi / USD / VII / 2007. Dengan dikeluarkannya surat ijin penelitian tersebut, peneliti melakukan perijinan di tiga tempat penelitian, yaitu Panti Sosial Tresna Wredha (PTSW) Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta, PEPABRI (Purnawirawan TNI/Polri dan janda purnawirawan) anak ranting dua Ketandan Klaten dan Komunitas Pensiunan St. Antonius Kota Baru Yogyakarta. Sebelum melakukan ijin secara formal, peneliti secara informal mendatangi ketiga tempat tersebut untuk memberitahukan maksud dan keperluan peneliti untuk melakukan penelitian serta menanyakan kesediaan dijadikan tempat penelitian dan prosedur perijinannya.
Perijinan di PTSW Abiyoso secara formal dilakukan pada tanggal 23 Juli 2007 dengan membawa surat ijin dari fakultas dan surat ijin penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDDA) Sleman yang dikeluarkan tanggal 18 Juli 2007, No : 07.0 / Bappeda / 1265 /2007. Perijinan di PEPABRI anak ranting dua Ketandan Klaten secara formal dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2007. Peneliti bertemu langsung dengan Bapak Kapt Purn Suparjo selaku ketua dan menyerahkan surat ijin penelitian dari fakultas. Perijinan di Komunitas