• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis pada lansia - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis pada lansia - USD Repository"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Nama : Galih Laksita Cyrillus

NIM : 039114072

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Nama : Galih Laksita Cyrillus

NIM : 039114072

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008

(3)
(4)
(5)

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Januari 2008

Galih Laksita Cyrillus

(6)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia. Hipotesa penelitian yang yang diajukan peneliti yaitu, ada hubungan positif antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Sosial Tresna Wredha (PTSW) Abiyoso Pakem Sleman, Komunitas Pensiunan St. Antonius Kota Baru Yogyakarta dan PEPABRI Klaten. Jumlah keseluruhan subyek penelitian adalah 60 orang lansia. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala kepribadian hardiness dan skala kesejahteraan psikologis. Dari hasil uji coba skala, diperoleh koefisien reliabilitas skala kepribadian

hardiness sebesar 0,893, dan untuk skala kesejahteraan psikologis sebesar 0,934. Metode atau tehnik analisis data menggunakan analisis korelasi Product Moment Pearson. Semua perhitungannya dilakukan dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Window versi 12.0.

Hasil penelitian menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,833 pada tingkat signifikansi 0,01 (1-tailed). Hal itu berarti ada hubungan positif yang signifikan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.

Kata kunci : kepribadian hardiness, kesejahteraan psikologis, lansia.

(7)

This research was aimed to find out the correlation between hardy personality and psychological well-being of aging people. Positive correlation between hardy personality and psychological well-being of aging people was the hypothesis of this research.

The research subjects were aging people in Panti Sosial Tresna Wredha (PTSW) Abiyoso Pakem Sleman, St. Antonius Kota Baru Yogyakarta Aging retirement, and PEPABRI Klaten. Number of the research subjects were 60 aging people. The data were collected by hardy personality scale and psychological well-being scale. From the try out result, reliability coefficient of hardy personality scale was 0, 893 and psychological well-being scale was 0, 934.

The method of data analysis was the Pearson’s Product Moment Correlation. All of the computations was conduct by Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Window version 12.0.

The result shows that the correlation coefficient was 0,833 at the level significant 0, 01 (1-tailed). It’s means there was significant positive correlation between hardy personality and psychological well-being of aging people.

Keywords : hardy personality, psychological well-being, aging people

(8)
(9)

karuniaanya, sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk mmperoleh gelar

Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

Selama proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan

dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terwujud. Untuk itu

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua

pihak, yaitu :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas sanata Dharma, yang telah memberikan ijin untuk mengadakan

penelitian.

2. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi., M.Si, selaku Dosen Pembimbing

skripsi yang telah dengan sabar membimbing, memberi saran, kritik dan

nasihat supaya penulis berpikir runtut, kritis dan mampu menyelesaiakn

skripsi dengan baik.

3. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi., Psi., M.Si dan Bapak T. Priyo Widiyanto

selaku Dosen Pembimbing Akademik

4. Ibu Sylvia Carolina Murtisari S.Psi., M.Si, selaku Ketua program studi.

5. Ibu Anantasari dan Pak Minto selaku dosen penguji atas saran yang telah

diberikan. Pak Agung atas informasi-informasi dan jawaban-jawaban

pertannyaan saya. Dosen-dosen Lain yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu, terima kasih atas bimbingan belajarnya selama ini.

6. Seluruh Staf Sekertariat Pak Gie, Mbak nanik, Mas Gandung, Mas Muji, dan

mas Doni, yang telah membantu kelancaran studi, skripsi, praktikum,

asistensi, “matur nuwun sanget nggih”.

(10)

atas kesediaan dan kerelaan waktunya untuk mengisi angket penelitian.

9. Bapak Ibu warga Pakembinangun Pakem, terimakasih atas kesediaan dan

kerelaan waktunya untuk mengisi angket penelitian.

10.Bapak YB. Soetardjo selaku Ketua Komunitas Pensiunan Gereja St. Antonius

Kota Baru Yogyakarta. Bapak Ibu Anggota Komunitas Pensiunan Gereja St.

Antonius Kota Baru Yogyakarta, terimakasih atas kesediaan dan kerelaan

waktunya untuk mengisi angket penelitian.

11.Bapak Kapt (purn). Suparjo selaku Ketua Pepabri Anak ranting dua Ketandan

Klaten Utara. Bapak Ibu Anggota Pepabri Worokawuri Anak ranting dua

Ketandan Klaten Utara, terimakasih atas kesediaan dan kerelaan waktunya

untuk mengisi angket penelitian.

12.Bapak, Ibu, Mas Adya, Mbak Galuh, Mbah Padyasastra, Mbah Kung & Mbah

Ibu, Keluarga besar Padyasastra dan Keluarga Bejo Sucipto.

13.Loe-76 (Asisten pribadi saya,…he..he) yang telah mencurahkan segala waktu,

tenaga dan dukungan yang tiada terkira. Thx for everything to me…………. 14.Teman-teman Caedewe angkt 03, nanang, indri, beni, atok, rondang, doni,

samsul, ana, diana, dani, dias, suster wigi, mia, tyok, abe, sadel, nug, joko,

dhani,………

15. Temen-teman angkatan 2003 dari A sampai Z yang tidak dapat saya sebutkan

satu persatu, teman-teman seperjuangan ( wedha, thea, novi, fika, cahya, dewi,

dede, dll…), teman-teman angkatan angktan 04,05,06,07…

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis mengharap segala kritik dan saran yang dapat melengkapi

skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

(11)
(12)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D..Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 10

A. Kesejahteraan Psikologis Lansia... 10

1. Kesejahteraan Psikologis ... 10

a. Definisi... 10

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 12

c. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis... 17

2. Lansia ... 19

a. Definisi... 19

b. Tugas Perkembangan Lansia... 21

c. Lansia dan Kesehatan Mental ... 21

(13)

C. Kepribadian Hardiness dan Kesejahteraan Psikologis Lansia... 28

D. Hipotesis ... 33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 34

A. Jenis Penelitian... 34

B. Identifikasi Variabel... 34

C. Definisi Operasional ... 34

1. Kepribadian Hardiness... 34

2. Kesejahteraan Psikologis ... 35

D. Subyek Penelitian... 36

E. Alat Pengumpul Data ... 37

1. Skala Kepribadian Hardiness... 38

2. Skala Kesejahteraan Psikologis ... 38

F. Pengujian Alat Ukur Penelitian... 40

1. Uji Validitas ... 40

2. Uji Coba Alat Ukur ... 40

3. Seleksi Aitem Alat Ukur ... 41

4. Uji Reliabilitas ... 45

G. Tehnik Analisis Data... 47

BAB IV. PENELITIAN DAN HASILPENELITIAN... 48

A. Pelaksanaan Penelitian ... 48

B. Hasil Penelitian ... 49

1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 49

2. Deskripsi Data Penelitian... 50

3. Uji Asumsi ... 51

4. Uji Hipotesis ... 53

(14)

B. Saran... 61

1. Bagi Para Lansia ... 61

2. Bagi Pihak-pihak Yang Berkompeten Di bidang Kesejahteraan Lansia... 62

3. Bagi peneliti Selanjutnya ... 62

C. Keterbatasan Penelitian ... 62

DAFTAR PUSTAKA... 64

LAMPIRAN... 67

(15)

Tabel 2. Blueprint Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis

Sebelum Uji Coba ... 39

Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness Setelah Uji Coba……….. 43

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba ... 44

Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian ... 50

Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian... 50

Tabel 7. One-Sample Kolmogorov Smirnov... 52

Tabel 8. Compare Means Test for linearity... 53

(16)

Lampiran 2. Uji Validitas dan Reliabilitas... 81

Lampiran 3. Tabulasi Data Hasil Penelitian ... 89

Lampiran 4. Uji Asumsi... 98

Lampiran 5. Uji Hipotesis ... 102

Lampiran 6. Skala Uji Coba... 104

Lampiran 7. Skala Final Penelitian ... 116

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ... 127

(17)

A. Latar Belakang Masalah

Masa lanjut usia (lansia) adalah periode terakhir dalam rentang kehidupan

seseorang. Pada masa lanjut usia terjadi banyak perubahan, baik kondisi biologis,

psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut mengarah pada

penurunan kondisi biologis, psikologis maupun sosial individu. Penurunan pada

ketiga kondisi tersebut sering disebut penurunan kondisi biopsikososial.

Kondisi biopsikososial individu berhubungan erat dengan kesehatan

mental individu. Kondisi biopsikososial merupakan faktor-faktor yang

mempengaruhi kesehatan mental individu. Apabila kondisi biopsikososial

individu baik maka kesehatan mental individu juga baik. Notosoedirjo dan

Latipun (2000) mengungkapkan bahwa, sejalan dengan kondisi biopsikososial

orang lanjut usia yang mengalami penurunan tersebut, maka masalah di bidang

kesehatan mental pada orang lanjut usia tidaklah terelakkan.

Orang lanjut usia termasuk kelompok yang memiliki berbagai masalah

dengan kesehatan mental. Darmojo (dalam Kompas, 2002) mengatakan bahwa

para lansia umumnya mengalami kemunduran mental-psikologik. Hal tersebut

diperoleh dari hasil penelitiannya pada tahun 1997 yang menunjukkan bahwa

lansia yang terjangkit penyakit lupa mencapai 50,3 persen, kesepian 20,4 persen,

sulit tidur 21,3 persen, dan depresi 4,2 persen. Itu semua merupakan gejala dini

gangguan mental (demensia) Alzheimer. Sehubungan dengan berbagai kondisi

(18)

mental itu, maka kalangan orang lanjut usia perlu memperoleh perhatian khusus

dalam penanganan kesehatan mentalnya.

Seiring dengan kemajuan jaman, berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi khususnya di bidang kedokteran, peningkatan kesehatan lingkungan,

serta kesuksesan program keluarga berencana, secara umum meningkatkan usia

harapan hidup penduduk. Peningkatan usia harapan hidup tersebut mengakibatkan

jumlah penduduk yang berusia lanjut semakin banyak dan menyebabkan adanya

ledakan jumlah lansia yang cukup besar. Dalam sensus Badan Pusat Statistik

(BPS) tahun 1998, harapan hidup penduduk Indonesia rata-rata 63 tahun untuk

kaum pria, dan wanita 67 tahun (Kompas, 2002). Pertumbuhan jumlah penduduk

lansia di Indonesia tercatat sebagai paling pesat di dunia (mencapai 414 persen)

dalam kurun waktu tahun 1990-2025 (Kompas, 2002). Menurut Darmojo (dalam

Kompas, 2002) jumlah lansia yang kini sekitar 16 juta orang, akan menjadi 25,5

juta pada tahun 2020, atau sebesar 11,37 persen dari jumlah penduduk. Itu berarti

jumlah lansia di Indonesia akan berada di peringkat empat dunia di bawah Cina,

India, dan Amerika Serikat.

Ledakan jumlah lansia yang cukup besar ini perlu mendapatkan

penanganan yang tepat. Hal ini perlu dilakukan sebab lansia merupakan kelompok

yang memiliki berbagai masalah dengan kesehatan mental. Jika ledakan jumlah

lansia yang cukup besar ini tidak mendapatkan penanganan yang tepat, maka

dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi lansia sendiri, keluarga maupun

masyarakat. Penanganan yang tepat itu adalah mengusahakan kesehatan mental

(19)

bagi para lansia, berbagai masalah kesehatan mental yang sering dialami lansia

dapat diantisipasi. Diharapkan pula dengan kondisi yang sehat mental pada para

lansia, ledakan jumlah lansia yang cukup besar tersebut tidak mengakibatkan

timbulnya berbagai permasalahan bagi lansia sendiri, keluarga maupun

masyarakat.

Berkaitan dengan kesehatan mental pada individu, kesejahteraan

psikologis (psychological well-being) merupakan suatu konsep yang membahas kesehatan mental individu. Kesejahteraan psikologis merupakan indikator

kesehatan mental pada individu (Veit & Ware, 1983; Florian, Mikulincer &

Taubman,1995). Individu yang sehat mental adalah mereka yang mengalami

kesejahteraan psikologis. Dengan demikian kesejahteraan psikologis di masa

lansia itu penting, karena dengan sejahtera secara psikologis maka lansia akan

sehat mentalnya dan dengan sehat mental maka diasumsikan akan terhindar dari

gangguan-ganguan mental yang biasanya muncul pada masa lansia.

Beberapa ahli memaparkan bahwa kesejahteraan psikologis itu

dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi itu antara lain

faktor usia dan jenis kelamin (Ryff,1989b; Ryff & Keyes, 1995), status

pernikahan, kondisi keuangan dan kesehatan (Ryff,1989b), serta tingkat

pendidikan (Ryff & Shmotkin, 2002). Selain itu beberapa peneliti juga

mengungkapkan faktor-faktor lainnya seperti; coping (Kling, Seltzer, & Ryff, 1997), budaya (Ryff, 1995), kepribadian big five (Schmutte & Ryff, 1997) serta

(20)

Seperti yang telah diungkapkan di atas, sense of control dan dukungan sosial berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis individu. Individu yang

memiliki sense of control pada berbagai macam aspek kehidupan dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapainya, memiliki kesejahteraan psikologis yang

tinggi (Berk, 2007). Kemudian adanya dukungan sosial yang diperoleh individu

ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan, dapat meningkatkan

kesejahteraan psikologis pada individu.

Masa lanjut usia merupakan masa yang sulit bagi individu. Pada masa ini

terjadi peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit seperti penurunan kondisi fisik

dan kesehatan, kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya penghasilan

keluarga dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian

(Sarafino,1994). Adanya sense of control dan dukungan sosial pada individu lansia akan berguna bagi individu dalam menghadapi peristiwa-peristiwa

kehidupan yang sulit tersebut, yang pada akhirnya akan meningkatkan

kesejahteraan psikologisnya.

Terkait dengan sense of control dan dukungan sosial, individu yang berkepribadian hardiness ternyata memiliki sense of control pada dirinya dan kecenderungan untuk mencari dukungan sosial (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi &

Kahn,1982). Kepribadian hardiness adalah kepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment dan challenge. Control merupakan kecenderungan untuk meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol dan

mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

(21)

sedang dilakukan atau dihadapi. Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan,

dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman

terhadap rasa amannya.

Seperti yang telah diungkapkan, adanya sense of control dan dukungan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis individu. Sementara sense of control dan dukungan sosial ini banyak ditemui pada individu yang berkepribadian hardiness. Jadi hal ini menunjukkan adanya kemungkinan keterkaitan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis.

Penelitian mengenai hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis sebenarnya pernah dilakukan oleh Florian, Mikulincer dan Taubman

pada tahun 1995. Mereka melakukan penelitian mengenai hubungan kepribadian

hardiness dan kesejahteraan psikologis pada siswa pendidikan militer di Israel.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat

kepribadian hardiness yang tinggi, memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan positif antara kepribadian

hardiness dengan kesejahteraan psikologis.

Meski telah terbukti ada hubungan positif antara kepribadian hardiness

dan kesejahteraan psikologis, tetapi penelitian pada subyek lansia sejauh ini belum

pernah dilakukan. Siswa pendidikan militer dan lansia memiliki karakteristik

yang berbeda, jadi belum dapat diketahui apakah hasil temuan Florian,

Mikulincer dan Taubman pada tahun 1995 tersebut berlaku juga pada subyek

(22)

kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis pada subyek lansia. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengkaji hubungan kepribadian hardiness

dan kesejahteraan psikologis pada subyek lansia. Selain dengan subyek penelitian

yang berbeda, penelitian ini akan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis

yang berbeda dari penelitian Florian dkk tahun 1995. Jika penelitian Florian dkk

menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware, maka dalam

penelitian ini akan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Carol D.

Ryff.

Berkembangnya penelitian mengenai kesejahteraan psikologis membuat

konsep kesejahteraan psikologis semakin berkembang dan diperbarui. Pada tahun

1989, Carol D. Ryff menyusun konsep baru mengenai kesejahteraan psikologis

dan merevisinya pada tahun 1995. Ryff mengartikan kesejahteraan psikologis

sebagai ada dan berfungsinya sifat-sifat psikologis positif seperti penerimaan diri,

hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan

hidup, dan pertumbuhan pribadi. Sejak tahun 1989, banyak penelitian-penelitian

mengenai kesejahteraan psikologis dilakukan dengan menggunakan konsep

kesejahteraan psikologis dari Ryff. Penelitian-penelitian itu dapat dilihat pada

Ryff, 1991; Ryff & Essex, 1992; Heidrich & Ryff, 1993; Ryff & Keyes, 1995;

Kling, Seltzer, & Ryff, 1997; Schmutte & Ryff, 1997; Shmotkin, Ryff & Keyes,

2002; Anantasari, 2004 ; Halim & Atmoko, 2005; Hanita, 2006, dll.

Dari perkembangan penelitian-penelitian mengenai kesejahteraan

psikologis yang sudah dilakukan, dapat kita ketahui bahwa konsep kesejahteraan

(23)

adalah konsep kesejahteraan psikologis yang terbaru dan banyak dipakai oleh para

peneliti dalam meneliti kesejahteraan psikologis individu. Sedangkan penelitian

Florian dkk tahun 1995 mengenai kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis, menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware yang

disusun pada tahun 1983. Veit & Ware (1983) mengartikan kesejahteraan

psikologis sebagai adanya afek positif umun dan ikatan emosional dengan orang

lain. Untuk itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengkaji kembali

hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis yang pernah diteliti Florian dkk. Berbeda dengan penelitian Florian dkk yang menggunakan konsep

kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware yang disusun pada tahun 1983,

kesejahteraan psikologis dalam penelitian ini akan menggunakan konsep

kesejahteraan psikologis dari Ryff.

Berdasarkan latar belakang di atas maka secara khusus studi ini tertarik

untuk mengkaji hubungan antara kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia. Kesejahteraan psikologis dalam penelitian ini akan

menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Ryff.

B. Perumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara

(24)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara

kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.

D. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoretis :

a. Memberikan sumbangan informasi di bidang psikologi perkembangan, khususnya psikogerontologi mengenai hubungan kepribadian

hardiness dan kesejahteraan psikologis lansia.

b. Memperkaya penelitian Florian, Mikulincer dan Taubman pada tahun 1995 yang pernah mengkaji hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis pada siswa pendidikan militer. Berbeda

dengan Florian dkk, penelitian ini akan mengkajinya pada subyek

lansia dan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis yang lebih

baru dan mutakhir. Dalam penelitian Florian dkk tahun 1995,

menggunakan konsep kesejahteraan psikologis dari Veit & Ware yang

disusun tahun 1983, sedang dalam penelitian ini akan menggunakan

konsep kesejahteraan psikologis dari Ryff yang disusun tahun 1989

dan direvisi tahun 1995.

2. Manfaat praktis : a. Bagi Lansia

(25)

lansia. Dengan demikian dapat menjadi masukan bagi lansia untuk

meningkatkan kesejahteraan psikologisnya.

b. Bagi Keluarga dan Masyarakat pada umumnya

Memberikan informasi bagi keluarga dan masyarakat pada

umumnya dalam rangka berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan

psikologis pada kalangan orang lanjut usia.

c. Pihak-pihak Yang Berkompeten Di bidang Kesejahteraan Lansia

Hasil penelitian ini dapat menjadikan pertimbangan bagi

pihak-pihak yang berkompeten dibidang kesejahteraan lansia seperti panti

wredha, Departemen Sosial, Komnas lansia dsb sebagai pertimbangan

untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan

(26)

A. Kesejahteraan Psikologis Lansia 1. Kesejahteraan Psikologis

a. Definisi

Bradburn (dalam Ryff, 1989b) mengartikan kesejahteraan

psikologis sebagai adanya keseimbangan antara afek positif dan afek

negatif pada diri individu.

Veit & Ware (1983) mengartikan kesejahteraan psikologis

sebagai adanya afek positif umum dan ikatan emosional dengan orang

lain. Afek positif umum adalah perasaan bahagia, puas dan senang

dengan segala sesuatu yang ada pada diri sendiri. Selain itu individu

yang memiliki afek positif umum, memiliki kehidupan sehari-hari

yang menyenangkan/menarik, merasakan ketenangan dan kedamaian

serta keceriaan dan sukacita. Secara umum mereka menikmati apapun

yang sedang dihadapi, rileks dan bebas dari ketegangan, hidup dalam

pengalaman yang indah/menarik, mengharapkan/menantikan hari-hari

yang menyenangkan, bagun tidur dengan segar setelah cukup

beristirahat, serta memiliki harapan-harapan/cita-cita tentang masa

depan.

(27)

Sedang ikatan emosional diartikan sebagai adanya perasaan

dicintai dan diinginkan oleh orang-orang disekitarnya, serta penuh

cinta kasih dalam hubungannya dengan orang lain.

Veit & Ware (1983) mengungkapkan jika individu memiliki

ciri-ciri yang terdapat di dalam afek positif umum dan ikatan emosional

maka individu tersebut dikatakan mengalami kesejahteraan psikologis.

Sementara itu Ryff (1989b) dan Ryff & Keyes (1995)

mengartikan kesejahteraan psikologis sebagai ada dan berfungsinya

sifat-sifat psikologis positif yaitu penerimaan diri, hubungan positif

dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup

serta pertumbuhan pribadi.

Konsep kesejahteraan psikologis dari Ryffmerupakan integrasi

dari tiga perspektif besar yaitu bidang kesehatan mental, psikologi

klinis, dan psikologi perkembangan (Ryff,1989a, 1989b, 1995; Ryff &

Keyes, 1995). Dari kesehatan mental terdiri dari kriteria positif sehat

mental dari Jahoda dan fungsi-fungsi positif pada masa lanjut dari

Birren. Di bidang psikologi klinis terdiri dari konsep aktualisasi diri

(self-actualization) dari Mazlow, pribadi yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person) dari Rogers, kedewasaan (maturity) dari Allport, dan tentang individuasi (individuation) manusia dari Jung. Dari psikologi perkembangan terdiri dari tahap perkembangan

(28)

deskripsi mengenai perubahan kepribadian pada masa dewasa dan tua

dari Neugarten.

Dari tiga perspektif besar tersebut, Ryff mengekstrasikannya

menjadi enam aspek sifat-sifat psikologis positif yaitu, penerimaan

diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan

lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Ada dan berfungsinya enam aspek sifat-sifat psikologis positif

seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,

penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan pribadi ini

oleh Ryff disebut dengan kesejahteraan psikologis.

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan konsep

kesejahteraan psikologis dari Ryff. Hal ini dilakukan karena penelitian

ini bertujuan memperkaya penelitian sebelumnya yang mengkaji

hubungan kepribadian hardiness dan kesejahteraan psikologis, dengan menggunakan konsep kesejahteraan psikologis yang lebih baru dan

mutakhir, yaitu konsep kesejahteraan psikologis dari Ryff.

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara

lain :

1) Usia

Ryff & Keyes (1995) meneliti kesejahteraan psikologi pada

(29)

akhir (lansia). Mereka mengungkapkan bahwa sejalan dengan

bertambahnya usia ada peningkatan aspek penguasaan lingkungan,

aspek hubungan positif terhadap orang lain dan aspek otonomi.

Aspek penguasaan lingkungan dan hubungan positif terhadap

orang lain pada lansia memiliki tingkatan yang paling tinggi dari

dua masa sebelumnya. Sedang aspek otonomi mengalami

peningkatan secara signifikan terutama hanya dari dewasa muda ke

madya dan pada lansia tidak ada perubahan yang signifikan.

Aspek tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami

penurunan sejalan bertambahnya usia. Bila dibandingkan dengan

dua usia sebelumnya, lansia memiliki tingkat aspek tujuan hidup

dan pertumbuhan pribadi yang paling rendah. Sedang untuk aspek

penerimaan diri tidak ada perbedaan pada ketiga kelompok usia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usia berpengaruh

terhadap aspek penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup,

pertumbuhan pribadi dan hubungan positif terhadap orang lain.

Sejalan dengan peningkatan usia, aspek penguasaan lingkungan,

otonomi (terutama dari dewasa muda ke dewasa madya), dan

hubungan positif dengan orang lain meningkat, sedang untuk aspek

tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan.

2) Jenis Kelamin

Wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjalin

(30)

pribadi daripada pria (Ryff ,1989b; Ryff & Keyes,1995). Dengan

demikian dapat diasumsikan bahwa wanita cenderung berpotensi

memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dari pada pria.

3) Status Pernikahan, Kondisi Keuangan dan Kesehatan, dan Tingkat Pendidikan.

Status pernikahan menjadi prediktor terhadap penerimaan diri

dan tujuan hidup (Ryff,1989b). Status sudah menikah menjadi

prediktor yang baik untuk aspek penerimaan diri dan tujuan hidup.

Kondisi keuangan dan kesehatan menjadi prediktor terhadap

penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup

(Ryff,1989b). Kondisi keuangan dan kesehatan yang baik akan

membuat individu memiliki aspek penerimaan diri, penguasaan

lingkungan dan tujuan hidup yang baik. Untuk tingkat pendidikan,

Ryff, Keyes & Shmotkin (2002) mengungkapkan hasil yaitu

tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis.

Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi kesejahteraan

psikologisnya.

Jadi status menikah, kondisi keuangan dan kesehatan yang

baik serta tingkat pendidikan yang tinggi memberi dampak yang

positif terhadap kesejahteraan psikologis individu.

4) Coping

(31)

individu ketika mengalami stress, berdampak pada kesejahteraan psikologisnya. Individu yang cenderung menggunakan problem-focused coping secara signifikan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi, sedangkan individu yang

cenderung menggunakan emotion-focused coping secara signifikan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah.

Problem-focused coping dan emotion-focused coping secara signifikan berhubungan dengan aspek-aspek dari kesejahteraan

psikologis. Penggunaan problem-focused coping meningkatkan aspek penguasaan lingkungan dan tujuan hidup pada individu.

Sedang penggunaan emotion-focused coping menurunkan aspek penguasaan lingkungan dan penerimaan diri pada individu.

5) Kepribadian

Schmutte & Ryff (1997) meneliti korelasi trait kepribadian

Big Five (trait extraversion, neuroticism, conscientiousness, openness to experience dan agreeableness) terhadap kesejahteraan psikologis. Trait neuroticism, extraversion dan conscientiousness

menjadi prediktor yang kuat dan konsisten terhadap aspek-aspek

kesejahteraan psikologis terutama aspek penerimaan diri,

(32)

hubungan positif terhadap orang lain. Selain itu trait neuroticism

menjadi prediktor yang terkuat dari trait lainnya terhadap aspek otonomi.

Dari penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwa

karakteristik kepribadian tertentu akan memberikan pengaruh yang

berbeda terhadap aspek-aspek dalam kesejahteraan psikologis.

6) Budaya

Budaya memberikan pengaruh yang mendasar terhadap

konsepsi diri dan hubungan terhadap orang lain (Ryff,1995).

Budaya yang cenderung individualistik memiliki pengaruh yang

berbeda terhadap konsepsi diri dan hubungan dengan orang lain,

bila dibandingkan dengan budaya yang cenderung kolektivistik.

Budaya individualistik yang mempunyai nilai self-oriented

menunjukkan tingkat otonomi yang tinggi, dan hubungan positif

terhadap orang lain yang rendah. Namun budaya kolektivistik yang

mempunyai nilai others-oriented menunjukkan tingkat otonomi yang lebih rendah dan hubungan positif dengan orang lain yang

lebih tinggi.

Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa perbedaan budaya

membawa dampak yang berbeda pula pada kesejahteraan

(33)

7) Sense of control

Berk (2007) mengungkapkan bahwa Individu yang memiliki

sense of control yang tinggi pada berbagai macam aspek kehidupan dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapinya, memiliki

kesejahteraan psikologis yang tinggi. Adanya sense of control

membuat individu memiliki pandangan yang positif terhadap

permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan memiliki

keyakinan untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan

yang dihadapi tersebut.

8) Dukungan Sosial

Berk (2007) mengungkapkan adanya dukungan sosial yang

diperoleh individu ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam

kehidupan, berdampak positif pada kesejahteraan psikologis

individu. Dukungan sosial memberikan bantuan bagi individu

untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.

c. Aspek-aspekKesejahteraan Psikologis Ryff

Menurut Ryff (1989a,1989b, 1995), Ryff & Keyes (1995),

aspek-aspek kesejahteraan psikologis itu antara lain :

1) Penerimaan diri

Penerimaan diri diartikan terpeliharanya sikap positif

(34)

diri termasuk di dalamnya kualitas yang baik maupun yang buruk

serta memiliki perasaan yang positif terhadap masa lalu.

2) Hubungan yang positif dengan orang lain

Hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai adanya

kemampuan untuk menjalin hubungan yang hangat dan penuh

percaya dengan orang lain. Selain itu memiliki kepedulian akan

kesejahteraan orang lain, mampu memberi empati, afeksi dan

intimitas serta memahami unsur-unsur memberi dan menerima

dalam suatu hubungan dengan orang lain.

3) Otonomi

Otonomi diartikan memiliki kebebasan dalam menentukan

diri sendiri, mampu bertahan dari tekanan sosial untuk dapat

berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, mengatur perilaku

berdasarkan pertimbangan dari dalam diri, serta mengevaluasi diri

dengan standar diri sendiri/pribadi.

4) Penguasaan lingkungan

Penguasaan lingkungan diartikan sebagai terpeliharanya rasa

untuk menguasai dan kemampuan untuk mengatur lingkungan,

mengendalikan aktivitas-aktivitas eksternal yang kompleks,

menggunakan kesempatan-kesempatan yang tersedia secara efektif,

serta kemampuan untuk memilih atau menciptakan situasi yang

(35)

5) Tujuan hidup

Tujuan hidup diartikan sebagai adanya tujuan dalam hidup

dan perasaan hidup yang terarah, perasaan akan bermaknanya masa

lalu maupun masa kini, memegang keyakinan akan berartinya

hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran tertentu yang ingin

dicapai dalam hidup.

6) Pertumbuhan pribadi

Pertumbuhan pribadi diartikan sebagai perasaan akan adanya

perkembangan diri yang berkelanjutan, mampu untuk melihat

dirinya tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman

baru, menyadari potensi diri, melihat peningkatan yang terjadi

dalam perilaku dan dalam diri pribadi setiap saat, serta mampu

untuk senantiasa berubah yang merupakan cerminan dari

bertambahnya pengetahuan/ kemampuan.

2. Lansia a. Definisi

Masa lanjut usia (aging) yang sering disebut dengan lansia adalah masa perkembangan terakhir dalam hidup manusia. Dikatakan

sebagai perkembangan terakhir oleh karena ada sebagian anggapan

bahwa perkembangan manusia berakhir setelah manusia menjadi

(36)

berhenti berkembang sampai ia mati. Boleh saja perkembangan fisik

berhenti sampai masa remaja, tetapi perkembangan psikologis, sosial

dan spiritual tidak akan pernah berhenti. Manusia selalu belajar dari

pengalamannya sejak lahir sampai mendekati akhir hayatnya. Ia akan

selalu belajar dan berubah untuk menyesuaikan diri dengan segala hal

yang dihadapinya.

Oleh Hurlock (1991), masa lanjut usia disebut juga dengan

periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di

mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang

menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat.

Bila seseorang telah beranjak jauh dari periode hidupnya yang

terdahulu biasanya ia sering melihat masa lalunya dengan penuh

penyesalan dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang dan

mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin.

Badan kesehatan dunia (WHO) (dalam Sulistyo, 2003)

menetapkan umur 60 tahun sebagai batas umur menuju ke segmen

lanjut usia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 13

Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, menyebutkan bahwa

seseorang disebut lanjut usia jika orang tersebut telah mencapai usia 60

tahun ke atas. Sementara itu menurut Hurlock (1991), lanjut usia

sebagai tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi

(37)

puluh tahun dan lanjut usia yang mulai pada usia tujuh puluh sampai

akhir kehidupan seseorang.

Dalam penelitian ini batasan lansia yang akan digunakan adalah

batasan berdasarkan UU RI No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia yang menyebutkan bahwa seseorang disebut lanjut usia

jika orang tersebut telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Penggunaan

batasan ini dianggap yang paling sesuai digunakan untuk penelitian

pada lansia di Indonesia.

b. Tugas Perkembangan Lansia

Sama halnya dengan tahap-tahap perkembangan sebelumnya

dalam tahap lanjut usia terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus

diselesaikan individu yang memasuki masa ini. Havighurst (dalam

Hurlock,1991) memaparkan tugas-tugas perkembangan lansia antara

lain menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan

kesehatan, menyesuaikan dengan masa pensiun dan berkurangnya

penghasilan keluarga, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan

hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia,

membentuk pengaturan fisik yang memuaskan, dan menyesuaikan diri

dengan peran sosial secara luwes.

c. Lansia dan Kesehatan Mental

Pada masa lanjut usia terjadi banyak perubahan, baik kondisi

(38)

mengarah pada penurunan kondisi biologis, psikologis maupun sosial

individu.

Perubahan kondisi biologis meliputi penurunan kondisi fisik,

rentan terhadap berbagai penyakit, penurunan kemampuan sensori

motorik, dan penurunan kemampuan seksual dan fungsi reproduksi

yang ditandai dengan fase menopause bagi wanita dan fase climacteric

pada pria (Mappiare dalam Nugraheni, 2005).

Perubahan kondisi psikologis meliputi mudah stress, pikun dan curiga kepada orang lain hal ini disebabkan oleh perubahan hidup yang

dialaminya dan kemunduran fisiknya. Lanjut usia sering mengalami

kesepian, merasa diri terasing dan tidak mempunyai kawan lagi. Hal

tersebut membuat lansia menjadi bosan hidup, putus asa dan memilih

mengakhiri hidupnya. Selain itu pada lansia juga sering mengalami

post power syndrome. Hal tersebut dialami lansia yang baru saja mengalami pensiun, kehilangan kekuasaan, penghasilan dan

kebanggaan (Mappiare dalam Nugraheni, 2005).

Sedang untuk perubahan kondisi sosialnya berupa penurunan

hubungan sosial dan peran-peran sosial. Salah satu teori yang

menjelaskan hal tersebut adalah teori pemisahan (disengagement theory). Teori pemisahan (disengagement theory) menyatakan bahwa orang-orang lanjut usia secara perlahan-lahan menarik diri dari

(39)

sendiri (self preoccupation) (Cumming & Henry, 1961 dalam Santrock, 2002).

Notosoedirjo dan Latipun (2000) mengungkapkan bahwa sejalan

dengan penurunan kondisi biologis, psikologis dan sosial

(biopsikososial) pada lansia, maka problem di bidang kesehatan

mentalnya tidaklah terelakkan. Hanya saja sering terjadi gangguan

yang bersifat terselubung, yaitu tampak sebagai gangguan secara fisik,

tapi sebenarnya yang terjadi adalah gangguan psikis. Dengan demikian

tidaklah mudah untuk mengetahui seberapa besar gangguan mental

pada mereka ini.

Orang lanjut usia termasuk kelompok yang memiliki berbagai

masalah dengan kesehatan mental. Tiga gangguan yang lazimnya

dialami oleh orang-orang dewasa lanjut adalah depresi (khususnya

depresi mayor), kecemasan, dan penyakit Alzheimer (Santrock, 2002).

Depresi mayor adalah suatu gangguan suasana hati (a mood disorders) di mana individu merasa sangat tidak bahagia, kehilangan semangat (demoralized), merasa terhina (self-derogatory), dan bosan. Individu dengan depresi mayor tidak merasa sehat, mudah kehilangan

stamina, memiliki nafsu makan yang kurang, dan lesu serta kurang

gairah.

Gangguan kecemasan (anxiety disorders) adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (gelisah,

(40)

jantung berdebar-debar, atau berkeringat) dan pikiran serta harapan

yang mencemaskan.

Penyakit Alzheimer adalah suatu gangguan otak yang progresif

dan tidak dapat balik, dicirikan dengan kemrosotan secara perlahan

dari ingatan, penalaranan, bahasa, dan tentunnya fungsi fisik.

Darmojo (dalam Kompas, 2002) mengatakan, para lansia

umumnya mengalami kemunduran mental-psikologik. Dalam

penelitiannya tahun 1997 menunjukkan hasil bahwa lansia yang

terjangkit "penyakit lupa" mencapai 50,3 persen, kesepian (20,4), sulit

tidur (21,3), dan depresi (4,2). Itu semua merupakan gejala dini

kelainan mental (demensia) Alzheimer. Dr Rosa Delima (dalam

Kompas, 2002) menyebutkan, penyakit Alzheimer merupakan

penyakit organik yang disebabkan oleh kematian sel. Lebih lanjut

menurut Prof Samino SpS, (dalam Kompas, 2002) sindroma demensia

Alzheimer yang dialami oleh lansia ditandai kemunduran fungsi

kognitif multipel berupa menurunnya kemampuan daya ingat,

intelektualitas, psikis, dan perilaku.

Sehubungan dengan berbagai kondisi mental itu, maka kalangan

lansia perlu memperoleh perhatian khusus dalam penanganan

(41)

3. Kesejahteraan Psikologis Lansia

Kesejahteraan psikologis dari Carol D. Ryff merupakan suatu konsep

yang memandang kesejahteraan psikologis individu dari pemberdayaan

sumber-sumber psikologis dalam diri individu. Kesejahteraan psikologis

pada diri individu ditandai dengan ada dan berfungsinya sifat-sifat

psikologis positif yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang

lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan

pribadi. Dalam penelitian ini kesejahteraan psikologis individu yang akan

dibahas adalah kesejahteraan psikologis pada individu lansia.

Pada masa lanjut usia individu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa

kehidupan yang sulit seperti penurunan kondisi fisik dan kesehatan,

kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya penghasilan keluarga,

dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian

(Sarafino,1994). Adanya peristiwa-peristiwa kehidupan seperti itu,

diasumsikan akan memberi dampak pada ada dan berfungsinya sifat-sifat

psikologis positif yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang

lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan

pribadi pada lansia. Atau dengan kata lain akan mempengaruhi

kesejahteraan psikologisnya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan kesejahteraan psikologis

lansia adalah ada dan berfungsinya sifat-sifat psikologis positif seperti

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan

(42)

B. Kepribadian Hardiness 1. Definisi

Kepribadian hardiness adalah tipe kepribadian yang disusun berdasarkan teori dari para ahli psikologi eksistensial yang menekankan

pada kehidupan yang otentik. Kepribadian hardiness merupakan hasil penggabungan dari teori kompetensi dari White, teori usaha proprium

(propriate striving) dari Allport dan tentang orientasi produktif dari Fromm (Kobasa, 1979).

Kepribadian hardiness adalah berkepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment dan challenge (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi & Kahn, 1982). Kepribadian hardiness merupakan suatu konstelasi kepribadian yang menguntungkan bagi individu untuk dapat menghadapi

tekanan-tekanan hidupnya. Adanya karakteristik control, commitment dan challenge tersebut membuat individu tahan banting terhadap tekanan.

2. Aspek-Aspek Kepribadian Hardiness

Menurut Kobasa (1979) dan Kobasa, Maddi & Kahn (1982), aspek-aspek

kepribadian hardiness yaitu :

a. Control

Control merupakan kecenderungan untuk meyakini bahwa dirinya mampu mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang tidak

(43)

bukan suatu hal yang asing, tidak diharapkan dan berat untuk dihadapi.

Individu yang memiliki control mampu mengubah peristiwa yang dihadapi menjadi sesuatu yang sesuai dengan tujuan, cita-cita, harapan

dalam hidupnya. Dengan demikian peristiwa yang dihadapi tersebut

tidak menjadi sesuatu yang menganggu dan mengancam. Dengan

adanya control, individu memiliki otonomi diri untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan ketika menghadapi tekanan-tekanan

hidup.

b. Commitment

Commitment adalah kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam apapun yang sedang dilakukan atau dihadapi. Individu yang

mempunyai commitment yang kuat mudah tertarik dan terlibat secara tulus ke dalam apapun yang sedang dihadapi atau dikerjakan. Individu

yang memiliki commitment memiliki kesadaran akan tujuan yang akan dicapai, yang menuntunnya untuk mengidentifikasi dan memberi arti

pada setiap peristiwa, segala sesuatu/benda, dan orang lain yang berada

di dalam lingkungannya. Individu yang memiliki commitment mampu merasakan keterlibatannya dengan orang lain. Keterlibatannya dengan

orang lain ini membuatnya mudah membina dukungan sosial yang

berguna bagi dirinya ketika membutuhkan bantuan ketika menghadapi

tekanan-tekanan hidup.

(44)

tidak menghindari tekanan yang dihadapi dan tidak mudah menyerah

ketika menghadapi tekanan tersebut.

c. Challenge

Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam

kehidupan. Perubahan-perubahan hidup yang terjadi merupakan

kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman

terhadap rasa amannya. Adanya challenge dalam diri individu akan menganggap peristiwa yang dihadapi sebagai suatu tantangan,

kesempatan untuk mengembangkan diri dan bukan sesuatu yang

mengancam. Individu yang memiliki challenge dalam dirinya akan berusaha untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan yang

lebih dari yang sebelumnya.

C. Kepribadian Hardiness dan Kesejahteraan Psikologis Lansia

Ryff mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai ada dan berfungsinya

sifat-sifat psikologis positif seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan

orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup serta pertumbuhan

pribadi. Dengan demikian, kesejahteraan psikologis lansia adalah ada dan

berfungsinya enam sifat-sifat psikologis positif tersebut pada para lansia.

Masa lanjut usia merupakan masa yang sulit. Pada masa ini individu

(45)

kondisi fisik dan kesehatan, kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya

penghasilan keluarga, dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian

(Sarafino,1994). Peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit seperti itu, menjadi

tantangan bagi lansia untuk tetap dapat mewujudkan kesejahteraan psikologis

pada dirinya.

Individu yang memiliki sense of control dan dukungan sosial ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan, cenderung mengalami

kesejahteraan psikologis dalam dirinya (Berk, 2007). Dengan demikian, sense of control dan dukungan sosial itu penting bagi individu lansia dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit tersebut, karena akan berdampak positif

pada kesejahteraan psikologisnya.

Berkaitan dengan sense of control dan dukungan sosial, individu yang berkepribadian hardiness ternyata memiliki sense of control pada dirinya dan kecenderungan untuk mencari dukungan sosial (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi &

Kahn, 1982). Kepribadian hardiness adalah kepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment, dan challenge. Control merupakan kecenderungan untuk meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol dan

mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Commitment adalah kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam apapun yang sedang dilakukan atau dihadapi. Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan,

dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman

(46)

Control, commitment dan challenge membuat individu lansia menjadi tahan banting ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit di

masa lansia. Ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa tersebut, individu

yang berkepribadian hardiness melalui control memandang peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit tersebut sebagai sesuatu yang dapat dipengaruhi, sesuatu

yang wajar dan bukan sesuatu yang berat untuk dihadapi. Dengan control,

individu memiliki otonomi diri untuk menentukan tindakan apa yang akan

dilakukan dan bagaimana cara mengatasi peristiwa-peristiwa sulit tersebut. Hal

tersebut membuatnya memiliki aspek otonomi yang baik. Adanya control

membuat individu mampu mengubah peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia

menjadi sesuatu yang sesuai dengan tujuan, cita-cita, harapan dalam hidupnya.

Hal itu membuatnya merasa mampu menguasai apa yang sedang dihadapinya,

tetap mempunyai optimisme dan perasan hidup yang terarah serta merasa masih

berdaya dan berguna dalam hidupnya, dengan demikian aspek penguasaan

lingkungan, tujuan hidup dan penerimaan dirinya akan baik.

Commitment membuat individu lansia memandang peristiwa-peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang menarik, penting, dan berarti baginya. Dengan

demikian ia menjadi aktif dan tidak menghindar dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Selain itu dengan adanya commitment juga membuat individu mudah terlibat dengan orang lain yang pada akhirnya membuat individu lansia mudah membina

dukungan sosial yang berguna bagi dirinya ketika membutuhkan bantuan dalam

mengatasi peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia. Dari dukungan sosial, individu

(47)

dorongan moral emosional yang sangat berguna ketika mengalamai kesulitan

dalam mengatasi peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan demikian membuatnya

mampu mengatasi peristiwa-peristiwa tersebut, sehingga ia merasa mampu

menguasai keadaan (aspek penguasaan lingkungan), merasa dirinya tetap berdaya

dan berguna (aspek penerimaan diri) serta memiliki optimisme dan perasaan

hidup yang terarah dalam dirinya (aspek tujuan hidup). Selain itu, keterlibatannya

dengan orang lain yang berdampak pada kemampuan membina dukungan sosial

tersebut, membuat dirinya memiliki aspek hubungan yang positif dengan orang

lain.

Challenge membuat individu menganggap peristiwa-peristiwa sulit yang dihadapi sebagai suatu tantangan, kesempatan untuk mengembangkan diri dan

bukan sesuatu yang mengancam. Adanya challenge menjadikan individu lansia menggangap masa lanjut usia yang dihadapkan pada peristiwa-peristiwa sulit

sebagai suatu tantangan untuk dapat terus mengembangkan diri, bukan merupakan

suatu akhir dari hidup yang telah dijalani dan berusaha untuk mengembangkan

kemampuan dan ketrampilan yang lebih dari yang sebelumnya. Hal tersebut

membuatnya tetap merasa adanya perkembangan diri yang berkelanjutan (aspek

pertumbuhan pribadi) dan tetap memiliki tujuan hidup yang terarah (aspek tujuan

hidup).

Jadi melalui karakteristik control, commitment dan challenge individu yang berkepribadian hardiness tetap mampu mewujudkan kesejahteraan psikologis, meskipun pada masa lanjut usia individu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa

(48)

lingkungan, tujuan hidup dan penerimaan diri. Adanya commitment dalam menghadapi peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia berdampak positif pada aspek

penguasaan lingkungan, penerimaan diri, tujuan hidup dan hubungan positif

dengan orang lain. Sedang adanya challenge dalam menghadapi peristiwa-peristiwa sulit di masa lansia, berdampak positif pada aspek pertumbuhan pribadi

dan tujuan hidup pada individu.

Berikut ini adalah bagan yang menjelaskan alur hubungan antara

kepribadian hardiness dengan kesejahteraan psikologis pada lansia.

Peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit di masa lansia seperti menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, kehilangan pekerjaan karena pensiun, berkurangnya penghasilan keluarga dan kehilangan pasangan hidup atau teman karena kematian.

Kepribadian Hardiness

Challenge

Otonomi Penguasaan lingkungan

(49)

D. Hipotesis

Hipotesa penelitian yang diajukan peneliti yaitu, ada hubungan positif

(50)

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan dan apabila ada, seberapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan tersebut (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari ada tidaknya hubungan antara kepribadian hardiness

dan kesejahteraan psikologis pada lansia.

B. Identifikasi Variabel

Identifikasi variabel sebagai berikut ;

1. Variabel bebas : Kepribadian Hardiness. 2. Variabel tergantung : Kesejahteraan Psikologis.

C. Definisi Operasional 1. Kepribadian Hardiness

Kepribadian hardiness adalah berkepribadian yang memiliki karakteristik control, commitment dan challenge (Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi & Kahn, 1982). Ketiga karakteristik ini disebut juga sebagai aspek-aspek kepribadian hardiness. Control merupakan kecenderungan untuk

(51)

meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol dan mempengaruhi bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Commitment

adalah kecenderungan untuk melibatkan diri ke dalam apapun yang sedang dilakukan atau dihadapi. Challenge adalah kecenderungan untuk meyakini bahwa perubahan-perubahan hidup adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan, dan merupakan kesempatan untuk mengembangkan diri bukan sebagai ancaman terhadap rasa amannya.

Kepribadian hardiness akan diukur dengan menggunakan skala kepribadian hardiness. Skor total pada skala menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kepribadian hardiness pada subyek. Semakin tinggi skor total yang diperoleh semakin tinggi tingkat kepribadian hardinessnya, dan begitu sebaliknya.

2. Kesejahteraan Psikologis

(52)

Kesejahteraan psikologis akan diukur dengan menggunakan skala kesejahteraan psikologis. Skor total pada skala menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan psikologis pada subyek. Semakin tinggi skor total yang diperoleh semakin tinggi tingkat kesejahteraan psikologisnya, dan begitu sebaliknya.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah lansia. Metode sampling yang digunakan adalah metode purposive sampling. Dalam metode ini, pemilihan subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004). Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, ciri-ciri lansia adalah individu yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Selain itu sampel lansia yang akan diambil adalah lansia yang masih sehat dan dapat berkomunikasi dengan baik.

(53)

E. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala pengukuran. Skala ukur yang digunakan dalam penelitian ini adakah skala kepribadian hardiness dan skala kesejahteraan psikologis.

1. Skala Kepribadian Hardiness

Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kepribadian hardiness

yang dimiliki oleh subyek. Skala ini disusun peneliti berdasarkan teori kepribadian hardiness dari Kobasa, 1979; Kobasa, Maddi & Kahn, 1982. Aitem skala kepribadian hardiness ini disusun berdasarkan tiga aspek yaitu control, commitment, dan challenge.

a. Penyusunan aitem

Berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas maka disusunlah skala kepribadian hardiness yang terdiri dari aitem-aitem favorable dan aitem unfavorable. Metode yang digunakan dalam penyusunan skala kepribadian hardiness adalah model skala Likert. Setiap butir aitem memberikan empat kemungkinan jawaban yang bergerak dari “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, hingga “Sangat tidak setuju”.

b. Pemberian Skor

Untuk aitem-aitem yang favorable, jawaban “Sangat setuju “ akan diberi skor 4, demikian seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat tidak setuju”. Sedangkan aitem-aitem yang

(54)

total yang diperoleh dari skala kepribadian hardiness tersebut menunjukkan tingkat kepribadian hardiness yang dimiliki subyek.

Tabel 1

Blue print Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness Sebelum Uji Coba

Komponen aitem dan nomor aitem

Aspek

Favorable Unfavorable Jumlah

1. Control 3, 6, 18, 22, 24 10, 16, 19, 29, 30 10

2. Commitment 1, 7, 9, 11, 28, 21 4, 13, 14, 17, 23, 32 12

3. Challenge 2, 8, 20, 26, 27 5, 12, 15, 25, 31 10

Total 16 16 32

2. Skala Kesejahteraan Psikologis

Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh subyek. Skala ini disusun peneliti berdasarkan teori kesejahteraan psikologis dari Ryff (1989a,1989b, 1995), Ryff & Keyes (1995). Aitem skala kesejahteraan psikologis ini disusun berdasarkan enam aspek yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

a. Penyusunan aitem

(55)

memberikan empat kemungkinan jawaban yang bergerak dari “Sangat setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju”, hingga “Sangat tidak setuju”.

b. Pemberian Skor

Untuk aitem-aitem yang favorable, jawaban “Sangat setuju “ akan diberi skor 4, demikian seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat tidak setuju”. Sedangkan aitem-aitem yang

unfavorable, jawaban “Sangat tidak setuju” diberi skor 4 dan seterusnya sampai dengan skor 1 untuk jawaban “Sangat setuju”. Skor total yang diperoleh dari skala kesejahteraan psikologis tersebut menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologisyang dimiliki subyek.

Tabel 2

Blue print Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan PsikologisSebelum Uji Coba

Komponen aitem dan nomor aitem

No Aspek

Favorable Unfavorable Juml

ah 1. Penerimaan diri 2, 13, 18 6, 25, 44 6

2. Hubungan positif

dengan orang lain 1, 14, 24, 26 12, 19, 31, 36 8

3. Otonomi 3, 15, 40, 45 11, 20, 37, 46 8

4. Penguasaan

lingkungan 4, 16, 23, 41 10, 27, 32, 35 8

5. Tujuan hidup 5, 28, 39, 42 9, 21, 33, 47 8

6 Pertumbuhan

pribadi 7, 17, 29, 34, 43 8, 22, 30, 38, 48 10

(56)

F. Pengujian Alat Ukur Penelitian 1. Uji Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2007).

Dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian validitas pada skala kepribadian hardiness dan skala kesejahteraan psikologis, untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan kedua skala ukur tersebut dalam melakukan fungsi ukurnya.

Pengujian validitas kedua alat ukur ini dilakukan dengan metode validitas isi. Validitas isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi skala dengan analisis rasional / professional judgement

(Azwar, 2007). Dalam penelitian ini validitas isi diperoleh dengan cara mengkonsultasikan aitem yang telah disusun kepada dosen pembimbing dengan tujuan apakah aitem-aitem yang telah disusun telah mencakup isi objek yang hendak diukur.

2. Uji Coba Alat Ukur

(57)

ukur. Uji coba dilaksanakan pada bulan Agustus 2007. Subyek uji coba adalah individu yang memiliki ciri sama dengan ciri subyek untuk data penelitian, yaitu individu lansia (berusia 60 tahun keatas). Subyek uji coba berjumlah 52 orang. Limapuluh dua subyek ini terdiri dari 4 penghuni Panti Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem Sleman, 15 warga Pakembinangun Pakem Sleman, 16 anggota PEPABRI anak ranting dua Ketandan Klaten, 9 anggota Worokawuri (Janda-janda Purnawirawan) ranting kota Klaten dan 8 anggota kelompok doa Lingkungan St. Valentinus Karangduwet Klaten.

3. Seleksi Aitem Alat Ukur a. Prosedur Seleksi Aitem

Kualitas skala pengukuran psikologis sangat ditentukan oleh kualitas aitem-aitem yang ada di dalamnya. Untuk itu perlu dilakukan seleksi terhadap aitem-aitem skala yang telah dibuat. Seleksi aitem pada skala yang akan digunakan dalam penelitian ini memakai parameter daya beda aitem. Daya beda aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2006).

(58)

Product Moment Pearson, karena setiap aitem diberi skor pada level interval. Perhitungannya akan menggunakan corrected item-total correlation melalui sub menu scale pada pilihan Reliability Analysis Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Window version 12.0.

Adapun kriteria aitem yang dinyatakan dapat diterima jika koefisien korelasinya positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,30 (rix ≥ 0,30) (Azwar, 2006). Apabila aitem yang memiliki koefisien korelasinya sama dengan atau lebih besar dari 0,30 jumlahnya melebihi jumlah aitem yang direncanakan untuk dijadikan skala, maka dipilih aitem-atem yang memiliki koefisien korelasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah aitem yang lolos ternyata tidak mencukupi maka dapat menurunkan sedikit batas kriteria menjadi sama dengan atau lebih besar dari 0,25 (rix ≥ 0, 25). Selain itu seleksi aitem yang dilakukan juga akan mempertimbangkan bobot tiap-tiap aspeknya. Karena tidak ada dasar teori atau hasil analisis faktor yang menjelaskan aspek mana yang lebih signifikan dari aspek yang lainnya, maka bobot aspek dalam kedua skala final akan dibuat sama.

b. Hasil Seleksi Aitem

1) Skala Kepribadian Hardiness

Koefisien korelasi aitem-total (rix) 32 aitem skala hardiness

(59)

rix ≥ 0,30. Aitem-aitem yang gugur (< 0,30) adalah aitem 2, 3, 12,

20, 23, 27, 28, 29 , 30 dan 31. Namun dengan mempertimbangkan kesaman bobot per aspek untuk skala final, maka aitem 2 dan 12 yang merupakan aitem aspek challenge tidak digugurkan. Selain itu diambil tiga aitem lagi dari aspek commitment untuk digugurkan, yaitu aitem 1, 7, 21. Jadi dari 32 aitem, terdapat 11 aitem yang digugurkan, yaitu aitem 1, 3, 7, 20, 21, 23, 27, 28, 29, 30, 31. Koefisien korelasi aitem-total (rix)21 aitem skala hardiness

yang lolos seleksi berkisar dari 0,276 sampai dengan 0,739.

Tabel 3

Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness Setelah Uji Coba

Komponen aitem dan nomor aitem

Aspek

Favorable Unfavorable Jumlah

1. Control 6, 18, 22, 24 10, 16, 19 7

2. Commitment 9, 11 4, 13, 14, 17,32 7

3. Challenge 2, 8, 26, 5, 12, 15, 25 7

Total 9 12 21

2) Skala Kesejahteraan Psikologis

(60)

maka aitem 18 yang merupakan aitem aspek penerimaan diri tidak digugurkan. Selain itu diambil lima aitem lagi, yaitu 2 dari aspek otonomi (aitem 11, 15), 2 dari aspek pertumbuhan pribadi (aitem 7, 22) dan 1 dari aspek penguasaan lingkungan (aitem 27) untuk digugurkan. Jadi dari 48 aitem, terdapat 12 aitem yang digugurkan, yaitu aitem 4, 5, 7, 11, 14, 15, 17, 22, 24, 27, 39, dan 48. Koefisien korelasi aitem-total (rix) 36 aitem skala kesejahteraan psikologis

yang lolos seleksi berkisar dari 0,294 – 0,759.

Tabel 4

Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba

Komponen aitem dan nomor aitem

No Aspek

Favorable Unfavorable Jumlah 1. Penerimaan diri 2, 13, 18 6, 25, 44 6

2. Hubungan positif

dengan orang lain 1, 26 12, 19, 31, 36 6

3. Otonomi 3, 40, 45 20, 37, 46 6

4. Penguasaan

lingkungan 16, 23, 41 10, 32, 35 6

5. Tujuan hidup 28, 42 9, 21, 33, 47 6

6 Pertumbuhan

pribadi 29, 34, 43 8, 30, 38 6

(61)

4. Uji Reliabilitas

a. Prosedur Pengujian

Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kesetabilan, konsistensi dan sebagainnya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapar dipercaya (Azwar, 2007).

Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada pada rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas yang diperoleh semakin tinggi reliabilitasnya, dan begitu sebaliknya (Azwar, 2007).

Pengujian reliabilitas pada kedua alat ukur ini akan menggunakan pendekatan konsistensi internal. Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subyek (single trial administration) (Azwar, 2007). Teknik uji reliabilitas yang digunakan adalah teknik koefisien reliabilitas alpha dari Cronbach (Azwar, 2007). Dalam perhitungannya akan menggunakan Model Alpha Reliability Analysis

(62)

b. Hasil Pengujian Reliabilitas 1) Skala Kepribadian Hardiness

Koefisien reliabilitas (rxx’) (alpha dari Cronbach) 32 aitem

hardiness sebesar 0,872. Kemudian setelah seleksi aitem jumlah aitem skala menjadi 21 aitem dan koefisien reliabilitas (rxx’)

menjadi 0,893. Menurut Budi (2006), koefisien reliabilitas sebesar 0,893 ini menunjukkan tingkat reliabilitas yang sangat reliabel. Dengan demikian 21 aitem skala kepribadian hardiness ini dapat dipercaya dan diandalkan untuk mengukur kepribadian hardiness,

serta apabila dilakukan pengukuran ulang pada subyek yang sama diasumsikan hasilnya akan konsisten.

2) Skala Kesejahteraan Psikologis

Koefisien reliabilitas (rxx’) (alpha dari Cronbach) 48 aitem skala

kesejahteraan psikologis sebesar 0,934. Kemudian setelah seleksi aitem jumlah aitem skala kesejahteraan psikologis menjadi 36 aitem dan koefisien reliabilitas (rxx’) sebesar 0,934. Menurut Budi

(63)

G. Tehnik Analisis Data

Tehnik analisis data dengan menggunakan Analisis Korelasi Product Moment

(64)

A. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta surat ijin penelitian pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Pada tanggal 16 Juli 2007, oleh Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dikeluarkan surat ijin penelitian dengan No. : 72a. / D / KP / Psi / USD / VII / 2007. Dengan dikeluarkannya surat ijin penelitian tersebut, peneliti melakukan perijinan di tiga tempat penelitian, yaitu Panti Sosial Tresna Wredha (PTSW) Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta, PEPABRI (Purnawirawan TNI/Polri dan janda purnawirawan) anak ranting dua Ketandan Klaten dan Komunitas Pensiunan St. Antonius Kota Baru Yogyakarta. Sebelum melakukan ijin secara formal, peneliti secara informal mendatangi ketiga tempat tersebut untuk memberitahukan maksud dan keperluan peneliti untuk melakukan penelitian serta menanyakan kesediaan dijadikan tempat penelitian dan prosedur perijinannya.

Perijinan di PTSW Abiyoso secara formal dilakukan pada tanggal 23 Juli 2007 dengan membawa surat ijin dari fakultas dan surat ijin penelitian dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDDA) Sleman yang dikeluarkan tanggal 18 Juli 2007, No : 07.0 / Bappeda / 1265 /2007. Perijinan di PEPABRI anak ranting dua Ketandan Klaten secara formal dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2007. Peneliti bertemu langsung dengan Bapak Kapt Purn Suparjo selaku ketua dan menyerahkan surat ijin penelitian dari fakultas. Perijinan di Komunitas

Gambar

Tabel 1.   Blueprint Sebaran Aitem Skala Kepribadian Hardiness
Gambar 1.  Alur Hubungan Antara Kepribadian Hardiness dan Kesejahteraan Psikologis pada Lansia
Tabel 4 Sebaran Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji
Tabel 6 Deskripsi Data Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data laporan keuangan dan data pasar modal perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI sejak

Karena terdapat variabel pendapatan yang memiliki korelasi negatif dengan pengeluaran pemerintah, dengan nilai yang signifikan; (3) Terdapatnya fenomena ilusi fiskal

Bila kita klik pada tulisan file tersebut maka akan keluar menu seperti berikut: New Windows, adalah perintah untuk menampilkan layar baru.. Layar lama akan dihapus (ditimpa) dan

Pengujian pengoperasian sistem simulasi UPM memanfaatkan teknologi GPS pada smartphone untuk jalan berbayar telah berjalan dengan baik seperti dapat dilihat pada

Dimensi kemampuan siswa (Aunurrahman, 2010:14) yang perlu didorong dalam upaya pemberdayaan diri melalui proses belajar adalah:4. Mengetahui kekuatan dan keterbatasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat tingkat ekonomi dengan angka kejadian TB paru BTA positif.. Persamaan penelitian tersebut

Salah satu cara untuk menentukan ukuran dan jumlah plot sampel adalah dengan menggunakan Area kurve spesies, yang pada prinsipnya mengikuti prosedur sbb:..

Berdasarkan pada cukup tingginya tingkat kejadian dari pasien stroke hemoragik yang mengalami infeksi dan tingginya resiko kematian dari stroke hemoragik dengan