• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Perilaku

Perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan praktek. Perilaku manusia dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek yaitu: aspek fisik, aspek psikis dan aspek sosial. Secara terinci merupakan bagian refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti: pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat (Notoadmodjo, 2003).

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt bahavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukanfaktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Selain itu diperlukan pula faktor dukungan (support) dari pihak lain (Niti Soemito, 1996).

Tingkatan dalam perilaku yaitu : a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan perilaku tingkat pertama.

b. Respon Terpimpin (Guided Respon)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator perilaku tingkat dua.

(2)

c. Mekanisme (Mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai perilaku tingkat tiga.

d. Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu perilaku atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikan sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan menabsorbsi tindakan atau kegiatan responden. Menurut Gibson (1987), bertahun tahun membangun teori dan penelitian, disepakati bahwa : (1) perilaku adalah akibat, (2) perilaku diarahkan oleh tujuan, (3) perilaku yang bisa diamati dapat diukur, (4) perilaku yang tidak dapat secara langsung diamati (misalnya berpikir dan mengawasi) juga penting dalam mencapai tujuan, (5) perilaku dimotivasi atau didorong.

Sementara yang dimaksud dengan perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang mencakup teori, metode dan prinsip-prinsip dari berbagai disiplin ilmu guna mempelajari persepsi individu, nilai-nilai, kapasitas pembelajaran individu dan tindakan-tindakan saat bekerja dalam kelompok dan di dalam organisasi secara

(3)

keseluruhan. Perilaku ini bertujuan untuk menganalisa akibat lingkungan eksternal terhadap organisasi dan sumber dayanya, misi, sasaran dan strategi (Gibson, 1987).

Teori Green (1991) menyebutkan ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu maupun kelompok, yaitu :

a. Faktor Penentu (predisposing factors), yaitu meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan persepsi seseorang yang menjadi dasar motivasi individu atau kelompok untuk bertindak. Dengan meningkatnya pengetahuan seseorang tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku. Pengetahuan terhadap program kesehatan kerja mungkin diperlukan sebelum dilakukan praktek kesehatan kerja. Praktek kesehatan kerja yang diinginkan belum tentu terwujud kecuali seseorang menerima petunjuk cukup kuat dari yang memotivasi untuk bertindak atas dasar pengetahuan kesehatan kerja yang dimiliki.

b. Faktor pendukung (enabling factors), meliputi keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk menunjang perilaku. Sumber daya tersebut dapat meliputi tersedianya fasilitas kesehatan, petugas kesehatan, tersedianya sarana dan prasarana untuk menujang keberhasilan program.

c. Faktor pendorong (reinforcing factors), yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan adanya sikap dan perilaku yang lain.

Menurut Bloom (1978) dalam Notoatmodjo (2003) disebutkan bahwa, perilaku seseorang terdiri dari 3 (tiga) bagian penting yaitu : 1) kognitif, 2) afektif dan 3)

(4)

psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif diukur dari sikap atau tanggapan dan psikomotori diukur melalui praktek yang dilakukan.

Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu. Faktor dari dalam individu mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi, dan motivasi yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Faktor dari luar individu meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, interaksi manusia, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya.

2.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah manusia melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadimelalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba namun sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Soekamto, 1997); (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan dapat diperoleh dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan yang Diperoleh. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan mengadopsi informasi yang didapat.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (over behavior). Adanya perubahan perilaku baru pada seseorang merupakan suatu proses yang komplek dan memerlukan waktu relatif lama dimana tahapan yang pertama adalah pengetahuan. Sebelum seseorang

(5)

mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain.

Kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktek dan latihan.

Pengetahuan terdiri dari fakta, konsep generalisasi dan teori yang memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah. Menurut Gibson (1987), ada 4 (empat) cara memperoleh pengetahuan yaitu: 1) melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan satu dengan yang lain; 2) mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang; 3) penalaran deduktif; 4) pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi terhadap hal-hal khusus atau fakta yang kongkrit (induktif).

Menurut Purwanto (1987), berpikir merupakan suatu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan terarah kepada suatu tujuan, atau berpikir dianggap sebagai suatu proses kognitif yaitu aktivitas internal untuk memperoleh pengetahuan. Disebutkan bahwa perilaku seseorang terdiri tiga bagian penting yaitu : 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Perilaku seseorang yang terukur dari pengetahuan, sikap dan praktek dapat dijelaskan yaitu bahwa pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber,

(6)

misalnya: media masa, media elektronik, buku petunjuk petugas kesehatan, media cetak, kerabat terdekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.

Tingkat pengetahuan manusia adalah suatu keadaan yang merupakan hasil dari pusat sistem pendidikan yang akan mendapatkan pengalaman dimana kelak akan memberikan tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu (Purwanto, 1987).

Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang. Pengetahuan tersebut mempunyai 6 (enam) tingkatan sebagai berikut :

1) Know (Tahu)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk di dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu obyek yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah di terima. Oleh sebab itu ”tahu” adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2) Comprenhension (Memahami)

Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang telah di ketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

3) Application (Aplikasi)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.

(7)

Aplikasi yang dimaksud sebagai aplikasi penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip.

4) Analysis (Analisis)

Analisis dimaksudkan adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Syntesis ( Sintesis )

Sintesis diarahkan kepada kemampuan menghubungkan bagian ke dalam bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis merupakan kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada.

6) Evaluation (Evaluasi)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi (penilaian) terhadap suatu materi atau obyek di mana penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada.

Rogers dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru di dalam diri, seseorang tersebut terjadi proses diantaranya:

a. Awareness atau kesadaran, yaitu dimana seseorang sebelumnya sudah mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus.

b. Interest atau merasa tertarik, yaitu ada perasaan tertarik terhadap stimulus (obyek) di sini sikap subyek sudah mulai muncul

(8)

c. Evaluation atau menimbang sesuatu terhadap baik dan tidaknya stimulus pada dirinya, ini berarti sikap responden sudah lebih baik

d. Trial dimana subyek sudah mulai melakukan sesuatu sesuai apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption di mana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus

2.1.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup tidak dapat dilihat secara langsung sehingga sikap hanya bisa ditafsirkan dari perilaku yang nampak. Pengertian lain sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu serta merupakan respon evaluatif terhadap pengalaman kognitif, reaksi afeksi, kehendak dan perilaku berikutnya. Sikap merupakan respon evaluatif berdasarkan pada proses evaluasi diri disimpulkan berupa penilaian positif atau negatif kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap obyek (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Gibson (1987), sikap adalah determinan perilaku, sebab sikap berkaitan dengan kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman yang diberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek-obyek, dan keadaan. Definisi sikap mempunyai implikasi tetentu pada seseorang yaitu: (1) sikap dapat dipelajari, (2) sikap mendefinisikan predisposisi terhadap aspek-aspek yang diberikan, (3) sikap memberikan dasar perasaan bagi

(9)

hubungan antar pribadi dan identifikasi dengan yang lain, (4) sikap diatur dan dekat dengan inti kepribadian.

Sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon secara positif atau negatif terhadap orang, obyek atau situasi tertentu. Sikap mengandung sesuatu penilaian emosional / afektif, kognitif dan perilaku (Gibson, 1987).

Notoatmodjo (2003) membagi sikap dalam 4 (empat) tingkatan yaitu :

1) Menerima (Receiving), diartikan sebagai manusia (subyek) mau memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2) Merespon (responding), artinya memberikan suatu tanggapan apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan bahwa menunjukan suatu sikap terhadap ide yang diterima. Karena dengan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan program yang diberikan. terlepas dari benar dan salah, berarti manusia menerima ide tersebut.

3) Menghargai (valuing), mengandung arti mengajak orang lain untuk ikut mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah dengan mengukur kemampuan. 4) Bertanggung jawab (responsible), bersedia bertanggung jawab atas sesuatu yang

sudah dipilih dengan segala resikonya.

Manusia tidak dilahirkan dengan sikap pandangan atau perasaan tertentu, tetapi sikap tadi dibentuk sepanjang perkembangannya. Adanya sikap akan menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap obyek tertentu. Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi seseorang dalam memberikan reaksi sesuai dengan rangsangan yang ditemuinya.

(10)

Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa sikap diartikan sebagai suatu kontrak untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktifitas. Sedangkan sikap seseorang adalah keadaan mudah terpengaruh (predisposisi) untuk memberikan tanggapan terhadap rangsangan lingkungan yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut. Secara definitif sikap berarti suatu keadaan mental dan keadaan berpikir (neutral) yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasi melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada perilaku.

Azwar dalam Notoadmodjo (2003) membagi sikap menjadi 3 (tiga) komponen yaitu : a) keyakinan ide dan konsep terhadap suatu obyek, b) kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek, dan c) kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Di dalam penentuan sikap yang utuh pengetahuan, berpikir, berkeyakinan dan emosi memegang peranan sangat penting. Komponen afektif diukur dari sikap atau tanggapan, emosi atau perasaan, sedangkan psikomotor cenderung untuk bertindak (praktek) yang dilakukan.

Sikap dapat bersumber dari lingkungan (orang tua, guru, rekan) dengan tidak mengabaikan faktor genetik sebagai faktor predisposisi. Proses pembentukan sikap berlangsung secara bertahap, kemampuan untuk bersikap diperoleh melaui proses belajar. Perubahan sikap bisa berupa penambahan, pengalihan atau modifikasi dari satu atau lebih dari ketiga komponen sikap dengan kemungkinan satu atau dua komponen sikap berubah tapi komponen yang lain tetap (Muches, 1997).

(11)

Nilai (value) menyatakan keyakinan dasar yang mengandung unsur pertimbangan seseorang individu mengenai apa yang benar, baik, atau yang diinginkan. Sumber nilai dari faktor genetik dan faktor lingkungan yang didapat dari pendidikan sewaktu masa anak - anak. Nilai relatif lebih stabil dan tahan lama sehingga sulit untuk diubah bila suatu tertanam sejak lama. Berbeda dengan nilai, sikap kurang stabil sehingga lebih mudah diubah atau dipengaruhi, walaupun pada kenyataannya sikap juga tidak semudah itu cepat berubah (Muches, 1997).

Faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah: pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu seseorang (Azwar, 1988).

Menurut Gibson (1987), bahwa sikap dapat menentukan afeksi, kognisi dan perilaku, yaitu :

1) Afeksi, emosi atau perasaan adalah segmen emosional dari sebuah sikap, komponen dari sikap dipelajari dari orang tua, guru, anggota kelompok sebaya. Komponen afektif dapat diukur dengan menggunakan kuesioner yang digunakan untuk mensurvey sikap, melalui pita rekaman, ketika pita rekaman dimainkan, respon emosi dapat diukur dengan reaksi setuju atau tidak setuju, mendukung atau tidak mendukung dari pernyataan yang ada dipita rekaman, reaksi emosional akan nampak dengan melihat perbedaan pernyataan yang bertentangan.

2) Kognisi, komponen kognisi dari sebuah sikap terdiri dari persepsi, pendapat dan kepercayaan seseorang. Ini mengacu kepada proses berpikir, dengan penekanan

(12)

khusus pada rasionalitas dan logika. Elemen penting dari kognisi adalah kepercayaan yang bersifat penilaian yang dilakukan seseorang. Kepercayaan evaluatif dimanifestasikan sebagai kesan yang baik atau tidak baik yang dilakukan seseorang terhadap obyek.

3) Perilaku, komponen perilaku dari sebuah sikap mengacu kepada kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau sesuatu dengan cara tertentu, misalnya : ramah, hangat, agresif atau apatis. Beberapa tindakan dapat diukur atau dinilai untuk memeriksa komponen perilaku dari sikap. Teori komponen afektif (emosional), kognitif (pemikiran) dan perilaku sebagai determinan sikap dan perubahan sikap mempunyai implikasi yang nyata.

2.1.3 Praktek

Menurut theory of Reasoned Action, praktekdipengaruhi kehendak sedangkan kehendak dipengaruhi oleh sikap dan norma obyektif. Sikap sendiri dipengaruhi keyakinan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan serta motivasi mentaati pendapat tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Praktek individu terhadap suatu obyek dapat dipengaruhi oleh persepsi seseorang tentang kegawatan obyek, kerentanan, faktor sosiopsikologi, faktor sosio demografi, pengaruh media massa, anjuran lain serta perhitungan untung rugi dari prakteknya tersebut. Praktek dapat dibentuk oleh pengalaman interaksi individu dengan lingkungan, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap suatu obyek. Penelitian dari De Werdt mengatakan bahwa ada pengaruh yang kuat dari tingkat pengetahuan terhadap praktek (Notoatmodjo, 2003).

(13)

Pengaruh pengetahuan terhadap praktek dapat bersifat langsung maupun melalui perantara sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk praktek (over behavior). Untuk terwujudnya sikap agar terjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yangmemungkinkan (Notoatmodjo, 2003).

Keikutsertaan seseorang di dalam aktifitas sangat erat hubungannya dengan pengetahuan, sikap, praktek pelakunya. Pengetahuan terhadapmanfaat suatu kegiatan akan menyebabkan orang mempunyai sikap yang positif terhadap sesuatu hal. Selanjutnya sikap yang positif ini akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Puskesmas

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Depkes RI, 2004).

Visi pembangunan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2004).

(14)

Indikator kecamatan sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama yakni lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu serta, derajat kesehatan penduduk kecamatan (Depkes RI, 2004).

Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah (Depkes RI, 2004) :

a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

b. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.

c. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

d. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2004).

Ada 3 (tiga) fungsi puskesmas yaitu :

a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan b. Pusat pemberdayaan masyarakat

(15)

Program Puskesmas merupakan wujud dari pelaksanaan ke tiga fungsi Puskesmas di atas, program tersebut dikelompokan menjadi (Depkes RI, 2004):

a. Upaya Kesehatan Dasar

Upaya kesehatan wajib puskesmas yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan sebagian besar masyarakat serta mernpunyai daya ungkit yang tinggi dalam mengatasi permasalahan kesehatan nasional dan intemasional yang berkaitan dengan kesakitan, kecacatan dan kematian. Upaya kesehatan dasar tersebut adalah: 1) upaya promosi kesehatan, 2) upaya kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit menular, 3) upaya kesehatan ibu dan anak termasuk kb, 4) upaya perbaikan gizi, dan 5) upaya pengobatan.

b. Upaya Kesehatan Pengembangan

Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan yang ditemukan di masyarakat serta disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan di pilih dari daftar upaya kesehatan pokok di puskesmas yang telah ada. Yang termasuk upaya kesehatan pengembangan, yaitu : 1) upaya kesehatan sekolah, 2) upaya kesehatan olah raga, 3) upaya kesehatan kerja, 4) upaya perawatan kesehatan masyarakat, 5) upayakesehatan gigi dan mulut, dan 6) upaya kesehatan jiwa.

(16)

UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan khususnya bab XII kesehatan kerja pada pasal 164-166, secara tegas menyatakan tentang tujuan, sasaran, peran dan tanggung jawab pemerintah, kewajiban dan tanggung jawab pengelola tempat kerja, pengusaha dan kewajiban pekerja dalam upaya kesehatan kerja. Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan dalam rangka mewujudkan produktifitas kerja yang optimal. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah wajib membina dan melaksanakan upaya kesehatan kerja dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat khususnya masyarakat pekerja

Upaya Kesehatan Kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan pemenuhan persyaratan kesehatan kerja. Upaya kesehatan kerja pada hakikatnya merupakan penyerasian kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja, dengan keserasian diantara ketiganya diharapkan kinerja akan meningkat. Kinerja akan terwujud dalam bentuk antara lain peningkatan produktivitas, peningkatan kreatifitas, atau penghematan waktu kerja.

2.3.1. Kapasitas Kerja

Kapasitas kerja adalah kemampuan fisik dan mental seseorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan beban tertantu secara optimal, diman kapasitas kerja terutama dipenuhi oleh kesehatan umum dan status gizi pekerja, pelatihan dan pendidikan. Tingkat kesehatan dan kemampuan pekerja merupakan modal awal seseorang untuk melaksanakan pekerjaan.

(17)

Beban kerja meliputi kerja fisik dan mental yang dirasakan oleh pekerja dalam melakukan pekerjaan. Kemampuan fisik yang lemah atau beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan pekerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan, hal ini juga berpengaruh pada prilaku dan hasil kerjanya.

Yang dimaksud lingkungan kerja adalah lingkungan tempat melakukan pekerjaan, meliputi bangunan, peralatan, bahan, orang/pekerja lain dan sebagainya. Apabila faktor lingkungan kerja diabaikan maka dapat mejadi beban tambahan bagi pekerja yang terlibat di dalamnya. Sehingga faktor kesehatan dan kenyamanan lingkungan kerja perlu mendapat perhatian, baik terhadap bahaya potensial, masalah ergonomi, alat pelindung diri maupun hubungan psikososial pekerja yang terlibat di dalamnya.

UU Kesehatan tahun 2009 menentukan 3 kewajiban pengelola tempat kerja, yaitu :

1) Mentaati standar kesehatan kerja yang ditetapkan oleh Pemerintah dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta

2) Bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3) Melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan bagi tenaga kerja.

Pekerja diwajibkan oleh Undang-Undang Kesehatan untuk menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan mentaati peraturan yang berlaku di tempat kerja. Undang-Undang Kesehatan juga menentukan bahwa hasil pemeriksaan

(18)

kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/ instansi yang bersangkutan.

Ketentuan ini dimaksudkan sebagai langkah preventif dalam pemilihan calon pegawai untuk memperoleh pegawai/ pekerja yang memenuhi standar kesehatan yang ditentukan, sehingga produktifitas pekerja optimal (Jamsosindonesia, 2012).

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juga mengatur ikhwal kesehatan kerja dalam satu paragraf dengan keselamatan kerja. Pengaturan dalam Pasal 86 dan 87 UU Ketenagakerjaan sangat rumit. Dalam pasal tersebut antara lain ditentukan sebagai berikut:

1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja;

2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

3) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

2.4. Manajemen Upaya Kesehatan Kerja

Upaya kesehatan kerja (UKK) ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan dalam rangka mewujudkan produktifitas kerja yang optimal.

(19)

Pemerintah wajib membina dan melaksanakan upaya kesehatan kerja dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat khususnya masyarakat pekerja (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Bab XII pasal 164 - 166).

Ruang lingkup upaya kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan lingkungan kerjanya baik secara fisik maupun psikis.

Proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk :

a) Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja di semua lapangan pekerjaan yang setinggi-tingginya baik secara fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya.

b) Mencegah gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh keadaan/kondisi lingkungan kerja.

c) Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam melakukan pekerjaanya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.

d) Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjaan.

Secara umum tujuan dari Upaya Kesehatan Kerja (UKK) adalah untuk meningkatkan kemampuan pekerja untuk menolong dirinya sendiri sehingga terjadi peningkatan status kesehatan dan peningkatan produktifitas kerja melalui upaya kesehatan kerja. Sedangkan tujuan khusus dari Upaya Kesehatan Kerja (UKK) adalah:

(20)

a) Peningkatan kemampuan masyarakat pekerja dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit akibat kerja, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

b) Peningkatan keselamatan kerja dengan mencegah pemajanan bahan bahan yang dapat membahayakan lingkungan kerja dan masyarakat serta penerapan prinsip-prinsip ergonomi.

c) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja informal dan keluarganya yang belum terjangkau pelayanan kesehatan kerja (underserverd).

d) Meningkatkan kemitraan melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan LSM dalam upaya kesehatan kerja.

Para pekerja dalam melakukan pekerjaannya seringkali dihadapkan dengan pajanan yang bisa membahayaan kesehatan. Selain itu sebagai anggota masyarakat para pekerja bisa menderita gangguan kesehatan yang umum terjadi pada masyarakat misalnya penyakit infeksi, penyakit akibat cara hidup yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan dan lain-lain. Sehingga bagi para pekerja perlu mendapatkan upaya pelayanan kesehatan yang lebih khusus dengan pertimbangan adanya bahaya potensial dari tempat kerja, terutama upaya –upaya pencegahan gangguan kesehatan.

Prinsip Dasar Kesehatan Kerja meliputi 3 (tiga) hal utama, yaitu : 1) Upaya Kesehatan Kerja

Upaya kesehatan Kerja (UKK) adalah upaya yang sangat penting untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerja.

(21)

2) Status Kesehatan Pekerja

Status kesehatan pekerja adalah kondisi kesehatan pekerja pada suatu saat tertentu. Status kesehatan pekerja dipengaruhi oleh 4 faktor penentu, yaitu lingkungan pekerja, perilaku pekerja, pelayanan kesehatan kerja dan faktor genetik. Perilaku kerja dan lingkungan kerja merupakan dua komponen utama dalam menentukan status kesehatan pekerja. Di antara faktor tertentu yang terbesar adalah lingkungan pekerja, kemudian perilaku kerja.

3) Pengkajian Bahaya Potensial di Lingkungan Kerja

Gangguan kesehatan dan kecelakaan sering disebabkan oleh bahaya potensial di tempat kerja. Untuk dapat mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan, maka ditempuh 3 langkah utama yaitu: pengenalan, evaluasi dan pengendalian berbagai bahaya potensial ditempat kerja (Depkes RI, 2005).

Sasaran dari upaya kesehatan kerja di puskesmas secara langsung adalah masyarakat pekerja di sektor kesehatan, antara lain : Puskesmas, Balai Pengobatan, Laboratorium Kesehatan, Pos UKK dan jaringan dokter perusahaan bidang kesehatan kerja. Sedangkan sasaran tidak langsung diberikan kepada masyarakat pekerja di berbagai sektor pembangunan, dunia usaha dan LSM.

Strategi Upaya Kesehatan Kerja (UKK) meliputi :

1) Upaya kesehatan kerja bagi pekerja dan keluarganya dikembangkan secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pelayanan kesehatan Puskesmas dan rujukan.

(22)

2) Upaya kesehatan kerja dilakukan melalui pelayanan kesehatan paripurna, yang meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit akibat kerja, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

3) Peningkatan pelayanan kesehatan kerja dilaksanakan melalui peran serta aktif masyarakat dengan menggunakan pendekatan PKMD.

4) Mengembangkan kebijakan dan pemantapan manajemen program kesehatan kerja.

5) Meningkatkan SDM kesehatan kerja.

6) Mengaktifkan jaringan komunikasi efektif lintas disiplin ilmu, lintas lembaga / lintas sektoral dan lintas program.

7) Intensifikasi penatalaksanaan PAK dan PAHK. 8) Surveilan epidemiologi PAK dan PAHK.

9) Pengembangan model lingkungan kerja sehat berbasis wilayah.

10) Menggali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi spesifik daerah.

11) Menghimpun potensi yang dimiliki para prilaku K3 dalam azas kebersamaan saling menguntungkan.

12) Menerapkan dan membangun kemitraan sebagai landasan kerja dan promosi kesehatan kerja.

13) Proaktif terhadap segala perubahan dalam mengantisipasi dampak globalisasi.

(23)

Program kesehatan kerja merupakan bagian integral dari upaya untuk mencapai visi “Masyarakat Pekerja Sehat dan Produktif“. Visi tersebut mengandung cita-cita bahwa telah terwujud masyarakat pekerja yang bekerja dalam lingkungan kerja yang sehat dan dengan perilaku kerja sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan dan produktivitas yang setinggi tingginya.

Untuk mewujudkan visi tersebut maka misi kesehatan kerja adalah :

a) Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kerja pada insitusi pelayanan kesehatan dasar dan rujukan baik di pusat, provinsi, dan kabupaten / kota, serta mendorong terbentuknya jaringan pelayanan kesehatan kerja dasar dan rujukan yang sadar mutu.

b) Mendorong upaya terciptanya suasana lingkungan kerja yang sehat.

c) Mendorong kemandirian masyarakat pekerja untuk hidup sehat dan produktif sesuai norma sehat dalam bekerja.

Sedangkan sebagai kebijakan program kesehatan kerja adalah :

a) Menggali sumber daya untuk optimalisasi tugas dan fungsi institusi pelayanan kesehatan dasar dan rujukan pemerintah maupun swasta di bidang pelayanan kesehatan kerja.

b) Meningkatkan profesionalisme para pelaku dalam pembinaan dan pelayanan kesehatan kerja di pusat,propinsi,kabupaten / kota.

c) Mengembangkan jaringan kerjasama pelayanan kesehatan kerja dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kerja.

(24)

d) Mengembangkan tenaga ahli kesehatan kerja bagi angkatan kerja dan dokter kesehatan kerja sebagai pemberi pelayanan kesehatan utama dengan pelayanan kesehatan paripurna.

e) Mengembangkan kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi.

f) Mendorong agar setiap angkatan kerja menjadi peserta dana sehat /asuransi kesehatan sebagai perwujudan keikutsertaannya dalam upaya pemeliharaan kesehatan diri, keluarga dan lingkungannya.

g) Mengembangkan iklim yang mendorong dunia usaha yang partisipatif dalam kelembagaan K3 di tempat kerja.

h) Mengembangkan peran serta masyarakat pekerja dengan meningkatkan pembentukan UKBM maupun mengaktifkan kegiatan pos UKK yang sudah ada. i) Mengembangkan system informasi manajemen K3 sebagai upaya pemantapan

survailans epidemilogi penyakit dan kecelakaan akibat kerja.

Organisasi adalah sekumpulan orang yang bekerja dan bekerjasama dalam rangka melaksanakan tugas atau tugas-tugas yang ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena merupakan sekumpulan orang yang bekerja dan bekerjasama, maka organisasi pastinya tidak statis, melainkan merupakan entitas (kesatuan) yang dinamis dan dalam berinteraksi sangat dipengaruhi oleh system lingkungan yang penuh dinamika.

(25)

Sedangkan menurut Gibson (1987), organisasi adalah wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat di capai oleh individu secara sendiri-sendiri.

Organisasi memang merupakan sesuatu yang harus selalu berubah mengikuti tuntunan lingkungan.Perubahan itu dapat berupa dari tidak ada menjadi ada, dari kecil menjadi besar, dari besar menjadi kecil, dari ada menjadi tidak ada, atau berupa tugas, fungsi dan susunannya.

Dalam menyelenggarakan kesehatan kerja dijumpai banyak organisasi sebagai pelaku dalam pelaksanaanya, karena ruang lingkup kesehatan kerja sangat multi disiplin dalam keilmuan, maka penyelenggaraanya tidak dapat dilakukan oleh kesehatan kerja, tetapi harus dilakukan secara kemitraan tersebut akan lebih efektif dan efesien apabila juga didasari juga didasari dengan kesetaraan, keterbukaan serta saling menguntungkan.

Sebagai suatu konsekuensi logis dari adanya penerapan otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, UU RI No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat daerah dan PP RI No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonomi, maka penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan kerja pada khususnya akan lebih mengarah pada kondisi masing-masing daerah, dan memperhatikan kesepakatan baik di pusat, provinsi dan kabupaten / kota di bidang kesehatan kerja.

(26)

Pengorganisasian dalam penyelenggaraan kesehatan kerja, melibatkan unsur pemerintah, segenap potensi masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakat, organisasi profesi dan kalangan dunia usaha yang penyelenggaraanya dilakukan secara kemitraan.

Dalam pengorganisasian pelaksanaan di lapangan, upaya kesehatan kerja baik yang bersifat private goods maupun public goods, seyogyanya diselenggarakan secara kemitraan oleh institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta, dunia usaha dan masyarakat pekerja dalam hubungan (kerjasama) berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (memberi manfaat) atas kesepakatan, prinsip dan peran masing-masing.

Adapun bentuknya tidaklah selalu penyediaan pelayanan kesehatan, namun lebih dari suatu upaya menyeluruh untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja yang paripurna sekaligus memenuhi kebutuhan semua pihak yang terlibat (stake holders).

Kesehatan Kerja dalam lingkup wilayah kerja dan kewenangan masing-masing, yaitu :

1) Pemerintah di tingkat pusat Terdiri dari unsur-unsur :

a) Kementerian Kesehatan

b) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi c) Organisasi Pengusaha seperti Apindo

(27)

e) Pihak terkait lain yang diperlukan sesuai jenis dan bidang pekerjaan antara lain Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan lain-lain.

2) Pemerintahan di tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota

Untuk organisasi di tingkat provinsi dan kabupaten / kota, lain yang terkait disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Peran dan fungsi dari masing-masing sebagai berikut :

a) Pemerintah Kabupaten / Kota

i. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan kerja di sarana pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, maupun Pos UKK dengan sasaran meliputi semua tempat kerja.

ii. Melakukan penatalaksanaan dan rujukan kasus PAK, PAHK dan KAK di sarana pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, maupun Pos UKK dalam Upaya kesehatan kerja.

iii. Menyelenggarakan pelatihan teknis untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia baik terhadap petugas kesehatan pemerintah maupun swasta, serta kader kesehatan kerja dalam pelaksanaan Program Kesehatan kerja.

iv. Melakukan penerapan teknologi tepat guna untuk mengatasi masalah local spesifik yang berbasis pada permasalahan kesehatan kerja.

(28)

v. Melaksanakan surveilans epidemiologi kesehatan kerja termasuk Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dan maping area kesehatan kerja. vi. Melaksanakan jaringan kemitraan dan forum komunikasi dengan para

stake holders di kabupaten/kota guna mendukung Program Kesehatan Kerja.

vii. Pengupayakan ketersediaan dukungan sarana dan prasarana, panduan dan alat-alat kesehatan kerja guna mendukung upaya kesehatan kerja.

viii. Menggali sumber dana/pembiayaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat pekerja.

b) Mekanisme Kerja

i. Pengorganisasian kesehatan kerja di daerah

Ditingkat Provinsi, Gubernur membentuk Tim Pengarah Kesehatan Kerja, yaitu antara lain :

• Di Kesehatan untuk tingkat provinsi, berdasarkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kesehatan Provinsi. Penanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan kerja. Sedangkan di tingkat Kabupaten / kota bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan kerja adalah Dinas kesehatan Kabupaten / Kota.

• Untuk kemitraan dalam penyelenggaraan K3 pada tingkat provinsi melalui keputusan Gubenur dapat di bentuk Tim pengarah kesehatan

(29)

kerja yang ruang lingkup tugasnya antara lain menyusun rencana kerja dan melakukan koordinasi dan komunikasi kepada semua lintas yang terkait dalam kesehatan kerja. Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota. Melalui keputusan Bupati/Walikota dapat di bentuk tim Pelaksanaan kesehatan kerja dengan ruang lingkup tugasnya antara lain menyusun rencana kerja dan melaksanakan kesehatan kerja.

• Ditingkat masyarakat pekerja telah ada wadah kemitraan yang bersumberdaya masyarakat, yaitu Pos Upaya Kesehatan Kerja.

3) Anggaran

Anggaran sering membuat suatu institusi berpeluang untuk membentuk suatu kerja sama. Anggaran adalah sebuah perencanaan untuk pengalokasian sumber pembiayaan. Pembiayaan dalam kerjasama diperlukan untuk membayar biaya-biaya kegiatan bersama. Masalah penganggaran merupakan mekanisme paling utama untuk pengaturan prioritas dan aktivitas koordinasi berbagai program pemerintah.

Penggunaan anggaran dalam upaya penanggulangan penyakit menular di suatu daerah melalui kerjasama lintas sektor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1991 Pasal 30 menjadi beban anggaran Pemerintah Daerah maupun instansi masing-masing yang terkait. Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan

(30)

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kekurangan anggaran pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan penyakit menular dapat dipenuhi berdasarkan alokasi dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) baik berupa Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi khusus (DAK). DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

4) Komitmen

Komitmen merupakan keputusan internal yang membuat seseorang atau organisasi percaya pada kebutuhan perubahan yang akan membuatnya bekerja. Komitmen menjadi mudah dalam suatu lingkungan dimana orang-orang sudah melihat bagian yang berhasil. Dukungan komitmen timbul ketika masing-masing mitra mengetahui harus berbuat apa, bagaimana cara melakukan itu dan kapan pekerjaan harus diselesaikan. Komitmen memerlukan pembagian visi dan tujuan serta penetapan kepercayaan yang lebih tinggi dan tanggung jawab timbal balik untuk

(31)

tujuan bersama. Komitmen merupakan faktor penting bagi keberhasilan kerjasama antar dinas.

2.5.1 Komitmen dan Kebijakan di Puskesmas

Kementerian Kesehatan telah menetapkan 10 program unggulan dalam upaya mencapai Indonesia Sehat 2010, salah satunya adalah keselamatan dan kesehatan kerja, maka pimpinan puskesmas sebagai penanggung jawab dalam melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat secara paripurna juga mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan program keselamatan dan kesehatan kerja kepada seluruh staf bawahannya atau kesehatan kerja di puskesmas itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya komitmen dan kebijakan untuk memberikan perlindungan tersebut dengan penerapan manajemen kesehatan kerja puskesmas.

Sebagai tindak lanjut komitmen dan kebijakan pimpinan puskesmas dalam penyelenggaraan kesehatan kerja, perlu dilakukan beberapa hal antara lain:

1) Mengidentifikasi sumber daya yang ada di puskesmas.

2) Menetapkan tujuan yang jelas sebagai acuan pelaksanaan kesehatan kerja.

3) Sosialisasi program kesehatan dan keselamatan kerja kepada seluruh staf/petugas puskesmas.

4) Membentuk organisasi kesehatan dan keselamatan kerja atau menunjuk tim penanggung jawab kesehatan kerja.

5) Memberi wewenang dan tanggung jawab kepada tim kesehatan kerja.

6) Meningkatkan sember daya manusia (SDM) di bidang kesehatan kerja di puskesmas.

(32)

7) Pimpinan puskesmas melakukan advokasi ke dinas kesehatan kabupaten/ kota untuk mendapatkan dukungan.

8) Puskesmas perlu membuat pedoman kerja dan prosedur pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan mengutamakan upaya peningkatan (promotif dan preventif).

9) Melakukan monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal.

Puskesmas harus membuat perencanaan penerapan sistem manajemen kesehatan kerja dengan sasaran yang jelas dan hasilnya dapat diukur. Perencanaan harus membuat tujuan, sasaran dan indikator kinerja yang ditetapkan berdasarkan indentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian resiko sesuai dengan persyaratan/standar yang berlaku, serta hasil tujuan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja sebelumnya.

Perencanaan indentifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko di puskesmas.

a. Indentifikasi Potensi Bahaya Di Puskesmas

Perencanaan kesehatan kerja di puskesmas terlebih dahulu dengan melakukan indentifikasi potensi bahaya seperti mengenali, menemukan dan menentukan ada atau tidak adanya bahaya yang dapat menimbulkan resiko kesehatan dan keselamatan petugas puskesmas di setiap unit kerja pukesmas, seperti loket pendaftaran, ruang tunggu, ruang poli, ruang rawat inap, ruang obat, laboratorium, gudang dapur, kamar mandi/WC dan lain sebagainya. Di samping

(33)

itu indentifikasi potensi bahaya juga dilakukan terhadap proses kerja dan alat kerja yang digunakan dalam mendukung pekerjaan di puskesmas.

Potensi bahaya atau resiko di tempat kerja dari proses kerja, alat kerja, dan sebagainya, memungkinkan terjadinya penyakit akibat hubungan kerja.penyakit akibat kerja dan kecekaan kerja. Penyakit akibat hubungan kerja dapat terjadi selain kerena pajanan penyakit dari pasien atau pengunjung, dapat juga terjadi akibat prilaku, cara kerja, lingkungan kerja, dan beban kerja petugas di puskesmas.

b. Penilaian Resiko di Puskesmas

Penilaian resiko di puskesmas dilakukan dengan cara indentifikasi potensi bahaya, kemudian melakukan besaran resiko dari potensi bahaya tersebut.

Berdasarkan pada sumber bahaya, sering dan lamanya kontak petugas dan sumber bahaya tersebut.

Dalam melakukan penilaian potensi bahaya, perlu diketahui bahwa setiap resiko kecelakaan dan kesehatan yang ditemukan mempunyai karakteristik tertentu, menurut temoat kerja, proses kerja, dan jenis pekerjaan.

c. Pengendalian Resiko

Cara pengendalian resiko dapat dilakukan sesuai dengan hirarki pengendalian dengan cara seperti :

1) Mengurangi sumber daya yang dapat menimbulkan bahaya.

2) Mengganti alat/prasarana yang mempunya potensi bahaya yang tinggi dengan yang kurang berbahaya.

(34)

3) Mengurangi kontak dengan sumber bahaya.

4) Pengelolaan lingkungan kerja yang sehat dan aman.

5) Adanya aturan atau SOP tentang cara kerja yang baik dan sehat. 6) Adanya pengaturan waktu kerja/shift kerja.

7) Adanya pelatihan bagi petugas puskesmas tentang cara kerja yang sehat dan selamat.

8) Penggunaan alat pelindung diri (APD).

2.5.2 Pelaksanaan Kesehatan Kerja di Puskesmas

Penerapan/pelaksanaan kesehatan kerja di pukesmas meliputi penerapan kesehatan kerja di dalam dan di luar gedung puskesmas. Penerapan kesehatan kerja di pukesmas dilakukan dengan cara :

a. Memberi informasi kepada seluruh petugas puskesmas untuk menjamin pelaksanaan kesehatan kerja di puskesmas, setelah adanya komitmen bersama dalam penerapannya perlu diinformasikan kepada seluruh staf, agar diketahui peran, wewenang dan tanggung jawab dari seluruh petugas puskesmas, antara lain:

1) Tanggung jawab dan wewenang untuk mengambil tindakan dan menginformasikan kepada semua petugas yang terlibat di puskesmas.

2) Pimpinan puskesmas menujuk penanggung jawab kesehatan kerja.

3) Pimpinan puskesmas, pimpinan poliklinik atau tempat kerja lainya bertanggung jawab atas upaya kesehatan kerja pada tempat kerjanya.

(35)

4) Pimpinan puskesmas menerima saran-saran dari ahli kesehatan kerja baik yang berasal dari dinas kesehatan kabupaten/kota dan atau lintas sektor terkait.

5) Petugas yang menangani kagawat daruratan harus mendapat pelatihan kesehatan kerja.

6) Kinerja upaya kesehatan kerja dapat dimasukkan dalam laporan tahuna puskesmas.

7) Pimpinan puskesmas memberikan informasi terbaru mengenai kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja di puskesmas kepada seluruh staf baik dalam rapat staf atau mini lokarya, bila perlu kepada pengunjung dan pasien di puskesmas.

b. Pelatihan petugas/karyawan kesehatan kerja puskesmas untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kesehatan kerja petugas di puskesmas, perlu di berikan pelatihan kesehatan kerja bagi seluruh petugas baik secara bersamaan atau bergantian.

c. Pelaksanaan kesehatan kerja bagi petugas puskesmas meliputi :

1) Pemeriksaan kesehatan awal, berkala dan khusus pada petugas puskesmas. a) Pemeriksaan awal atau sebelum kerja diberikan kepada pegawai baru

yang akan mulai kerja atau kepada pegawai pindahan atau mutasi dari tempat lain atau antar tempat kerja.

b) Pemeriksaan berkala dilakukan kepada seluruh pegawai puskesmas, dalam pemeriksaan berkala ini paling lama 1 (satu) tahun sekali.

(36)

Sedangkan pada unit tertentu yang mempunyai resiko tinggi sebaiknya dilakukan pemeriksaan berkala 6 (enam) bulan sekali.

c) Pemeriksaan khusus dilakukan kepada pegawai yang mengalami gangguan atau sakit tertentu yang sering kambuh walaupun sudah dilakukan pengobatan.

2) Penerapan Ergonomi

Persamaan yang berkaitan dengan faktor ergonomi umumnya disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan dan lingkungan kerja secara menyeluruh termasuk peralatan kerja. Penerapan ergonomi di puskesmas adalah sebagai berikut:

a) Posisi bekerja dengan duduk, ada beberapa persyaratan :

• Terasa nyaman selama melaksanakan pekerjaan

• Tidak menimbulkan gangguan psikologis

• Dapat melakukan pekerjaan dengan baik dan memuaskan. b) Posisi bekerja dengan berdiri :

Berdiri dengan posisi yang benar, dengan tulang punggung yang lurus dan bobot badan terbagi rata pada kedua tungkai.

(37)

Ukuran yang benar akan memudahkan seseorang dalam melakukan pekerjaannya, tetapi akibat postur tubuh yang berbeda, perlu pemecahan masalah terutama peralatan impor dari negara-negara barat, sehinga perlu disesuaikan kembali, misalnya tempat kerja yang harus dilakukan dengan berdiri sebaiknya ditambahi bangku panjang setinggi 10-25 cm agar orang dapat bekerja sesuai dengan tinggi meja dan tidak melelahkan.

d) Penampilan tempat kerja

Mungkin akan menjadi baik dan lengkap bila disertai petunjuk-petunjuk berupa gambar-gambar yang mudah diingat, mudah dilihat setiap saat. e) Mengangkat beban

Terutama di negara berkembang mengangkat beban adalah pekerjaan yang lazim dan sering dilakukan tanpa di fikirkan efek negatifnya, seperti: kerusakan tulang punggung, kelainan bentuk otot kaarna pekerjaan tertentu, prolabsus uteri, prolapsusani ataupun hernia, dll. Penanggulangan permasalahan ergonomi di setiap jenis pekerjaan dapat dilakukan setelah mengetahui terlebih dahulu bagaimana proses kerja dan posisi kerjanya.

f) Sikap tubuh dan bekerja

Sikap tubuh dan bekerja berhubungan dengan tempat duduk, mejaa kerja dan luas pandangan. Untuk merencanakan tempat kerja

(38)

perlengkapan dilakukan ukuran-ukuran tubuh yang menjamin sikap tubuh paling alamiah dan memungkinkan dilakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Pada posisi berdiri dengan pekerjaan ringan, tinggi optimum area kerja adalah 5-10 cm di bawah siku. Agar tinggi optimum ini dapat diterapkan, maka perlu diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan lengan bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Tinggi siku pada laki-laki misalnya 100 cm dan pada wanita misalnya 95 cm, maka tinggi meja kerja pada laki-laki adalah antara 90-95 cm bagi wanita adalah antara 85-90 cm.

3) Promosi/ pencegahan kesehatan kerja di puskesmas

pelaksanaan kesehatan kerja di puskesmas lebih di utamakan pada 2 hal yaitu upaya promotif dan preventif.

Kegiatan upaya promotif dan preventif ini sangat berperan dalam mencegah timbulnya berbagai macam penyakit maupun resiko bahaya yang ada di puskesmas. Kegiatan ini pada prinsipnya mudah untuk dilakukan dan tidak memerlukan biaya. Berdasarkan hal tersebut, maka kegiatan promosi kesehatan kerja di puskesmas perlu menjadi prioritas dalam pelaksanaan kesehatan kerja di pukesmas.

Kegiatan promosi kesehatan kerja akan sangat efektif dan efisien bila dapat mengkobinasikan 3 komponen yaitu :

1) Kegiatan meningkatkan kesadaran (pemasangan leaflet, poster tentang kesehatan kerja dan lain - lain),

(39)

2) Kegiatan meningkatkan kemampuan (pelatihan, penyediaan alat pelinding diri dan lain - lain),

3) Kegiatan meningkatkan lingkungan kerja yang bersih, sehat, aman dan nyaman (larangan merokok, larangan membuang sampah sembaranga dan lain - lain).

Beberapa contoh program promosi kesehatan kerja yang perlu dilakukan di puskesmas :

1) Senam kebugaran dan olah raga bersama

2) Pembuatan dan pemasangan leaflet, poster, dan lain lain 3) Pembuatan dan sosialisasi standar operasional

4) Imunisasi petugas pukesmas (hepatitis B)

5) Penyediaan APD sesuai dengan jumlah yang diperlukan. 6) Penambahan asuhan gizi petugas puskesmas

7) Kegiatan pembersihan lingkungan puskesmas

8) Perbaikan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pukesmas (air bersih, penyediaan tempat sampah, kebersihan kamar mandi/ jamban, pengolahan sampah medis dan non medis, sistem pengolahan air limbah dan lain lain).

9) Aktivitas sosial bersama, seperti: piknik bersama, buka puasa bersama, siraman rohani, dan konseling (Depkes RI, 2007).

(40)

2.6 Landasan Teori

Menurut Bloom (1908), komponen hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan :

Gambar 2.1. Landasan Teori

2.7. Landasan Berfikir Penelitian

Ppj

Gambar 2.2. Alur Berfikir Penelitihan

Alur berfikir dalam penelitian ini adalah menganalisis pengetahuan, sikap dan praktek pada pelaksanaan manajemen Upaya Kesehatan kerja (UKK).

Pengetahuan Pelaksanaan Manajemen UKK Sikap STIMULUS (Rangsangan) PROSES STIMULUS REAKSI TERTUTUP (Pengetahuan dan Sikap)

REAKSI TERBUKA

Gambar

Gambar 2.1. Landasan Teori

Referensi

Dokumen terkait

Pada tindakan I kegiatan yang akan dilaksanakn oleh peserta didik adalah menuliskan hal yang diketahui berkaitan dengan isi puisi, menuliskan pertanyaan pemandu,

(1) kemampuan bina diri makan pada: Subjek Pertama SG mampu mempraktekkan bina diri makan menempati tempat duduk dengan kriteria baik, berdoa sebelum makan dimulai dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kolkisin tidak berpengaruh terhadap fenotipe pertumbuhan awal, namun terdapat tanaman sirsak yang mempunyai sifat

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan penambahan konsentrasi bawang putih yang berbeda terhadap mutu bekasam ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan

Soekamto (Abdullah, 2006:182) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial. Menurutnya perubahan sosial antara lain disebabkan oleh; 1)

kuat dibanding kristal tunggal, karena kendala geometris dan kebutuhan tekanan yield yang lebih

Pegawai BPJS Ketenagakerjaan Tanjung Morawa terampil menggunakan berbagai peralatan kerja sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima pada peserta.. Pegawai BPJS

Inovasi atau kreativitas dalam desain, teknologi maupun performa rumah sehingga dapat memenuhi tolok ukur yang ada dalam kriteria GREENSHIP Home dengan