• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Motif dengan Kinerja Peternak Sapi Perah... Farninda Ranisya S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Motif dengan Kinerja Peternak Sapi Perah... Farninda Ranisya S"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN MOTIF BETERNAK DENGAN KINERJA PETERNAK SAPI PERAH

(Kasus di Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi)

THE CORRELATION OF MOTIVE DAIRY FARMING AND PERFORMANCE OF DAIRY FARMERS

(A Case in Cipageran Village, District of North Cimahi, Cimahi City) Farninda Ranisya S*, Lilis Nurlina**, Unang Yunasaf**

Universitas Padjadjaran

*Alumni Fakultas Peternakan Unpad Tahun 2016 **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Unpad

e-mail : farnindars@yahoo.co.id ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana motif dan kinerja peternak dalam usahanya dan mengetahui hubungan motif beternak dengan kinerja peternak sapi perah. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 Januari 2016 – 1 Februari 2016 di kelompok ternak sapi perah Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi. Penelitian menggunakan metode survei. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Proportional Random

Sampling. Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah 30 orang peternak sapi perah

yang mewakili tiga kelompok. Penelitian dilakukan secara pendekatan kuantitatif, dengan menggunakan analisis koefisien Rank Spearman untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik motif beternak maupun kinerja peternak termasuk dalam kategori cukup, dan hubungan motif beternak dengan kinerja peternak sapi perah cukup erat (rs=0,663) artinya terdapat hubungan yang positif antara motif beternak

dengan kinerja peternak sapi perah.

Kata kunci: Motif, Kinerja Peternak, Sapi Perah

ABSTRACT

This research aims to determine how the dairy farming motive and performance of dairy farmers on their business and to know the correlation of motive dairy farming and performance of dairy farmers. The research was conducted on 18 January 2016 to 28 February 2016 on three dairy cattle farmer groups in Cipageran Village, District of North Cimahi, Cimahi City. The research used a survey method. The sampling had done by

Proportional Random Sampling. The samples used on this research are 30 dairy farmers

which represent three different groups. The research conducted with quantitative approach with Spearman Rank coefficient analysis to determine the correlation among variables. The result of this research showed that the dairy farming motive and the performance of dairy farmers belongs to fair category, and the correlation between motive dairy farming and performance of dairy farmers is significant (rs=0.663) which means there is a positive

correlation between motive dairy farming and the performance of dairy farmers.

(2)

PENDAHULUAN

Konsumsi susu yang terus meningkat ternyata belum bisa diimbangi dengan kemampuan peternak sapi perah untuk menyediakan produk susu yang berkualitas. Konsumsi susu Indonesia saat ini mencapai 3 juta ton per tahun dan sekitar 1,8 juta-2 juta ton atau (±70%) di antaranya berasal dari impor (Kementan, 2014).

Keterbatasan produksi susu dari dalam negeri ini disebabkan oleh masih belum maksimalnya produksi susu dari setiap sapi perah yang dimiliki oleh peternak di Indonesia. Data Kementerian Pertanian menunjukkan populasi ternak sapi perah pada 2013, yaitu 444.266 ekor atau turun 27% dari 2012 sebesar 611.939 ekor, kemudian hanya naik tipis 8,7% pada 2014 menjadi 483.013 ekor.

Selain masalah rendahnya produksi susu nasional ini karena masih sedikitnya sentra peternakan sapi perah di Indonesia, dimana hampir 95% hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Salah satu sentra pengembangan ternak sapi perah di Jawa Barat yaitu Kelurahan Cipageran yang terletak di Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Pemenuhan kebutuhan susu sapi di pasaran mengharuskan para peternak untuk meningkatkan produksi dan kualitas yang baik. Hal ini mendorong para peternak membentuk suatu kelompok untuk bekerja sama dalam menghasilkan produksi susu yang selalu tersedia dan berkualitas tinggi.

Terdapat tiga kelompok peternak sapi perah yaitu kelompok Mekar Mandiri dengan anggotanya tersebar di RW.12 dan 21, kelompok Berkah Darunni’mah dengan anggotanya tersebar di RT.01 RW.19, dan kelompok Mitra Berkah dengan anggotanya tersebar di RT.03 RW.19. serta sepuluh kelompok pengolahan susu, dengan rata-rata kepemilikan sapi perah 3 ekor dengan kepemilikan sapi laktasi rata 2 ekor serta kemampuan produksi susu rata-rata sekitar 15 liter/ekor /hari (DKP Cipageran, 2014).

Salah satu faktor yang mendukung peternak sapi perah dalam mempertahankan usahanya adalah motif beternak yang kuat. Motif ini didasarkan atas peluang dan harapan agar pemenuhan kebutuhannya dapat terpenuhi yang tertuang dalam kinerja yang dilakukan peternak dalam memajukan usaha dan mendapatkan keuntungan serta memenuhi kebutuhan hidupnya.

Peternak sapi perah memiliki banyak tantangan dalam menjalankan usahanya yaitu ketersediaan lahan hijauan yang semakin sempit akibat banyaknya alih fungsi lahan, letak wilayah peternakan Kelurahan Cipageran berada di lingkungan perkotaan sehingga lebih banyak persaingan dalam hal pangsa pasar, dan modal yang minim sehingga sebagian besar peternak Kelurahan Cipageran menjadikan usahanya sebagai usaha sampingan, namun di

(3)

samping itu sebagian peternak berusaha memenuhi kebutuhannya dengan membuat produk olahan susu.

OBJEK DAN METODE 1. Objek

Objek dalam penelitian ini adalah peternak sapi perah yang tergabung dalam kelompok di Kelurahan Cipageran Cimahi Utara Kota Cimahi Propinsi Jawa Barat.

2. Metode

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah survei. Survei adalah suatu penelitian dengan cara menghimpun informasi dari sampel yang diperoleh dari suatu populasi, dengan tujuan untuk melakukan generalisasi sejauh populasi dari mana sampel itu diambil (Paturochman, 2012). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik penentuan responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara Proportional Random Sampling, yaitu teknik pengambilan proporsi untuk memperoleh sampel yang representatif, pengambilan subyek dari setiap strata atau wilayah ditentukan seimbang atau sebanding dalam masing-masing wilayah Arikunto (2006). Diambil 30 orang responden yang mewakili setiap kelompok, yaitu 11 orang kelompok Mekar Mandiri, 10 orang kelompok Mitra Berkah, 9 orang kelompok Berkah Darunni’mah, dan untuk mengetahui keeratan hubungan antara varibel bebas (motif beternak) dan varibel terikat (kinerja peternak) menggunakan analisis koefisien Rank Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN Motif Beternak Sapi Perah

Motif merupakan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu. Motif peternak sapi perah sama halnya dengan masyarakat lain di pedesaan diluar peternakan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini dimensi variabel dari motif beternak dilihat dari harapan, peluang, dan pemenuhan kemudian tingkat motif responden dibagi kedalam tiga kategori, yaitu motif beternak tinggi, motif beternak cukup, dan motif beternak rendah. Berdasarkan hasil penelitian didapat hasil dari penilaian tingkat motif beternak yang dapat di lihat pada Tabel 1.

Data Tabel 1 menunjukkan bahwa motif beternak di Kelurahan Cipageran termasuk kategori cukup (70%) dan hanya 30% yang termasuk dalam kategori tinggi. Motif beternak dilihat dari dimensi variabel harapan sebagian besar termasuk kategori tinggi (60%),

(4)

sementara dimensi varibel peluang termasuk kategori cukup (80%) dan untuk dimensi variabel pemenuhan termasuk dalam kategori rendah (50%).

Tingginya harapan sebagian besar peternak (60%) terhadap usaha sapi perah karena mereka sangat menekankan usaha sapi perah untuk memenuhi kebutuhannya. Sesuai dengan pendapat Safaria (2004) bahwa seseorang harus memahami harapan-harapannya dan sampai sejauh mana harapan tersebut realistis sehingga harapan tersebut berpeluang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.

Tabel 1. Penilaian Tingkat Motif Beternak Sapi Perah di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara

No Uraian Tinggi Cukup Rendah

...Orang... ...%... ...Orang... ...%... ...Orang... ...%...

1. Harapan 18 60,00 12 40,00 0 0

2. Peluang 0 0 24 80,00 6 20

3. Pemenuhan 8 26,67 7 23,33 15 50

Motif Beternak 9 30,00 21 70,00 0 0

Indikator pertama dari harapan yaitu terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan. Pada umumnya peternak yang mengandalkan usaha sapi perah sebagai usaha pokok tentunya memiliki harapan kebutuhan sandang, pangan, dan papan dapat terpenuhi, bahkan tidak hanya kebutuhan primer kebutuhan tersierpun diharapkan dapat terpenuhi, sedangkan peternak yang menjadikan usaha sapi perah sebagai usaha sampingan memiliki harapan dengan beternak sapi perah ini hanya sebatas ingin memenuhi salah satu atau dua kebutuhan saja, karena pendapatan yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhannya merupakan gabungan dari usaha pokoknya. Ada juga salah seorang responden yang memposisikan sapi perahnya sebagai hobi dengan alasan warisan orang tua yang telah turun-temurun. Selain itu, harapan responden dalam beternak sapi perah yaitu dapat menabung meskipun bukan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk pedet yang dihasilkan, dengan kata lain bakalan dari sapi perah ini dapat dijadikan sebagai tabungan.

Indikator kedua dari harapan yaitu sebagai sarana untuk berinteraksi, responden yang memiliki usaha pokok dan sampingan sebagai peternak memiliki harapan dapat menjalin komunikasi dengan berbagai pihak yang dapat memberikan informasi mengenai aspek teknis beternak untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dengan cara bertukar pengalaman dengan peternak lain, ketua kelompok, sarjana membangun desa, bahkan memperoleh bantuan dari instansi terkait (Dinas Peternakan, Bappeda, Diskopindagtan, dsb). Namun, responden yang usaha pokoknya sebagai peternak cenderung akan lebih berpartisipasi dalam

(5)

kegiatan yang diadakan dibandingkan dengan responden yang menjadikan usaha ternak sebagai usaha sampingan karena kesibukan lain yang harus dilakukan.

Indikator ketiga dari harapan yaitu adanya kepastian usaha, dimana dari usaha sapi perah ini dapat memberikan pendapatan yang pasti setiap hari dengan adanya pihak yang menerima susu termasuk harga yang telah ditetapkan. Apabila harapan-harapan tersebut terpenuhi, maka berpeluang bagi peternak untuk memperluas usaha.

Sementara peluang usaha sapi perah oleh sebagian besar responden (80%) hanya dinilai cukup atau sedang. Jadi usaha ternak ini dianggap memberikan peluang yang cukup baik karena hal ini didukung oleh tenaga kerja yang memadai, masih adanya tanah tegalan untuk pencarian rumput, pemasaran yang dekat yang dapat mendukung usahanya. Hal ini didukung oleh pendapat Safaria (2004) bahwa jika seseorang merasa dan mengalami banyaknya kondisi yang mendukung, seperti mendapat kemudahan bekerjanya dan menyenangkan untuk mencapai tujuannya, maka seseorang tersebut dikatakan memiliki banyak peluang di dalam pekerjaannya.

Indikator pertama dari peluang ialah ketersediaan sumber daya input produksi yaitu ketersediaan lahan untuk menghasilkan hijauan, sebagian besar responden memiliki lahan yang tidak terlalu luas untuk memenuhi kebutuhan hijauan ternaknya dimana lahan tersebut bersamaan dengan lahan untuk pertanian, dan sebagian responden lainnya memilih untuk sewa lahan. Ketersediaan hijauan cukup memadai saat musim hujan, namun mengalami kesulitan dimusim kemarau karena harus membeli hijauan. Adanya tenaga kerja untuk mendukung keberlangsungan budidaya sapi perahpun menjadi peluang bagi peternak, hampir seluruh responden dalam menjalankan usahanya dibantu oleh anggota keluarga baik istri maupun anak, walaupun ada beberapa responden yang menjalakan usaha ternaknya seorang diri.

Indikator kedua dari peluang yaitu penguasaan aspek zooteknis yang dinilai cukup dimana sebagian besar peternak telah memiliki kemampuan cara beternak dari orang tuanya meskipun masih bersifat tradisonal, kemudian didukung oleh ketersediaan media belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam kelompoknya seperti adanya ruang diskusi disalah satu rumah peternak, serta ketersediaan lembaga yang memberikan pengetahuan dan adanya tenaga pendamping di lingkungan peternak misalnya dalam hal pemberian penyuluhan, kegiatan penyuluhan di kelompok ternak ini dapat dikatakan sudah cukup dilakukan yaitu lima kali pertahun.

Indikator ketiga dari peluang yaitu ketersediaan lembaga pemasaran. Peluang usaha sapi perah dinilai cukup karena adanya lembaga yang menerima dan memasarkan susu hasil

(6)

dari usaha sapi perah yang dimiliki dan kemudahan akses dalam proses pemasaran, meskipun harga yang dinilai masih kurang memuaskan namun mereka terpaksa bertahan pada harga tersebut dikarenakan tidak ada pilihan lain. Di daerah penelitian terdapat tiga pihak yang menerima susu hasil kegiatan usaha sapi perah yaitu CV. Barokah, CV. Lambada dan KUD Sarwamukti.

Dalam hal pemenuhan sebagian responden (50%) menganggap pemenuhan kebutuhan hidup dari usaha sapi perah masih rendah, dan sebagian lagi diantara tinggi (26,67%) dan sedang (23,33%). Menurut Safaria (2004) pemenuhan yang kurang akan mengakibatkan seseorang merasa hidupnya telah gagal, dan akibatnya muncul ketidakpuasan. Ketidakpuasan menurunkan motivasi yang berakibat seseorang bekerja secara asal-asalan, tidak professional dan kurang berusaha keras dalam mencapai tujuan.

Hal ini disebabkan oleh tidak seimbangnya antara penerimaan dengan pengeluaran karena skala kepemilikan ternak yang kecil, jumlah populasi yang sedikit membuat produksi susu yang dihasilkanpun sedikit dan mempengaruhi pendapatan. Menurut Soekartawi dkk (1986), sebagian besar keperluan konsumsi keluarga petani dipenuhi atau dihasilkan dari usahataninya sendiri, dengan demikian tingkat kesehatan atau tingkat kemakmuran mereka sangat ditentukan oleh berhasil atau tidak berhasilnya usahatani yang dilakukan.

Pemenuhan dalam penelitian ini dinilai berdasarkan tiga indikator yaitu terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer dilihat dari kemampuan memenuhi bahan makanan, pakaian dan kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan sekunder dilihat dari kemampuan memenuhi biaya pendidikan anak dan alat-alat rumah tangga (televisi, kulkas, mesin cuci, peralatan masak), sedangkan kebutuhan tersier dilihat dari kemampuan responden dalam memenuhi kebutuhan barang mewah misalnya perhiasan dan kendaraan.

Peternak yang termasuk kategori tinggi dan mengandalkan usaha sapi perahnya sebagai usaha pokok dengan skala pemilikan ternak produktif minimal 4 ekor dapat memenuhi tiga kebutuhan tersebut. Pemenuhan kebutuhan ini didapatkan dari produksi susu di atas 15 liter/ekor/hari sebagai hasil pendapatan harian dan ternak berupa hasil penjualan sapi afkir atau pedet jantan.

Peternak yang termasuk kategori cukup yaitu yang hanya dapat memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Responden menyatakan bahwa dari usaha sapi perah yang dijalankan dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan primer yaitu membeli bahan makanan, pakaian, dan kebutuhan hidup sehari-hari bahkan alat rumah tangga secara standar dapat terpenuhi, berbeda dengan tingkat pemenuhan yang rendah dimana hanya kebutuhan

(7)

primer saja yang dapat terpenuhi itupun hanya secukupnya. Hal tersebut yang menjadi alasan peternak sapi perah masih bertahan dalam usahanya hingga saat ini.

Kinerja Peternak Sapi Perah

Kinerja peternak dalam usahanya dapat dilihat dari kemampuan dalam melaksanakan aspek zooteknik dan aspek produksi. Aspek zooteknis terdiri dari tatalaksana pemilihan bibit dan reproduksi, makanan ternak, pemeliharaan, kandang dan peralatan, dan pemerahan. Sedangkan aspek produksi terdiri dari tingkat harga yang dicapai dan produk yang dihasilkan. Tingkat kinerja responden dalam beternak sapi perah di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara terbagi dalam tiga kategori, yaitu kinerja peternak tinggi, kinerja peternak cukup, dan kinerja peternak rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil dari penilaian tingkat kinerja yang dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penilaian Tingkat Kinerja Peternak Sapi Perah di Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara

No. Uraian Tinggi Cukup Rendah

...Orang... ...%... ...Orang... ...%... ...Orang... ...%... Aspek Zooteknis 1. Tatalaksan Pemilihan Bibit dan Reproduksi 6 20,00 20 66,67 4 13,33 2. Tatalaksana Makanan Ternak 13 43,33 16 53,33 1 3,33 3. Tatalaksana Pemiliharaan 11 36,37 18 60,00 1 3,33 4. Tatalaksana Kandang dan Peralatan 10 33,33 19 63,33 1 3,33 5. Tatalaksana Pemerahan 4 13,33 23 76,67 3 10,00 6. 7. Aspek Produktivitas Tingkat Harga Aspek Produksi 3 17 10,00 56,67 17 11 56,67 36,67 10 2 33,33 6,66 Kinerja Peternak 12 40,00 18 60,00 0 0,00

Berdasarkan Tabel 2 tingkat kinerja peternak sapi perah secara keseluruhan termasuk kategori cukup (60%) dan sebagian lagi termasuk kategori tinggi (40%) dan tidak ada yang termasuk dalam kategori rendah.

Kinerja peternak sapi perah di Kelurahan Cipageran dalam hal tatalaksana pemilihan bibit dan reproduksi sebagian besar responden termasuk dalam kategori cukup (66,67%). Hal

(8)

ini dikarenakan sebagian besar responden dalam pemilihan bibit hanya memperhatikan salah satu kriteria saja yaitu pemilihan calon bibit dilihat dari bentuk tubuh. Dalam hal reproduksi sebagian besar responden mengetahui ciri-ciri sapi berahi pada umumnya seperti sapi yang selalu mengeluarkan suara ribut atau gelisah, menunjukkan gejala vulva merah, bengkak dan mengeluarkan lendir, sehingga merekapun telah mengetahui waktu yang tepat untuk mengawinkan sapi betinanya dengan cara inseminasi buatan (IB) yang dibantu oleh petugas kesehatan.

Hal ini dilihat dari tingkat kebuntingan yang terjadi dalam setiap kali IB, rata-rata banyaknya IB untuk menghasilkan kebuntingan yaitu 3 kali IB, hal ini tergolong cukup baik sesuai dengan pendapat Makin dkk (2012) bahwa kisaran jumlah kawin setiap kebuntingan (S/C) pada sapi perah FH yang dipelihara di daerah Jawa Barat 1,0-4,0 kali kawin.

Responden yang termasuk dalam kategori tinggi (20%) pada umumnya dalam hal tatalaksana pemilihan bibit dan reproduksi melakukan pemilihan bibit dilihat dari postur tubuh, tingkat produksi susu induk yang tinggi, dan pemeriksaan kesehatan. Selain itu responden mengetahui bahwa untuk meningkatkan produksi dan reproduktifitas ternak dengan memperpendek selang beranak, hal ini sesuai dengan pendapat Rusadi dkk (2015) bahwa selang beranak yang pendek merupakan suatu parameter efisiensi reproduksi yang diinginkan oleh peternak sapi khususnya peternak sapi perah, karena selang beranak yang pendek akan mempercepat proses masa kosong dan masa kering sehingga produksi susu untuk periode selanjutnya tetap maksimal. Selang beranak yang lebih pendek menyebabkan produksi susu perhari menjadi lebih tinggi dan jumlah anak yang dilahirkan pada periode produktif menjadi lebih banyak. Selang beranak yang pendek dapat terjadi apabila penanganan deteksi birahi dan inseminasi buatan dilakukan dengan tepat. Hal tersebut didukung oleh pendapat Makin dkk (2012) bahwa selang beranak yang lebih lama dari kisaran ideal (12-14 bulan) maka akan terjadi penurunan total produksi susu. Menurut Banerjee dalam Makin (2012) lamanya selang beranak (Calving Interval) merupakan salah satu ukuran efisiensi reproduksi yang paling penting, karena dapat dijadikan sebagai petunjuk keberhasilan dalam peternakan sapi perah.

Responden yang termasuk dalam kategori rendah (13,33%) dalam hal tatalaksana pemilihan bibit dan reproduksi, dikarenakan sebagian besar responden mendapatkan bibit dari hasil induk bunting yang baru melahirkan, jarang sekali ditemukan peternak disana yang sengaja membeli calon bibit sapi perah di pasar hewan dengan memperhatikan kriteria seleksi bibit yang baik, melainkan membelinya dari rekan sesama peternak. Dalam hal manajemen reproduksi, responden sering kali terlambat dalam mengetahui keadaan sapi yang berahi

(9)

sehingga tingkat ketepatan mendeteksi estrus rendah, hal ini mengakibatkan kebuntingan sulit terjadi pada sapi perah yang dikawinkan melalui inseminasi buatan. Kondisi ini biasanya terjadi pada peternak yang menjadikan usaha sapi perah sebagai usaha sampingan, karena lebih memperhatikan dan fokus pada usaha pokoknya.

Dalam hal tatalaksana makanan ternak, menunjukkan bahwa kinerja peternak sebagian besar termasuk kategori cukup (53,33%), 43,33% kategori tinggi dan 3,33% kategori rendah. Para peternak yang termasuk kategori cukup pada umumnya dalam pemberian hijauan seringkali mencampur antara rumput unggul (rumput gajah, rumput raja) dengan rumput lapangan, dalam hal pemberian konsentrat menggunakan makanan konsentrat (Mako) campuran antara berbagai kualitas (1, 2, 3), dan dalam pemberian air minum dilakukan secara terpisah yang tersedia dalam ember.

Sementara responden yang termasuk kategori tinggi pada umumnya dalam hal pemberian hijauan sepenuhnya menggunakan rumput unggul, mako yang digunakannya pun kualitas satu dan pemberian air minum dilakukan secara adlibitum. Responden yang termasuk dalam kategori rendah pada umumnya dalam hal pemberian hijauan kurang memperhatikan jenis hijauan yang diberikan, pemberian mako menggunakan kualitas tiga atau campuran antara mako dengan ampas tahu bahkan ada yang memberinya sekaligus dengan air untuk memenuhi kebutuhan minum ternaknya.

Namun baik responden yang termasuk kategori tinggi, sedang dan rendah pada umumnya dalam hal pemberian hijauan tidak dilakukan sesuai kebutuhan, sementara menurut Siregar (1995) bahwa banyak hijauan yang diperlukan atau dikonsumsi oleh seekor sapi perah adalah sekitar 10% dari berat badan. Alasan hal tersebut karena peternak malas untuk menimbang terlebih dahulu, sehingga mereka hanya mengira-ngira. Untuk mengantisipasi penyakit cacingan pada ternaknya, mereka tidak memberikan hijauan yang masih muda dan tidak dalam keadaan basah melainkan dalam keadaan kering, pemberian hijauan dilakukan tiga kali sehari dan diberikan secara langsung dengan memotongnya terlebih dahulu, sedangkan untuk pemberian konsentrat dilakukan dua sampai tiga kali sehari.

Dalam hal tatalaksana pemeliharaan, menunjukkan bahwa kinerja peternak sebagian besar termasuk dalam kategori cukup (60%), 36,37% dalam kategori tinggi, dan 3,33% dalam kategori rendah. Hal ini dikarenakan pemeliharaan yang dilakukan dapat dikatakan sudah cukup baik. Semua peternak rutin memandikan sapinya dua kali sehari sebelum pemerahan dilakukan, namun apabila dalam kondisi kurang air, beberapa dari mereka hanya membersihkan ambingnya saja, sedangkan pembersihan kandang dilakukan setiap hari untuk mencegah timbulnya penyakit yang dapat membuat produktivitas sapi menurun.

(10)

Hampir semua peternak telah mengetahui manajemen pemeliharaan pedet yang baik, dikarenakan mereka telah mengetahui kegiatan proses kelahiran pedet hingga penyapihan dilakukan, hanya satu dua peternak yang tidak mengetahui dikarenakan baru memulai usaha dalam beternak sapi perah. Sebagian besar peternak tidak melakukan pencatatan secara mandiri, mereka kurang memperhatikan pentingnya catatan atau recording sehingga kebanyakan dari responden tidak memiliki catatan sendiri.

Pencatatan hasil produksi susu pun mengandalkan pihak yang menampung hasil susunya, dikarenakan mereka malas melakukan hal tersebut. Dalam hal mengetahui gejala penyakit sebagian besar peternak telah mengetahui jika sapinya terserang penyakit, dan salah satu tindakan yang dilakukan yaitu memberitahu mantri atau pihak kesehatan hewan. Responden beranggapan bahwa dalam hal pencegahan penyakit yang sangat perlu diperhatikan yaitu pakan yang diberikan dan kebersihan sapi beserta lingkungannya.

Responden yang termasuk dalam kategori tinggi pada umumnya sangat memperhatikan kebersihan ternak begitu juga dengan kandangnya. Responden tetap memandikan sapi walau dalam keadaan kondisi susah air, dengan cara membeli air. Responden yang termasuk kategori cukup pada umumnya melakukan pencatatan produksi susu secara mandiri, tidak hanya mengandalkan pecatatan dalam kartu yang diberikan oleh pihak penampung susu. Pada umumnya responden yang termasuk kategori cukup bahkan tinggi, mereka telah mampu mengetahui gejala serta pencegahan penyakit, misalnya dengan melalukan vaksinasi dan pemberian obat cacing secara teratur. Sedangkan responden yang termasuk kategori rendah pada umumnya dalam hal pemeliharaan memberikan kinerja yang seadanya, hal ini terlihat dari jumlah ternak yang dipelihara hanya satu sampai dua ekor, dan kurang adanya tindakan yang dilakukan apabila ternaknya sakit.

Kinerja peternak dalam tatalaksana kandang dan peralatan sebagian besar (63,33%) termasuk kategori cukup, 33,33% termasuk kategori tinggi dan 3,33% dalam kategori rendah. Hal ini dilihat dari sebagian besar kandang sapi perah berada didekat rumah peternak bahkan ada yang bersatu dengan rumah, hal tersebut dikarenakan untuk keamanan yaitu menghindari pencurian ternak. Dekatnya jarak rumah dengan kandang ini tidak sesuai dengan aturan Kementan (2010) dimana lokasi kandang yang seharusnya berjarak minimal 10 meter dari bangunan umum atau perumahan. Letak kandang yang berdekatan dengan rumah tidak membuat peternak merasa terganggu, karena mereka telah terbiasa dengan kondisi demikian. Konstruksi kandang masih tergolong tradisional dimana kebanyakan kandang sapi perah di daerah penelitian terbuat dari kayu atau bambu dengan beratapkan asbes, dilengkapi tempat makan dan minum serta selokan untuk pembuangan air dan kotoran.

(11)

Pada umumnya peternak yang termasuk kategori tinggi memiliki konstruksi kandang yang bagus dan kuat, dengan drainase kandang yang lebih baik serta peralatan kandang dan peralatan kegiatan pemerahan yang lebih lengkap. Alat-alat yang digunakan untuk memerah sebelum dan setelahnya dicuci menggunakan air bersih bila perlu menggunakan deterjen dan dibilas dengan air hangat untuk membunuh mikroba dan melarutkan lemak susu yang menempel.

Respoden yang termasuk kategori cukup juga pada umumnya memiliki konstruksi kandang cukup yang baik, namun drainase yang ada tidak permanen serta peralatan kandang dan kegiatan pemerahan yang cukup memadai. Sedangkan responden yang termasuk kategori rendah, pada umumnya memiliki konstruksi kandang yang kurang kuat dan mulai rusak akibat keterbatasan modal, selain itu kurangnya drainase di kandang akibat tidak adanya selokan karena lantai kandang bawah terbuat dari kayu bercelah, sehingga air limbah langsung turun dan tidak adanya kolam penampungan kotoran. Kotoran langsung dibuang ke kebun, namun beberapa responden ada yang menampungnya terlebih dahulu dikolam penampungan sebelum dibuang ke kebun, selain itu ada juga yang menampung kotoran sapinya ke dalam karung lalu menjualnya sebagai pakan cacing atau untuk pupuk pertanian.

Namun baik responden yang termasuk kategori tinggi, cukup atau rendah masih banyak yang kurang memperhatikan kebersihan atau tingkat sanitasi alat-alat yang digunakan dinilai rendah, pencucian peralatan hanya dengan menggunakan air dingin, padahal air hangat atau panas dianjurkan untuk membunuh bakteri atau menghilangkan sisa susu yang masih menempel pada alat tersebut.

Kinerja peternak dalam tatalaksana pemerahan menunjukkan sebagian besar responden termasuk kategori cukup (76,67%), 13,33% termasuk dalam kategori tinggi dan 10% kategori rendah. Hal ini dikarenakan sebagian besar peternak melakukan dengan teknik pemerahan whole hand yaitu puting susu dipegang diantara ibu jari dan keempat jari lainnya sejalan dengan pendapat Sindoredjo (1995), pemerahan dengan teknik Whole hand

merupakan pemerahan yang terbaik karena tidak menimbulkan rasa sakit pada sapi dan menimbulkan rasa sama seperti pada waktu anak sapi menyusu induknya, selain itu metode ini juga mempunyai keuntungan karena produksi susu yang dihasilkan akan lebih banyak.

Responden yang termasuk kategori tinggi biasanya melakukan penyemprotan sebagai disinfektan pada ambing setelah pemerahan untuk menghindari mikroba, selain itu lebih memperhatikan kebersihan pemerah, sapi, dan alat-alat yang digunakan. Sama halnya dengan peternak yang termasuk kategori tinggi, peternak yang termasuk kategori sedang juga memperhatikan hal tersebut namun pembersihan ambing sebelum pemerahan dilakukan

(12)

dengan kain bersih yang dibasahi oleh air dingin bukan air hangat untuk merangsang pengeluaran susu. Sedangkan peternak yang termasuk kategori rendah biasanya kurang memperhatikan kebersihan pemerah, sapi dan alat-alat yang digunakan.

Pada umumnya peternak yang termasuk kategori tinggi, cukup, maupun rendah telah mengetahui bahwa sapi laktasi bunting, dua bulan sebelum melahirkan harus dikeringkandangkan yang artinya tidak dilakukan proses pemerahan. Hal ini perlu dilaksanakan untuk memberi kesempatan istirahat sel-sel ambing untuk menyiapkan produksi susu yang akan datang (Dinas Peternakan, 1991). Selain itu tidak ada responden yang melakukan dipping atau pencelupan. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1990) sebaiknya bagian puting dicelupkan ke dalam desinfektan sekitar empat detik setelah selesai diperah untuk menghindari terjadinya mastitis. Hal tersebut dikarenakan responden yang tidak memiliki bahan dan keterbatasan biaya untuk membelinya.

Kinerja peternak dalam aspek produktivitas dilihat dari indikator tingkat harga yang dicapai menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kategori cukup (56,67%), 33,33% termasuk kategori rendah dan 10% kategori tinggi. Sedangkan pada indikator aspek produksi menunjukkan sebagian besar responden termasuk kategori tinggi (56,67%), 36,67% termasuk kategori cukup dan 6,66% termasuk kategori rendah. Hal ini terlihat dari tingkat produksi susu harian diatas 15 liter/ekor/hari dengan harga susu berkisar antara Rp. 4.300 – Rp. 4.600 per liter. Harga susu dari setiap kelompok berbeda-beda tergantung dari pihak yang menerimanya dan kualitas susu yang dihasilkan. Pendapatan yang diperoleh setiap bulannya oleh sebagian besar responden mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Responden yang termasuk kategori tinggi pada umumnya memiliki penerimaan dari hasil penjualan susu yang diproduksi bisa mencapai diatas dua juta/bulan, sedangkan responden yang termasuk kategori cukup pada umumnya hanya memiliki penerimaan dari hasil penjualan susu yaitu satu sampai dua juta/bulan dan responden yang termasuk kategori rendah hanya memiliki penerimaan dari hasil penjualan susu dibawah satu juta/bulan dan pada umumnya dikarenakan produksi susu yang dihasilkan masih sedikit sehingga pendapatannya pun masih rendah dan tidak dapat menutupi biaya input yang telah dikeluarkan. Hal tersebut disebabkan karena responden baru mencoba untuk memulai usaha sapi perah dengan kepemilikan ternak sapi perah hanya sebatas satu ekor. Pendapatan peternakpun disesuaikan dengan banyaknya ternak sapi perah yang dipelihara, semakin banyak sapi produktif yang menghasilkan susu semakin tinggi pula tingkat pendapatannya.

(13)

Kualitas susu yang dihasilkan sudah tergolong baik, dilihat dari kadar Total Solid susu yang rata-rata diatas 11%, hal ini sesuai dengan pendapat Nurhadi (2010) yang menyatakan bahwa standar kualitas susu yang ditetapkan oleh IPS untuk Total Solid minimal 11%. Namun kualitas susu ini sewaktu-waktu dapat menurun mengingat peternak belum secara keseluruhan memperhatikan penanganan susu setelah pemerahan. Hal ini terlihat dari susu segar yang didiamkan cukup lama dalam ember plastik tanpa perlakuan sebelum diambil oleh pihak penampung susu, yang kemungkinan besar terkontaminasi air hujan apabila pengambilan susu dilakukan ketika hujan datang, kondisi tersebut dapat mempengaruhi kualitas susu menjadi rendah.

Hubungan Motif Beternak dengan Kinerja Peternak Sapi Perah

Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan statistik korelasi Rank Spearman (rs),

hubungan antara motif beternak (X) dengan Kinerja Peternak (Y) menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,663. Berdasarkan aturan Guilford terhadap nilai rs tersebut, maka hubungan

antara kedua variabel dengan rs = 0,663berada pada kisaran 0,40 < rs < 0,70. Hasil tersebut

dikategorikan hubungan dua variabel termasuk kedalam hubungan cukup berarti. Hubungan ini menandakan bahwa kedua variabel yaitu motif beternak dan kinerja peternak saling berhubungan dan berbanding lurus. Artinya saat variabel motif beternak meningkat, maka varibel kinerja peternakpun akan meningkat, demikian sebaliknya.

Motif merupakan alasan responden melakukan kegiatan beternak, dimana dimensi dari motif itu sendiri yaitu harapan, peluang dan pemenuhan. Peternak yang memiliki motif beternak yang sedang bahkan tinggi cenderung akan berusaha agar keinginannnya dapat tercapai karena mereka memiliki harapan-harapan agar kebutuhannya terpenuhi, hal tersebut akan mempengaruhi kepada tingkat kinerja peternak.

Kinerja dalam hal ini merupakan gambaran apa yang dilakukan dalam konteks penerapan sapta usaha meliputi tatalaksana pemilihan bibit dan reproduksi, makanan ternak, pemeliharaan, peralatan dan kandang, dan tatalaksana pemerahan sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan memiliki nilai jual tinggi ke pihak yang menerimanya, sehingga ada kaitan bahwa kinerja tersebut tidak bisa dilepaskan dari motif.

Setiap peternak sapi perah memiliki harapan bahwa usahanya dapat memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan, serta apabila dilihat dari peluang usaha sapi perah di wilayah Cipageran ini tergolong cukup karena ketersediaan lahan yang masih memadai meskipun mulai semakin berkurang. Selain itu sudah adanya pasar walaupun harga yang diterima masih belum optimal sehingga pemenuhannyapun dirasa belum optimal.

(14)

Para peternak sapi perah dalam kinerjanya termasuk kategori cukup, karena dalam tatalakasana pemilihan bibit, pemeliharaan, perkandangan serta tatalaksana pemerahan belum sepenuhnya memperhatikan aspek-aspek yang seharusnya dilakukan dalam budidaya sapi perah yang ideal.

Memiliki motif yang cukup dapat menghasilkan sebuah motivasi yang cukup pula, karena motiflah yang melatarbelakangi timbulnya sebuah motivasi. Motivasi yang cukup ini menimbulkan suatu dorongan untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya hingga memperoleh hasil yang diharapkan. Hal tersebut akan membuat peternak memiliki semangat untuk mencapai tujuan dalam usaha ternaknya sehingga kinerja peternak baik aspek zooteknis maupun aspek produktivitas dapat meningkat. Keadaan tersebut akan membuat mereka mampu dalam mengembangkan usaha yang awalnya hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadi suatu usaha yang dapat meningkatkan taraf hidupnya.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

1. Motif beternak sapi perah dalam penelitian ini secara umum termasuk dalam kategori cukup (70%).

2. Kinerja peternak dalam berusaha sapi perah secara umum termasuk dalam ketegori cukup (60%).

3. Terdapat hubungan yang cukup erat antara motif beternak dengan kinerja peternak dalam berusaha sapi perah, hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan (rs = 0,663).

2. Saran

1. Adanya transparansi mengenai hasil kualitas susu dari pihak penampung susu, sehingga peternak dapat meningkatkan kinerjanya untuk memperoleh hasil yang baik dan mencapai harga yang tinggi.

2. Peternak sebaiknya dapat meningkatkan skala kepemilikan sapi perahnya agar pemenuhan kebutuhan dapat terpenuhi.

3. Pemerintah dalam memberikan bantuan kepada peternak sebaiknya dilakukan secara merata pada semua kelompok agar secara keseluruhan peternak bergairah untuk meningkatkan kinerjanya.

(15)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Lilis Nurlina, M.Si. selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Unang Yunasaf, Msi. selaku dosen pembimbing anggota, serta para peternak sapi perah Kelurahan Cipageran yang telah bersedia menjadi informan pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Pedoman Identifikasi Faktor Penentu Teknis

Peternakan. Jakarta.

Kementrian Pertanian. 2010. Petunjuk Praktis Perkandangan Sapi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BPTP-NTB. Mataram.

________. 2014. Populasi dan Produksi Peternakan di Indonesia. Ditjennak dan Keswan. Jakarta.

Makin, Moch dan Suharwanto Dwi. 2012. Performa Sifat-sifat Produksi Susu dan Reproduksi

Sapi Perah Fries Holland Di Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak, Vol.12, No.2. Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Nurhadi, Muflich. 2010. Dimensi Sosiologi Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Susu Sapi

Perah (Studi Kasus di KUD Jatinom, Kabupaten Klaten). Sosiologi FISIP Universitas

Sebelas Maret Surakarta. ISSN:0215-9635, Vol 25 No.2 Tahun 2010.

Paturochman, Maman. 2012. Penentuan Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel (Untuk

Penelitian Sosial Ekonomi). Unpad Press. Bandung.

Rusadi, Rahmadhanil P, Madi Hartono, Siswanto. 2015. Service Per Conception Pada Sapi Perah Laktasi di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

(Bbptu-Hpt) Baturraden Purwokerto Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu

Vol.3(1): 29-37.

Safaria, Triantoro. 2004. Kepemimpinan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sindoredjo, S. 1960. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu, Proyek Pengembangan Ternak

Pusat. Direktorat Pengembangan Produksi Peternakan Direktorat Jendral Peternakan.

Jakarta.

Siregar, S.B. 1995. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta.

Soekartawi, John L. Dion, J. Brian Hardarker, A. Soeharjo. 1986. Ilmu Usahatani dan

Penelitian Untuk Perkembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.

Gambar

Tabel  1.  Penilaian  Tingkat  Motif  Beternak  Sapi  Perah  di  Kelurahan  Cipageran  Kecamatan  Cimahi Utara
Tabel  2.  Penilaian Tingkat  Kinerja  Peternak  Sapi  Perah  di  Kelurahan  Cipageran  Kecamatan  Cimahi Utara

Referensi

Dokumen terkait

Sistem penanggulangan kebakaran pada Padepokan Seni Pertunjukan Musik, Tari dan Teater di Yogyakarta yaitu dengan peletakan tabung gas karbon dioksida di setiap ruangan dan

kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk yang melandasi proyeksi lama tidak. sesuai lagi

terserap pada waktu kesetimbangan pada variasi massa adsorben dan suhu adsorpsi secara batch menggunakan kurva kalibrasi atau persamaan linieritas larutan standar

CaCO3(s) → CaO(s) + CO2(g) …(1) Setelah proses kalsinasi, batu kapur didinginkan dalam furnance sampai suhu menunjukkan suhu ruang karena penurunan panas yang

Keton atau alkanon adalah suatu senyawa turunan alkana dengan gugus fungsi –C=O- yang terikat pada dua gugus alkil R dan R’.. Rumus

Rp347.080.000,00 CFiga Ratus Empat Puluh Tujuh Juta Delapan Puluh.

Sehubungan dengan Evaluasi Penawaran, Kami Panitia Pelelangan mengundang Saudara untuk dapat menghadiri Verifikasi dan Klarifikasi terhadap Perusahaan pada Kegiatan :. Pengadaan

Menurut Hasan (2013) dalam produk barang, bauran variabel pemasaran yang terkendali yang sering disebut sebagai basis strategi harus dikelola untuk memenuhi kebutuhan dan