• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS LAYANAN SEBAGAI PENDORONG KEPUASAN PELANGGAN DAN WORD-OF-MOUTH PADA KONTEKS PENDIDIKAN TINGGI ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS LAYANAN SEBAGAI PENDORONG KEPUASAN PELANGGAN DAN WORD-OF-MOUTH PADA KONTEKS PENDIDIKAN TINGGI ABSTRAK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS LAYANAN SEBAGAI PENDORONG KEPUASAN PELANGGAN DAN WORD-OF-MOUTH PADA KONTEKS PENDIDIKAN TINGGI

Whony Rofianto

Indonesia Banking School, Jakarta

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini berupaya untuk menelaah kualitas layanan pendidikan tinggi sebagai pendorong kepuasan pelanggan, dalam hal ini mahasiswa, dan implikasinya terhadap word-of-mouth sebagai salah satu indikasi loyalitas pelanggan. Data empiris dihimpun melalui survei terhadap sampel mahasiswa PTN dan PTS di daerah JABODETABEK. Hipotesis yang diajukan diuji menggukana struktural equation model. Berdasarkan data empiris yang dihimpun dapat disimpulkan bahwa secara umum

academic service quality, administrative service quality dan facilities service quality berdampak positif pada kepuasan pelanggan. Sementara itu kepuasan pelanggan juga menunjukkan dampak positif bagi inisiasi word-of-mouth positif. Lebih jauh lagi, secara umum facilities service quality dibuktikan sebagai alternatif pendorong kepuasan pelanggan yang menonjol pada jangka pendek, sementara

academic service quality perlu dipertimbangkan dalam menentukan strategi jangka panjang.

Kata kunci:satisfaction, service quality, word-of-mouth, higher education.

1. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi yang semakin cepat khususnya yang terkait dengan komunikasi dan informasi membawa dampak pada semakin dinamisnya lingkungan pemasaran. Konsumen berevolusi menjadi lebih banyak menuntut, menginginkan banyak hal secara instan, memegang kendali, mudah berpaling, mencari pengalaman baru, serta semakin vokal (Baker, 2003; Ryan & Jones, 2009). Hal ini diiringi dengan semakin banyaknya pemain pada setiap kategori industri yang berdampak

pada terciptanya kondisi

hypercompetition. Pendidikan tinggi sebagai salah satu kategori industri jasa

Sejumlah penelitian telah mencoba menelaah faktor kualitas layanan sebagai pendorong kebertahanan hidup institusi pendidikan tinggi (seperti Abdullah, 2006; Trivellas & Dargenidou, 2009). Telaah tersebut kebanyakan didasarkan pada ukuran kualitas layanan SERVQUAL (Parasuraman, Zeithaml, & Berry, 1988) sebagai ukuran kualitas yang sering dijadikan acuan dalam pembahasan jasa. Penelitian ini akan mencoba menggali dimensi kualitas layanan yang lebih spesifik pada konteks jasa pendidikan tinggi sebagai faktor pendorong keberhasilan layanan pendidikan tinggi.

Dalam penelitian ini, faktor pendorong tersebut akan ditinjau pula

(2)

2 keberhasilan pemasaran. Pada

pembahasan pemasaran kepuasan pelanggan sering digunakan sebagai salah satu ukuran keberhasilan pemasaran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kepuasan pelanggan akan diangkat sebagai salah satu konstruk yang didorong oleh faktor pendorong keberhasilan layanan pendidikan tinggi. Loyalitas juga merupakan ukuran keberhasilan pemasaran yang sering digunakan dalam telaah disiplin pemasaran. Namun demikian pada konteks pendidikan tinggi perlu dipertimbangkan penggunaan indikator loyalitas yang lebih spesifik mengingat tidak semua indikator loyalitas akan serta merta cocok untuk digunakan. Sebagai contoh, indikator niat membeli kembali akan sangat terbatas penggunaannya pada konteks pendidikan tinggi karena secara umum suatu layanan pendidikan tinggi dari satu merek hanya dikonsumsi sekali. Atas pertimbangan tersebut, penelitian akan mengangkat word-of-mouth sebagai implikasi dari kualitas layanan pendidikan tinggi dan kepuasan pelanggan.

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dijabarken secara lebih spesifik tiga tujuan utama dari penelitian ini. Pertama, penelitian ini akan mengimplementasikan dimensi kualitas layanan yang lebih spesifik pada konteks pendidikan tinggi di Indonesia. Kedua, penelitian ini akan menguji pengaruh dimensi kualitas layanan pendidikan tinggi pada kepuasan pelanggan. Ketiga, penelitian ini akan menguji keterkaitan antara kepuasan pelanggan dengan

word-of-mouth pada konteks pendidikan tinggi.

2. TINJAUAN LITERATUR

Dalam ranah disiplin pemasaran memang telah coba diajukan sejumlah

instrument untuk mengukur dan menjelaskan kualitas layanan, khususnya pada industri jasa. Instrumen pengukuran SERVQUAL (Parasuraman et al., 1988, 1994) merupakan alternatif instrument yang paling popular. Instrumen ini terdiri atas 22 indikator pengukuran yang dikategorikan ke dalam lima dimensi kualitas layanan yaitu reliability, tangibles, responsiveness, assurance dan empathy.

Terlepas dari kepopulerannya, instrument SERVQUAL menerima sejumlah kritik. Kritik yang paling menonjol terkait dua hal. Pertama, masalah kendala aplikasi dari konsep pengukuran ganda, persepsi versus ekspektasi yang di dalam prakteknya membawa ketidakpraktisan. Kedua, masalah generalisasi penerapan ukuran pada berbagai konteks industri jasa yang sedikit banyak memiliki perbedaan satu dengan lainnya (Trivellas & Dargenidou, 2009).

Terkait dengan masalah kecocokan instrument SERVQUAL untuk diaplikasikan pada beragam konteks jasa, pada literatur pemasaran dapat ditemui sejumlah alternatif pengukuran kualitas layanan yang pernah diajukan. Seng & Ling (2013) mengusulkan kualitas layanan diukur melalui dimensi instructor, learning resources, academic

course, assessment dan student’s

engagement. Sementara itu, penelitian

lain menyarankan dimensi

non-akademik, akademik, reputasi, akses, program dan kemengertian (Abdullah, 2006). Penelitian ini akan menelaah kualitas layanan pada konteks pendidikan tinggi dengan dimensi kualitas layanan yang lebih umum terlebih dahulu yaitu academic service quality, administrative service quality

dan facilities service qualiy (Sultan & Wong, 2012).

Sejumlah penelitian terdahulu pada berbagai konteks telah mengungkap

(3)

bahwa kualitas layanan akan berpengaruh pada kepuasan pelanggan. Kepuasan merupakan evaluasi pelanggan secara keseluruhan atas performa suatu produk atau jasa (Johnson and Fornell 1991). Parasuraman et. al. (1988) menawarkan konsep kepuasan sebagai selisih antara persepsi dan ekspektasi pelanggan terhadap layanan pada konteks jasa. Kualitas layanan yang baik, dalam hal ini persepsi pelanggan atasnya melebihi ekspektasi yang sudah dibayangkan sebelumnya akan menyebabkan perasaan senang atau tidak kecewa di sisi pelanggan. Rasa senang, tidak menyesal dan merasa mengambil pilihan produk yang tepat inilah yang disebut sebagai kepuasan (Oliver, 1980). Penggunaan secara berulang akan mendorong respon afektif positif pelanggan terhadap produk atau layanan (Oliver, 1999). Berdasarkan evaluasi pelanggan yang terbangun seiring berjalannya waktu, kualitas layanan akan mendorong tingkat kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi (Bolton & Lemon, 1999; Fornell et al. 1996). Berdasarkan argumentasi tersebut diajukan hipotesis pertama sebagai berikut.

H1: Tingginya penilaian akan aspek (a) academic service quality, (b) administrative service quality dan (c) facilities service qualiy akan mendorong semakin tingginya kepuasan pelanggan.

Loyalitas merek sebagai salah satu indikator keberhasilan pemasaran dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu

attitudinal dan behavioral. Loyalitas

attitudinal didefinisikan sebagai tingkat komitmen konsumen terhadap suatu merek, sementara itu loyalitas merek

behavioral didefinisikan sebagai

Loyalitas yang diindikasikan dengan perilaku nyata seperti pembelian ulang (Chaudhuri & Holbrook, 2001). Pada konteks industri pendidikan loyalitas

behavioral seperti intensitas pembelian ulang atau share of wallet sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, pada konteks ini lebih mudah untuk meninjau loyalitas dari aspek attitudinal.

Loyalitas merek attitudinal biasanya diindikasikan dengan keinginan untuk membeli kembali, tidak mudah berpaling dan mengatakan hal positif tentang produk atau merek (Brakus, Schmitt & Zarantonello, 2009; Yoo & Donthu, 2001). Mengatakan hal positif tentang suatu produk atau merek sering juga disebut sebagai efek positive word-of-mouth.

Perasaan senang atau tidak kecewa seorang pelanggan atas suatu produk atau jasa kemungkinan akan diungkapkan seseorang kepada orang lain melalui aktivitas komunikasi. Pengungkapan tersebut dapat berupa informasi positif atau informasi negatif. Secara historis, kepuasan telah digunakan untuk menjelaskan loyalitas sebagai intensi behavioral (Gustafsson, Johnson & Roos, 2005). Kepuasan sebagai hasil evaluasi terhadap suatu layanan memperbesar kemungkinan seorang pelanggan untuk melakukan perilaku pembelian ulang dan menyebarkan word-of-mouth positif (Boulding et al. 1993). Berdasarkan argumentasi tersebut diajukan hipotesis sebagai berikut.

H2: Kepuasan yang tinggi terhadap

suatu layanan akan

meningkatkan inisiasi positif word-of-mouth.

(4)

4

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan karakteristik populasi atau menggambarkan hubungan antar variabel penelitian (Cooper & Schindler, 2011). Pengambilan informasi dari sampel dilakukan hanya sekali, hal ini berarti penelitian ini menggunakan desain cross-sectional yang lebih sering digunakan pada penelitian deskriptif dibandingkan dengan desain

longitudinal (Maholtra, 2007).

Pengujian hipotesis akan didasarkan pada analisis terhadap data primer sebagai data yang dihimpun secara khusus untuk suatu tujuan penelitian (Aaker, Kumar, Day & Leone, 2011). Data tersebut akan dihimpun melalui survei, suatu metode untuk memperoleh informasi dari responden melalui kuesioner atau interview

(Malhotra, 2007). Survei merupakan metode yang cocok dipergunakan ketika peneliti hendak mengukur sikap, aktivitas, opini atau kepercayaan dari responden (Christensen, Johnson & Turner, 2011).

Populasi merupakan keseluruhan individu, atau objek ketertarikan dalam suatu penelitian (Lind, Marchal, &

Wathen, 2008). Penelitian ini akan dibatasi pada konteks perguruan tinggi di JABODETABEK sebagai wilayah yang dapat dipandang sebagai sampel kualitas pendidikan yang relatif baik dari keseluruhan wilayah di Indonesia dan data akan dihimpun melalui mahasiswa aktif sebagai pelanggan dari industri pendidikan tinggi selaku unit analisisnya. Oleh karena itu, populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa aktif di wilayah JABODETABEK.

Pada kebanyakan penelitian, tidak dimungkinkan untuk mengikutsertakan keseluruhan anggota populasi. Oleh karena itu sampel sebagai bagian dari populasi kemudian dipilih untuk mewakili populasi dalam suatu penelitian (Meyers, Gamst & Guarino, 2006). Dalam hal ini sampelnya adalah perwakilan dari mahasiswa aktif di wilayah JABODETABEK yang terpilih sebagai responden penelitian.

Pada penelitian ini data akan dihimpun melalui survey. Instrumen pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi kuesioner offline dan kuesioner online.

Untuk kuesioner online yang berbasis web bersifat self-administered yang berarti responden bebas menjawab pertanyaan dalam kuesioner kapanpun tanpa campur tangan peneliti (Cooper &

Schindler, 2011). Untuk

(5)

mengakomodasi dua tipe media penghimpunan data tersebut, peneliti memilih teknik sampling purposive.

Alat ukur academic service quality

(ACQ), administrative service quality

(ADQ), facilities service quality (FSQ)

dan customer satisfaction (CSAT)

diadopsi dari Sultan & Wong (2012). Sementara itu ukuran positive word-of-mouth (WOM) diadopsi dari (Hanzaee & Alinejad, 2012). Total indikator yang dipergunakan adalah 37 dan jumlah sampel ditargetkan sebanyak sembilan kali jumlah indikator yaitu 333 sampel (Hair et al., 2006).

Analisis pada penelitian ini akan dimodelkan melalui model Structural Equation Modeling. Structural Equation Modeling (SEM) dipilih sebagai model dan alat analisis dalam penelitian ini berdasarkan beberapa alasan. Pertama, SEM dapat menguji derajat kecocokan secara umum atau goodness of fit (GOF) antara data dengan model yang diajukan (Wijanto, 2008). Kedua, dapat mengestimasi hubungan antar vaiabel terikat yang saling terkait secara simultan melalui model struktural. Ketiga, dapat merepresentasikan konsep laten (unobserved) dan melakukan koreksi atas measurement error (Hair et al., 2006). Keempat, prosedur SEM dapat melibatkan variabel latent (unobserved) dan variabel observed

(Byrne, 1998). Untuk mengukur

kecocokan model digunakan parameter berupa Normed chi-square (2/df), root mean square error of approximation

(RMSEA) dan comparative fit index

(CFI) sebagaimana disarankan Hair et al. (2006).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis

Dari hasil penghimpunan data yang dilakukan di lapangan didapatkan sampel sebanyak 352 responden yang berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS)

di JABODETABEK. Dengan

pertimbangan syarat kecukupan sampel pada structural equation model

diputuskan untuk menggunakan 333 sampel, yaitu 9 kali 37 indikator dari keseluruhan sampel yang dihimpun. Dari keseluruhan sampel yang dipergunakan dalam analisis 127 sampel berasal dari PTN sementara 206 sampel berasal dari PTS.

Berdasarkan estimasi pada model pengukuran diketahui bahwa sejumlah indikator memiliki nilai standardized loading factor di bawah 0,7 yaitu ACQ07, ACQ08, ACQ09, ADQ10, FSQ05 dan FSQ06. Setelah keenam indikator tersebut dikeluarkan dari analisis diperoleh model pengukuran dengan seluruh nilai standardized loading factor di atas 0,7 yang berarti

(6)

6 memenuhi kriteria validitas konstruk

yang baik (Wijanto, 2008). Berdasarkan hasil estimasi model pengukuran setelah menghilangkan keenam indikator tersebut diperoleh nilai average

variance extracted dan composite

reliability sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kelima perangkat yang digunakan untuk mengukur konstruk penelitian yang digunakan adalah reliable.

Hasil estimasi model secara keseluruhan mengindikasikan nilai normed chi-square sebesar 2.995, RMSEA sebesar 0.077 dan CFI sebesar 0.920, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan model penelitian yang diajukan memiliki tingkat kecocokan model yang baik. Untuk mendapatkan gambaran secara lebih mendalam estimasi model juga dilakukan untuk kelompok spesifik sampel PTN dan sampel PTS.

Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa secara umum

seluruh hipotesis yang diajukan didukung oleh data. Estimasi pada model untuk sampel PTS juga mengindikasikan bahwa seluruh hipotesis didukung oleh data. Namun demikian, hasil estimasi pada model untuk sampel PTN mengindikasikan pola yang sedikit berbeda. Pada estimasi sampel PTN pengaruh academic service quality terhadap kepuasan pelanggan tidak signifikan.

4.2 Kontribusi Teoritis

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada estimasi model struktural untuk keseluruhan sampel dan sampel PTS menunjukkan pola hubungan yang serupa. Academic service quality, administrative service quality dan facilities service quality

merupakan faktor pendorong kepuasan pelanggan pada pendidikan tinggi, pelanggan pada konteks ini adalah mahasiswa. Sementara itu, semakin tinggi kepuasan pelanggan juga berdapak pada semakin tingginya intensi

(7)

untuk menyebarkan positive

word-of-mouth. Hasil ini menambah

aspek generalisasi atas

penelitian-penelitian sebelumnya bahwa secara umum kepuasan pelanggan pada konteks pendidikan tinggi didorong oleh kualitas layanan. Pada penelitian ini kualitas layanan tersebut ditinjau dalam tiga dimensi yaitu Academic service quality, administrative service quality

dan facilities service quality

sebagaimana diusulkan oleh Sultan & Wong (2012). Penelitian ini juga mengkonfirmasi bahwa instrument pengukuran ketiga dimensi kualitas layanan pendidikan tinggi sebagaimana diajukan Sultan & Wong (2012) dapat diimplementasikan pada konteks lain, dalam hal ini sampel perguruan tinggi di Indonesia.

Di sisi lain, penelitian ini juga mengkonfirmasi adanya dampak positif dari kepuasan pelanggan pendidikan tinggi terhadap intensi untuk menyebarkan word-of-mouth positif. Pada konteks pendidikan tinggi, cara pandang terhadap konsep loyalitas pelanggan sebagai salah satu tujuan pemasaran tidak serta merta dapat diseragamkan dengan konteks produk atau jasa pada umumnya. Biasanya konsep loyalitas pelanggan diindikasikan dengan niat pembelian ulang dan tidak mudah berpaling kepada

merek lain. Pada konteks jasa pendidikan tinggi seringkali pilihan perguruan tinggi adalah pilihan sekali dan satu-satunya seumur hidup, khususnya pada mereka yang tidak melanjutkan pada jenjang pendidikan pasca sarjana. Dengan demikian tinjauan loyalitas pelanggan dari sisi niat pembelian ulang dan tidak mudah berpaling menjadi kurang relevan. Dalam hal ini akan lebih relevan jika loyalitas pelanggan pada konteks pendidikan tinggi ditinjau dari aspek intensi menyebarkan word-of-mouth.

Hasil estimasi model struktural pada sampel PTN mengindikasikan pola yang sedikit berbeda dengan sampel PTS yaitu tidak terbuktinya pengaruh

academic service quality terhadap

kepuasan pelanggan. Berdasarkan informasi nilai rata-rata evaluasi untuk masing-masing variabel sebagaimana disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa penilaian sampel PTN pada aspek

academic service quality justru

menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel PTS. Fakta tersebut menunjukkan bahwa aspek academic service quality dinilai baik oleh sampel PTN namun bukan menjadi penentu tingkat kepuasannya. Ada dua penjelasan yang mungkin dapat diangkat akan temuan ini. Pertama, kultur pada PTN di Indonesia di mana

(8)

8 dosen sangat dihormati dan ditempatkan

pada posisi yang tinggi berdampak pada mahasiswanya yang kemudian secara psikologis tidak mengakomodasi aspek tersebut dalam membentuk penilaian akan kepuasannya terhadap layanan pendidikan tinggi. Penjelasan kedua adalah karena academic excellence di PTN, terutama PTN favorit, cenderung dipersepsikan sudah baik maka tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menilai kepuasan terhadap layanan perguruan tinggi.

4.3 Implikasi Manajerial

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas layanan pendidikan tinggi merupakan pembentuk kepuasan pelanggan, dalam hal ini mahasiswa, yang pada akhirnya meningkatkan inisiasi penyebaran word-of-mouth

positif dari kalangan mahasiswa tersebut atau lebih jauh lagi hingga mereka menjadi alumni. Pada era modern ini di mana konsumen lebih mudah berpaling, cenderung tidak loyal, memegang kendali serta vokal (Baker, 2003; Ryan & Jones, 2009) tentunya peran media pemasaran melalui word-of-mouth

menjadi lebih penting. Pada konteks PTS tentunya hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat kebanyakan PTS mengandalkan sebagaian pendanaannya pada biaya kuliah dari mahasiswa yang berarti secara umum harga sulit untuk dijadikan sebagi nilai jual, hal ini ditambah dengan kondisi persaingan pada industri pendidikan tinggi semakin hari semakin ketat. Kondisi ini menjadikan kualitas layanan pendidikan tinggi penting untuk ditempatkan pada prioritas utama dalam menentukan strategi dan kebijakan suatu institusi pendidikan tinggi.

Apabila dilihat dari rata-rata nilai evaluasi kualitas layanan pendidikan tinggi, kepuasan pelanggan maupun kecenderungan untuk menyebarkan

word-of-mouth positif, sampel PTN

mendapatkan penilaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan PTS dalam semua aspek. Hal ini menjadi indikasi bahwa saat ini PTN masih patut dijadikan sebagai tolok ukur kualitas penyelenggaraan layanan pendidikan tinggi. Meskipun demikian perlu dijadikan catatan bahwa pada penelitian ini PTN yang dijadikan sampel adalah UI, IPB dan UNJ yang merupakan tiga PTN ternama di Indonesia, artinya kesimpulan ini belum bisa digeneralisasi untuk seluruh PTN di Indonesia.

Secara umum untuk keseluruhan sampel, fasilitas merupakan aspek yang dominan dalam membentuk kepuasan pelanggan pendidikan tinggi. Hal ini kemungkinan karena aspen inilah yang lebih mudah dilihat, dirasakan, dan dinilai dengan standar yang kurang lebih sama. Aspek kedua yang penting dalam membangun kepuasan pelanggan pendidikan tinggi adalah kualitas akademik. Hal ini dapat dipahami karena akademik merupakan aspek inti dalam layanan pendidikan tinggi. Aspek yang terakhir yang juga perlu diperhatikan adalah kualitas layanan akademik sebagai layanan penunjang dalam proses pendidikan tinggi. Fakta ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan manajerial dalam menyusun skala prioritas dalam mengelola layanan pendidikan tinggi. Satu hal yang perlu dipertimbangkan juga, meskipun kualitas fasilitas menjadi faktor yang dominan dalam penelitian ini, merupakan aspek yang relatif lebih mudah untuk diupayakan dan memberikan dampak langsung pada kepuasan pelanggan dalam jangka pendek, namun perlu dipertimbangkan bahwa untuk jangka panjang kualitas akademik sebagai inti dari layanan pendidikan tinggi memegang peranan yang sangat penting.

(9)

5. KESIMPULAN

Penelitian ini menambahkan aspek generalisasi pada instrumen pengukuran kualitas layanan pendidikan tinggi pada konteks sampel Indonesia. Penelitian ini juga menambahkan aspek generalisasi pada keterkaitan antara kualitas layanan, kepuasan pelanggan dan word-of-mouth sebagai salah satu bentuk indikator loyalitas pelanggan. Penelitian ini juga memberikan informasi tambahan bagai pengambilan keputusan manajerial dalam pengelolaan layanan pendidikan tinggi khususnya penentuan prioritas jangka pendek dan jangka panjang dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Terlepas dari kontribusi akademik dan implikasi manajerial yang dapat disumbangkan melalui penelitian ini, masih terbuka sejumlah agenda bagi penelitian lanjut pada bahasan kualitas layanan pada pendidikan tinggi. Pertama, penelitian ini menggunakan salah satu klasifikasi dimensi kualitas layanan pendidikan tinggi dari sekian banyak

klasifikasi yang pernah diusulkan. Hal ini berarti masih terbuka peluang untuk penelitian lanjut yang bersifat komparatif atau integratif terkait dengan klasifikasi dimensi dan instrument pengukuran kualitas layanan pada konteks pendidikan tinggi. Kedua, penelitian ini menggunakan sampel perguruan tinggi di JABODETABEK yang berarti masih terbuka peluang penelitian lanjut pada definisi sampel yang lebih luas untuk dapat digeneralisasi pada konteks pendidikan tinggi di Indonesia. Ketiga, penelitian ini menekankan pengamatan pada persepsi perguruan tinggi di mata mahasiswa sebaga pelanggan perguruan tinggi. Masih terbuka peluang untuk penelitian persepsi terhadap perguruan tinggi di mata stakeholder yang lain seperti calon mahasiswa, orang tua mahasiswa, industri atau bahkan masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Aaker, D. A., Kumar, V., Day, G. S. & Leone, R. P. (2011). Marketing research. Hoboken, N.J: Wiley.

Abdullah, F. (2006). Measuring service quality in higher education: HEdPERF versus SERVPERF. Marketing Intelligence Planning, 24(1), 31-47.

Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1988). On the evaluation of structural equation models. Journal of

the Academy of Marketing Science, 16(1), 74-94.

Baker, S (2003). New Consumer Marketing: Managing a Living Demand System, John Wiley & Sons.

Bolton, R. N., & Lemon, K. N. (1999). A Dynamic Model of Customersʼ Usage of Services: Usage as an Antecedent and Consequence of Satisfaction.Journal of Marketing Research, 36(2), 171-186.

(10)

10

Service Quality: From Expectations to Behavioral Intentions. Journal of Marketing Research, 30(1), 7-27.

Brakus, J. J., Schmitt, B. H., & Zarantonello, L. (2009). Brand Experience: What Is It? How Is It Measured? Does It Affect Loyalty? Journal of Marketing, 73(3), 52-68.

Byrne, B. M. (1998). Structural equation modeling with LISREL, PRELIS, and SIMPLIS:

Basic concepts, applications, and programming. Mahwah, N.J: L. Erlbaum Associates.

Chaudhuri, A., & Holbrook, M. B. (April 01, 2001). The Chain of Effects from Brand Trust and Brand Affect to Brand Performance: The Role of Brand Loyalty. The Journal of

Marketing, 65, 2, 81-93.

Christensen, L. B., Johnson, B., & Turner, L. (2011). Research methods, and design, and

analysis (11th ed.). Harlow: Pearson Education.

Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2011). Business research methods (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Fornell, C., Johnson, M. D., Anderson, E. W., Cha, J., & Bryant, B. E. (1996). The American Customer Satisfaction Index: Nature, Purpose, and Findings.Journal of Marketing, 60(4), 7-18.

Gustafsson, A., Johnson, M. D., & Roos, I. (2005). The effects of customer satisfaction, relationship commitment dimensions, and triggers on customer retention. Journal of Marketing, 69(4), 210-218.

Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B., Anderson, R. E & Tatham, R. L. (2006). Multivariate data

analysis. Upper Saddle River, N.J: Pearson Prentice Hall.

Hanzaee, K., & Alinejad, S. (2012). Service Experience Influence on Generating Positive Word-of-mouth. Research Journal of Applied Sciences, 4(24), 5609–5616.

Johnson, M. D., & Fornell, C. (1991). A framework for comparing customer satisfaction across individuals and product categories. Journal of Economic Psychology, 12(2), 267-286.

Kenny, D. A. (2012). Measuring Model Fit. http://davidakenny.net/cm/fit.htm, diakses bulan Mei 2013.

Lind, D. A., Marchal, W. G., & Wathen, S. A. (2008). Basic statistics for business &

economics. Boston: McGraw-Hill /Irwin.

Malhotra, N. K. (2007). Marketing research: An applied orientation (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson/Prentice Hall.

Meyers, L. S., Gamst, G., & Guarino, A. J. (2006). Applied multivariate research: Design and

interpretation. Thousand Oaks: Sage Publications.

Oliver, R. L. (1980). A Cognitive Model of the Antecedents and Consequences of Satisfaction Decisions. Journal of Marketing Research, 17 (November), 460–69.

(11)

33–44.

Parasuraman, A., Zeithaml, V. & Berry, L. (1988). SERVQUAL: a multiple-item scale for measuring consumer perceptions of service quality. Journal of Retailing, 64 (1), 12-40.

Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1994). Reassessment of expectations as a comparison standard in measuring service quality. Journal of Marketing, 58(January), 111-124.

Ryan, D. & Jones, C. (2009). Understanding Digital Marketing: Marketing Strategies for

Engaging the Digital Generation, Kogan Page.

Seng, E. L. K. & Ling, T. P. (2013). A Statistical Analysis of Education Service Quality Dimensions on Business School Students’ Satisfaction. International Education Studies, 6 (8), 136-146.

Sultan, P., & Wong, H. Y. (2012). Service quality in a higher education context: an integrated model. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics, 24(5), 755–784.

Trivellas, P. & Dargenidou, D. (2009). Leadership and service quality in higher education: The case of the Technological Educational Institute of Larissa. International Journal of

Quality and Service Sciences, 1 (3), 294-310.

Wijanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan

Tutorial. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Yoo, B. & Donthu, N. (2001). Developing and validating a multidimensional consumer-based brand equity scale. Journal of Business Research, 52(1), 1-14.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut hasil dari analisis pada skala perilaku konsumtif melalui online shop dapat diketahui bahwa tingkat perilaku konsumtif pada mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2016

Dari data lima tahun terakhir (2004 hingga tahun 2008) perdagangan biji kakao Indonesia ke wilayah Malaysia, Singapura dan Cina masih mengalami fluktuasi dan

Ini berarti bahwa setelah selector dipakai, wiper selalu dikembalikan ke tempat semula (permulaan jalan keluar ke 1) dan beban atau muatan trafik pada jalan-jalan keluar

dan faktor risiko demam sebagai faktor risiko terjadinya dehidrasi pada balita dengan diare. Demam merupakan salah satu faktor risiko terjadinya dehidrasi 9. Demam

organisasi untuk meninjau tujuan bisnis utama, resiko yang terlibat dalam mencapai tujuan bisnis dan kontrol internal untuk mengelola resiko bisnis dalam proses formal

Hasil evaluasi pada bagian pemotongan besi pipa dan besi pen dengan menggunakan tabel Severity Level terdapat 2 pekerja yang dalam kondisi sehat dan 5 alat atau bahan

Pada Tabel 1 hingga Tabel 8 berikut ini akan diperlihatkan jumlah total waku kedatangan bahan baku (emas), waktu proses emas di Mesin Lebur Kremik, waktu proses di Reaktor Kaca,

Dari keseluruhan data yang diperoleh, untuk penentuan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap infeksi protozoa usus ditentukan dengan analisis multivariat dengan