i
PENGASUHAN ORANG TUA DI YOGYAKARTA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh: Anita Septiningsih
099114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
Hidup ini seper t i r oda, kadang akan ber ada di at as,
kadang-kadang akan ber ada di bawah. Tidak pent ing ket ika kit a ber ada di at as
at au di bawah. Tapi yang paling pent ing adalah mensyukur i ket ika
sukses, dan sabar ket ika gagal.
- Hit am Put ih-
“You can when you believe”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ku persembahkan karya ini kepada : Bapaku yang ada di surga, TUHAN YESUS KRISTUS
Bapakku Sutarman
Ibukku Pudentiana Surani
Kakakku Andhika Kustaryono
Teman- temanku Psikologi USD Angkatan 20 09
vii
PENGASUHAN ORANG TUA DI YOGYAKARTA
Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Anita Septiningsih
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek pengasuhan orang tua yang tinggal di Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Penelitian ini menggunakan subjek orang tua (ayah & ibu) yang tinggal di Yogyakarta, dan masih memiliki anak dengan maksimal usia 10 tahun. Komposisi subjek dibuat cukup representatif, yaitu dapat mewakili lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan pekerjaan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar praktek pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua di Yogyakarta saat ini terkait dengan penanaman disiplin dan nilai-nilai, mendorong / mengajarkan pengelolaan diri, dan mengajarkan kemandirian. Praktek pengasuhan lainnya yang muncul terkait dengan perihal memberikan perhatian dan kasih sayang, memberikan dukungan dalam tugas akademik dan minat anak, memenuhi kebutuhan dasar, keterlibatan dan kehadiran dalam kegiatan anak, memberikan kesenangan pada anak, dan pengabaian. Cara-cara yang paling banyak digunakan orang tua dalam praktek pengasuhan antara lain memberikan nasehat pada anak, melibatkan secara langsung, dan memberikan contoh kepada anak.
viii
PARENTING IN YOGYAKARTA Study Psychology in Sanata Dharma University
Anita Septiningsih
ABSTRACT
The research aimed to know the parenting practices in Yogyakarta currently. The research used descriptive qualitative method. Researchers used an open interview method with the order written questions in detail. The subjects of this research was parents ( father and mother ) who lives in Yogyakarta, and still have a child bellow 10 years old. The results showed that parents in Yogyakarta mostly associated their child with discipline and value, encourage / teach self-management, and teach self-reliance. Other parenting practices that appear associated with attention and affection, providing support in academic work and interests of children, fullfill the basic needs, involve and presence at the child's activities, provide fun thing, and neglect. Javanese parent’s used same pattern in parenting practices include providing advice to the child, direct engagement, and provide an example to children.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang
atas limpahan rahmat dan kasih-Nya penulis bisa menyelesaikan tugas skripsi ini.
Perjuangan dalam menyelesaikan semua ini sungguh luar biasa. Begitu banyak
kesulitan dan hambatan yang penulis temui selama proses penyelesaian skripsi ini.
Tugas akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Sanata Dharma.
Terselesaikannya skripsi ini tentunya tak lepas dari dorongan, dukungan, dan
uluran tangan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
pihak-pihak yang ikut ambil bagian dalam penelitian ini. Beberapa pihak tersebut
adalah:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, S.Psi., M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang memberikan ijin untuk penelitian ini.
2. Ibu Agnes Indar Etikawati., S.Psi., M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi
yang dengan sabar mendampingi, memberikan perhatian, semangat, saran, dan
kritik yang membangun untuk penyelesaian skripsi.
3. Para dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji
hasil penelitian ini.
4. Bapak Agung Santoso, M.A. selaku ex dosen pembimbing akademik yang
selalu memberikan motivasi selama perkuliahan mengenai penulisan skripsi
xi
5. Ibu Tjipto Susana selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan semangat dan dorongan untuk terus maju dan tidak putus asa.
6. Seluruh dosen psikologi yang dengan sabar memberikan ilmunya yang
sungguh luar biasa, keakraban dengan mahasiswa yang sangat baik, sehingga
penulis merasa bahagia dan bangga berada di Fakultas Psikologi Sanata
Dharma Yogyakarta.
7. Segenap staf Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, dan Mas
Doni yang dengan sabar memberikan pelayanan dan membantu proses
kelancaran administrasi kepada penulis selama kuliah di sini.
8. Pak Gik yang selalu semangat bekerja, ceria saat disapa dan baik hati untuk
membukakan lift kepada penulis dan setiap mahasiswa yang membutuhkan.
Semangat terus Pak Gik.
9. Mitra perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah melayani dengan
sangat baik, sehingga mempermudah penulis selama menyelesaikan tugas
akhir ini dan penulis merasa kerasan selama di dalam perpustakaan.
10.Bapak dan Ibuku tersayang yang selalu memberikan semangat dan
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, dan terima
kasih untuk semua doa yang tak pernah putus diberikan untuk penulis.
11.Kakakku Andhika Kustaryono yang selalu menjadi tempat untuk bercerita
ketika penulis merasa putus asa. Terima kasih untuk doa, wejangan, dan
motivasi yang diberikan untuk membangkitkan semangat penulis.
12.Cella, Angel, Brigit, Sherly, Grety, Nao terima kasih untuk segala bentuk
xii
mendapatkan subjek tambahan sesuai dengan kriteria yang diharapkan penulis.
Bantuan kalian sungguh luar biasa untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
13.Christy, Indri, Vera, Leo teman-teman satu bimbingan, terima kasih untuk
canda tawanya, suka duka kita lewati bersama, dan kata “semangat” lah yang
selalu terucap dari kalian yang menambah semangat penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
14.Sherly, Ayu Bali, Wayan yang selalu memberikan semangat dan mengajarkan
banyak hal kepada penulis. Terima kasih untuk tambahan ilmunya yang
penulis rasa sangat kurang dalam pengetahuan sumber dan teori.
15.Terima kasih untuk seluruh subjek penelitian saya yang telah berbagi
pengalamannya dan sangat ramah kepada penulis.
16.Terima kasih untuk rumah belajar “Dobby” yang sangat ramah dan membantu
penulis mendapatkan subjek penelitian sehingga memperlancar penulis dalam
proses pengerjaan skripsi ini.
17.Semua teman-temanku di Psikologi angkatan 2009 yang saling berjuang
bersama selama empat tahun terakhir ini, saling memberikan motivasi dan
semangat saat penulisan skripsi. Semangat buat kalian yang dalam
menyelesaikan skripsi.
18.Prasma Bakcti terimakasih bisa menjadi teman, sahabat, dan kekasih yang
sabar menghadapi sikap penulis yang labil saat menjalani pengerjaan skripsi
ini, menjadi tempat keluh kesah penulis, dan canda tawa yang diberikan.
19.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang
xiii
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna dan tentunya masih memiliki banyak kesalahan, dan kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kepatutan dalam penelitian selanjutnya. Akhir kata, atas perhatian dan
dukungannya penulis ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 22 Mei 2014
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...xviii
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
1. Manfaat Teoritis ... 6
xv
BAB II: LANDASAN TEORI ... 8
A. Pengasuhan Orang Tua ... 8
1. Definisi Pengasuhan ... 8
2. Cakupan Pengasuhan ... 9
B. Yogyakarta dan Budaya Jawa ... 13
C. Pengasuhan Tradisional Orang Tua Jawa ... 14
D. Pengasuhan Orang Tua di Yogyakarta Saat Ini ... 16
E. Pertanyaan Penelitian ... 18
BAB III: METODE PENELITIAN ... 19
A. Jenis Penelitian ... 19
B. Fokus Penelitian ... 20
C. Subjek Penelitian ... 20
D. Metode Pengumpulan Data ... 21
E. Pedoman Wawancara ... 22
F. Prosedur Penelitian ... 23
G. Teknik Analisa Data ... 24
H. Teknik Keabsahan Data ... 25
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27
A. Proses Pengambilan Data ... 27
1. Pelaksanaan Penelitian ... 27
2. Identitas Subjek... 29
B. Analisis Hasil... 30
xvi
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 60
A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ... 60
1. Bagi Orang Tua ... 61
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pedoman Wawancara ... 22
Tabel 4.1 Pelaksanaan Wawancara Langsung ... 28
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Kategorisasi ... 67
Lampiran 2. Tabel Praktek Pengasuhan 1 ... 73
Lampiran 3. Tabel Praktek Pengasuhan 2 ... 85
Lampiran 4. Verbatim Subjek Keluarga Pertama ... 93
Lampiran 5. Verbatim Subjek Keluarga Kedua ... 105
Lampiran 6. Verbatim Subjek Keluarga Ketiga ... 121
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lingkungan yang paling berperan dalam
perkembangan anak. Di dalam keluarga, orang tua adalah pihak yang
sangat bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Oleh karenanya, orang
tua berkewajiban untuk mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak agar
mampu mandiri (Moesono, 2003). Peran pengasuhan dan pendampingan
orang tua adalah sesuatu yang sangatlah penting di dalam keluarga. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Astuti (2004) bahwa peran
orang tua lebih besar di dalam keluarga daripada peran lingkungannya.
Bagaimana anak dididik dan dibesarkan oleh orang tua dalam sebuah
keluarga akan membawa dampak yang sifatnya bukan sementara, namun
termanifestasi selama hidup anak tersebut, baik dalam perilaku, pola pikir,
maupun cara pandang anak. Masalah pengasuhan menjadi menarik untuk
dibahas karena pengasuhan merupakan dasar utama orang tua dalam
mengasuh dan mendidik anak dan pengasuhan akan berpengaruh pada
kepribadian anak. Orang tua memiliki tanggung jawab dalam
mengembangkan eksistensi anak melalui pengasuhannya (Gunarsa, 1998).
Pengasuhan orang tua adalah cara khas orang tua dalam
terbentuknya kepribadian yang kuat (Hadinoto, 1991). Pengasuhan sering
dipahami dalam dua konteks yakni pola asuh (parenting style) dan praktek
pengasuhan (parenting practice).
Berdasarkan referensi dari barat, selama ini pola asuh seringkali
dibedakan atas pola asuh otoriter, permisif, dan demokratis (Baumrind
dalam Hurlock, 1993). Pola asuh permisif kemudian dibedakan menjadi
dua yakni permissive-indulgent dan permissive-indifferent (Baumrind
dalam Santrock, 2002). Pola asuh otoriter memberikan kendali yang
tinggi, kurang menunjukkan kehangatan serta mengharuskan anak
mematuhi peraturan yang telah dibuat. Pada pola asuh demokratis, orang
tua memberikan perhatian penuh, menunjukkan kehangatan pada anak,
dan menghargai kebebasan anak. Pola asuh permisif tidak mengajarkan
peraturan kepada anak dan tidak akan menghukum anak ketika melanggar
peraturan. Pada pola asuh permissive-indulgent, orang tua sangat
memanjakan dan melindungi anak, sedangkan pada pola asuh
permissive-indifferent orang tua justru sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak dan
cenderung menelantarkan anak.
Menurut Darling & Steinberg (dalam Spera, 2005) menjelaskan
bahwa praktek pengasuhan adalah suatu perilaku tertentu yang digunakan
orang tua untuk mensosialisasikan anak. Dalam praktek pengasuhan
(parenting practice) tidak ada kategorisasi dan tidak ada organisasi dalam
pengasuhannya. Artinya, pengasuhan itu tidak dapat digolongkan karena
Selain itu, praktek pengasuhan lebih menggambarkan perilaku pengasuhan
yang dilakukan.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan
gambaran mengenai praktek pengasuhan orang tua yang tinggal di
Yogyakarta. Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa selain
Surakarta. Selain itu, keberadaaan keraton Yogyakarta dipandang sebagai
salah satu pusat budaya yang masih kental dengan nilai-nilai budaya
Jawa.
Begitu banyak warisan budaya yang ada, yang menjadikan kota
Yogyakarta menarik perhatian para pendatang dari luar, dan tidak sedikit
pula orang untuk tinggal di Yogyakarta. Bahkan masyarakat pendatang
yang masuk dan tinggal di Yogyakarta turut mengenal dan berperan dalam
mempraktekkan budaya yang ada di Yogyakarta (Prabowo, 2011).
Akulturasi merupakan perubahan dalam cara pengasuhan yang dihasilkan
dari kontak secara terus menerus dengan budaya lain (Segall, 1999; dalam
Sarah Wise & Lisa da Silva,2007). Sebagai contoh adalah kasus migrasi
orang dari suatu daerah yang menyesuaikan diri dengan budaya yang ada
dalam daerah lain.
Pengasuhan anak sangat bergantung pada nilai-nilai budaya yang
ada dalam keluarga. Kebudayaan asal orang tua akan mempengaruhi
pengasuhannya kepada anak (Geertz, 1983). Budaya Jawa merupakan
memiliki nilai-nilai keluhuran dan kearifan budaya yang menjadi ciri khas
masyarakat Jawa. Budaya Jawa memiliki ciri khas yang sangat kental
dengan tata krama yang mementingkan unggah-ungguh dan sopan santun
(Geertz, 1983).
Pengasuhan anak dalam budaya Jawa bertujuan untuk membentuk
anak menjadi orang Jawa. Geertz (1983) menyatakan bahwa anak-anak itu
harus menjadi orang Jawa sepenuhnya yakni njawani yang berarti anak
dapat berperilaku sopan, bijak, matang, serta berperilaku rukun. Kesadaran
individu sebagai orang Jawa selalu berpedoman pada dua prinsip dasar,
yaitu prinsip rukun dan hormat yang menjadi dasar setiap perilaku.
Kemahiran dalam mempergunakan sikap hormat yang tepat dikembangkan
pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan di dalam keluarga.
Sebagaimana dikemukakan oleh Geertz (1983), untuk mencapai tujuan
pendidikan itu cara yang digunakan berdasarkan nilai-nilai budaya Jawa
adalah dengan mengajarkan anak-anaknya untuk wedi, isin, dan sungkan.
Wedi berarti takut sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai
rasa takut terhadap sesuatu yang asing akibat kurang menyenangkan dari
suatu tindakan. Isin berarti malu, enggan, canggung, merasa bersalah
akibat suatu pelanggaran sosial yang ditimpakan diri sendiri. Sungkan
adalah rasa malu dalam arti positif tanpa adanya perasaan berbuat suatu
kesalahan, bukanlah rasa malu yang harus dicegah. Sungkan sebagai rasa
Dalam pengasuhannya, cara yang digunakan orang tua Jawa yakni
melindungi anak, merawat anak (memberi makan, mengeloni,
mengemong, menyuapi, memandikan), menyediakan teladan bagi anak,
memberikan kasih sayang dan perhatian, mengajarkan tata cara
kemasyarakatan, membuatkan keputusan bagi anak, serta memberikan
hukuman bagi anak ketika melakukan kesalahan (Geertz, 1983). Hal yang
sama diungkapkan oleh Ihroni (dalam Hartati, 1991) bahwa dalam
mengasuh anak, orang tua Jawa menanamkan hal-hal yag bersifat baik
seperti memberikan nasehat-nasehat, menerangkan disiplin dalam tugas
sehari-hari, memberikan tauladan tanggung jawab baik dalam lingkungan
keluarga maupun lingkungan di luar keluarga. Hal ini dimaksudkan agar
anak tetap dapat bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan adat budaya
yang ada.
Beberapa penelitian mengenai pengasuhan yang sudah dilakukan
lebih menggunakan pola asuh dari Baumrind. Sebagian besar penelitian
yang dilakukan di Yogyakarta menemukan bahwa orang tua di Yogyakarta
lebih menerapkan pola asuh demokratis. Di samping itu, ditemukan pola
asuh yang lain seperti permisif dan otoriter.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengasuhan
Jawa sendiri sudah cukup lama ada seperti yang disampaikan dalam buku
Geertz tahun 1983. Seiring perkembangan zaman, besar kemungskinan
pengasuhan orang tua mulai bergeser. Unsur-unsur kebudayaan asing
dalam pengasuhannya kepada anak. Selain itu, penelitian mengenai
pengasuhan yang pernah dilakukan di Yogyakarta lebih memetakan
pengasuhan berdasarkan pola asuh dari Baumrind dan lebih bersifat
deduktif. Oleh sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui
praktek pengasuhan yang dilakukan di Yogyakarta yang bersifat induktif.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana praktek
pengasuhan anak yang dilakukan oleh orang tua di Yogyakarta saat ini?
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktek
pengasuhan orang tua di Yogyakarta saat ini dalam mengasuh anak.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan tambahan wacana yang berkaitan dengan ilmu
psikologi khususnya Psikologi Perkembangan dan Sosial, yang
memfokuskan pada teori pola asuh, khususnya pada pengasuhan
orang tua saat ini.
b. Dapat digunakan sebagai literature dalam pelaksanaan penelitian
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada para psikolog dan praktisi konseling mengenai
pengasuhan orang tua saat ini.
b. Bagi para orang tua dan masyarakat, hasil penelitian ini dapat
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengasuhan Orang Tua 1. Definisi Pengasuhan
Keluarga merupakan lingkungan utama bagi anak-anak. Dalam
proses pengasuhan orang tua sekaligus merupakan tempat menerima
pelajaran mengenai norma-norma adat. Pengasuhan anak akan
menentukan sikap dan perilaku untuk menuju perkembangan anak menjadi
dewasa (Hartati,1991). Menurut Dewi (2002) orang tua adalah ayah, ibu
sebagai suatu kesatuan karena dalam pengasuhan anak, ayah dan ibu
mempunyai tanggung jawab yang sama. Orang tua merupakan sosok yang
paling dekat dengan anak-anaknya. Selama masa bayi dan kanak-kanak,
orang tua merupakan sosok yang paling bertanggung jawab terhadap
anak-anaknya. Fungsi dan tanggung jawab orang tua adalah mengasuh,
memelihara, melindungi dan melatih anak untuk bersosialisasi.
Pada dasarnya hubungan orang tua dan anak tergantung pada
pengasuhan orang tua (Hurlock, 1993). Dari sinilah sikap orang tua
tampak dalam mempengaruhi anak melalui cara orang tua mengasuh.
Hadinoto (1991) mengatakan bahwa pengasuhan orang tua adalah cara
khas orang tua dalam memperlakukan anak-anaknya yang berhubungan
Balson (1993) berpendapat bahwa pengasuhan adalah cara-cara
yang digunakan orang tua dalam mengasuh anaknya. Di sisi lain, Hartati
(1991) menjelaskan dalam proses pengasuhan anak, terlihat berbagai
aktivitas seperti mendidik, merawat, mengajarkan gotong royong,
kerukunan, tata krama serta membimbing anak dalam keluarga untuk
menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang sesuai dengan
norma yang berlaku dalam budaya yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengasuhan
orang tua adalah suatu cara yang dilakukan oleh orang tua dalam
mengasuh anak, agar membuat anak merasa nyaman, dan dapat
berkembang menjadi pribadi yang diharapkan dalam masyarakat. Untuk
selanjutnya, penelitian ini lebih difokuskan pada pengasuhan orang tua
(parenting pracctice).
2. Cakupan Pengasuhan
Pengasuhan dibedakan menjadi dua yaitu gaya pengasuhan
(parenting style) dan praktek pengasuhan (parenting practice).
Menurut Diana Baumrind (dalam Bukatko, 2004), secara tradisional
ada dua dimensi utama dalam gaya pengasuhan (parenting style) yakni
kehangatan dari orang tua (parental warmth) dan kontrol orang tua
(demandingness). Berdasarkan dua dimensi tersebut gaya pengasuhan
(parenting style), menurut Baumrind (dalam Santrock, 2002) ada tiga
gaya pengasuhan anak oleh orang tuanya yaitu authoritative,
asuh permisif dibedakan menjadi dua yaknipermissive-indulgent dan
permissive-indifferent.
a. Pola asuh authoritative / demokratis
Orang tua yang authoritative berperilaku hangat tapi
tegas.Orang tua mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih
menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan
mereka. Orang tua authoritative menanamkan kebiaaan-kebiasaan
rasional, berorientasi pada masalah, sering terlibat dalam
perbincangan-perbincangan dan penjelasan dengan anak dan
memegang teguh disiplin.
b. Pola asuh authoritarian / otoriter
Orang tua otoriter beranggapan bahwa anak-anak harus
menerima aturan-aturan dan standar yang ditentukan orang tua tanpa
mempersoalkannya.
c. Pola asuh permissive / permisif
Orang tua permisif tidak memberikan batasan-batasan atau
aturan-aturan yang sifatnya wajib / dipaksakan. Maccoby dan Martin
membagi pola asuh permisif menjadi dua bentuk, yaitu
permissive-indulgent dan permissive-indifferent.
1. Permissive-indulgent
Pada pola asuh ini orang tua sangat terlibat dalam
batas dan kendali terhadap perilaku mereka selalu menuruti atau
terlalu membebaskan.
2. Permissive-indifferent
Pada pola asuh ini orang tua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan. Orang tua ini hanya memiliki sedikit waktu dan
perhatian yang diluangkan untuk anak.
Praktek pengasuhan (parenting practice) lebih beragam karena
pada dasarnya praktek pengasuhan lebih menekankan pada perlakuan
atau cara orang tua dalam mengasuh (Spera, 2005). Menurut Darling &
Steinberg (dalam Spera, 2005) menjelaskan praktek pengasuhan adalah
suatu perilaku tertentu yang digunakan orang tua untuk
mensosialisasikan anak. Misalnya ketika mensosialisasikan anak-anak
mereka untuk berhasil di sekolah, orang tua memberlakukan praktek
pengasuhan tertentu, keterlibatan orang tua dalam menghadiri
pertemuan antara orang tua dan guru, melakukan pekerjaan rumah
bersama anak-anak, memberikan nasehat bagi anak untuk
menggunakan waktu luang untuk membaca, membantu anak-anak
mengerjakan tugas dari sekolah, dan memonitor perilaku anak-anak
setelah pulang sekolah.
Paul & Fowler (2002) memberikan contoh pengasuhan (parenting
practice) seperti terlibat langsung dalam kegiatan ektrakurikuler anak
pujian dan umpan balik positif terhadap prestasi anak, mengajak
diskusi anak mengenai olahraga, musik, dan seni.
Praktek pengasuhan juga lebih baik digunakan untuk memprediksi
perilaku daripada gaya pengasuhan. Asumsinya adalah bahwa dimensi
luas gaya pengasuhan mungkin tidak cukup menangkap kompleksitas
perkembangan anak (Carlo, McGinley, Hayes, Batenhorst, Wilkinson,
2007). Dalam praktek pengasuhan (parenting practice) tidak ada
kategorisasi dan tidak ada organisasi dalam pengasuhannya. Artinya,
pengasuhan itu tidak dapat digolongkan karena tidak dijelaskan secara
teoritis seperti gaya pengasuhan (parenting style).
Faktor pengasuhan meliputi perilaku orang tua sebagai parental
support dan parental control (Henry, 1994, dalam Families
Consortium). Parental support merupakan dukungan orang tua yang
dirancang untuk menunjukkan penerimaan orang tua dan persetujuan
terhadap anak. Parental support ini ditunjukkan oleh orang tua melalui
perilaku seperti adanya dorongan, kasih sayang, perawatan, serta
pujian terhadap anak. Sedangkan parental control merupakan teknik /
cara yang orang tua gunakan untuk mendapatkan kepatuhan dari anak
sesuai yang diharapkan oleh orang tua. Parental control ini
ditunjukkan oleh orang tua melalui perilaku seperti mengontrol
perilaku anak, pemberian hukuman kepada anak, monitoring perilaku
pembatasan kasih sayang pada anak (tidak memanjakan anak) (Henry,
1994).
Jika dicermati, perilaku-perilaku orang tua yang termasuk dalam
praktek pengasuhan (parenting practice) juga tercakup dalam fungsi
parenting. Fungsi parenting tersebut meliputi disiplin (discipline),
membimbing (guidance), merawat (nurturance), dan aksesbilitas
(accessibility) (Bross, 1982).
B. Yogyakarta dan Budaya Jawa
Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa selain Surakarta.
Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya (Prabowo, 2011).
Hal ini disebabkan karena adanya keraton Yogyakarta yang dipandang
sebagai salah satu pusat budaya Jawa yang masih sangat kental dengan
warisan budaya etnik Jawa. Bagaimana tidak, di Keraton masih banyak
menyimpan tentang berbagai kesenian, hasil budaya, ragam pakaian adat
dan bentuk rumah ala jawa yang indah. Tidak berhenti disitu saja, di
Keraton Jogja juga mempertunjukkan bagaimana supelnya orang jawa
dalam berkomunikasi dan bersapa dengan semua orang yang datang
disana. Selain itu warga sekitar keraton pun juga masih kental dalam
penggunaan bahasa Jawa-nya. Hal ini dikarenakan untuk menghormati dan
melestarikan kebudayaan Jawa yang ada (Prabowo, 2011)
Salah satu wujud kebudayaan yang ada di Indonesia adalah
yang hidup dalam alam pikiran, sebagian besar dari masyarakat mengenai
apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga
dapat berfungsi sebagai suatu pedoman hidup bagi masyarakat Jawa
(Endraswara, 2005). Budaya ini terus menerus dikembangkan, agar apa
yang menjadi cita- cita para leluhur dapat tercapai, yaitu terbentuknya
masyarakat Jawa yang berbudaya. Keragaman budaya ini dapat
mempengaruhi proses pengasuhan yang terjadi dalam masyarakat Jawa.
C. Pengasuhan Tradisional Orang Tua di Jawa
Proses pengasuhan anak dalam masyarakat Jawa dilakukan sejak
kecil. Sejak kecil, anak dibuat untuk merasa kerasan dalam lingkungan
rumahnya yang hangat, sehingga rasa kepercayaan yang mendalam
khususnya kepada ibu tumbuh pada diri anak, karena pada umumnya ibu
menjadi pengasuh utama. Sebagaimana dikemukakan oleh Geertz (1983),
cara yang digunakan berdasarkan nilai-nilai budaya Jawa adalah dengan
mengajarkan anak-anaknya untuk wedi, isin, dan sungkan.
Wedi berarti takut, baik dalam arti jasmaniah maupun dalam arti
sosial terhadap suatu kecemasan atas akibat dari suatu tindakan yang tidak
menyenangkan. Isin berarti malu, enggan, canggung, merasa bersalah
akibat suatu pelanggaran sosial yang ditimpakan diri sendiri.Belajar
merasa malu (ndue isin) merupakan langkah pertama ke arah kepribadian
Jawa yang matang. Sebaliknya penilaian untuk tidak tahu malu (ora ndue
isin) merupakan suatu kritik yang amat tajam dala budaya Jawa. Rasa isin
tamu dan lain sebagainya apabila ia melakukan sesuatu yang pantas
ditegur. Sungkan adalah malu dalam arti yang positif tanpa adanya
perasaan berbuat suatu kesalahan bukanlah rasa malu yang harus dicegah.
Sungkan sebagai suatu rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau
sesama yang belum akrab.
Geertz (1983) mempunyai anggapan bahwa pengasuhan dalam
masyarakat Jawa ditentukan oleh dua prinsip yaitu prinsip rukun dan
prinsip hormat. Prinsip rukun dimaksudkan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan harmoni. Hidup rukun berarti usaha
terus-menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan
untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan
perselisihan dan keresahan. Untuk dapat menjadi rukun satu sama lain,
maka individu dituntut untuk menjadi “Jawa” dan “Ngerti”. Menjadi
jawa berarti individu menjadi orang jawa yang sepenuhnya yakni menjadi
sopan, bijak dan matang serta individu mampu mengendalikan diri dan
berperilaku sesuai dengan tata krama. Ngerti berarti individu mengerti
akan unggah-ungguh dan sopan santun yang ada dalam budaya
masyarakat. Kemudian prinsip hormat yang diartikan bahwa setiap orang
dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap
hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Dalam budaya Jawa sendiri, cara yang digunakan oleh orang tua
Jawa dalam mengasuh anaknya yakni dengan melindungi anak, merawat
menyediakan teladan bagi anak, memberikan kasih sayang dan perhatian,
mengajarkan tata cara kemasyarakatan, membuatkan keputusan bagi anak,
serta memberikan hukuman bagi anak ketika melakukan kesalahan
(Geertz, 1983).
D. Pengasuhan Orang Tua Di Yogyakarta Saat Ini
Pengasuhan merupakan suatu cara yang digunakan orang tua dalam
mengasuh anak dan membimbing anak agar anak merasa nyaman dalam
membentuk pribadi yang kuat dan dapat berkembang menjadi pribadi yang
baik yang diharapkan dalam masyarakat.
Pengasuhan tradisional orang Jawa merupakan suatu cara yang
digunakan oleh orang tua Jawa dalam mengasuh anak dengan
mengajarkan anak-anaknya tata cara kemasyarakatan, membuatkan
keputusan bagi anak, menyediakan teladan bagi anak, memberikan
hukuman bagi anak, merawat anak dan melindungi anak (Suseno, 1985).
Kemudian cara yang digunakan orang tua jawa berdasarkan nilai-nilai
Jawa yaitu dengan mengajarkan anaknya untuk wedi, isin, dan sungkan.
Tuntutan zaman yang bersifat modernisasi dan westernisasi seperti
sekarang ini mendorong individu untuk mengadaptasi unsur-unsur
kebudayaan barat, salah satunya adalah orang Jawa saat ini. Budaya jawa
saat ini mulai bergeser akibat adanya proses adaptasi yang dilakukan oleh
orang jawa dengan mengadopsi unsur budaya barat. Salah satu
Masuknya unsur-unsur budaya barat mengakibatkan perubahan perilaku
orang tua jawa, khususnya perubahan cara mengasuh anak. Orang tua
Jawa saat ini telah bergeser menjadi orang tua yang modern yang
terpengaruh era globalisasi yang serba instan dan cepat, sehingga
berdampak pada perubahan pengasuhan anak secara tradisional
(Endraswara, 2005).
Selain itu, hasil survey yang dilakukan peneliti terhadap beberapa
orang tua di Yogyakarta mengenai pergeseran praktek budaya Jawa dalam
pengasuhan kepada anaknya, bahwa sebagian orang tua saat ini sedikit
mengajarkan bahasa jawa kepada anaknya. Sebagian orang tua juga mulai
meninggalkan pengasuhan seperti tidak membatasi inisiatif anak seperti
anak diberi kebebasan untuk bermain, orang tua menyediakan fasilitas
internet dirumah agar anak tidak ketinggalan informasi dan berkembang
secara mandiri. Disamping itu, orang tua juga tetap mengajarkan disiplin
pada anak seperti ketepatan waktu dalam belajar, membuat jadwal rutinitas
sehari-hari, serta memberi batasan waktu bagi anak untuk bermain. Selain
itu, orang tua masih mengarahkan perilaku anak seperti adanya batasan
saat bermain bersama teman, menghukum anak saat melakukan kesalahan
dengan cara memarahi.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti kepada orang tua
di Yogyakarta, para orang tua itu melakukan pengasuhan dalam parental
support seperti mengajari anak ketika mengalami kesulitan, menemani
anak tidak ketinggalan informasi, meluangkan waktu untuk mengajak anak
bercerita saat kumpul bersama. Sedangkan dalam hal parental control cara
yang digunakan oleh orang tua adalah mengarahkan perilaku anak seperti
mengajarkan anak agar terbiasa belajar tepat waktu dengan cara membuat
jadwal rutinitas, memberi batasan kepada anak untuk jam bermain dan
menonton televisi.
E. Pertanyaan Penelitian
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa praktek
pengasuhan adalah suatu cara yang dilakukan oleh orang tua dalam
mengasuh anak, agar membuat anak merasa nyaman, dan dapat
berkembang menjadi pribadi yang diharapkan dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil survei di atas ditemukan adanya indikasi pergeseran
praktek pengasuhan. Maka, pertanyaan dalam penelitian ini adalah
bagaimana praktek pengasuhan yang digunakan oleh orang tua di
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan deskriptif. Melalui pendekatan deskriptif, peneliti berusaha
untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dari situasi atau
kejadian yang terjadi saat ini (Azwar, 1998). Hal ini sejalan dengan
pendapat Bogdan & Taylor dalam Basrowi (2008) yang menyatakan
“metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati.
Poerwandari (2005) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip
wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain
sebagainya. Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti tidak melakukan
pengukuran berupa angka-angka, namun hanya berdasarkan pemahaman
yang mendalam tentang pengasuhan saat ini. Oleh sebab itu, penelitian ini
bermaksud untuk mengetahui pengasuhan orang tua di Jawa saat ini dan
B. Fokus Penelitian
Pengasuhan merupakan suatu cara yang dilakukan oleh orang tua
dalam mengasuh anak, agar membuat anak merasa nyaman, dan dapat
berkembang menjadi pribadi yang diharapkan dalam masyarakat. Cara
pengasuhan tersebut sering disebut sebagai praktek pengasuhan (parenting
practice). Fokus penelitian ini adalah praktek pengasuhan yang dilakukan
orang tua di Yogyakarta.
C. Subjek Penelitian
Pemilihan subjek dipilih dengan memperhatikan beberapa kriteria
yang sebelumnya telah ditentukan oleh peneliti. Adapun kriteria subjek
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Subjek merupakan orang tua (ayah & ibu) dan tinggal di
Yogyakarta. Pemilihan subjek orang tua yang dikhususkan
pada orang tua yang tinggal di Yogyakarta karena disesuaikan
dengan tujuan penelitian.
b. Subjek merupakan kedua orang tua yang masih memiliki anak
maksimal usia 10 tahun. Peneliti memilih subjek dengan
kriteria tersebut dikarenakan anak dengan umur maksimal 10
tahun masih berada pada tahap akhir kanak-kanak (Santrock,
c. Dalam penelitian ini, komposisi subjek dibuat cukup
representatif, yaitu dapat mewakili lokasi tempat tinggal,
tingkat pendidikan, dan pekerjaan yang berbeda.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode wawancara. Wawancara (interview) adalah suatu teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab atau bentuk
komunikasi verbal yang bertujuan memperoleh informasi (Moleong,
2000).
Peneliti menggunakan jenis wawancara semi terstruktur, yaitu
dengan menggunakan pedoman wawancara yang ditulis namun
disampaikan secara fleksibel. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan
apabila yang diwawancarai (interviewee) cukup banyak jumlahnya dalam
Basrowi & Suwandi (2008). Adapun kelebihan dalam wawancara (Sattler,
2002), yakni:
a. Interviewer dapat berkomunikasi dan menjelaskan secara langsung
tujuan dari proses interview
b. Interviewer dapat menyelesaikan secara jelas respon ambigu yang
muncul dari responden
c. Interviewer dapat meminta responden untuk lebih menjelaskan
d. Interviewer dapat memparafrase pertanyaan yang kurang dimengerti
oleh responden
e. Interviewer dapat memperoleh informasi lebih banyak misalnya
mengenai tentang peristiwa kehidupan keluarga masa lalu dan saat ini
E. Pedoman Pertanyaan dalam Wawancara
Pedoman wawancara dibawah ini disusun dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan terbuka sesuai dengan survey awal dan kosultasi dengan
pemerhati pengasuhan anak (dalam hal ini dosen pembimbing skripsi)
yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan survey awal dan kosultasi
dengan pemerhati pengasuhan anak (dalam hal ini dosen pembimbing
skripsi) maka didapatkan beberapa tema yang muncul. Berikut ini adalah
pedoman wawancara yang akan digunakan oleh peneliti :
Tabel 3.1
Pedoman wawancara
No Pertanyaan
1. Hal – hal penting seperti apa yang bapak dan ibu tanamkan pada anak ?
2. Bagaimana cara bapak dan ibu menanamkan / mengajarkan hal – hal penting tersebut ?
3. Sebagai orang tua, kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi untuk anak ?
4. Apa yang biasa bapak dan ibu lakukan saat bersama dengan anak ?
dilakukan oleh anak ?
6. Apa yang bapak dan ibu lakukan saat anak mengalami kesulitan ?
7. Apa saja yang bapak dan ibu lakukan saat waktu luang bersama anak ?
8. Bagaimana cara bapak dan ibu mengarahkan perilaku anak agar bisa menjalankan rutinitasnya?
F. Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan pengumpulan data. Dalam hal ini peneliti
mempersiapkan pengumpulan data yang berfungsi untuk
mempermudah peneliti dalam proses pemerolehan data melalui
beberapa langkah meliputi survei awal, membuat poin pertanyaan, dan
wawancara.
b. Persiapan subjek. Persiapan subjek dilakukan peneliti berdasarkan
tujuan dari penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini adalah 12 pasang
orang tua yang tinggal di Yogyakarta, dan komposisi subjek dibuat
cukup representatif yaitu dapat mewakili lokasi tempat tinggal, tingkat
pendidikan dan pekerjaan yang berbeda.
c. Pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan membuat
verbatim, melakukan koding, dan membuat kategorisasi.
d. Pemeriksaan keabsahan data. Hal ini dilakukan dengan Triangulasi.
sumber data yang lain, member check, dan mengkonsultasikan data
dengan dosen pembimbing.
G. Teknik Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis induktif. Dikatakan induktif karena peneliti tidak
memaksa diri untuk hanya membatasi penelitian pada upaya menerima
atau menolak dugaan-dugaan yang muncul, melainkan berupaya
memahami situasi sesuai dengan situasi tersebut menampilkan diri
(Poerwandari, 2005). Analisa data ini bertujuan untuk memberikan
deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang
diperoleh dari kelompok subjek yang diteliti dan tidak bermaksud untuk
pengujian hipotesis (Azwar, 1998). Data itu dikumpulkan dengan
menggunakan wawancara. Setelah data dikumpulkan maka langkah
selanjutnya adalah melakukan analisa data dengaan content analysis atau
menganalisis isi dari data yang telah di dapatkan dengan langkah-langkah
sebagai berikut (Audifax, 2008) :
1. Organisasi data
Dalam mengorganisasi data, peneliti membuat verbatim dengan
memindahkan data kasar dari alat perekam (handphone) ke dalam
catatan lengkap dari semua kalimat yang ada dalam rekaman.
Peneliti mengenali mana data dan mana yang bukan data. Pada
tahap ini, peneliti memperkirakan kategori-kategori yang mungkin
muncul. Pada tahap ini, peneliti membuat coding tanpa merubah
esensi kalimat dan melakukan interpretasi.
3. Pemilahan data
Peneliti memberi nama kategori pada setiap domain yang
ditemukan berdasarkan penguasaan literatur peneliti.
4. Review terhadap pemilahan
Peneliti melakukan check dan recheck mengenai logika peneliti
dalam mengkategorikan data dengan orang lain yang dianggap
capable atau memiliki kompetensi
5. Merangkai dan membunyikan data
Pada tahap ini, peneliti mencoba melihat apa yang telah didapat
dan kemudian dijelaskan dengan pembahasan yang baik.
H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Tahap selanjutnya setelah dilakukan analisis data adalah
melakukan pemeriksaan keabsahan data. Dalam penelitian kualitatif
pemeriksaan keabsahan data merupakan hal yang penting, karena dengan
melakukan pemeriksaan keabsahan data, penelitian diharapkan memiliki
hasil yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Cara yang dilakukan guna memeriksa keabsahan data tersebut
penelitian ini dilakukan dengan pengecekan terhadap sumber data yang
lain yakni anak-anak dari para responden. Selain itu peneliti juga
melakukan konfirmasi kembali kepada para responden mengenai hasil
27 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROSES PENGAMBILAN DATA 1. Pelaksanaan
Dalam proses pengambilan data, peneliti mendapatkan subjek
dengan bertanya kepada teman yang memiliki saudara maupun
tetangga sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya
oleh peneliti. Dari bantuan teman, ada lima subjek yang bersedia
untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti
mendapatkan subjek dengan cara berkunjung ke salah satu tempat
bimbingan belajar mahasiswa bahasa inggris Universitas Sanata
Dharma.
Setelah melakukan pendekatan terhadap beberapa subjek,
peneliti berkunjung ke rumah subjek untuk lebih mengenal dan
membahas jadwal pelaksanaan proses wawancara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara dengan cara bercerita sehingga data yang diperoleh dari
subjek penelitian berupa hasil wawancara. Proses wawancara
dilakukan pada waktu sore maupun malam hari. Hal ini dilakukan
karena sebagian subjek memiliki kesibukan bekerja yang
berbeda-beda. Tempat yang diperoleh peneliti untuk memperoleh data
merasa nyaman dan lebih leluasa untuk bercerita sesuai dengan
kondisi lingkungannya.Tempat yang dipilih oleh subjek penelitian
adalah tempat tinggal (rumah) subjek. Berikut ini adalah uraian
data pelaksanaan wawancara dengan subjek.
Tabel 4.1
Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek
No Inisial Waktu Pelaksanaan Tempat Pelaksanaan
1. Ayah : I.P
Sabtu, 16 November
2013 (20.00-20.35) Ngaglik, Sleman Ibu : C.N
2013 (19.15-20.00) Timbulrejo, Maguwoharjo Ibu : E
9. Ayah : Y.F Rabu, 4 Desember 2013
(19.30-20.15) Ngemplak, Sleman
Ibu : R.S
10. Ayah : B.S
Minggu, 8 Desember 2013 (16.00-16.35)
Samirono, Caturtunggal, Sleman
Ibu : W
11. Ayah : H Rabu, 8 Januari 2013
(13.30-14.00) Wukirsari, Cangkringan Ibu : S.S
12. Ayah : Y.A Rabu, 8 Januari 2013
(15.30-16.00) Wukirsari, Cangkringan Ibu : S.P
2. Identitas Subjek
Subjek dalam penelitian ini merupakan orang tua yang
tinggal di Yogyakarta yang masih memiliki anak dengan usia
maksimal 10 tahun. Para orang tua dalam penelitian ini adalah
ayah dan ibu yang memiliki usia, tingkat pendidikan, lokasi tempat
tinggal, dan pekerjaan yang berbeda-beda. Perbedaan inilah dapat
memberikan gambaran mengenai pengasuhan yang bervariasi pada
masing-masing subjek. Berikut ini adalah uraian identitas subjek.
Tabel 4.2 Identitas Subjek
No Inisial Usia Pendidikan Pekerjaan Lokasi Tempat Tinggal
1. Ayah : I.P 38 SMA Karyawan swasta
Ngaglik, Sleman
B. ANALISIS HASIL
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dalam
penelitian ini ditemukan beberapa praktek pengasuhan. Dari semua
2. Ayah : W.S 48 SMA Karyawan Swasta /
Satpam Candi Binangun, Pakem,
Sleman
Ibu : C.I 38 D3 Perawat
3. Ayah : D 37 SMA
Wiraswasta / dagang Paingan, Maguwoharjo, Sleman
Wiraswasta / dagang Timbulrejo, Maguwoharjo, Sleman
Karyawan Swasta Ngemplak, Sleman
data wawancara yang muncul, peneliti melakukan kategori terhadap
data praktek pengasuhan yang muncul. Praktek pengasuhan secara
berturut dari yang sering muncul adalah penanaman disiplin dan
nilai-nilai, mendorong / mengajarkan pengelolaan diri, memberikan
perhatian dan kasih sayang, mengajarkan kemandirian anak,
memberikan dukungan dalam tugas akademik dan minat anak,
memenuhi kebutuhan dasar, keterlibatan dan kehadiran dalam kegiatan
anak, memberikan kesenangan pada anak, dan pengabaian.
Praktek pengasuhan yang paling banyak muncul adalah penanaman
disiplin dan nilai-nilai. Praktek pengasuhan ini muncul pada sebagian
besar subjek. Sub kategori yang paling banyak muncul dari kategori
penanaman disiplin dan nilai-nilai adalah mengenai penanaman
kedisiplinan, penanaman nilai agama, nilai minat sosial dan
penanaman nilai kesopanan. Sedangkan sub kategori dari penanaman
disiplin dan nilai-nilai yang jarang muncul adalah penanaman nilai
kejujuran, dan nilai kesederhanaan.
1. Penanaman Disiplin dan Nilai-Nilai
Praktek pengasuhan terkait penanaman kedisipilinan pada anak,
perilaku yang muncul dari para orang tua seperti pembatasan uang
saku pada anak di bawah standar maksimal dari sekolah, mengajari
untuk berperilaku disiplin sesuai usia anak, dan pembatasan waktu
bermain untuk anak. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan wawancara
“kemudian berusaha untuk memberi saku itu tidak lebih dari yang menjadi ketentuan dari sekolah maksimal Rp 5000, kalo saya biasanya memberi Rp
3000 atau kadang Rp 4000” (s.2;b.20-22) memberikan arahan dan motivasi “sebelum kamu besok pendidikan SMA atau SLTA belum punya SIM kamu belum boleh naik motor, di depan pun kamu juga belum boleh” (s.2;b.34-37)
“untuk pola bermain anak tu kan kita sebagai orang tua tidak bisa membiarkan anak sepanjang hari itu bermain, ada batas waktunya dimana dia untuk tidur, jam makan, nahh itu baru sebatas itu saya mencoba untuk membatasi anak untuk bermain”
(s.4;b.29-31) a. Penanaman Nilai Agama
Praktek pengasuhan terkait penanaman nilai agama adalah
mengajarkan anak untuk berdoa sebelum dan sesudah melakukan
aktivitas, melibatkan anak dalam kegiatan keagamaan. Selain itu,
mengajarkan anak untuk menyisihkan sedikit materi yang dimiliki
untuk membantu orang yang membutuhkan. Hal ini dapat dilihat
dalam kutipan wawancara berikut :
“Misalnya ya ehmm dengan cara rajin berdoa,
rajin ke gereja, ikut kegiatan-kegiatan di
lingkungan maupun misalnya untuk rosario
bersama di lingkungan maupun di sekolah.
(s.1;b.21-23)
“kemudian kalo untuk pendampingan imannya itu
saya mendukung untuk kegiatan-kegiatan
(s.2;b.213-215) mengajarkan untuk mengikuti TPA, ada pengajian-pengajian selalu diikutsertakan begitu. Jadi anak ikut terlibat dalam hal tersebut mbak”
(s.3;b.20-25) mengajarkan berdoa sebelum tidur, saat akan makan, ke gereja harus duduk mendengarkan apa yang disampaikan romo,diem. (s.4;b.122-124)
“misalnya untuk kebutuhan beribadah ya saya mencoba juga menanamkan ke anak untuk sedikit menyisihkan sedikit yang dia punya untuk orang lain, seperti itu, bisa lewat materi, kemudian tolong menolong, kasih saran atau masukan ke teman yang
membutuhkan” (s.6;b.148-151)
“opo yo.. ya waktunya sholat yaa diajak sholat, terus diajak jumatan” (s.7;b.19)
“terus kalo beribadah setiap sholat selalu saya ajak,meskipun kadang-kadang tidak mau, tapi kan saya sudah berusaha untuk mengajak”(s.7;b.70-72)
“kemudian untuk kebutuhan pendidikan secara rohani dengan cara mengajak ke gereja, sekolah
minggu” (s.8;b-58-59)
“Kebetulan saya kan aktif di lingkungan, sebagai prodiakon juga, nah dengan sendirinya secara gak langsung anak itu sudah mengikuti misalnya ada kegiatan di lingkungan itu anak selalu ikut, misalkan doa rosario 30 hari itu anak juga bisa full
ikut” (s.10;b.16-19)
“terus kalo ibadah itu waktunya sholat ya shoat, maghriban ya ta suruh ke masjid gitu” (s.11;b.71)
“kalo agama, kita kan islam, setiap kali sholat yaa anak itu saya ajak gimana caranya doa, dan ibadah
(s.12;b.50-51) b. Penanaman Nilai Kesopanan
Perilaku lainnya yang muncul dalam praktek pengasuhan mengenai
penanaman nilai kesopanan adalah mengajarkan anak untuk bertata
bicara tidak njangkar dengan orang yang lebih tua, menghormati orang
yang lebih tinggi kedudukannya, membiasakan menyapa dan
memberikan salam kepada orang saat berjumpa di jalan, mengajarkan
anak untuk mengetok pintu terlebih dahulu saat bertamu, dan
menjelaskan pada anak untuk tidak memasuki kamar tidur saat
bermain. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut :
“Ehhmm ya ini kalo sama orang yang lebih tua
saya mengajarkan ehhmm untuk lebih
menghormatii.. ehhhmm untuk tidak beranii.. selain itu yaa terutama ehmm misalnya dalam tata bahasa mbak..misalnya bahasa jawanya itu istilahnya yaa harus menggunakan bahasa jawa krama inggil, kalo misalnya dengan budhenya, atau dengan
tetangga kakaknya yang lebih dewasa itu
bahasanya tidak jangkar mbak. ehh tapi karna saya juga tidak menguasai bahasa karma inggil yang baik. ya Yaya saya ajari yang sekiranya cukup dan bisa digunakan keseharian aja gitu”
“Jadi, sejak dini itu anak saya sudah saya ajarkan bertata cara bicara dengan orang tua, orang seumurannya,itu sudah harus bisa membedakan dan tau tempatnya setidaknya anak harus sopan gituu, ehhm istilahnya tidak njangkar gitu”(s.3;b.169-171)
“Ehmm kalo untuk menghormati ya saya
mengajarkan anak dari perilaku dan perkataannya, perbuatannya. Misalkan saat meminta tolong sesuatu ya harus berkata “tolong”, terus kalo sudah diberikan sesuatu ya harus bilang “terimakasih” begitu. Terus tidak boleh berani sama orang tua. Terus misalkan kalo dipanggil sama orang tua itu harus bilang “dalem” gitu misalnya, atau bilang terimakasih itu ya “maturnuwun” yaa yang simple-simple saja kayak yang diajarkan di sekolahan kan
juga seperti itu” (s.4;b.132-139)
“yaa pokoke saya mengajari anak itu cara ngomong sama orang yang lebih tua itu harus lebih sopan dan lebih menghormati. Ehmm yaa kalo saya mendidik itu saya tidak mengajari dengan bahasa krama, tapi yaa sedikit-sedikit soalnya anak jaman sekarang kan gak terlalu bisa, yaa pokoknya tau gak sama seperti temennya sendiri” (s.5;b.17-26)
“Lalu kalo sopan santun dengan lingkungannya yaa kalo manggil orang yang lebih tua itu bisa panggil mas atau mbak, yaa terus sama orang tua yaa harus mbah gitu gak boleh langsung sebut nama”
(s.7;b.73-75)
“itu mbak kalo maen di tempat orang itu gak boleh
masuk dikamar yang utama itu, harus didepan itu
cukup, jangan sampai masuk kamar. Begitu”
bersikap seperti itu baik dilakukan gak, nah dari situ anak belajar menyimpulkan sendiri dan menilai sendiri mengenai etika kesopanan, nanti kalo anak kurang pas menjawab, nanti baru kita tambahi”
(s.8;b.41-45) “Oiya rika ini kan tinggalnya masih di desa, yaa dia selalu saya ajarkan kesopananan dalam lingkungannya, jadi kalo ada orang diluar maupun di jalan yang lebih tua darinya itu harus disapa, dipanggil namanya dengan sopan. seperti misalnya kebetulan saya kan sekretaris di lingkungan yaa, nah erika sering saya suruh untuk mengantarkan undangan, kalo mengantar undangan itu harus ketok pintu dulu, bilang permisi, kalo ada orangnya boleh langsung diberikan, kalo gak ada orangnya boleh di selipkan dibawah pintu, tapi berusaha memastikan dengan ketok pintu dulu, seperti itu. lalu kalo ditanya orang menggunakan bahasa jawa, yaa harus dijawab menggunakan bahasa jawa tapi
yang lebih sopan” (s.9;b.197-209)
“misalkan di lingkungan sini kalo naik motor memasuki kampung dimatikan mesinnya, lalu di dorong, terus menyapa orang yang ada, lalu mengucapkan terima kasih kalo diberi sesuatu. terus cara berbicara orang tua dengan orang lain kan anak bisa mencontohnya,oo misalkan kita lewat dan ada orang kita berbicara permisi, nyuwun menyapa, atau mengucapkan salam kalo orang islam gitu. terus kalo bicara sama orang yang lebih tua itu jawanya itu ya harus boso gitu lho tergantung sama orang yang diajak bicara, campur-campur gitu, istilahnya kalo orang jawaa itu tidak boleh menyebut “ aku dan kowe” harus menghargai orang yang lebih tinggilah gitu”
(s.11;b.58-65) “opo-opo ki dilakukan dengan tangan kanan, seumpama kaki itu tidak boleh begini begitu, ya kayak gitulah”
c. Penanaman Nilai Minat Sosial
Praktek pengasuhan lainnya yang muncul dari beberapa orang
tua adalah mengenai penanaman nilai minat sosial. Perilaku orang tua
yang muncul dalam praktek pengasuhan ini adalah mengajarkan anak
untuk ikut bersosialisasi di dalam masyarakat, memberikan bantuan
kepada teman, saudara yang membutuhkan bantuan, dan menyanyangi
saudara. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut :
“Kalo saya sering mengajarkan berinteraksi dengan masyarakat itu kayak ikut sembahyangan itu, walaupun maksudnya saya sering saya tdak bisa ikut karena kerjaan, tapi kadang dari diri anak sendiri yang tidak mau ikut berkumpul dengan masyarakat, alasannya lha wong gak mamah kok,
gak mau” (s.1;b.200-203)
“ehmm misalnya disini kan banyak anak-anak usianya di bawah Yaya, sebisa mungkin Yaya diajari sosialisasi dengan lingkungan yaa. ehmm biasanya itu Yaya sering ngajarin adik-adiknya di lingkungan sini malah untuk belajar menggambar,
menulis membaca” (s.2;b.218-221)
“mengajari untuk menyayangi sesama ehm ya kita mengajarkan untuk sayang adik misalnya dengan pelukan, ciuman seperti itu” (s.4;b.140-141)
“kebutuhan hubungan sosial dengan teman-teman itu kita bebaskan dan kita arahkan
batasan-batasannya kebutuhan dengan lingkungan
masyarakat itu sangat berperan sekali yaa umpamanya ada organisasi itu yaa silahkan mengikuti supaya bisa bergaul dengan teman di lingkungan, biar dapat pengalaman. Selalu bapak tanamkan bahwa pendidikan itu bisa berasal dari
teman-teman dan pengalaman luar dari
“Kemudian saya mengajarkan keterlibatan dengan sosial dan kepekaan sosial, dengan bersosialisasi itu paling gak anak bisa mengerti orang lain dan menghargai orang lain sebagaimana dia juga
belajar tidak menjadi egois” (s.8;b.19-21)
“lalu mengenai motivasi saya ke anak untuk pergaulan masyarakat selalu saya bilang ke anak bahwa kita ini tidak bisa hidup sendiri di lingkungan, maka kita harus baik dengan tetangga, maupun teman-teman sekitar rumah sini”
(s.10;b.48-50)
Praktek pengasuhan terkait penanaman disiplin dan nilai-nilai yang
jarang muncul yakni mengajarkan nilai kejujuran pada anak dengan
cara mengecek perilaku dan aktivitas anak, mengajarkan untuk
meminta ijin terlebih dahulu saat mengambil sesuatu, berkata jujur dan
tidak menghendaki kepunyaan orang lain. Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan wawancara berikut :
“saya juga selalu mengecek dengan menanyakan misalnya “tadi beli apa di sekolahan”bukannya saya tidak percaya terhapadap anak, biar anak
jujur” (s.2;b.21-24)
“ehmm dengan kalo mislany anak itu kita tanya dia jawabnya berbohong gitu kan keliatan dari mimik wajah dan jaabannya mbak, kita tahu klao dia gak jujur.misalnya dia minta uang buat hal lalin, terus sampai rumah kita tanya lagi apakah uangnya dipakai untuk keperluan tadi apa gak gitu”
(s.2;b.181-186)
“Lalu kalau kejujuran, selalu bapak tanamkan bahwa dalam salah satu kejujuran, entah dalam bentuk hal apapun mau ngambil apapun yang bukan haknya atau itu milik orang tua sekalipun harus ada omong-omongan dulu istilahnya harus
“kemudian untuk keujuran saya juga memberikan contoh untuk tidak mencuri, lalu tidak menghendaki kepunyaan orang lain, ehmm ya itu biasa saya lakukan caranya ke anak. Tidak menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya gitu, kemudian
berbicara jujur” (s.6;b.134-137)
2. Mendorong / Mengajarkan Pengelolaan Diri
Kategori lain yang muncul dalam praktek pengasuhan ini
adalah mendorong / mengajarkan pengelolaan diri. Perilaku orang tua
yang muncul dalam praktek pengasuhan ini adalah mengajarkan
rutinitas atau pembiasaan anak dalam kehidupan sehari-hari,
mengajarkan tanggung jawab ke anak seperti mengajarkan cara
menjalankan tanggung jawab atas keputusan anak, dan mengajarkan
untuk membereskan dan mengembalikan sesuatu yang sudah
dilakukan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut :
“Dan mengajarkan tanggungjawab, nah dia kan punya tanggungjawab untuk ke sekolah. Jadi saya pernah bilang ke anak, nanti kalo kamu tidak bisa bangun pagi, gak akan dibangunin, dan gak usah sekolah. Nah itu kan namanya melatih anak untuk bertanggungjawab, untuk ke sekolah. Nah perlu belajar, kamu punya tanggung jawab untuk belajar, nanti kalo nilai mu jelek nanti yang rugi kamu sendiri. Nah kayak gitu mbak” (s.1;b.113-118)
“ehmm pasti mengajarkan untuk membereskan rumah ya mbak, pokoknya setiap apa yang dia maen harus diselesaikan harus diberesin, nah itu juga masuk salah satu tanggungjawabnya yaa”
(s.4;b.190-192)
(s.6;b.139-141)
“salah satunya terus diajarin abis makan itu harus
beresin sendiri itu piring, gelas” (s.7;b.69)
“terus kalo tentang tanggung jawab mereka di
rumah itu misalkan sehabis makan selesai ya kamu harus mencucinya, terus bantu nyapu”
(s.8;b.185-186)
“lalu saya mengajarkan kepercayaan saya kepada dia adalah “ kalo kamu sudah milih sekolah yang
kamu pilih, kamu harus bisa
mempertanggungjawabkan pilihanmu itu”
(s.8;b.16-18)
“misalkan anak saya mecahkan apa gitu, harus membersihkan dan membereskan sendiri. sampai orang di sekitarnya bilang “mesakne cah cilik kok dikon ngresiki” yaa waktu itu sebenarnya juga ada pergumulan batin juga alam diri saya, tapi yaa itu saya mengajarkan tanggung jawab ke anak dari kecil dengan hal-hal semacam itu” (s.8;b.239-244)
“kalo tanggung jawab itu ya tanggung jawab dia sebagai anak yang masih sekolah yang dia haus mengerjakan tugas dari sekolah seperti PR itu”
(s.9;b.111-113)
“Misalnya kalo kebersihan itu ya diajari misalnya ya dari tata tertib mandi itu, misalnya kalo mandi itu sehari dua kali lalu harus rajin gosok gigi, kalo habis makan itu juga kalo yang kotor itu ya ditaruh di tempat yang kotor gitu” (s.11;b.52-54)
“neg dalam keluarga pernah bapak itu beri kepercayaan ke anak untuk megang uang sendiri, meminute keuangan sendiri, jadi ibuknya itu ngasih uang jajan sendiri seminggu sekali ataupun ditambah uang dari saudara itu dipegang sendiri, itu bapak kasih kepercayaan untuk melatih tanggung jawabnya gitu” (s.3;b.87-90)
Selain itu, pengelolaan diri diajarkan oleh orang tua terkait
dengan cara mengajak anak untuk melakukan aktivitas secara teratur
dan pada waktu yang tepat seperti tidur pada waktu jam tidur, makan
saat jam makan, mematikan tv saat jam belajar. Hal ini dapat dilihat
dalam kutipan wawancara berikut :
“Jadi misalnya saya mengajarkan anak rutinititas setiap harinya misalnya bangun pagi. Bangun pagi itu apa yang harus dilakukan steleah bangun pagi itu merapikan tempat tidur, atau mandi, tata buku untuk kesekolah seperti itu. Terus sehabis pulang sekolah misalnya ganti baju, makan, terus tidur bosan ya untuk menjalankan rutinitas itu”
(s.1;b.170-172) “mengingatkan untuk selalu lipat selimut setelah bangun tidur saja selalu lupa untuk dilakukannya. Dia sulit, sendal sepatu untuk ditata di tempatnya makan siang, buku itu diletakkan di tempatnya, yaa selalu tetep kita ingatkan tidak jenuh-jenuhnya”
(s.2;b.189-192)