• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstract. Abstract. Tectona grandis, mating system, microsattelite. Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Abstract. Abstract. Tectona grandis, mating system, microsattelite. Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

7. ANALISIS SITEM PERKAWINAN TANAMAN JATI

SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN MARKA

MIKROSATELIT

1

(Mating system analysis of teak from Southeast Sulawesi

by using microsatellite markers)

Abstract

In this work, investigated the mating system of three populations of teak from Southeast Sulawesi which indicated human disturbance level, using genetic data from 10 microsatellite loci. Progeny half-sib was carried out from 13 to 19 potential female parents. The mating system parameters were estimated using the mixed mating model, implemented by the software MLTR. The singlelocus outcrossing rate (ts) varied among loci and populations, but multilocus outcrossing

rates (tm) were equal to one for Sampolawa and Warangga populations and so it is

with biparental inbreeding (tm-ts) was different from zero for Sampolawa and

Warangga populations. Biparental inbreeding occured for Dolok population and parental inbreeding for Sampolawa population.

Keywords: Tectona grandis, mating system, microsattelite

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sistem perkawinan pada tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara yang mempunyai level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia, menggunakan data genetik 10 lokus mikrosatelit. Progeni half-sib diperoleh dari 13 sampai 19 tanaman dari setiap populasi sebagai pohon induk benih (potensial female parents). Parameter sistem perkawinan diduga di bawah model perkawinan percampuran, menggunakan software MLTR. Derajat penyerbukan silang lokus tunggal (ts) bervariasi di antara lokus dan

populasi, tetapi derajat penyerbukan silang multilokus (tm) secara statistik sama

dengan satu untuk populasi Sampolawa dan Warangga demikian pula dengan koefisien biparental inbreeding (tm-ts) sama dengan nol untuk populasi

Sampolawa dan Warangga. Terjadi biparental inbreeding pada populasi Dolok dan parental inbreeding (f) pada Sampolawa. Hal ini menunjukan bahwa walaupun derajat penyerbukan silang besar namun pada lokasi Dolok dan Sampolawa terjadi proses silang dalam.

Kata kunci: Tectona grandis, sistem perkawinan, mikrosatelit

1 Bagian disertasi ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Kehutanan RIMBA Kalimantan edisi

(2)

Pendahuluan

Sistem perkawinan (mating system) pada suatu tanaman merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam menentukan variasi serta distribusi genetik di dalam dan antar populasi suatu spesies tanaman (Hamrick et al., 1979; Boshier, 2000). Sistem perkawinan dipengaruhi oleh (1) ukuran dan kerapatan populasi, (2) tingkah laku polinator, (3) pola fenologi bunga dan waktu pembungaan, (4) struktur genetik dari populasi, dan (4) adanya sistem self-incompatibility pada tanaman (Ribeiro dan Lovato, 2004).

Struktur genotipe dari satu populasi terutama ditentukan oleh sistem perkawinan, dengan demikian analisis untuk menduga parameter-parameter sistem perkawinan dari suatu analisis struktur genotipe perlu dilakukan seperti pendugaan derajat penyerbukan sendiri (selfing rate) dan lawannya derajat penyerbukan silang (outcrossing rate) serta besarnya silang dalam (inbreeding). Parameter-parameter tersebut sangat penting untuk diketahui terutama dalam menyusun program pemuliaan serta konservasi yang akan dilakukan.

Struktur genotipik keturunan yang berasal dari penyerbukan sendiri hanya mempunyai alel-alel dari pohon induknya, pada seluruh lokus gen, meskipun genotipe sebuah keturunan berbeda dari pohon induknya, dalam hal ini pohon induknya heterozigot. Keturunan hasil penyerbukan silang membawa alel-alel yang ada pada populasi.

Jati memiliki bunga hermaprodit dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga. Jati merupakan jenis yang melakukan penyerbukan silang dengan tingkat self incompatibility yang tinggi 96-100%, juga indikasi adanya self inviability seperti yang terjadi pada jenis lain dari famili Verbenaceae, yaitu Gmelina arborea yang diduga karena tingginya tingkat selfing (Bolstad dan Bawa, 1982). Konsekuensi genetik yang terjadi adalah terbentuknya buah inbred yang memiliki daya kecambah rendah. Pada pohon yang melakukan penyerbukan silang, buah inbreed juga terbentuk karena aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja (Hedegart, 1973).

(3)

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari sistem perkawinan pada populasi tanaman jati dengan berbagai level kerusakan populasi akibat aktivitas manusia menggunakan data genetik dari 10 lokus mikrosatelit.

Bahan dan Metode Material Tanaman dan Isolasi DNA

Material tanaman diperoleh dari tiga populasi jati yang memiliki level kerusakan akibat adanya aktivitas manusia. yaitu dua populasi dari Kabupaten Muna (Dolok dan Warangga) dan satu populasi dari Kabupaten Buton (Sampolawa). Untuk masing-masing lokasi dipanen buah jati secara terpisah (progeni famili half-sib) yang berasal dari 13-19 potensial induk benih (potential female parent) yang kemudian dikecambahkan (Lampiran 7) untuk diisolasi DNAnya.

Tabel 7.1. Progeni famili half-sib jati dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi pada tiga lokasi yang memiliki level kerusakan akibat aktivitas manusia dianalisis menggunakan 10 penanda mikrosatelit

Asal Populasi Kode Jumlah Tanaman

pohon induk benih MT 17

Dolok, Muna

total progeni FT 62

poohon induk benih MW 13

Warangga, Muna

total progeni FW 132

poohon induk benih MS 19

Sampolawa, Buton

total progeni FS 119

Total 49 famili 362 tanaman

DNA total diisolasi menggunakan prosedur CTAB yang telah dikembangkan dari project ICA4-2000-20053, diisolasi dari daun kecambah serta daun muda dari 13-19 pohon induk benih yang dikoleksi (Tabel 7.1).

Analisis Penanda Mikrosatelit

Reaksi amplifikasi dengan mesin PCR menggunakan 15-30 ng genom DNA dalam 25 µl volume yang menggandung 50 mM KCl, 20 mM Tris-HCl pH 8.8; 1.5 mM MgCl2; 10 mM dNTPs; 0.2 µl primer (forward dan reverse) dan 1 U

(4)

Protokol dari PCR terdiri atas suatu periode denaturasi awal pada 96oC selama 5 menit, diikuti oleh 30 siklus yang pada 94oC untuk 40 detik, 52oC selama 1 menit, 72oC selama 1 menit, dan step selanjutnya untuk ekstension akhir pada 72oC selama 7 menit. Fragmen hasil amplifikasi kemudian dipisahkan dalam 6% gel akrilamide yang di running dengan 1X TBE pada 2200 volt selama 2 jam dan distaining dengan silver nitrat.

Analisis Data

Parameter sistem perkawinan diduga dari adanya variasi genetik dari turunannya (progeny arrays) dari suatu tetua baik itu genotipe maternalnya diketahui atau tidak diketahui dapat digunakan untuk menghitung proporsi silang dalam (inbreeding) dan penyerbukan silang (outcrossing). (Ritland, 1996, Ritland, 2002; Ritland and Jain, 1981). Derajat penyerbukan silang lokus tunggal dihitung dari persen penyerbukan silang lokus ke-i pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni yang memiliki salah satu alelnya berbeda dengan maternalnya pada lokus tersebut (nij) terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua

tersebut (Nij). Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk lokus tunggal (ts)

adalah rata-rata dari persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut:

s

100% % outcrossing

t =

banyaknya keseluruhan tetua yang diuji ij ij n N N =

sedangkan derajat penyerbukan silang multilokus dihitung dari persen penyerbukan silang untuk multilokus pada tetua ke-j adalah proporsi banyaknya progeni dengan salah satu alelnya berbeda dari maternalnya untuk keseluruhan lokus (n.j) terhadap banyaknya progeni yang diuji pada tetua tersebut (N.j).

Sedangkan derajat penyerbukan silang untuk multilokus (tm) adalah rata-rata dari

persen penyerbukan silangnya, dihitung dengan formula sebagai berikut:

. . m 100% % outcrossing t =

banyaknya keseluruhan tetua yang diuji j j n N N =

Dari kedua pendugaan parameter sistem perkawinan di atas maka dapat dihitung nilai biparental inbreeding (perkawinan atar kerabat, yang disebabkan

(5)

meningkatnya homozigositas) yaitu selisih antara derajat penyerbukan silang multilokus ganda dengan derajat penyerbukan silang lokus tunggal, sebagai berikut:

Biparental inbreeding = tmts

sedangkan koefiesien silang dalam diperoleh menggunakan transformasi, sebagai berikut:

( ) ( )

f = 1-t 1+t

Pendugaan parameter sistem perkawinan seperti derajat penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang serta depresi silang dalam (inbreeding depression) dalam penelitian ini dilakukan menggunakan model perkawinan campuran (mixed mating) (Brown dan Allard, 1970) dengan prosedur multilocus maximum-likelihood technique menggunakan program komputer MLTR (Multilokus Mating System Program) dari Ritland dan Jain (1981). Standard error untuk parameter dihitung dari 500 bootsraps dengan resampling (pengambilan ulang) di antara famili-famili. Sedangkan untuk membandingkan parameter di antara populasi dilakukan menggunakan uji-t students untuk menentukan apakah nilai-nilai signifikan lebih kecil dari satu (tm dan ts) atau lebih besar dari nol (f, tm-ts, dan rp).

Asumsi yang digunakan dalam penerapan model tersebut adalah bahwa setiap benih yang dihasilkan dapat dihasilkan dari peristiwa penyerbukan sendiri (dengan peluang sebesar s) atau penyerbukan silang dimana serbuk sari terpilih secara acak berasal dari seluruh populasi (dengan peluang sebesar t=1-s).

Hasil

Hasil analisis sistem perkawinan populasi jati asal Sulawesi Tenggara menggunakan 10 lokus mikrosatelit (AG04, AG16, AGT10, AC44, AC01, AG14, ATC02, AC28, AAG10, dan CPIMS) menghasilkan total 43 alel dengan rata-rata banyaknya alel per lokus 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua (AGT10 pada populasi Sampolawa) sampai enam alel (AG16) informasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.2.

(6)

Gambar 7.1. Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati

Gambar 7.1 memperlihatkan salah satu contoh genotiping lokus mikrosatelit yaitu AC28, dimana lokus tersebut teridentifikasi tiga alel, dengan demikian contoh genotipe individu homozigot yaitu yang memiliki alel yang sama seperti individu pada line 31-36 dengan genotipe 33, dan untuk yang heterozigot akan memiliki pasangan alel yang berbeda misal pada line 22-24 dengan genotipe 23 demikian seterusnya. Sedangkan line 37 adalah Ladder. Semua progeni memiliki paling sedikit satu alel yang berasal dari tetua betina mengikuti pola pewarisan Mendelian.

Derajat penyerbukan silang lokus tunggal (ts) bervariasi di antara lokus

dan populasi (Tabel 7.2). Pada populasi Sampolawa, lokus AG16 dan ATC02 memperlihatkan nilai ts yang kecil tetapi koefisien parental inbreeding (f) positif

hanya pada lokus AGT10 dan sama dengan nol untuk lokus AC44, AC01, AG14, dan AC28. Nilai positif mengindikasikan homozigot lebih banyak ketimbang struktur populasi Hardy-Weinberg, proses inbreeding diindikasikan bila f bernilai positif. Hasil pengujian untuk progeni pada populasi Dolok memperlihatkan nilai ts yang kecil untuk lokus AG04 dan f sama dengan nol untuk semua lokus kecuali

lokus AC44, AC28, AAG10, dan CPIMS. Untuk populasi Warangga mempunyai nilai ts yang relatif besar untuk semua lokus dan f positif hanya untuk lokus

CPIMS dan sama dengan nol hanya untuk lokus AG16, AGT10, AG14, dan CPIMS.

(7)

Tabel 7.2. Derajat penyerbukan silang berdasarkan lokus tunggal (ts) dan nilai

frekuensi serbuk sari (pollen) dan ovule dari alel yang sering muncul untuk tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara, Pop = populasi; A = banyaknya alel; f = koefisien parental inbreeding; SE = Standart Error; S = Sampolawa; T = Dolok; W = Warangga

Pop Lokus A Pollen Ovule ts ± SE f ± SE S AG04 3 0.927 0.868 1.200 ± 0.087 -0.200 ± 0.020 AG16 6 0.593 0.579 0.672 ± 0.093 -0.200 ± 0.024 AGT10 2 0.650 0.632 1.200 ± 0.093 0.548 ± 0.213 AC44 5 0.497 0.474 1.200 ± 0.005 -0.019 ± 0.149 AC01 5 0.507 0.842 0.888 ± 0.137 0.275 ± 0.330 AG14 5 0.521 0.447 0.934 ± 0.160 -0.084 ± 0.100 ATC02 4 0.523 0.658 0.695 ± 0.235 -0.200 ± 0.000 AC28 3 0.787 0.684 1.085 ± 0.146 -0.127 ± 0.153 AAG10 5 0.681 0.816 1.185 ± 0.076 -0.200 ± 0.000 CPIMS 3 0.723 0.579 1.200 ± 0.077 -0.200 ± 0.034 T AG04 3 0.634 0.853 0.575 ± 0.241 0.297 ± 0.360 AG16 6 0.344 0.324 0.706 ± 0.119 0.033 ± 0.135 AGT10 3 0.405 0.529 1.001 ± 0.214 0.317 ± 0.234 AC44 5 0.352 0.647 1.029 ± 0.133 -0.200 ± 0.000 AC01 5 0.570 0.500 1.121 ± 0.091 0.342 ± 0.175 AG14 5 0.398 0.500 0.973 ± 0.125 0.042 ± 0.164 ATC02 4 0.395 0.382 1.080 ± 0.126 -0.143 ± 0.140 AC28 3 0.438 0.441 0.905 ± 0.318 -0.200 ± 0.044 AAG10 5 0.490 0.618 1.200 ± 0.171 0.501 ± 0.185 CPIMS 3 0.991 0.706 1.200 ± 0.564 -0.200 ± 0.000 W AG04 4 0.565 0.462 1.008 ± 0.108 -0.200 ± 0.000 AG16 6 0.463 0.385 0.886 ± 0.184 -0.020 ± 0.116 AGT10 3 0.830 0.654 0.961 ± 0.123 -0.190 ± 0.136 AC44 5 0.335 0.615 0.881 ± 0.154 -0.200 ± 0.003 AC01 4 0.392 0.385 1.109 ± 0.116 -0.200 ± 0.097 AG14 5 0.344 0.385 1.129 ± 0.084 0.140 ± 0.203 ATC02 4 0.307 0.385 1.187 ± 0.115 -0.142 ± 0.063 AC28 3 0.498 0.577 1.178 ± 0.152 -0.200 ± 0.003 AAG10 6 0.439 0.385 1.166 ± 0.089 -0.197 ± 0.069 CPIMS 3 0.498 0.577 1.200 ± 0.047 0.463 ± 0.250

(8)

Hasil analisis terhadap parameter sistem perkawinan terhadap populasi jati menunjukan bahwa derajat penyerbukan silang multilokus (tm) mempunyai nilai

antara 0.985 sampai 1.200 dan nilai ts lebih besar dari tm untuk populasi

Sampolawa dan Warangga sehingga nilai biparental inbreeding (tm-ts) kecil atau

sama dengan nol untuk populasi ini. Sebaliknya untuk populasi Dolok mempunyai nilai tm lebih besar dari pada ts, sehingga biparental inbreeding

bernilai positif dan tidak sama dengan nol. Nilai tm dan ts sama dengan 1 untuk

semua populasi kecuali tm untuk Dolok. Sedangkan parameter koefisien parental

inbreeding (f) berbeda secara signifikan dari nol hanya untuk populasi Sampolawa (Tabel 7.3).

Tabel 7.3. Parameter sistem perkawinan dari tiga populasi jati Sulawesi Tenggara. Parameter yang diuji meliputi derajat outcrossing multilokus (tm), derajat outcrossing rata-rata lokus tunggal (ts),

biparental inbreeding (tm-ts), koefisien parental inbreeding (f),

korelasi t dugaan (rt), korelasi p dugaan (rp), kerapatan tanaman per

hektar (Nr)

Parameter Sampolawa, S Dolok, T Warangga, W

tm± SE 0.989 ± 0.070 1.200 ± 0.002 0.985 ± 0.081 ts± SE 1.018 ± 0.044 0.978 ± 0.023 1.026 ± 0.038 tm-ts± SE -0.028 ± 0.053 0.222 ± 0.023 -0.041 ± 0.075 f ± SE -0.200 ± 0.068 0.081 ± 0.066 -0.064 ± 0.050 rt± SE 0.999 ± 0.486 -0.200 ± 0.000 0.999 ± 0.579 rp± SE 0.247 ± 0.065 0.179 ± 0.071 0.184 ± 0.044 Nr 200 143 120

Tabel 3 juga memperlihatkan nilai rt (korelasi derajat penyerbukan silang

di dalam pengujian progeni) mempunyai nilai kecil pada populasi dolok dan rp

(korelasi outcrossed paternity dalam pengujian progeni) mempunyai nilai kecil untuk semua populasi.

Pembahasan

Hasil pendugaan derajat penyerbukan silang yang dihitung dengan prosedur multilocus maximum-likelihood technique (Ritland dan Jain, 1981) yaitu sebesar 0.985-1.200, nilai yang diperoleh ini sejalan dengan hasil penelitian pada jati menggunakan gen isozim yang dilakukan oleh Kertadikara dan Prat, 1995

(9)

serta Finkeldey (2005) yaitu antara 0.829 – 0.983. Dengan demikian jati termasuk tanaman yang menyerbuk silang, sehingga transfer serbuk sari pada jati memerlukan agen penyerbuk (vektor) yang menurut Hedegrat (1973) dibantu oleh serangga berupa lebah dan kupu-kupu. Nilai derajat penyerbukan silang yang diperoleh sangat besar menunjukkan bahwa pada jati kejadian menyerbuk silang sangat tinggi. Diharapkan dengan sistem perkawinan penyerbukan silang akan berperan penting untuk menjaga keragaman genetik yang akan terpelihara karena adanya rekombinasi gen antara penggabungan dari dua gamet yang berasal dari tetua yang berbeda, namun demikian pada populasi Dolok terjadi biparental inbreeding yaitu inbreeding yang disebabkan oleh perkawinan antara kerabat dekat, hal ini mengindikasikan bahwa polinator yang berperan membantu dalam penyerbukan mempunyai jelajah yang terbatas, demikian pula pada Sampolawa parental inbreeding disebabkan karena daerah jelajah polinator yang terbatas, kejadian inbreeding ini secara nyata meningkatkan derajat selfing dalam populasi. Dengan demikian usaha konservasi pada lokasi yang luas terutama di Dolok dan Sampolawa sangat diperlukan agar terjadi kejadian penyerbukan silang di antara individu yang bukan berkerabat untuk menjaga keragaman genetik tanaman tetap tinggi.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan analisis aliran informasi genetik yang menyatakan bahwa penyebaran serbuk sari terjadi secara acak ke segala arah menunjukan bahwa jati cenderung menyerbuk silang dan dibantu oleh serangga. Sedangkan penyerbukan sendiri hanya terjadi sekitar 1-2%, rendahnya proses penyerbukan sendiri mungkin disebabkan adanya mekanisme self-incompatibilitas genetik pada jati, yaitu ketidakmampuan suatu tanaman berbiji hermaprodit fertil untuk menghasilkan zigot setelah penyerbukan sendiri seperti yang dilaporkan oleh Hedegart (1976). Mekanisme self incompatibilitas merupakan faktor penting karena akan memelihara keragaman genetik yang tinggi karena proses inbreeding tidak akan terjadi (kecil) akibat sistem perkawinan didominasi oleh penyerbukan silang yang terjadi secara acak.

Hasil uji t-student pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa nilai tm pada populasi Dolok berbeda dengan kedua populasi lainnya, sedangkan untuk

(10)

(1998) memperlihatkan bahwa perbedaan derajat penyerbukan silang yang tampak di antara 11 populasi dari Pterocarpus macrocarpus mempunyai derajat gangguan habitat, densitas dan distribusi dari pembungaan pohon. Dalam penelitian ini derajat gangguan akibat aktifitas manusia dan kerapatan populasi cenderung mempengaruhi sistem perkawinan. Populasi dengan level gangguan yang lebih besar dan memiliki kerapatan individu yang tinggi cenderung akan terjadi proses silang dalam.

Nilai-nilai rp yang rendah menunjukkan tidak ada korelasi yang berkaitan

dengan asal usul tetua sumber serbuk sari, atau dapat dikatakan dalam alur famili tidak terjadi full-sib, analisis menunjukkan kearah half-sib, hal ini diperkuat bahwa serbuk sari yang dibawa oleh polinator sangat berlimpah dan penyerbukan oleh serbuk sari terjadi dalam segala arah (lihat Bab 6).

Kesimpulan dan Saran

Dari penelitian tentang sistem perkawinan tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:

• Semua lokus mikrosatelit bersifat polimorfisme, dengan rata-rata alel per lokus sebesar 4.3 dengan kisaran alel mulai dari dua (AGT10 pada populasi Sampolawa) sampai enam alel (AG16).

• Tanaman jati adalah tanaman menyerbuk silang dengan derajat penyerbukan yang tinggi dengan nilai tm dan ts berkisar dari 0.978 sampai 1.200.

• Koefisien biparental inbreeding (tm-ts) terjadi pada populasi Dolok, sedangkan

koefisien parental inbreeding (f) terjadi pada populasi Sampolawa.

• Nilai rt (korelasi derajat outcrossing dalam pengujian progeni) mempunyai

nilai kecil pada populasi dolok dan rp (korelasi outcrossed paternity dalam

pengujian progeni) mempunyai nilai kecil untuk semua populasi.

• Penelitian sistem perkawinan selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga hasilnya selalu bersifat dinamis, dengan demikian perlu dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sistem perkawinan jati lainnya pada lokasi dan waktu yang berbeda.

(11)

Daftar Pustaka

Boshier DH. 2000. Mating system. Di dalam: Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest Conservation Genetics, Principles and Practice. CSIRO Publishing and CABI Publishing. Australia.

Brown, A.H.D and R.W. Allard. 1970. Estimation of mating systems in open-pollinated maize populations using isozyme polimorphisms. Genetics 66: 133-145

Finkeldey R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Hamrick JL, Linhart YB, Mitton JB. 1979. Relationship between life history characteristic and electrophoretically detectable genetic variation in plant. Annu Rev Ecol Syst 10:173-200

Hedegart. 1973. Pollination of teak (Tectona grandis Linn. F.). Silvae Genetica 22(4): 124-128

Hedegart. 1976. Breeding system, variation and genetic improvement of teak (Tectona grandis L.f). p 109-123. Di dalam: Burley J, Styles BT, editor. Tropical Trees. Academic Press London.

Kertadikara AWS, Prat D. 1995. Genetic structure and mating system in teak (Tectona grandis) provenances. Silvae Genetica 44, 2-3: 104-110.

Liengsiri C, Boyle TJB, Yeh FC. 1998. Mating system in Pterocarpus macrocarpus Kurz in Thailand. J Hered 89:216-221

Ribeiro RA, Lovato MB. 2004. Mating system in a neotropical tree species, Senna multijuga (Fabaceae). Genetics and Molecular Biology, 27, 3, 418-424

Ritland K. 1996. Multilocus mating system program MLTR. fttp://128. 100.165.100.

Ritland K. 2002. Extensions of models for the estimation of mating systems using n independent loci. Heredity 88: 221-228.

Ritland K, Jain. S. 1981. A model for the estimation of outcrossing rate and gene frequencies using independent loci. Heredity 47(1): 35-52.

Gambar

Gambar 7.1.  Contoh profil pola pita lokus AC28 pada tanaman jati
Tabel 7.2.    Derajat penyerbukan silang berdasarkan lokus tunggal (t s ) dan nilai  frekuensi serbuk sari (pollen) dan ovule dari alel yang sering muncul  untuk tiga populasi jati asal Sulawesi Tenggara, Pop = populasi; A =  banyaknya alel; f = koefisien

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan permainan soccer like game terhadap kerjasama siswa dalam pembelajaran

Pada pencangkokan dengan metode prairadiasi, semakin tinggi dosis iradiasi, maka jumlah radikal yang terbentuk akan semakin bertambah. Jumlah radikal yang semakin banyak

(2012), pisang merupakan buah dengan nilai gizi yang baik dan kandungannya memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Pisang merupakan sumber vitamin C yang baik.. ini dapat

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

‘I think you’ve all three gone mad,’ said Ruth, as she faced Adam, Mark and Sarah in the main living area of the space ship. ‘You could at least listen to us,’

Penyelenggaraan pelatihan dilaksanakan 7 hari dengan efektif 5 hari 4 malam, apa yang bisa dilakukan selama 5 untuk mengubah paradigma pemikiran, dan memberikan

Pada tabel tersebut, untuk metode evaluasi hasil uji 1 dan 2 terlihat jumlah laboratorium tidak memuaskan dan nilai Z-score yang sama.. Seperti dijelaskan sebelumnya hal

Penemuan rumah/bangunan yang ada jentik nyamuk pada saat kunjungan rumah merupakan kegiatan perkesmas yang ditujukan kepada .... Keluarga, kelompok, dan masyarakat