• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (KAJIAN KONFLIK KEPENTINGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA) (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (KAJIAN KONFLIK KEPENTINGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN AGAMA) (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.) - Test Repository"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN

NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (KAJIAN KONFLIK

KEPENTINGAN ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN

PENGADILAN AGAMA)

(Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam (S.H.I)

Disusun Oleh :

ROSALINA ARDHIARINI

NIM 21111003

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rosalina Ardhiarini

NIM :21111003

Fakultas : Syariah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, Maret 2017 Yang menyatakan

(5)

v MOTTO











…… Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah

kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

(QS Al Baqarah: 197)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Kedua orangtuaku, yang senantiasa mendo’akan dan

memberikan dukungan.

Keluargaku yang selalu mendukung, mendo'akan dan

memberikan segalanya, baik moral maupun spritual bagi

kelancaran studi, semoga Allah senantiasa meridhoinya.

(6)

vi ABSTRAK

Rosalina Ardhiarini. 2017. PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.). Skripsi Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, S.H., M.H.

Kata Kunci : Sengketa Waris, Pengadilan Negeri, Warga Muslim

Dewasa ini perkembangan permasalahan tentang kewarisan begitu banyak terjadi, seperti permasalahan pembagian harta warisan yang tidak sesuai, ahli waris yang tidak diakui atau dihilangkan dan masih banyak permasalahan yang lain. Tujuan seseorang mengajukan permohonan maupun gugatan ke pengadilan adalah untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Akan tetapi ketika seseorang

mengajukan sebuah permohonan yang mempunyai sebuah “tujuan” yang kurang

tepat akan memberikan sebuah dampak yang merugikan bagi pihak tertentu.Apakah alasan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa waris melalui Pengadilan Negeri Salatiga? Apakah nilai dan kaidah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa waris sebagaimana dalam Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal?.

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan analisis data penelitian. Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pengabungan dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Analisis data dilakukanterhadapputusanPutusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal secara kualitatif.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Tiada ungkapan yang lebih indah selain bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis mampu dan dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan lancar tanpa halangan suatu apapun.

Adapun judul skripsi yang penulis ajukan adalah “PENYELESAIAN

SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA

MUSLIM (Studi Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal.)” pada

Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Salatiga, guna memenuhi sebagian persyaratan dari syarat-syarat yang diperlukan dalam mencapai gelar Sarjana Syariah.

Sejak perencanaan sampai pada penyusunan laporan penelitian ini penulis mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri Salatiga

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi dan juga telah memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi.

(8)

viii

4. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Salatiga beserta jajarannya, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.

5. Keluargaku tercinta, yang telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini.

Penulis menyadari manusia tidak dapat luput dari salah dan dosa, tentunya skripsi ini masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penyusunan maupun dalam tulisan ini, oleh sebab itu kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Salatiga, Maret 2017

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Kegunaan ... 5

E. PenegasanIstilah ... 6

F. MetodePenelitian ... 7

G. SistematikaPenulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Waris ... 12

(10)

x

BAB III PAPARAN KASUS POSISI SENGKETA WEWENANG DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A. GambaranUmum PN Salatiga ... 44

B. KasusPosisi ... 53

C. EksepsiTergugat ... 60

D. RekonpensiTergugat ... 62

BAB IV NILAI DAN KAIDAH HAKIM DALAM PUTUSAN PN SALATIGA NO. 19/Pdt.G/2002/PN.Sal A. Putusan PN Salatiga NO. 19/Pdt.G/2002/PN.Sal ... 64

B. Asas dan Kaidah Hakim dalam Putusan ... 69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

(11)

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Hukum waris yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al-Quran menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Quran dan dijabarkan pada Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Warisan pasal 171 sampai dengan pasal 209.

(12)

2

Bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan, karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pembagian harta warisan dapat juga dilakukan dengan cara bagi rata, artinya masing-masing ahli waris mendapat bagian yang sama dari harta warisan tanpa memandang apakah ahli warisnya itu laki-laki atau perempuan dengan jalan berdamai berdasarkan kesepakatan bersama antara ahli waris sebagaimana disebutkan pada ketentuan Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pada masyarakat muslim di Bringin dalam pembagian harta warisan, sebagian masyarakatnya ada yang menggunakan pembagian harta warisan dengan cara bagi rata antara ahli waris berdasarkan perdamaian (musyawarah) yang dikenal dengan islah. Akan tetapi dengan cara ini lebih sering menimbulkan masalah dibanding dengan menggunakan ketentuan hukum faraidh. Pembagian harta warisan dengan islah dapat berakibat tidak baik bagi keluarga (yang menjadi ahli waris), jika ada pengingkaran dalam pembagian harta warisan tersebut maka timbullah rasa kecemburuan di antara ahli waris. Pada akhirnya kelak akan menimbulkan renggangnya rasa kekeluargaan yang mereka miliki.

(13)

3

sesuai, ahli waris yang tidak diakui atau dihilangkan dan masih banyak permasalahan yang lain. Tujuan seseorang mengajukan permohonan maupun gugatan ke pengadilan adalah untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Akan tetapi ketika seseorang mengajukan sebuah permohonan yang

mempunyai sebuah “tujuan” yang kurang tepat akan memberikan sebuah

dampak yang merugikan bagi pihak tertentu. Misal A mengajukan sebuah penetapan ahli waris tanpa berunding dengan ahli waris yang lain, setelah keluar penetapannya ditetapkan A dan B menjadi ahli waris, penetapan ini tidak disertai pembagiannya sehingga pembagiannya dilakukan oleh A dan B sendiri. Karena A memang memiliki tujuan yang tersembunyi yaitu ingin mengusai harta warisan dari pewaris, A mengajukan saksi hanya dari pihaknya. Dalam hal kesaksian tersebut hanya dilihat dari satu sudut pandang pihak A sehingga menimbulkan kerugian bagi B.

(14)

4

kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama guna memangkas choice of law dalam

Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan “Para

Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum

apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.

Secara harfiah dari Pernyataan dalam Penjelasan Umum tersebut adalah pilihan hukum sudah tidak dimungkinkan lagi. Dalam praktek masih terdapat hakim Pengadilan Negeri masih menerima, memeriksa dan memutus sengketa waris. Di Pengadilan Negeri Salatiga pada pelaksanaannya menerima gugatan yang didalamnya menyangkut penetapan ahli waris meskipun didahului dengan adanya sengketa penguasaan tanah oleh salah seorang ahli waris.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk menganalisis: “PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN NEGERI BAGI WARGA MUSLIM (Studi Putusan PN

Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal)”

B. Rumusan Masalah

(15)

5 C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini untuk mengetahui Nilai dan kaidah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan sengketa waris sebagaimana dalam Putusan PN Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal?.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, sebagai berikut: 1. Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wacana keilmuan di kalangan civitas akademika khususnya dibidang Hukum waris, Filsafat hukum, maupun Hukum Islam. Hasil penelitian juga diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang Hukum waris dan Filsafat hukum dikalangan praktisi hukum. 2. Praktis

a. Bagi Pengadilan

Sebagai bahan masukan terhadap perkembangan hukum di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas keadilan dalam masyarakat.

b. Bagi Masyarakat

(16)

6 E. Penegasan Istilah

Untuk memberikan batasan terhadap judul penelitian yang dilakukan, maka dapat dijelaskan definisi istilah sebagai berikut:

1. Nilai

Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda atau hal untuk memuaskan manusia (Surayin, 2007: 374). Nilai juga diartikan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan (Sjarkawi, 2009: 29).

2. Kaidah

Kaidah diartikan sebagai ketentuan atau aturan yang digunakan dalam menentukan suatu masalah (Poerwadarminto, 2007: 278).

3. Sengketa Waris

Sengketa waris diartikan sebagai perselisihan akibat adanya pembagian harta warisan (Basyir, 2002: 14).

4. Putusan

(17)

7 F. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran atas sebuah permasalahan dengan melalui kegiatan analisis data penelitian (Sugiyono, 2009: 4)

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pengabungan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif.

a. Pendekatan Yuridis

penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum (Ibrahim, 2010: 14)

b. Pendekatan normatif

Pendekatan normatif digunakan untuk memahami suatu masalah yang diteliti dengan melakukan penelitian yang dilakukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain (Waluyo, 2002: 14). Yang akan dikaji penetapan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal. tentang penetapan Ahli Waris yaitu nilai dan kaedah hukum yang dipertimbangkan dalam mengeluarkan penetapan.

3. Jenis dan Sumber Data

(18)

8 a. Data Primer

Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang berupa kejadian-kejadian di lapangan atau pendapat subyek penelitian atau segala sesuatu yang berhubungan dengan sengketa waris yang terjadi. Data primer dalam penelitian ini berupa putusan pengadilan Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Sal. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dengan hakim dan pihak yang bersengketa.

b. Data Sekunder

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian dikatagorikan sebagai data sekunder, baik data sekunder yang bersifat pribadi maupun data sekunder yang bersifat publik. Dalam penelitian ini data sekunder yang dibutuhkan adalah putusan pengadilan dan undang-undang yang berhubungan dengan penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Sumber data primer dalam skripsi ini diperoleh dari : a. Wawancara

(19)

9

Yang menjadi narasumber dalam penulisan ini adalah :

 Hakim Pengadilan Negeri Salatiga.

 Tokoh masyarakat yang mengerti tentang hukum adat maupun

hukum Islam disekitar.

b. Observasi dilakukan dengan mengamati masyarakat yang berada disekitar lingkungan ahli waris. Untuk melihat dan mengetahui nilai-nilai yang terkandung didalam masyarakat.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisa data, data yang telah diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan pola pikir induksi. Teknik ini dilakukan dengan metode interaktif yang terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang dapat dilakukan pada saat sebelum dan selama pengumpulan data.

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan juga transformasi data yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Sementara penyajian data merupakan penyajian sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

G. Sistematika Skripsi

(20)

10

BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang uraian latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi tentang tinjauan umum tentang waris dalam Islam dan tinjauan umum kewenangan pengadilan.

BAB III HASIL PENELITIAN, merupakan bab yang berisikan hasil penelitian yaitu gambaran PN Salatiga, paparan kasus penetapan pengadilan Negeri Salatiga Nomor 8/Pdt.G//2010/PN.Sal, eksepsi tergugat, rekonpensi tergugat dan putusan pengadilan.

BAB IV PEMBAHASAN, yang berisikan gambaran mengenai pembahasan mengenai analisis asas dan kaidah hakim dalam putusan pengadilan Negeri Salatiga Nomor 8/Pdt.G//2010/PN.Sal.

(21)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Waris

1. Pengertian Pewarisan dalam Hukum Islam

Waris berasal dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan. Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak syar’i ahli waris.

Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang warits.

Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu. Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tatacara yang telah ditetapkan oleh nash. Kata kedua dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab,

(22)

12

al-Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil dari kata fardh yang artinya ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam

al-Quran SuratAn-Nisa’ (4) ayat 11 & 12:

ههُهَلَف ِهْيَتَىْحا َقْىَف ًءاَسِو ههُك ْنِإَف ِهْيَيَخْولأا ِّظَح ُلْخِم ِسَكهرلِل ْمُكِدلاْوَأ يِف ُ هاللَّ ُمُكيِصىُي

(23)

13

mewariskan (mempusakai) bapak-ibu (saja), maka ibunya mendapat sepertiga (1/3); Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (1/6), (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. Dan bagimu (para suami) separo (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka (isteri-isterimu yang telah meninggal) tidak mempunyai anak. Dan jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah semua hutangnya dibayar (lunas). Dan para isteri memperoleh seperempat (1/4) dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu (para suami yang telah meninggal) mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua hutangmu. Jika seseorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6). Akan tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga (1/3), sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar (lunas) semua hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at (perintah) yang benar-benar dari Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Faraidh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan

(24)

14

Berkaitan dengan hukum pasti ini, kata faraidh (kepastian) terdiri dari dua kata, pertama: mafrudha (An-Nisa’:7), menurut al-Maraghi hal itu mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli waris harus mengambilnya, kedua: faridhatan (An-Nisa’:11), menurut al-Maraghi juga, mengandung maksud bahwa saham-saham yang telah disebutkan dalam al-Quran secara terinci itu disertai siapa-siapa ahli waris yang akan memperoleh saham itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.

Dengan demikian, secara operasional dapat ditegaskan bahwa dalam konteks kewarisan, kata faraidh tetap dimaksudkan sebagai pengalihan harta pewaris kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti. Kata ketiga dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah al-Tirkah. Dalam bahasa Arab, adalah bentuk masdar dari kata tunggal taraka, mengandung beberapa makna dasar, yakni membiarkan menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama dan harta peninggalan.

(25)

15

peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat serta pembagian kepada ahli warisnya.

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada Pasal 171 ayat (a) yang berbunyi :

"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris

e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi hukum waris yang dikemukakan oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu : a. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara’id ialah

(26)

16

b. Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan petunjuk

Al-Qur’an, hadist dan ijtihad para ahli.

Dari pengertian diatas dapat dirumuskan pengertian hukum waris islam menurut penulis adalah suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Dan pewarisan muncul ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan atau harta warisan serta ahli waris.

2. Asas Pewarisan menurut Hukum Islam

Hukum waris islam mengandung berbagai asas yang menunjukkan bentuk karakteristik dari hukum waris islam. Asas-asas hukum waris islam antara lain :

a. Asas Ijbari

(27)

17

ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

b. Asas bilateral

Asas bilateral dalam hukum waris islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas bilateral memiliki 2 dimensi; 1. Dimensi saling mewaris antara anak dengan orang tuanya. 2. Dimensi saling mewaris antara orang yang bersaudara terjadi jika pewaris tidak mempunyai keturunan atau orang tua. Dengan demikian dikenal penggantian ahli waris.

c. Asas individual

(28)

18 d. Asas keadilan berimbang

Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.

e. Asas semata akibat kematian

Asas ini menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.

3. Unsur dalam hukum waris islam

Dari definisi tampak unsur-unsur pewarisan, dalam hukum waris islam terdapat 3 unsur yaitu; pewaris, ahli waris dan harta warisan atau tirkah.

a. Pewaris

Tentang pewaris tercantum dalam Pasal 171 huruf b KHI : "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama

Islam, meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan."

(29)

19

baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdir (Sabiq, 2010: 46). Syarat lain untuk menjadi pewaris dalam KHI yang tertuang dalam Pasal diatas selain telah meninggal dunia, pewaris harus beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan.

b. Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam Pasal 171 huruf c KHI disebutkan dalam:

"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk

menjadi ahli waris"

Dari Pasal 171 huruf c ini, menurut penulis perlu adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian. Hal seperti diatas telah diutarakan lebih jelas oleh M. Ali Ash Shabuni seorang ulama fiqh mawaris bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hokum (Ash Shabuni, 2009: 27).

(30)

20

"Ahli waris adalah orang yang masih hidup pada saat meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."

Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah;

1) Hidup;

2) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan; 3) Beragama Islam;

Tentang syarat beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 172 KHI:

"Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari

kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,

sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa,

beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."

4) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI disebutkan pada Pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan

hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap,

dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba

membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan

(31)

21

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5

tahun penjara atau hukuman yang lebih berat".

Ketentuan terhalangnya seorang ahli waris sebagaimana disebutkan di atas, merupakan perluasan dari ketentuan mawani' al irs (penghalang mewarisi) menurut para ulama dalam fiqh mawaris. Jika dalam fiqh mawaris yang menjadi ketentuan mawani' al irs adalah perbudakan; pembunuhan; berlainan agama. Ketentuan di atas tampaknya diadopsi dari BW Pasal 838 tentang ketentuan orang-orang yang tidak pantas untuk menerima warisan bagi kelompok ahli waris karena kematian (Subekti, 2002: 209).

(32)

22

terjadi pewarisan, maka berbeda agama menjadi salah satu penghalang pewarisan. Jadi akan lebih baik apabila Pasal 173 KHI yang mengatur tentang terhalangnya seseorang menjadi ahli waris ditambah dengan berbeda agama.

c. Adanya Harta Peninggalan (Tirkah)

Hal ini berarti jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka tidak akan terjadi pewarisan. Adapun pengertian tirkah di kalangan para ahli ada beberapa pendapat. Beberapa pendapat itu yaitu, : 1) M. Junaedi, MH berpendapat : “tirkah adalah harta peninggalan

(semua harta yang ditinggalkan) muwaris (orang yang meninggalkan harta waris) termasuk hak-haknya”.

2) Muhamad Ali As berpendapat : “tirkah atau tarikah yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan serta hak-hak yang bukan hak kebendaan.

(33)

23

dikeluarkan terlebih dahulu, dalam hal ini analisis yang didapatkan penulis adalah kata hak disini bukanlah hak yang dimiliki oleh pewaris tapi hak yang dimiliki oleh orang lain, misal pewaris mempunyai hutang ke A, disini maksud dari hak-hak (hak A) yang harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan kata lain harus dilunasi hutangnya terlebih dahulu baru dibagi kepada ahli waris.

KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ahli, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah atau harta peninggalan yang dituangkan ke dalam Pasal 171 huruf d KHI:

"Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris

baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun

hak-haknya."

Dari definisi diatas dapat dilihat yang menjadi harta

peninggalan adalah seluruh harta yang ditinggalkan pewaris baik harta yang sudah menjadi hak milik maupun harta dalam bentuk hutang maupun piutang. Sedangkan tentang harta warisan dijelaskan pada Pasal 171 huruf e KHI;

"Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit

sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),

pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

(34)

24

harta waris dalam KHI diperuntukan bagi pewaris yang status perkawinannya adalah kawin. Hal ini dapat dilihat dari point

“bagian dari harta bersama”, menurut penulis harta bersama ada

ketika terjadi perkawinan atau pernikahan. Akan tetapi, jika point diatas digunakan sebagai landasan untuk pewaris yang belum kawin atau menikah point harta bersama bisa diabaikan karena point tersebut memang belum ada, sehingga hanya harta bawaan saja yang digunakan. Point selanjutnya dalam redaksi diatas adalah point

”setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat" dalam point tersebut terdapat kejanggalan dipoint pemberian untuk kerabat karena terdapat maksud yang kurang jelas. Pemberian untuk kerabat sama dengan wasiat. Pengertian wasiat adalah penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut (Wahid, 2009: 105). Penulis bisa mengatakan sama karena melihat bahwa penghibahan sama artinya dengan pemberian secara ikhlas, kepada orang lain atau beberapa orang juga termasuk para kerabat, dan pemberiannya dilakukan setelah orang tersebut meninggal dalam hal ini berarti orang tersebut adalah pewaris.

(35)

25

kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau isteri, dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang pewaris dan wasiat.

Berdasar pengertian diatas tampaknya KHI membedakan antara

pengertian tirkah atau harta peninggalan dan maurus atau harta waris.

Dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa wasiat diberikan terlebih dahulu

sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.

d. Pengertian ahli waris dan bagiannya

Dalam fiqh mawaris jenis ahli waris itu terbagi atas tiga jenis, yakni (1) Ashabul Furudh atau Dzawil furudh, (2) Ashabah, dan (3) Dzawil arham (Wahid, 2009: 108).

1) Ashabul Furuhd atau Dzawil furudh

Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta

peninggalan yang sudah ditentukan oleh Al Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak.

Yang termasuk golongan ashabul furuhd atau dzawil furudh adalah ayah; ibu; anak laki-laki; anak perempuan; suami atau istri.

2) Ashabah

(36)

26

tidak mendapat sama sekali, hal ini bisa terjadi karena ashabah dipengaruhi berbagai pengaruh dan situasi. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa

mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris. Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashabah adalah setiap orang yang mendapatkan semua harta waris, yang terdiri dari kerabat dan orang yang memerdekakan budak, atau yang mendapatkan sisa setelah pembagian bagian tetap (Abubakar, 2008: 252).

Jadi ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak tentu. 3) Dzawil arham

Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furuhd dan pula

ashabah. Atau dzawil arham, ahli waris yang tidak termasuk ashabul

furudh dan tidak pula ashabah. Mereka dianggap kerabat yang jauh

pertalian nasabnya.

Didalam KHI juga diatur mengenai kelompok dan golongan ahli waris, hal ini diatur pada Pasal 174 KHI, yang berbunyi:

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a.Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari : ayah,

anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan

perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan

dan nenek.

(37)

27

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan

hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan pengelompokan berdasarkan sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu karena hubungan darah (nasabiyah) dan karena perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena di Indonesia tidak mengenal perbudakan.

Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : 1) Menurut hubungan darah

a) Golongan laki-laki b) Golongan perempuan, Dua golongan diatas terdiri dari : (1) anak laki-laki dan anak perempuan

(38)

28

Seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya sehingga mendapatkan 2 bagian. Sedangkan bagian yang didapat anak perempuan adalah 1 bagian. Karena seorang perempuan tanggung jawabnya ikut dengan laki-laki.

Sehingga perbandingan bagian yang didapat anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2:1.

(2) saudara laki-laki dan saudara perempuan

 Bagian seorang saudara perempuan, yang masing-masing

memperoleh 1/6 harta warisan.

 Bagian yang diperolehan dua orang saudara atau lebih

dengan tiga kemungkinan: (1) semuanya laki-laki (2) semuanya perempuan

(3) campuran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan semua saudara itu berbagi rata atas 1/3 bagian harta warisan.

(3) ayah dan ibu

 Ayah dan ibu masing-masing memperoleh 1/6 harta

warisan bila pewaris mempunyai anak.

 Ibu memperoleh 1/3 bagian dari harta warisan sedangkan

(39)

29

 Ibu memperoleh 1/6 bagian dari harta warisan bila yang

meninggal tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai saudara, baik saudara seayah, seibu, maupun saudara sekandung.

 Ibu memperoleh 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil janda

atau duda bila bersama-sama ayah. 2) Menurut hubungan perkawinan

a. Duda (suami yang istrinya meninggal)

Bagian yang didapatkan duda sebesar ½ harta warisan istrinya bila istri tidak mempunyai anak.

Tetapi bila si istri mempunyai anak, perolehannya ¼ harta peninggalan istrinya.

b. Janda (istri yang suaminya meninggal)

Janda memperoleh sebesar ¼ harta peninggal suaminya bila suami tidak meninggalkan anak.

Bila suami meninggalkan anak maka janda memperoleh 1/8 harta peninggalan suaminya.

Dalam KHI terdapat satu golongan ahli waris lagi selain 4 golongan di atas, yaitu ahli waris pengganti. Karena dalam penulisan ini penulis fokus dalam ahli waris pengganti maka tentang ahli waris pengganti akan dibahas dalam sub bab sendiri.

B. Tinjauan umum Kekuasan Pengadilan

(40)

30

Agama, maka secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam Pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya. Hal ini sebagaimana terjelaskan dalam Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa (Manan, 2006: 26):

Pasal 18

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 25

Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

1. Kewenangan Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri adalah suatu Pengadilan (yang umum) yang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan perkara pidana untuk semua golongan (Wicaksono, 2011: 56).

Didalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) diatur tentang wewenang Pengadilan Negeri. Wewenang itu sebahagian diatur dalam pasal 84, 85, dan 86 (Rahmadi, 2010: 27).

Pasal 84 menyebutkan:

(41)

31

tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.

2) Pengadilan Negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa tinggal, berdiam terakhir, ditempat ia dikemukakan atau ditahan, hanya berwenang Mengadili Perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebahagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu dari pada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang didalam Daerahnya tindak pidana itu di lakukan.

3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa dalam daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu masing- masing berwenang mengadili perkara pidana itu. 4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada

sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, di adili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Pasal 84 ayat 1 diatas menegaskan Pengadilan mana yang

berwenang mengadili tindak pidana yang bersangkutan. Kewenangan

seperti ini disebut Kewenangan relatife atau distributie van

rechtsmacht. Bila ayat 1 diatas dihubungkan dengan ayat 2, tampaklah

bahwa ketentuan tersebut mengandung asas locus delicti terbatas, yaitu

Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri

dalam wilayah tindak pidana itu dilakukan. Terbatas disini maksudnya

dibatasi oleh ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam ayat 2. Ayat 2

diatas membatasi ayat 1 yang dipakai sebagai ukuran kewenangan

adalah Pengadilan Negeri tempat kediaman sebagian besar saksi yang

dipanggil (Subekti, 2005: 14).

Pasal 84 Ayat 3 menyatakan bahwa pasal ini menjelaskan

operasionalisasi lebih lanjut, karena merujuk ketentuan Jurisdictie

(42)

32

sebab tidak diuraikan tentang urutan wewenang mengadili bagi

masing-masing Pengadilan Negeri yang berkepentingan. Sedangkan pada Ayat

4 ini mengisyaratkan permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh ayat 3

plus permasalahan baru, yaitu kemungkinan terjadinya penggabungan

perkara (Muhammad, 2000: 71).

Pada pasal 85 dinyatakan:

“Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu Pengadilan

Negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua Pengadilan

Negeri atau kepala kejaksaan Negeri yang bersangkutan, mahkamah

agung mengusulkan kepada menteri kehakiman untuk menetapkan atau

menujuk Pengadilan Negeri lain dari pada yang tersebut pada pasal 84

untuk mengadili perkara yang dimaksud “. Dalam penjelasan tersebut

diatas, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keadaan daerah tidak

mengizinkan ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya

bencana alam.

Pada pasal 86 dinyatakan:

“Apabila seseorang melakukan tindak pidana diluar Negeri,

yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka

Pengadilan Negeri Jakarta pusat berwenang mengadilinya “. Pasal 86

diatas menyebutkan bahwa kitab undang-undang hukum pidana kita

menganut Asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang

(43)

33

Negeri dapat diadili menurut kitab undang-undang hukum acara pidana

(KUHAP) Republik Indonesia. Dengan maksud agar jalannya peradilan

terhadap perkara pidana tersebut dapat mudah dan lancar, maka ditunjuk

Pengadilan Negeri pusat berwenang mengadilinya (Marlang, 2009: 34).

Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa

wewenang Pengadilan Negeri itu adalah:

1) Wewenang mutlak (kompetensi absolut).

Wewenang mutlak yaitu wewenang badan Pengadilan dalam

memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat di

periksa oleh badan Pengadilan lain, baik dalam lingkungan

peradilan yang sama (Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama),

maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Negeri,

Pengadilan Agama). Jadi kompetensi absolut ini menyangkut

masalah dengan materi hukum yang menjadi wewenang dari suatu

Pengadilan.

2) Wewenang nisbi (kompetensi relatif)

(44)

34

Negeri tempat tergugat tinggal (mempunyai alamat berdomisili), yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak (pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 RGB), dimana gugatan harus diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tergugat tinggal. Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tidak diketahui tempat tinggalnya yang nyata, maka gugatan diajukan pada Pengadilan ditempat tinggalnya yang nyata, maka gugatan diajukan pada pengadilan tempat tergugat sebenarnya tinggal (pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 ayat 1 RGB)

Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di Ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (pasal 4 Undang- Undang No.2 tahun 1986). Dalam keterangan diatas dijelaskan pula bahwa daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi daerah tingkat II, maka wewenang dari Pengadilan Negeri Salatiga.

2. Kompetensi Pengadilan Agama

Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau

golongan rakyat tertentu. Kata “kekuasaan” sering disebut “kompetensi”

(45)

35

diterjemahkan dengan “kewenangan” dan terkadang dengan “kekuasaan”.

Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara menyangkut dua hal, yaitu: kewenangan relatif dan absolute (Daud, 2005: 47).

Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak Pengadilan yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapt diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkup peradilan lain (Basyir, 2002: 67). Kekuasaan Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama yang merupakan tugas dan kewenangan absolut (Absolut competentie) yang dicantumkan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mencakup materi hukum: (a) bidang perkawinan, (b) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam, (c) wakaf dan shadaqah, secara garis besar dapat dibedakan ke dalam hukum keluarga dan hukum harta kekayaan atau hukum kebendaan.

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Krisna, 2006: 72).

(46)

36

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Adapun asas-asas umum hukum acara Peradilan Agama antara lain sebagai berikut: (Masjfuk, 2008: 42)

1. Asas Bebas Merdeka

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada Pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

(47)

37 3. Asas Ketuhanan

Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan

Yang Maha Esa.”

4. Asas Fleksibilitas

(48)

38

digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Sedangkan Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara.

5. Asas Non-Ekstra Yudisial

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.

(49)

39

atas hukum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

Adapun asas-asas khusus hukum acara peradilan agama diuraikan sebagai berikut: (Summa, 2008: 67)

1. Asas Personalitas Ke-Islaman

Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-Islaman diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat pada UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama mengenai asas personalitas ke-Islaman adalah :

a. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.

b. Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. c. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum Islam, oleh karena

itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

(50)

40

seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragama Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke- Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.

Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat, yakni Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

2. Asas Ishlah (Upaya perdamaian)

(51)

41

Pelaksanaan UU Nomor 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tidak diubah dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan

dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim

peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab

bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih baik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.

3. Asas Terbuka Untuk Umum

(52)

42 4. Asas Equality

Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat

“diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi

kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas equality pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :

a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan

pengadilan atau “equal before the law”.

b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law

c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.

5. Asas “Aktif” memberi bantuan

Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. 6. Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)

(53)

43 BAB III

PAPARAN KASUS POSISI SENGKETA WEWENANG

DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Salatiga

Pengadilan Negeri Salatiga dibentuk pada abad ke-19 yaitu pada tahun 1896 berupa Landraad untuk keperluan Warga Negara Asing dan Belanda, Pemerintah Daerah pada masa itu berupa Kabupaten Semarang dan Kawedanan Salatiga yang berpusat di salatiga berbentuk Gamanto yang pada perubahannya setelah kemerdekaan menjadi Kota Praja dan kini berbentuk Kotamadia yang beralamat kantor di JL. Yos Sudarso, Salatiga. Sejak tahun 1983 berpindah kantor dengan alamat di JL. Veteran No. 4 Salatiga.

1. Visi dan Misi a. Visi

“TERWUJUDYA PENGADILAN NEGERI SALATIGA YANG

AGUNG”

b. Misi

1) Pemberian rasa keadilan yang cepat dan jujur;

2) Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak luar;

3) Memperbaiki akses pada layanan hukum dan peradilan; 4) Memperbaiki kualitas input eksternal pada proses peradilan; 5) Institusi peradilan yang efisien, efektif dan bermartabat;

(54)

44

6) Melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dengan bermartabat, integritas bisa dipercaya dan transparan.

2. Struktur Organisasi

Untuk memberikan job description mengenai tugas masing-masing bagian, maka disusun struktur organisasi sebagai berikut:

Gambar 1

Struktur Organisasi PN Salatiga

Adapun tugas, pokok dan fungsinya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Ketua dan Wakil Ketua

(55)

45

2) Mengadakan pengawasan dan pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera/Sekretaris, Pejabat Struktural dan Fungsional, serta perangkat administrasi peradilan di daerah hukumnya.

3) Menjaga agar penyelenggaraan peradilan terselenggara dengan wajar dan seksama.

b. Majelis Hakim

1) Melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman di daerah hukumnya. c. Panitera/Sekretaris

1) Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi perkara, dan mengatur tugas Wakil Panitera, para Panitera Muda, Panitera Pengganti, serta seluruh pelaksana di bagian teknis Pengadilan Negeri Kelas I B.

2) Panitera bertugas membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

3) Panitera membuat daftar perkara-perkara perdata dan pidana yang diterima di Kepaniteraan.

4) Panitera membuat salinan putusan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku.

(56)

46

6) Dalam perkara perdata, Panitera bertugas melaksanakan putusan Pengadilan.

7) Sekretaris bertugas menyelenggarakan administrasi umum, mengatur tugas Wakil Sekretaris, para Kepala Sub Bagian, serta seluruh pelaksana di bagian Kesekretariatan Pengadilan Negeri Kelas I B.

8) Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab atas penggunaan anggaran.

9) Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Barang bertanggung jawab atas keberadaan dan pemanfaatan barang milik negara ( BMN ).

d. Wakil Panitera

1) Membantu Panitera di dalam membina dan mengawasi pelaksanaan tugas-tugas administrasi perkara.

2) Membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

3) Melaksanakan tugas Panitera apabila Panitera berhalangan.

4) Melaksanakan tugas yang didelegasikan kepadanya.

e. Wakil Sekretaris

(57)

47

2) Mengkoordinir tugas-tugas Kepala Sub Bagian Umum, Kepegawaian dan Keuangan.

3) Wakil Sekretaris sebagai pejabat pembuat komitmen/penanggung jawab kegiatan bertugas:

4) Membuat dan menandatangani kontrak/SPK dan surat-surat lain yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa atau membuat perikatan dengan pihak penyedia barang/jasa yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja.

5) Menyiapkan dokumen pendukung yang lengkap dan benar serta membuat dan menandatangani Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang dikirimkan ke Kuasa Pengguna Anggaran kemudian diteruskan kepada Sub Bagian Keuangan.

6) Membuat evaluasi dan laporan pelaksanaan kegiatan secara berkala.

f. Panitera Muda Perdata

1) Membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

2) Melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan dengan masalah perkara perdata.

(58)

48

4) Menyerahkan salinan putusan kepada para pihak yang berperkara bila diminta.

5) Menyiapkan berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi atau peninjauan kembali.

6) Menyerahkan berkas perkara in aktif kepada Panitera Muda Hukum.

g. Panitera Muda Pidana

1) Membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

2) Melaksanakan administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan dengan masalah perkara pidana.

3) Memberi nomor register pada setiap perkara yang diterima di Kepaniteraan Pidana.

4) Menyerahkan salinan putusan kepada Jaksa, Terdakwa atau kuasanya dan Lembaga Pemasyarakatan apabila Terdakwa ditahan.

5) Menyiapkan berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi atau peninjauan kembali.

(59)

49 h. Panitera Muda Hukum

1) Membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

2) Mengumpulkan, mengolah dan mengkaji data, menyajikan statistik perkara, menyusun laporan perkara, menyimpan arsip berkas perkara dan tugas lain yang diberikan berdasarkan peraturan yang berlaku.

i. Panitera Pengganti

1) Membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

2) Membuat berita acara persidangan.

3) Membantu Hakim dalam:Melaporkan kepada Panitera Muda bersangkutan berkenaan dengan penundaan hari sidang, perkara yang sudah putus berikut amar putusannya.

4) Membuat penetapan hari sidang;

5) Membuat penetapan terdakwa tetap ditahan, dikeluarkan dari tahanan atau dirubah jenis penahanannya;

6) Mengetik putusan.

7) Menyerahkan berkas perkara kepada Panitera Muda bersangkutan bila telah selesai diminutasikan.

j. Jurusita/Jurusita Pengganti

(60)

50

2) Melaksanakan pemanggilan atas perintah Ketua Pengadilan atau atas perintah Hakim.

3) Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, protes-protes dan pemberitahuan Putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan Undang-Undang.

4) Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan dan dengan teliti melihat lokasi batas-batas tanah yang disita beserta surat-surat yang sah apabila menyita tanah.

5) Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain kepada BPN setempat bila terjadi penyitaan sebidang tanah.

k. Sub Bagian Umum

1) Mencatat dan mendistribusikan surat-surat masuk dan surat-surat keluar.

2) Menyelenggarakan pengadaan barang persediaan untuk keperluan operasional kantor.

3) Menyimpan dan memelihara surat-surat bukti kepemilikan Barang Milik Negara.

4) Menyelenggarakan administrasi Persediaan dan Barang Milik Negara serta Membuat Laporan Barang Milik Negara Semester dan Tahunan.

(61)

51

6) Mengkoordinir dan mengawasi keamanan kantor dengan bekerja sama baik dengan pengamanan internal maupun dengan instansi terkait untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan operasional kantor.

7) Mengkoordinir dan mengawasi kebersihan halaman dan gedung kantor.

8) Menyelenggarakan administrasi perpustakaan. l. Sub Bagian Kepegawaian

1) Menata dan memelihara file/berkas kepegawaian pegawai.

2) Menyusun dan membuat Daftar Urut Kepangkatan, Daftar Urut Senioritas dan Bezetting.

3) Mengusulkan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil, kenaikan pangkat, pengangkatan dalam jabatan, mutasi, tanda kehormatan dan pensiun.

4) Mengusulkan penerbitan askes, karpeg, karis/karsu dan taspen.

5) Mempersiapkan bahan dan mencatat seluruh hasil untuk rapat Baperjakat.

6) Menyiapkan penyelenggaraan penyumpahan PNS dan penyumpahan/pelantikan jabatan.

7) Membuat surat keputusan kenaikan gaji berkala dan surat pernyataan masih menduduki jabatan.

(62)

52 m.Sub Bagian Keuangan

1) Menyusun Rencana Kegiatan dan Penarikan Dana pada tahun berjalan.

2) Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran untuk tahun anggaran berikutnya.

3) Menerima dan menguji SPP beserta kelengkapannya untuk kemudian menerbitkan SPM.

4) Melaksanakan tugas perbendaharaan yang bersumber dari PNBP dan APBN (DIPA).

5) Membuat laporan keuangan secara periodik (Bulanan, Triwulanan, Semesteran dan Tahunan).

6) Menata dan memelihara dokumen penerimaan dan belanja negara

B. Kasus Posisi dalam Penetapan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor

19/Pdt.G/2002/PN.Sal.

(63)

53

tergugat, yaitu Sdr. ASAN bin MARDI sebagai Tergugat I, KONAN bin MALIK sebagai Tergugat II, SUHAEMI alias CAMI binti MALIK sebagai Tergugat III, AMINAH binti MALIK sebagai Tergugat IV, SUKAESIH binti MALIK sebagai Tergugat V, dan ENDANG WAHYUDIN bin MALIK sebagai Tergugat VI menganggap bahwa gugatan penggugat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah salah alamat, yang seharusnya gugatan melalui Pengadilan Agama. Penggugat Manan bin Mailan merupakan anak Musti bin Mungkus yang menikah dengan Mailan, dengan surat gugatannya tertanggal 27 Juli 2002 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 1 Agustus 2002 dibawah No. Register 19/Pdt.G/2002/PN.Sal., telah mengemukakan hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut : Bahwa, almarhum Mungkus bin Jamilin semasa hidupnya telah menikah dengan seorang perempuan yang bernama Ny. Narsiti (almarhum) dalam perkawinannya telah dikaruniai 5 (lima) orang anak yaitu :

MUSTI binti MUNGKUS, KUNIL binti MUNGKUS, MARDI bin MUNGKUS, BONAT bin MUNGKUS, dan MALIK bin MUNGKUS

Bahwa, Musti binti Mungkus telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Mailan (almarhum), dalam perkawinannya telah dikaruniai 5 (lima) orang anak yaitu :

(64)

54

Bahwa, Kunil binti Mungkus telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Saamin (almarhum) dalam perkawinannya telah dikaruniai 5 (lima) orang anak yaitu : SAAMIH binti SAAMIN, ABID bin SAAMIN, ANIN bin SAAMIN, SANA bin SAAMIN, dan UDEL bin SAAMIN

Bahwa, MARDI bin Mungkus telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah menikah dengan seorang perempuan yang bernama Sumiyem, dan dalam perkawinannya telah dikaruniai 4 (empat) orang anak, yaitu : DONI bin MARDI, ANDA bin MARDI, ASAN bin MARDI, (Tergugat I) RANI binti MARDI,

Bahwa, BONAT bin MUNGKUS telah meninggal dunia dengan tidak mempunyai keturunan atau tidak mempunyai ahli waris ; Bahwa, MALIK bin Mungkus telah meninggal dunia, semasa hidupnya telah menikah dengan seorang perempuan yang bernama FATIMAH (almarhumah) dan dalam perkawinannya telah dikarunia 5 (lima) orang anak yaitu :

(65)

55

Jika rincian di atas di gambarkan dengan skema maka:

Bahwa menurut hukum anak-anak dari almarhum Mungkus bin Jamilin adalah ahli waris dari almarhum Mungkus bin Jamilin, oleh karena anak-anaknya telah meninggal dunia, maka kedudukan ahli warisnya digantikan oleh cucu-cucunya ; Bahwa almarhum Mungkus bin Jamilin selain meninggalkan para ahliwaris juga meninggalkan harta warisan yang belum dibagi waris yang berupa tanah sawah dan tanah darat beserta bangunan, yaitu :

Tanah sawah seluas kurang lebih 25.500 M2, yang terletak di Ringinawe Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, persil 184, letak dan batas-batasnya : Sebelah Selatan : sawah Kanem, Sebelah Utara : jalan Sebelah Timur : selokan Sebelah Barat : sungai Bahwa tanah sawah harta warisan ini setelah meninggalnya almarhum Mungkus bin Jamilin dikuasai oleh orang tua Tergugat Mungkus bin Jamilin dikuasai oleh orang tua tergugat I yaitu

mungkus bin jamilin (pewaris)

musti

olis, unan, manah, rani, manan

kunil

saamih, abid, sana, udel

mardi

doni, anda, asan, rani

bonat malik

(66)

56

Gambar

Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS HONORARIUM YANG JUMLAHNYA TIDAK DIHITUNG ATAS DASAR BANYAKNYA HARI YANG DIPERLUKA UNTUK MENYELESAIKAN JASA YANG DIBERIKAN, TERMASUK

non-heme pada diet vegetarian yang lebih rendah dibanding zat besi heme yang bersumber dari pangan hewani, asupan zat besi yang direkomendasikan untuk vegetarian adalah 1,8

Pada bagian bab ini Membahas mengenai Gambaran secara umum perpustakaan SDIT LHI Yogyakarta, Sejarah Singkat, Visi dan Misi Perpustakaan, Fungsi Perpustakaan,

dengan metode yang penulis terapkan. Se- lanjutnya, penulis melakukan penjelasan me- ngenai konsep tari yang berjudul Nyamurjuang yang diungkapkan baik mengenai cerita

Untuk bahan baku pig skin, dengan kebijakan non safety stock lebih tepat digunakan dengan teknik LUC yang memiliki penghematan total biaya persediaan sebesar 40,59%, sedangkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian estrogen peroral, berenang, dan kombinasi keduanya terhadap peningkatan osteoblast pada epiphysis tulang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir

Bila DPJP yang !e!eriksa pasien !ene!ukan kasus di luar keahliannya !aka yang  bersangkutan !e!buat surat konsul alih rawat (!enuliskan kelengkapan data  pasien$ hasil