• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN LEVEL BERPIKIR SISWA PADA PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN LEVEL BERPIKIR SISWA PADA PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

60

PENINGKATAN LEVEL BERPIKIR SISWA PADA

PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

Oktorizal 1), Sri Elniati 2), dan Suherman3)

1) FMIPA UNP, email: oktorizal89@gmail.com 2,3) Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP

Abstract

Students must proceed through five levels of understanding in learning geometry sequentially. The levels labeled Visualization, Analysis, Informal Deduction, Formal Deduction, and Rigor. There are three components in learning such as time, contents, and learning approach, when these are set and integrated well in the system will enhance the thinking ability of students to higher levels of thinking. This research is concerning on the progress of students geometry thinking when they are taught by Realistic Mathematics Education approach. The research is pre-experimental research that use the one shot case study as research design.

Keyword - Realistic Mathematics Education, geometry ,geometry level of thought

PENDAHULUAN

Geometri merupakan cabang matematika yang menempati posisi khusus dalam pembelajaran matematika di sekolah. Pentingnya konsep yang termuat di dalamnya menempatkan materi geometri dalam proporsi yang relatif banyak dalam kurikulum. Pada tingkatan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sekitar 42% materi yang diajarkan berupa materi geometri. Untuk kelas VII, ada dua dari enam standar kompetensi yang berisikan materi geometri. Untuk kelas VIII, ada tiga dari lima standar kompetensi yang berisikan materi geometri.

Bobango (1993: 148) menyatakan bahwa “tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa, (1) memperoleh rasa percaya diri pada kemampuan matematikanya, (2) menjadi pemecah masalah yang baik, (3) dapat berkomunikasi secara matematis, dan (4) dapat bernalar secara matematis”. Suydam (dalam Clements & Battista, 1992: 421) memberikan pendapat bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah (1) mengembangkan kemampuan berpikir logis, (2) mengembangkan intuisi spasial mengenai dunia nyata, (3) menanamkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk matematika lanjut, dan (4)

mengajarkan cara membaca dan menginterpretasikan argumen matematika.

Berdasarkan pendapat ahli tersebut, inti dari tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dengan memanfaatkan pemikiran logis dan matematis. Pembelajaran geometri memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan intuisi ruang pikiran dengan memasuki dunia geometri yang pada dasarnya sudah dikenal semenjak mereka masuk sekolah. Dunia geometri yang sudah mereka kenal itulah yang menjadi titik tolak pembelajaran di kelas. Kemampuan pemecahan masalah dan imajinasi kreatif yang dikembangkan selama pembelajaran geometri membantu siswa dalam memahami konsep-konsep matematika lainnya.

Pentingnya pembelajaran Geometri tersebut mendorong para tokoh pendidikan matematika memberikan perhatian serius terhadap pembelajaran geometri di sekolah, diantaranya adalah Piere Van Hiele dan Dina Van Hiele- Geldof ( 1957-1959). Dua tokoh tersebut mengajukan teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri

(2)

61

siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui level-level tertentu.

Van hiele (dalam Crowley, 1987) menyatakan, terdapat lima level berpikir siswa dalam memahami geometri. Tingkatan level tersebut yaitu visualisasi (level 0), analisis (level 1), deduksi informal (level 2), deduksi formal (level 3) dan Rigor (level 4).

Level visualisasi dikenal dengan level dasar, level rekognisi, level holistik, dan level visual. Pada level ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar karakteristik visual dari suatu objek. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat objek yang diamati, tetapi memandang objek secara keseluruhan. Oleh karena itu, pada level ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa mengetahui suatu bangun persegi panjang, tetapi ia belum menyadari karakteristik keseluruhan dari bangun persegi panjang tersebut.

Level analisis dikenal dengan level deskriptif. Pada level ini sudah terlihat adanya analisis siswa terhadap konsep dan sifat-sifat bangun geometri. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan mereka belum mampu memahami definisi. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegi panjang karena bangun itu mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.

Level deduksi informal dikenal dengan level abstraksi, level relasional, level teoritik, dan level keterkaitan. Pada level ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hierarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri. Sebagai contoh, pada

tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu, pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada level ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah dapat memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegi panjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang.

Pada level deduksi formal siswa tidak hanya sekedar menerima bukti tetapi sudah mampu menyusun bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik, dan mereka berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.

Clements & Battista (1992: 428) menyebut level Rigor dengan level metamatematika. Pada level ini, matematikawan bernalar secara formal dalam sistem matematika serta dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal sudah dapat dipahami. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga berubah.

Untuk siswa di tingkat SMP, pada umumnya hanya mampu mencapai level 2 (deduksi informal). Hal ini sesuai dengan pendapat Van de Walle (1990:270) yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SMP/MTs berada pada antara level 0 (visualisasi) sampai level 2 (deduksi informal).

Permasalahan yang ditemukan di SMPN 8 Padang sebagai sekolah yang bertaraf internasional dimana siswanya merupakan siswa unggulan di sumatera barat adalah secara umum siswa telah mencapai level berpikir 0 ( visualisasi ) dan sebagian kecil telah berada pada level 1 (analisis). Menurut Van De Walle (1990:270) siswa SMP seharusnya sudah bisa mencapai level 2 (deduksi informal ). Siswa seharusnya sudah bisa

(3)

62

melakukan analisis terhadap sifat-sifat bangun geometri dan mengurutkan secara logis sifat-sifat tersebut. Kenyataan yang terihat di lapangan ketika siswa diminta menyelesaikan persoalan tentang segitiga, siswa mangalami kesulitan dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat bangun tersebut. Sebagian lain dari mereka masih ragu dalam mengelompokkan macam-macam segitiga ketika model gambar segitiga itu dibolak-balik posisinya.

Siswa yang berada pada level deduksi informal masih relatif sedikit, padahal seharusnya secara umum siswa telah berada pada level tersebut. Hal ini terlihat ketika siswa mengalami kesulitan menyelesaikan persoalan geometri terkait dengan menjelaskan keterkaitan antar bangun geometri yang diberikan. Siswa mengetahui defenisi bangun-bangun namun mengalami kesulitan dalam mengurutkan klasifikasi bangun dan mengurutkan sifat-sifat bangun.

Van Hiele (Suherman 2003:51) menyatakan bahwa tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi dan pendekatan pengajaran yang diterapkan, yang jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Berdasarkan pendapat tersebut waktu, materi dan pendekatan pembelajaran menjadi hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran geometri. Pada penelitian ini yang menjadi fokus pembahasan adalah pada pendekatan pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran yang menjadi pilihan dalam mengatasi permasalahan pembelajaran di SMPN 8 Padang adalah Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pada tahun 1973, Freudenthal memperkenalkan suatu pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama Pedidikan Matematika Realistik (PMR). Pendekatan ini didasarkan pada prinsip Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, dengan ide utama bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).

Berdasarkan teori pendekatan PMR, ada beberapa keunggulan dari pendekatan tersebut yang menjadi pertimbangan dapat mengatasi permasalahan pendidikan di atas, yaitu,

(1) Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada, umumnya bagi manusia, (2)Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, (3) Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian sesuatu masalah tidak harus tunggal, dan tidak perlu sama antara sesama siswa bahkan dengan gurunya pun, (4) Pendekatan PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama. Tanpa kemauan menjalani proses tersebut, pembelajaran tidak akan bermakna (5) PMR memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran yang lain yang dianggap “unggul” seperti pendekatan pemecahan masalah, dll, (6) Pendekatan PMR yang dikembangkan oleh tim Freundenthal Institute di Belanda bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional (Massofa, 2008).

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik bertitik tolak dari hal-hal “real” bagi siswa, menekankan keterampilan “proses of doing math”, berdiskusi dan berkolaborasi. Pendekatan PMR memfasilitasi siswa untuk berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu ataupun kelompok.

Pendekatan PMR mambahas secara khusus bagaimana seharusnya pembelajaran geometri dilaksanakan dalam Geometri realistik. De Moor (dalam Fauzan: 2002) meyatakan bahwa terdapat 6 aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran geometri realisitik yaitu mengadakan pengamatan ( sighting) dan proyeksi ( projecting), Melakukan orientasi (orienting) dan

(4)

63

melokalisir (locating), Mengukur dan menghitung

(measuring and calculating), Mengkontruksi dan Menggambar (Contsructing and Drawing), Penalaran Ruang (Spatial Reasoning), Transformasi ( Transforming ).

Perkembangan level berpikir tersebut akan diperoleh dari pengalaman mereka selama mengikuti serangkaian aktivitas pada kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Aktivitas awal menekankan pada kegiatan review dan pengenalan menjadi bekal bagi guru untuk mendapatkan informasi pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Siswa diarahkan untuk melakukan orientasi (orienting) dan melokalisir (locating) benda-benda yang ada disekeliling mereka. Siswa diarahkan untuk melihat benda secara keseluruhan dan memperhatikan posisi (tampak depan, tampak belakang, tampak samping, dsb) benda tersebut. Kegiatan orientasi dan melokalisir tersebut melatih visualisasi siswa.

Pada kegiatan untuk aspek pengamatan (

sighting ) siswa difasiltasi model berupa benda kongkret sebagai alat bantu yang menjembatani siswa dalam menemukan konsep, siswa dengan bimbingan guru melakukan pengukuran (

measuring ) dan penghitungan (calculating) terhadap benda konkret yang berbentuk bangun ruang (balok/kubus/prisma/limas). Kemudian siswa juga yang menyimpulkan sifat-sifat dari bangun ruang berdasarkan hasil pengukuran yang mereka peroleh. Salah satu contoh bentuk kegiatan menyelidiki sifat bangun balok, seperti berikut. (a) siswa diminta mengambil model bangun balok dari kumpulan bangun ruang; (b) siswa diminta memberi nama bangun tersebut; (c) siswa diminta mengukur/menyelidiki keadaan: titik sudut, rusuk,sisi, dan diagonal-diagonal yang ada pada balok. Pada kegiatan ini siswa diharapakan mampu mengembangkan kemampuan analisis mereka.

Penelitian ini juga dilengkapi dengan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Penggunaan LKS membantu siswa mengkontruksi ( constructing ) konsep. LKS manuntun siswa dalam menemukan sifat-sifat bangun dan meyimpulkan hubungan antar sifat bangun-bangun ruang. Siswa juga dituntut untuk menggambar bangun ruang yang diamati untuk mengembangkan daya tilik ruang pikiran mereka.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah pra-eksperimen dengan rancangan The One Shot Case Study, yaitu menggunakan satu kelompok subjek. Kelas yang terpilih sebagai subjek penelitian diberikan perlakuan yaitu penerapan Pendekatan Matematika Realistik (PMR), setelah itu dilakukan pengukuran secara berkala untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel terikat.

Prosedur dalam penelitian ini adalah melakukan skenario pembelajaran berdasarkan karakteristik dari pendekatan PMR. Pembelajaran diberikan pada materi balok dan kubus, Prisma, dan Limas. Setelah itu dilakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran. Evaluasi berupa 3 kali tes level berpikir geometri dengan bentuk tes uraian yang terdiri dari 8 butir soal yang disusun sedemikian rupa sehingga masing masing butirnya mangukur ketercapaian level berpikir siswa. Data yang diperoleh dideskripsikan dalam bentuk narasi. Deskripsi data didasarakan pada indikator ketercapaian level berpikir yang disusun dan divalidasi oleh dua orang dosen matematika UNP

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ditampilkan perkembangan level berpikir geometri siswa untuk ketiga tes level berpikir:

(5)

64

Gambar 1. Perkembangan Level Berpikir Geometri Siswa selama Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

Berdasarkan Gambar 1 di atas, secara umum terlihat bahwa terjadi peningkatan level berpikir geometri siswa selama pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan PMR. 50% siswa berpindah dari level visualisasi ke level deduksi informal, 25% siswa berpindah dari level berpikir analisis ke level berpikir deduksi informal, 8.33 % siswa berpindah dari level berpikir deduksi informal ke level berpikir deduksi formal

Konsepsi awal siswa tentang unsur-unsur bangun ruang merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penelitian. Berdasarkan hasil tes setelah dilakukan pembelajaran dengan pendekatan PMR pada pembelajaran Balok dan kubus, diketahui bahwa 12 orang siswa berada pada level visualisasi, 7 orang lainnya berada pada level analisis, 3 siswa berada pada level deduksi informal dan 2 orang telah berada pada level deduksi formal.

Hasil test menunjukkan bahwa pada umumnya konsepsi awal siswa belum sesuai dengan konsepsi yang sesungguhnya. Diantaranya, siswa terlihat masih mengalami kesulitan dalam membedakan bangun balok/kubus dan bangun bukan balok/kubus. Siswa belum memahami bahwa bidang diagonal pada bangun balok/kubus berupa persegi panjang. Siswa masih ragu dalam menentukan dan melakukan perhitungan terkait dengan panjang diagonal bidang ataupun diagonal

ruang dari balok dan kubus, siswa belum bisa melihat sudut yang dibentuk oleh pertemuan dua rusuk pada titik sudut merupakan sudut siku-siku. Siswa juga belum mampu mengidentifikasi bangun balok dan kubus berdasarkan sifat-sifatnya. Siswa sulit dalam mengurutkan klasifikasi bangun ruang, misalnya dalam menyimpulkan bahwa kubus merupakan suatu balok.

Permasalahan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah kecenderungan siswa menghafal suatu konsep tanpa didasari dengan pemahaman dan kebermaknaan. Kesalahan lain siswa adalah mengenai persepsi visual. Mereka masih bergantung pada satu orientasi semata, dari hasil pengamatan siswa sulit untuk memahami bahwa sifat suatu balok/kubus tidak berubah bentuk dan ukurannya meskipun dilihat dari berbagai arah. Keterbatasan persepsi visual dipengaruhi oleh kurangnya pengalaman visual pada pembelajaran sebelumnya. Salah satunya adalah penggunaan model bangun balok/kubus bentuk padat diikuti dengan bentuk kerangka untuk mengenalkan unsur bangun tersebut.

Pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik diterapkan dalam upaya membantu siswa dalam memahami konsep-konsep geometri sekaligus meningkatkan level berpikir siswa sesuai dengan level berpikir yang dirumuskan oleh Van Hiele. Hasil penelitian

(6)

65

menunjukkan bahwa pemahaman konsepsi siswa membaik setelah diterapkan pendekatan pembelajaran PMR.

Siswa telah mampu mengenali bangun-bangun Ruang dengan baik. Contohnya, mereka telah mampu membedakan bangun balok/kubus dari kumpulan berbagai bangun ruang lainnya meskipun posisinya dibolak-balik. Mereka mampu mendeskripsikan sifat-sifat dari tiap bangun ruang. Mereka memahami bahwa sebuah balok memiliki diagonal-diagonal ruang yang sama panjang dan berpotongan di satu titik, sisi-sisi yang berhadapan sejajar dan memiliki luas area yang sama. Sebagian dari mereka sudah bisa menjelaskan bahwa kubus merupakan suatu balok yang memiliki panjang rusuk yang sama.

Kenyataan ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa tentang bangun geometri ruang. Proses meningkatnya pemahaman siswa ini sangat dimungkinkan dari pengalaman- pengalaman belajar siswa mengamati model-model bangun geometri ruang yang berupa benda-benda konkret. Siswa melakukan pengukuran terhadap sisi, sudut dan diagonal bangun-bangun ruang melalui bantuan LKS. Kemudian, siswa juga yang menyimpulkan sifat-sifat dari bangun ruang berdasarkan hasil pengukuran yang telah mereka peroleh. Pengalaman geometri pada pembelajaran ini dirancang dengan memperhatikan konsepsi awal siswa dan sebagai implikasi dari pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivisme yang merupakan bagian dari pendekatan Pendekatan Matematika Realistik. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1988) yang mengemukakan bahwa implikasi pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivisme adalah guru perlu menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, sehingga siswa belajar melalui proses pembentukan pengetahuan. Hal ini merupakan prinsip utama dari pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR)

Berdasarkan hasil tes III ( tes untuk materi limas ), terlihat peningkatan level berpikir siswa setelah penerapan pendekatan PMR. Dari 12 orang yang berada pada level visualisasi, 9 orang diantaranya mengalami peningkatan yang cukup

drastis yaitu peningkatan dari level visualisasi (level 0) ke level deduksi informal (level 2) dan 3 orang lainnya mengalami peningkatan dari level visualisasi (level 0) ke level analisis (level 1). Sementara itu, dari 7 orang yang berada pada level analisis, 6 orang diantaranya mengalami peningkatan level berpikir dari level analisis (level 1) ke level deduksi informal (level 2). Akan tetapi, 1 orang lainnya tetap berada pada level analisis. Satu orang siswa memang tidak terlihat peningkatan level berpikirnya. Namun setelah diwawancarai, pemahamannya terhadap bangun geometri jauh lebih baik.

Berdasarkan hasil tes III, 3 orang siswa yang berada pada level deduksi informal (level 2), 2 orang diantaranya mengalamai peningkatan level berpikir dari level deduksi informal (level 2) ke level berpikir formal (level 3). Siswa terlihat begitu mahir dalam mensortir bangun prisma dan limas diantara kumpulan bangun ruang lainnya. Siswa juga terlihat mahir dalam mendeskripsikan sifat-sifat dari setiap bangun raung . Hanya saja siswa tersebut masih kesulitan dalam memberikan bukti secara formal yang berhubungan dengan persoalan yang menuntut mereka melakukan pembuktian-pembuktian.

Perkembangan level berpikir tersebut tentunya diperoleh dari pengalaman mereka selama mengikuti serangkaian aktivitas pada kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Aktivitas awal yang menekankan pada kegiatan review dan pengenalan menjadi bekal bagi guru untuk mendapatkan informasi pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Siswa diarahkan untuk melakukan orientasi (orienting) dan melokalisir (locating) benda-benda yang ada disekeliling mereka. Siswa diarahkan untuk melihat benda secara keseluruhan dan memperhatikan posisi (tampak depan, tampak belakang, tampak samping, dsb) benda tersebut. Kegiatan orientasi dan melokalisir tersebut melatih visualisasi siswa.

Pada kegiatan untuk aspek pengamatan (

sighting ) siswa difasiltasi model berupa benda kongkret sebagai alat bantu yang menjembatani siswa dalam menemukan konsep, siswa dengan bimbingan guru melakukan pengukuran (

(7)

66

terhadap benda konkret yang berbentuk bangun ruang (balok/kubus/prisma/limas). Kemudian siswa juga yang menyimpulkan sifat-sifat dari bangun ruang berdasarkan hasil pengukuran yang mereka peroleh. Salah satu contoh bentuk kegiatan menyelidiki sifat bangun balok, seperti berikut. (a) siswa diminta mengambil model bangun balok dari kumpulan bangun ruang; (b) siswa diminta memberi nama bangun tersebut; (c) siswa diminta mengukur/menyelidiki keadaan: titik sudut, rusuk,sisi, dan diagonal-diagonal yang ada pada balok. Pada kegiatan ini siswa diharapakan mampu mengembangkan kemampuan analisis

mereka.

Penggunaan Lembar Kegiatan Siswa membantu siswa mengkontruksi ( constructing ) konsep. LKS manuntun siswa dalam menemukan sifat-sifat bangun dan meyimpulkan hubungan antar sifat bangun-bangun ruang. Siswa juga dituntut untuk menggambar bangun ruang yang diamati untuk mengembangkan daya tilik ruang pikiran mereka.

Pada akhir rangkaian kegitan pembelajaran siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan idenya dan lebih memahami materi yang diajarkan melalui diskusi antar siswa. Berdasarkan hasil pengamatan, kegiatan diskusi pada pertemuan pertama kurang optimal. Sebagian kelompok siswa belum berani mengemukakan pendapatnya, baik dalam kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok lainnya. Padahal kegiatan diskusi dapat memperlancar komunikasi matematika siswa secara lebih efektif, baik itu dalam pemahaman konsep, problem solving, maupun alasan-alasan logik. Kurang optimalnya pelaksanaan diskusi ini disebabkan oleh tradisi belajar siswa yang masih dipengaruhi cara belajar konvensional. Namun, kegiatan diskusi ini membaik pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Pada akhir penelitian siswa terlihat telah begitu mahir menyelesaikan masalah yang menuntut pemahaman terhadap sifat-sifat dari bangun ruang. Tentunya pencapaian ini juga sangat didukung oleh penerapan pendekatan PMR yang menuntut mereka menemukan konsep sendiri sehingga mereka benar-benar paham dengan materi yang dibahas. Siswa diberikan tugas-tugas yang lebih kompleks baik secara individu maupun

berkelompok. Dalam hal ini, siswa ditantang untuk berpikir dan memecahkan masalah dengan cara siswa sendiri.

Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik memberikan sumbangsih dalam mengkonstruksi pengetahuan siswa. Tujuan kegiatan belajar dengan pendekatan PMR ini adalah agar siswa mampu menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didiskusikan.

Salah satu aspek penting dalam membelajarkan geometri pada siswa adalah selalu memperhatikan tingkat bepikir siswa. Oleh karena itu, untuk menanamkan suatu ide atau konsep geometri perlu penyesuaian dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dalam suatu rangkaian pembelajaran yang diawali dengan sajian konkret (wujud nyata), semi konkret (wujud gambar), dan menuju ke abstrak (simbol). Hal ini sejalan dengan rangkaian pembelajaran dengan pendekatan PMR.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi peningkatan level berpikir geometri siswa setelah diterapkan Pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik. Tingkat pencapaian level berpikir geometri Van Hiele siswa di kelas penelitian adalah 50% siswa berpindah dari level visualisasi ke level deduksi informal, 25% siswa berpindah dari level berpikir analisis ke level berpikir deduksi informal, 8.33 % siswa berpindah dari level berpikir deduksi informal ke level berpikir deduksi formal

Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan kepada guru agar dapat memvariasikan pendekatan pembelajran geometri dengan menerapakan pendekatan PMR, tidak hanya bertujuan untuk menginkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan, tetapi juga untuk meningkatkan level berpikir geometri seperti yang dirumuskan oleh Van Hiele.

(8)

67 DAFTAR PUSTAKA

Bobango, J.C.. 1993. Geometry for All Student:

Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas

(Eds). Reaching All Students With

Mathematics. Virginia: TheNational Council

of Teachers of Mathematics,Inc

Clements, D.H & Battista, J.M. 1992. Geometry

and Spatial Reasoning. Hand Book of

Research on Mathematics Teaching and Learning, New York: Macmillan Publishing Company

Crowley, M.L.1987. The van Hiele Model of

Development of Geometric Though. Reston,

VA: National Council Of Teachers of Mathematics.

Fauzan, A. 2002. Applying Realistik Mathematics Education in Teaching Geometry in

Indonesian Primary Schools. Doctoral

Dissertation, University of Twente, The Netherlands.

Gravemeijer,K.P.E. (1994). Developing Realistic

Mathematics Education. Utrecth:

freudenthal institute.

Massofa, 2008, Pendekatan Pendidikan

Matematika Realistik.

www.massofa.wordpress.com/2008/09/13/pe

ndekatan-pembelajaran-matematika-realistik. ( di Akses tanggal 29 Desember 2011)

Suherman, Erman (2003). Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Universitas Pendidkan Indonesia

Van de Walle, J.A.1990. Elementary School

Mathematics: Teaching Developmentally.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Level Berpikir Geometri Siswa selama  Penerapan Pendekatan  Pendidikan Matematika Realistik

Referensi

Dokumen terkait

A community based cross-sectional study was undertaken to evaluate the correlation of anemia and high TIBC level among Public Primary school children in, Amplas Medan and

Menyampaikan pernyataan/pengakuan tertulis bahwa badan usaha yang bersangkutan dan manajemennya/Direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak dalam

Persebaran ruang terbuka hijau terbanyak terletak di sebelah timur Kecamatan Jebres tepatnya di Kelurahan Jebres, Pucangsawit dan Mojosongo sedangkan pada bagian barat dan

Adapun aktivitas senam irama dan line dance dalam pembelajaran pendidikan jasmani dapat dipergunakan sebagai media untuk mengembangkan gerak tubuh siswa agar

 Kesepakatan kegiatan penyiapan masyarakat dilakukan sebelum pembangunan fisik untuk lokasi yang sama.  Prioritas pembangunan sanitasi diambil berdasarkan area

Informasi yang diperlukan untuk dapat menghitung kebutuhan pegawai dengan metode ini adalah :.  Uraian tugas beserta jumlah beban untuk setiap tugas  Waktu

Statistik Deskriptif Variabel Likuiditas, Leverage, Profitabilitas, Rasio Aktivitas, Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan. Institusional, dan

[r]