i
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK AKAR
PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia)
ATAU EKSTRAK
AKAR PURWOCENG
(Pimpinela Alpina molk)
MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA
TIKUS WISTAR JANTAN TUA
SUGENG IBRAHIM
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
PEMBERIAN EKSTRAK AKAR
PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia)
ATAU EKSTRAK
AKAR PURWOCENG
(Pimpinela Alpina molk)
MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA
TIKUS WISTAR JANTAN TUA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
SUGENG IBRAHIM NIM 1490761033
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : ………..
PENETAPAN PENGUJI
Pembimbing I
Prof. DR.dr. Wimpie Pangkahila Sp And FAACS
NIP. 194612131971071001
Pembimbing II
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And
NIP. 194402011964091001
Mengetahui,
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
DR.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK
iv
Tesis ini telah diuji pada
Tanggal………
Penguji tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
No : ……/UN14.4/HK/2016, Tanggal:…………..
Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
Sekretaris : Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And
Anggota : 1. Prof. dr. I Gusti.Made Aman, Sp.FK
2.Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, M.Sc.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : dr. Sugeng Ibrahim
NIM : 1490761033
PROGRAM STUDI : ILMU BIOMEDIK
JUDUL TESIS : PEMBERIAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI
(Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinela Alpina molk) MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA TIKUS WISTAR JANTAN TUA
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 Maret 2016
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan untuk
petunjuk serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis dan penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir
studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada
Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine,
Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor
Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD. dan Prof. dr. A.A.
Raka Sudewi, Sp.S (K)., Direktur Program Pascasarjana serta Dr. dr. Gde. Ngurah
Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp. GK Ketua Program Studi Ilmu Biomedik atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana.
Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS,
Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan pemikiran untuk membimbing,
mengarahkan, mengoreksi serta memberi masukan yang berharga kepada Penulis
vii
Terima kasih pula kepada Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And
pembimbing II untuk waktu yang sangat berharga, kesabaran, arahan serta bimbingan
dalam setiap tahap penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada
para penguji tesis ini, yaitu Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, DR.dr. Gde Ngurah
Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK dan Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, yang
telah memberi koreksi dan masukan yang sangat berharga. Terima kasih
sebesar-besarnya dan penghargaan kepada “ Chief “ Orlen, dan seluruh rekan seangkatan di
AAM IX Udayana, kakakku dr. Herti Sillalahi dan adik - adikku dr. Herna,
dr. Widya, dr. Iftitah, dr. Juju dan dr. Siska atas spirit yang diberikan.
Terima kasih kepada istriku Diana dan anak gadisku Meutia untuk dorongan
semangat yang tulus.
Denpasar, Maret 2016
viii
ABSTRAK
PEMBERIAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinela Alpina molk)
MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA TIKUS WISTAR JANTAN TUA
Manusia mengalami proses penuaan, penurunan fungsi biologik, penurunan kadar hormon terutama testosteron. Penurunan kadar testosteron mengakibatkan gangguan libido, disfungsi ereksi, kognitif, penurunan massa otot, penurunan densitas tulang, Androgen Deficiency in The Aging Male ( A.D.A.M ) sehingga diperlukan subtitusi testosteron sabagai terapi. Pasak bumi (Eurycoma longifolia) dan Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) mengandung Phytotestosteron. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan pemberian ekstrak akar Pasak bumi (Eurycoma longifolia) atau Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) meningkatkan kadar testosteron tikus wistar jantan tua.
Rancangan penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan post
-test only control group design yang menggunakan 30 ekor Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, berumur ( 18 bulan ). Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masing - masing 10 ekor Tikus. Kelompok kontrol diberikan Placebo (P0) selama 14 hari, kelompok perlakuan 1 diberikan ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) dosis 200mg/200gr tikus selama 14 hari (P1), dan kelompok perlakuan 2 diberikan ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) dosis 200mg/200gr tikus selama 14 hari (P2).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang diberikan plasebo (P0), memiliki rerata kadar testosteron sebesar 2,787 ± 0,314ng/mL, pada kelompok perlakuan 1 (P1) adalah 3,666 ± 0,493 ng/mL, dan pada kelompok perlakuan 2 (P2) adalah 3,569 ± 0,606 ng/mL. Hal ini menunjukkan bahwa dua kelompok, P0 dibanding P1 dan P0 dibanding P2 setelah diberikan perlakuan selama 14 hari, memiliki rerata kadar testosteron yang berbeda sangat bermakna (p<0,01). Sementara P1 dibanding P2 berbeda tidak bermakna (p>0,05).
Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) atau ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) meningkatkan kadar hormon testosteron pada tikus wistar jantan tua (p<0,01). Pemberian ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) oral tidak lebih meningkatkan kadar hormon testosteron dibandingkan pemberian ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina
Molk) oral pada tikus wistar jantan tua (p>0,05).
Kata kunci : Penuaan, Testosteron, A.D.A.M , Eurycoma longifolia, Pimpinella
ix
ABSTRACT
TREATMENT ADMINISTRATION OF EURYCOMA LONGIFOLIA ROOT EXTRACT or PIMPINELLA ALPINA MOLK ROOT EXTRACT
INCREASED TESTOSTERONE LEVEL IN AGED MALE RATTUS NORVEGICUS
Human suffer aging process, biological function decrease, especially Testosterone level decrease. Decrease Testosterone level, effects to decrease libido, erectile disfungtion (ED), decrease muscle mass, decrease bone marrow density,
Androgen Deficiency in The Aging Male ( A.D.A.M ). Testosterone substitution therapy is needed. Eurycoma Longifolia and Pimpinella Alpina Molk consisting Phytotestosteron. Goal of this study, is to prove that Eurycoma Longifolia root extract and Pimpinella Alpina Molk root extract increasing Testosterone level in aged male Rattus Norvegicus.
The study design was experimental, with “post-test only control group design” with 30 male Rattus Norvegicus, 18 months age. Rats were divided 3 groups, each of 10 Rats. Control group were given placebo ( P0 ) for 14 days, treatmen group 1 were given Eurycoma Longifolia extract 200mg/200gr for 14 days ( P1 ), treatmen group 2, were given Pimpinella Alpina Molk root extract 200mg/200gr for 14 days (P2).
The study results showed that P0, have mean of Testosteron level 2,787 ± 0,314ng/mL, (P1) were 3,666 ± 0,493 ng/mL, and (P2) were 3,569 ± 0,606 ng/mL. This showed that 2 groups, P0 compared to P1 and P0 compared P2 were having very significant mean of Testosterone (p<0,01) after 14 days treatment. While P1 compared to P2 did not significant (p>0,05).
It was concluded that, treatment administration of root extract Eurycoma Longifolia or Pimpinella Alpina Molk increased Testosterone level of aged male Rattus Norvegicus (p<0,01). Treatment administration of Eurycoma Longifolia did not significantly increase Testosteron level compared with treatment of Pimpinella Alpina Molk in aged male Rattus Norvegicus (p>0,05).
Keywords: Aging, Testosteron, (A.D.A.M) , Eurycoma longifolia,Pimpinella
x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENETAPAN PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
2.2.1 Struktur Kimia Testosteron ... 15
2.2.2 Biosintesis Testosteron ... 16
2.2.3 Fungsi Testosteron ... 19
2.3 Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) ... 21
2.3.1 Deskripsi Tumbuhan Pasak Bumi ... 21
2.3.2 Manfaat Tumbuhan Pasak Bumi ... 24
2.3.3 Kandungan Senyawa Pasak Bumi ... 28
2.3.4 Uji Toksisitas Pasak Bumi ... 30
xi
2.4.1 Deskripsi Tanaman Purwoceng ... 32
2.4.2 Manfaat Tanaman Purwoceng ... 35
2.4.3 Kandungan Senyawa Purwoceng ………..…………... 36
xii BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Deskriptif……… 60
5.2 Uji Normalitas Data ………... 61
5.3 Uji Homogenitas Data……… 61
5.4 Analisis Komparabilitas ………. 62
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian……….………. 65
6.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ……….… 65
6.3 Pengaruh Pemberian Ekstrak Akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) dan Purwoceng (Pimpinella alpina Molk)………. 66
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan……….. 74
7.2 Saran………. 74
DAFTAR PUSTAKA………... 75
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Struktur Testosteron (Sherwood, 2007)……….……...… 16
2.2 Jalur Biosintesis Testosteron (Atanassova and Koeva, 2012)….…….…….... 17
2.3 Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Testis (Fitria, 2010)……….…………... 18
2.4 Pohon pasak bumi, akar pasak bumi...………..………. 22
2.5 Tanaman Purwoceng (Tjitrosoepomo, 1994)………... 33
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ...………... 44
4.1 Rancangan Penelitian ……….…………...………. 46
4.2 Hubungan Antar Variabel …...………. 51
4.3 Bagan Alur Penelitian……….………..58
5.1 Grafik Perbedaan Rerata Kadar Testosteronantar Kelompok ………...…. 64
DAFTAR TABEL 2.1 Data biologis tikus wistar (Hubrecht dan Kirkwood, 2010)………... 38
5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data Kadar Testosteron... 61
5.2 Hasil Uji Normalitas Data Kadar Testosteron Antar Kelompok ………... 61
5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Kadar Testosteron Antar Kelompok ……... 62
5.4 Perbandingan Rerata Kadar Testosteron antar Kelompok Setelah Perlakuan ………...…… 62
5.5 Analisis LSD Perbandingan Rerata Kadar Testosterom antar Kelompok.... 63
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kelaikan Etik ... 83
2. Hasil Analisis Kadar Phytotestosteron ... 84
3. Analisis deskriptif ... 85
4. Uji Normalitas Data ... 86
5. Uji Homogenitas Data ... 87
6. Analisis komparasi menggunakan anova ... 88
7. Uji lanjutan dengan LSD ... 89
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Manusia memiliki fase kehidupan sejak lahir di dunia yang akan dilalui
oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa
hingga sebelum kematiannya akan mengalami masa penuaan. Fase kehidupan
seperti ini ini tidak dapat dihindari dan pasti akan dialami oleh setiap manusia.
Hingga saat ini, penuaan masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar
manusia, karena rendahnya kualitas hidup. Selama ini penuaan identik dengan
hari-hari yang kurang menyenangkan karena manusia akan di hadapkan pada
berbagai keluhan, penyakit degeneratif, dan menurunnya kualitas hidup.
Penuaan merupakan penurunan fungsi biologik dari usia kronologik
(Fowler, 2003), suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara
perlahan-lahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan
struktur, serta fungsi normalnya. Akibatnya tubuh tidak dapat bertahan terhadap
kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Cunningham, 2003). Penuaan
dapat ditandai dengan penurunan energi, massa otot, dan gangguan kognitif (Null,
2006). Saat ini, pandangan terhadap proses penuaan telah mengalami pergeseran.
Proses penuaan dapat dicegah, diobati dan dikembalikan ke keadaan semula
(Pangkahila, 2007). Penyakit dan disabilitas dahulu dianggap sebagai bagian yang
tidak dapat dihindari dari suatu proses tumbuh kembang, akan tetapi hal ini tidak
lagi dianggap benar. Proses penuaan memang meningkatkan risiko untuk
sehat dan aktif pada usia lanjut. Upaya-upaya untuk memperlambat proses
penuaan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup tetapi juga
usia harapan hidup aktif, yaitu kondisi bebas penyakit meskipun di usia lanjut.
(NIH, 2010).
Beberapa hormon akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.
Penurunan ini akan menimbulkan berbagai tanda dan keluhan. Beberapa hormon
yang pasti menurun kadarnya seiring dengan bertambahnya usia adalah
testosteron, estrogen dan progesteron, dehydroepiandrosterone (DHEA),
melatonin, triiodothyronine (T3), human growth hormone (HGH) dan
Insuline-like Growth Factor-1 (IGF-1) (Goldmann and Klatz, 2007; Pangkahila, 2011).
Testosteron adalah salah satu hormon steroid dari androgen yang ada pada
manusia. Secara umum terdapat 2 macam efek Testosteron terhadap tubuh yaitu
efek anabolik (pertumbuhan) dan efek androgenik (pematangan organ seksual).
Efek androgenik meliputi: pematangan organ seks, terutama penis dan
pembentukan skrotum, pendalaman suara, pertumbuhan janggut dan ketiak
rambut. Secara umum testosteron banyak berperan dalam pembentukan
karakteristik seks sekunder laki-laki (Bhasin et al., 2001).
Kekurangan testosteron pada pria yang mengalami penuaan sering
dikaitkan dengan hilangnya libido, disfungsi ereksi, depresi, penurunan
kemampuan kognitif, lesu, osteoporosis, dan hilangnya massa otot dan kekuatan.
Gejala-gejala ini secara kolektif dikenal sebagai masa andropause, atau Androgen
Aging Male (PADAM) sindrom ini cenderung menjadi lebih parah semakin
bertambahnya usia (Rajfer, 2003).
Terjadi perubahan degeneratif pada hipotalamus dan testis dengan
bertambahnya usia, yang memberikan kontribusi terhadap hipogonadisme pada
pria. Respon regulasi menurunnya kadar LH yang akan diikuti dengan
menurunnya kadar Terstosteron menjadi kurang sensitive dengan bertambahnya
usia (Veldhuis et al., 2001). Hal ini mungkin karena kegagalan hipotalamus untuk
menghasilkan GnRH (Mulligan et al., 2006).
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan kadar Testosteron dapat
menyebabkan berbagai perubahan fisik dan mental yang berhubungan dengan
proses penuaan (Raynor et al., 2007).
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar
dengan sekitar 30.000 jenis tanaman dan lebih dari 940 jenis tanaman obat (Akib,
2006). Sebagian besar hanya berdasarkan pengalaman turun temurun, sehingga
pemakaiannya kurang jelas efektivitasnya, dosis, efek samping maupun
toksisitasnya, sehingga perlu dilakukan upaya ilmiah agar pemakaian obat
tradisional dapat tepat dosis dan memenuhi kaidah ilmiah.
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) merupakan salah satu tanaman herbal
Laos, Kamboja dan Vietnam (Hassanah et al., 2006). Pasak Bumi dikenal
di Indonesia, di Vietnam dikenal dengan Cay Ba Binh, Bahrain menyebutnya
dengan Longir Siam dan di Thailand dikenal dengan nama Tung Sawa (Goreja,
2004).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa ekstrak akar Pasak Bumi
berpengaruh terhadap fertilitas pada tikus jantan, diantaranya ekstrak methanol
akar Pasak Bumi dosis 200 mg/kgbb dapat meningkatkan jumlah sel sperma, sel
Sertoli. Selain itu laporan menyebutkan bahwa Pasak Bumi pada hewan coba
terbukti mampu meningkatkan aktivitas seksual (Ang dan Ngai, 2001; Ang dan
Lee, 2002a; 2002b; Ang et al., 2000, 2003a, 2003b). Pasak Bumi memiliki efek
untuk meningkatkan kadar hormon Testosteron pada dosis tertentu (Tambi, 2012).
Pemberian Pasak Bumi pada pria dengan infertilitas idiopatik mampu
meningkatkan konsentrasi sperma, motilitas sperma dan morfologi sperma (Chan,
2009). Sebelumnya juga telah dilakukan penelitian pada hewan coba dengan
pemberian ekstrak air akar Pasak Bumi dosis 50 mg/kgbb selama 6 hari tidak
mampu meningkatkan kadar hormon Testosteron dan pemberian ekstrak air akar
Pasak Bumi dosis 200 mg/kgbb selama 49 hari mampu meningkatkan kadar
hormon Testosteron (Hayati, 2011).
Penelitian lain dengan menggunakan ekstrak akar Pasak Bumi dosis 600
mg/kgbb selama 14 hari menunjukkan adanya peningkatan kadar hormon
Testosteron total darah pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak akar
peningkatan kadar Testosteron pada kelompok perlakuan dari rerata 2,50±0,02
ng/ml menjadi 2,99±0,04 ng/ml setelah 14 hari perlakuan (Novianti, 2015).
Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) merupakan salah satu tumbuhan obat
asli Indonesia yang diduga mempunyai efek androgenik digunakan oleh
masyarakat sebagai obat untuk menimbulkan dorongan seksual. Penduduk sekitar
dataran tinggi Dieng sejak dulu telah menggunakan tumbuhan obat ini sebagai
salah satu bagian ramuan obat tradisional untuk mengobati macam-macam
penyakit dan gangguan kesehatan, sedangkan ekstrak akarnya sebagai diuretika,
tonika (Usmiati dan Yuliani, 2010).
Beberapa penelitian telah menguji efek penggunaan akar Purwoceng pada
tikus. Laporan penelitian menunjukkan bahwa tikus yang diberi ekstrak
Purwoceng dengan dosis 2 ml (50 mg) dapat meningkatkan kadar LH dan
Testosteron. Tikus jantan umur 90 hari dengan berat badan rata-rata 200 gram
diberi ekstrak Purwoceng sebanyak 25 mg, hasilnya menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak dapat meningkatkan spermatogenesis dalam testis dan motilitas
sperma (Taufiqqurrachman, 2012). Penelitian lain melaporkan bahwa ekstrak akar
Purwoceng yang diberikan pada tikus Spraque Dawley juga dapat meningkatkan
derajat spermatogenesis dalam testis, jumlah maupun motilitas spermatozoa
dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian purwoceng), namun cenderung
tidak berbeda dengan perlakuan Pasak Bumi (Juniarto, 2004).
Hasil identifikasi secara kualitatif, akar Purwoceng mengandung senyawa
turunan kumarin seperti bergapten, xanthotoksin, marmesin, 6,8 dimetoksi
Studi lain menunjukkan hasil isolasi senyawa aktif dari tanaman
purwoceng terdapat Stigmasterol yaitu senyawa golongan steroida saponin yang
mempunyai gugus OH terikat pada atom karbon ke - 3 dari inti
siklopentanoperhidrofenantren, sehingga mampu mengadakan ikatan dengan
oligosakarida (Suzery et al., 2004). Saponin steroid larut dalam air akibat ikatan
glikosida yang terbentuk. Senyawa ini diduga sebagai salah satu pemicu
timbulnya perilaku seksual setelah menggunakan ekstrak Purwoceng. Senyawa
saponin steroid tersusun dari suatu aglikon steroid yang terikat pada suatu
oligosakarida. Senyawa ini biasa digunakan sebagai bahan dasar industri pada
produk hormon seks dan aktivitas anabolik (Dewick, 1997).
Pada hasil analisis laboratorium Analitik Universitas Udayana 2016
didapatkan kadar phytotestosteron pada ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia) sebesar 12,17 % dan pada ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina
Molk) sebesar 10,60 % (Lampiran 1). Phytotestosterone adalah kelompok ekstrak
tanaman yang mampu meniru dan memperkuat aksi dari hormon Testosteron itu
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah pemberian ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) oral
dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus wistar jantan
tua?
2. Apakah pemberian ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral
dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus wistar jantan
tua?
3. Apakah pemberian ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) oral
lebih meningkatkan kadar hormon Testosteron dibandingkan pemberian
ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral pada tikus wistar
jantan tua?
1.3Tujuan Penelitian
1. Untuk membuktikan pemberian ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia) oral dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus
wistar jantan tua.
2 Untuk membuktikan pemberian ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella
alpina Molk) oral dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada
tikus wistar jantan tua.
3 Untuk membuktikan ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) oral
ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral pada tikus wistar
jantan tua
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Memperbanyak informasi ilmiah terkait manfaat ekstrak akar Pasak Bumi
(Eurycoma longifolia) dan Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap
kadar Testosteron total pada tikus wistar jantan tua.
1.4.2 Manfaat Praktis
Memperbanyak informasi dan menawarkan ekstrak Akar Pasak Bumi
(Eurycoma longifolia) dan Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) kepada
masyarakat untuk mengatasi keluhan akibat proses penuaan yang terjadi karena
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Ilmu kedokteran Anti-Aging Medicine (AAM) menjadi salah satu ilmu yang
telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Saat ini penuaan dianggap
sebagai penyakit, sehingga dapat dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke
keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan
kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan
mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar
tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih
muda, walaupun usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan
kualitas hidup dapat menjadi lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya
(Pangkahila, 2007).
Aging secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik
dari usia kronologik, dan aging tidak dapat dihindari, berjalan dengan kecepatan
yang berbeda tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya
hidup sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung dari
kesehatan individu (Fowler, 2003). Definisi aging menurut A4M (American
Academy of Anti Aging Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan
mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi
fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang
Terdapat banyak sekali teori mengenai mengapa manusia mengalami
proses penuaan. Tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear
meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan
neuroendocrine theory (Pangkahila, 2007).
Terdapat 4 teori pokok mengenai penyebab aging (Goldman and Klatz,
2007), yaitu:
1) Teori “wear and tear”
Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering
digunakan dan disalahgunakan, baik penggunaan secara alami maupun
penyalahgunaan. Kerusakan terjadi dalam sel sampai organ. Pada usia muda,
kerusakan yang terjadi dapat diatasi atau dikompensasi karena sistem perbaikan
dan pemeliharan yang masih baik tetapi seiring dengan bertambahnya umur, tubuh
mulai kehilangan kemampuan tersebut. Teori ini meyakini pemberian suplemen
yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan
proses penuaan. Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk
melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan
Klatz, 2007).
2) Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan pada peranan berbagai hormon yang mengatur
fungsi tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh
hipotalamus. Fungsi Hormon mengatur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pada usia
fungsi organ tubuh. Ketika manusia menjadi tua, produksi hormone menurun,
fungsi tubuh menjadi terganggu. Beberapa contoh yang sering ditemui adalah
Menopouse pada wanita dimana terjadi penurunan hormone estrogen yang
menyebabkan menopouse, menunjukan kegagalan fungsi ovarium karena proses
penuaan, lebih jauh kualitas hidup menurun karena berbagai keluhan yang muncul
sebagai akibatnya, juga terjadinya penurunan kadar hormon testosteron pada pria
yang dimulai sejak usia 30 tahun dan terus menurun yang kemudian menimbulkan
berbagai keluhan yang disebut Andropouse (Pangkahila, 2011).
3) Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memrogram sandi sepanjang DNA, dimana
kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik
dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat
kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.
4) Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas
sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.
Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik
elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh
karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal
bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut
sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.
lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel
akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu
metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada
kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin,
suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis.
Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada
daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam
akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).
2.1.2 Tanda-tanda Penuaan
Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi
berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan
gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:
1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut,
daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja
menurun dan sakit tulang.
2. Tanda psikis, antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah
cemas, mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi.
Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung
menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas, melainkan berlangsung
melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2007):
1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun):
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,
radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh.
Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang
merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan
pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. Tetapi tidak
sedikit perempuan usia muda pengguna kontrasepsi hormon mengalami gangguan
fngsi seksual berupa hambatan dorongan seksual. Keadaan ini terjadi akibat
ketidakseimbangan hormon.
2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun):
Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan
kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini
menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh
darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan
pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi
kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang
mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas
mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti
kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner,
dan diabetes.
3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas):
Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi
DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron,
kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang
menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang
mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh
dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai
mengalami kegagalan. Ketidak mampuan menjadi faktor utama sehingga
mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang
penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.
Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu
harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses
penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses
penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata
(Pangkahila, 2007).
2.2Testosteron
Testosteron adalah hormon seks pria yang tergolong hormon androgen. Istilah
androgen berarti hormon steroid yang mempunyai efek maskulinisasi, terdiri atas
testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon
utama dan terpenting di antara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan
androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan
senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk
dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A (Guyton dan Hall, 2001).
Hormon Testosteron merupakan suatu hormon steroid androgen yang
penting dalam kehidupan seksual dan reproduksi baik wanita maupun pria,
reproduksi laki laki, selain fungsinya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan
seksual juga memiliki efek biologik yang penting di antaranya pada metabolisme,
integritas tulang, otot, sistem kardiovaskular dan otak sehingga pada keadaan
berkurangnya hormon Testosteron berpengaruh terhadap berkurangnya
sensitivitas insulin, kelemahan otot, gangguan metabolism karbohidrat, gangguan
fungsi kognitif, berkurangnya dorongan motivasi, lelah dan letargi, peningkatan
lemak tubuh, serta penurunan dorongan dan kemampuan seksual.
Hormon Testosteron pada pria diproduksi oleh sel Leydig didalam testis
sebanyak 95% sedangkan sisanya diproduksi oleh cortex adrenal. Pada pria
setelah pubertas, kadar Testosteron serum berkisar antara 300-1000 ng/dL
(ratarata 611±186 ng). Pada pria, 98% testosteron terikat pada protein plasma,
yang meliputi albumin dan steroid hormon-binding globulin (SHBG). Sisanya
sebesar 2% merupakan Testosteron bebas karena beredar dalam keadaan tidak
terikat pada protein apapun yang mengalir dalam darah. Persentase Testosteron
yang terikat pada SHBG bervariasi antar individu, tetapi pada umumnya sekitar
40-80% dari testosteron yang beredar (Pangkahila, 2011).
2.2.1 Struktur Kimia Testosteron
Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol
dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC) :
(8R,9S,10R,13S,14S,17S)-17- hydroxy-10,13-dimethyl-1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17 dodecahydrocyclopenta
Gambar 2.1 Struktur Testosteron (Sherwood, 2007)
2.2.2 Biosintesis Testosteron
Hormon testosteron disintesis di jaringan intersisial oleh sel leydig dengan
menggunakan prekursor dari kolesterol. Sintesis ini dimulai dengan pengangkutan
kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein pengangkut steroidogenic
acute regulatory protein (STAR). Setelah berada pada posisi yang tepat,
kolesterol akan bereaksi dengan enzim pemutus rantai samping P450scc dan
menjadi pregnenolon. Konversi pregnenolon menjadi testosteron dapat terjadi
dalam 2 lintasan, yaitu (Sherwood, 2007 ):
Lintasan progesterone
Gambar 2.2 Jalur Biosintesis Testosteron (Atanassova and Koeva, 2012)
Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh
hipofisis anterior yaitu: Luteinizing Hormone (LH) dan Folicle Stimulating
Hormone (FSH). Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis yang berbeda. LH
bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi testosteron, sedangkan FSH
bekerja pada tubulus seminiferus sel Sertoli yang berpengaruh terhadap
spermatogenesis. Sekresi dari LH dan FSH pada hipofisis anterior distimulasi oleh
hormon hipotalamus, yaitu Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
Meskipun GnRH sama-sama menstimulasi sekresi dari LH dan FSH, tetapi
kadar kedua hormon ini di dalam darah tidak selalu sama banyak. Hal ini terjadi
karena adanya faktor lain yang ikut mempengaruhi. Testosteron yang merupakan
produk dari stimulasi LH pada sel Leydig juga berfungsi sebagai umpan balik
negative terhadap sekresi LH. Efek umpan balik ini terjadi melalui 2 cara yaitu:
testosterone menurunkan pelepasan GnRH dari hipotalamus (secara indirek
menurunkan LH dan FSH dari hipofisis anterior) dan juga secara langsung bekerja
pada hipofisis anterior untuk menurunkan sekresi LH (Sherwood, 2007).
Sedangkan inhibisi spesifik untuk mengontrol sekresi FSH diatur oleh
hormone inhibin, yang diproduksi oleh sel sertoli. Inhibin bekerja secara langsung
pada hipofisis anterior untuk menghambat sekresi FSH (Sherwood, 2007).
Pada pria setelah pubertas, kadar testosteron serum berkisar antara
300-1000 ng/dL (rata-rata 611±186 ng). Pada pria, 98% testosteron terikat pada
protein plasma, yang meliputi albumin dan steroid hormon-binding globulin
(SHBG). Sisanya sebesar 2% merupakan testosteron bebas karena beredar dalam
keadaan tidak terikat pada protein apapun yang mengalir dalam darah. Presentase
testosteron yang terikat pada SHBG bervariasi antar individu, tetapi pada
umumnya sekitar 40-80% dari testosteron yang beredar (Pangkahila, 2007).
Testosteron yang tidak terikat pada jaringan, dengan cepat akan diubah
oleh hati menjadi androsteron dan dehidroepiandosteron, kemudian secara
serempak dikonfigurasikan sebagai glukoromida dan sulfat kemudian
diekskresikan ke usus melalui empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal
(Guyton dan Hall, 2001).
2.2.3 Fungsi Testosteron
Testosteron memiliki beberapa fungsi yang berbeda di dalam tubuh, antara
lain (Sherwood, 2007):
1. Efek pada jaringan seks spesifik setelah lahir
Masa puber adalah masa dimana terjadi maturasi dari sistem reproduktif yang
sebelumnya non fungsional untuk mencapai puncaknya dan mempunyai
kemampuan untuk bereproduksi. Biasanya dimulai pada usia 10-14 tahun. Pada
masa puber, sel Leydig sekali lagi mulai mensekresi testosteron. Testosteron
inilah yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh
pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya,
terjadi pembesaran glandula seksual aksesoris, dan pembesaran penis serta
skrotum. Setelah masa pubertas, sekresi testosterone dan spermatogenesis
terjadi secara terus-menerus seumur hidup seorang laki-laki, meskipun
produksinya akan berkurang secara bertahap setelah umur 45 atau 50 tahun ke
atas. Penurunan level testosteron dan produksi sperma ini tidak disebabkan
oleh penurunan stimulasi testis tetapi kemungkinan besar terjadi karena
perubahan degenerasi yang berkaitan dengan penuaan yang terjadi pada
pembuluh darah kecil di testis. Penurunan ini sering disebut sebagai
andropause.
2. Efek lain yang berkaitan dengan reproduksi
Testosteron mengatur perkembangan libido dan mempertahankan libido pada
seorang laki-laki dewasa.Tetapi pada manusia libido juga dipengaruhi oleh
interaksi sosial dan faktor emosional.Testosteron juga berfungsi sebagai umpan
balik negatif untuk mengontrol produksi hormon gonadotropin dari hipofisis
anterior.
3. Efek pada perkembangan seksual sekunder
Perkembangan dan pemeliharaan seksual sekunder laki-laki bergantung pada
testosterone.
Pertumbuhan rambut pada bagian vital
Suara yang lebih dalam
Kulit yang lebih tebal.
4. Efek non reproduksi
Testosteron juga mempunyai efek anabolik protein dan pertumbuhan tulang
yang akan mengarah pada pembentukan fisik laki-laki yang lebih berotot dan
pertumbuhan yang cepat selama masa puber. Testosteron juga menstimulasi
sekresi pada kelenjar minyak. Pada hewan Testosteron akan mengakibatkan
terjadinya perilaku agresif.
Kekurangan testosteron pada pria yang mengalami penuaan sering dikaitkan
dengan hilangnya libido, disfungsi ereksi, depresi, penurunan kemampuan
kognitif, lesu, osteoporosis, dan hilangnya massa otot dan kekuatan.
Gejala-gejala ini secara kolektif dikenal sebagai masa andropause, atau Androgen
Deficiency in The Aging Male (ADAM), dan Partial Androgen Deficiency In
The Aging Male (PADAM) sindrom ini cenderung menjadi lebih parah
semakin bertambahnya usia (Rajfer, 2003).
2.3Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)
2.3.1 Deskripsi Tumbuhan Pasak Bumi
Pasak Bumi yang banyak dikenal di Indonesia memiliki nama latin
Eurycoma longifolia, disebut juga sebagai Tongkat Ali / Bedara Merah / Bedara
Putih di Malaysia, dan Cay Ba Bihn di Vietnam, Tung Saw / Phiak / Hae Pan
Chan di Thailand (Goreja, 2004; Susilowati, 2010). Pasak Bumi juga memiliki
nama lokal antara lain: bidara laut / mempoleh di Bangka, widara putih di Jawa,
penawar pahit di Melayu, besandi Sumatera Utara (Susilowati, 2010).
pematang dan daerah berlereng (Nuryamin, 2000). Tumbuhan ini tumbuh pada
temperature rata-rata 25OC dengan kelembaban udara 86% setelah melalui masa
muda tumbuhan ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk membantu
perkembangan vegetatif dan system reproduksinya. Pasak bumi berbunga dan
berbuah sepanjang tahun.
Gambar 2.4 Pohon Pasak Bumi (kiri), akar Pasak Bumi (kanan) (Riceplex.com)
Pasak bumi memiliki kedudukan taksonomi adalah sebagai berikut
(Suhartinah, 2006):
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Famili : Simaroubaceae
Genus : Eurycoma
Spesies : Eurycoma longifolia
Tanaman Pasak Bumi merupakan pohon dengan tinggi mencapai 6 meter.
Batang tanaman Pasak Bumi umumnya tidak bercabang, atau sedikit bercabang,
daunnya melingkar (rosette), batangnya kokoh berwarna coklat keabu-abuan licin
dengan diameter batang sekitar 15 cm. Daunnya majemuk menyirip, jumlahnya
ganjil, panjang 0,3-1 meter dengan anak daun berjumlah 20-30 pasang,
berbentuk oblong, bergelombang, warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25
cm x 1,25-3 cm, pinggirnya bergelombang, tangkai daunnya berwarna coklat
kehitaman. Bunga tanaman Pasak Bumi bersifat monoceous atau dioceous,
berwarna merah jingga, lebar bunga 0,6 cm, berbulu halus dengan benjolan
kelenjar di ujungnya, ada 2 (dua) kelompok tumbuhan yaitu tumbuhan berbunga
jantan (tidak menghasilkan buah) dan berbunga betina (mampu menghasilkan
buah) (Susilowati, 2008). Pohon jantan dapat menghasilkan buah namun gugur
pada saat muda, selain itu memiliki bunga yang dapat tumbuh namun
putiknya steril, sedangkan pohon betina mampu menghasilkan benih dan
memiliki benang sari namun steril, oleh karena itu proses penyerbukannya
kemungkinan dibantu oleh serangga dan terjadi penyerbukan silang. Buah
tanaman pasak bumi kira-kira panjang 1,25 cm, berbentuk oblong, berwarna
merah ketika masak. Tumbuhan pasak bumi dijumpai pada tanah masam,
berpasir, dan beraerasi baik pada ketinggian dibawah 1.200 meter diatas
2.3.2 Manfaat Tumbuhan Pasak Bumi
Banyak manfaat Pasak Bumi yang bisa didapatkan baik dari akar, batang,
kulit batang, dan daun Pasak Bumi, semua bagian tumbuhan ini di kenal memiliki
banyak manfaat baik yang telah pernah diteliti secara ilmiah maupun hanya
berdasarkan keyakinan turun temurun saja. Salah satu penelitian menjelaskan
bahwa aktivitas farmakologi yang dimiliki oleh pasak bumi berupa antiplasmodial
dimiliki oleh akar, batang, kulit batang dan daun, aktivitas sitotoksisitas dimiliki
oleh bagian akarnya, aktivitas anti tumor dimiliki oleh bagian daun, aktivitas anti
ulkus dimiliki oleh bagian akar sementara aktivitas anti mikroba berada pada
bagian daun, akar, dan batang (Bhat dan Karim, 2010), Akar Pasak Bumi terbukti
memiliki aktivitas antioksidan penangkal radikal bebas (Varghese et al., 2013),
anti-kanker (Nurhanan et al., 2005; Tee et al., 2007), anti-bakteria (Farouk dan
Benafri, 2007), untuk pengobatan osteoporosis pada laki-laki (Effendy et al., 2012),
aphrodisiac (Ang et al., 2003a; 2004), anti-leukemia, dan pengobatan disentri
(Chan et al., 2005). Penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa akar Pasak
Bumi meningkatkan kadar Testosteron total (George dan Henkel, 2013; Novianti,
2015), memperbaiki spermatogenesis tikus yang dipapar estrogen (Wahab et al.,
2010) dan meningkatkan konsentrasi, motilitas, morfologi, dan mitochondrial
membrane potential dari sperma (Solomon et al., 2013). Selain itu, reputasi
pasak bumi juga dikenal sebagai obat tradisional untuk pengobatan malaria,
hipertensi, kelelahan, migrain, demam, artritis, memperbaiki impotensi, libido
rendah, stamina, vitalitas, struktur kulit, massa otot, dan sistem imun (Goreja,
Beberapa penelitian membuktikan akar Pasak Bumi berpengaruh terhadap
fertilitas jantan di antaranya ekstrak methanol akar Pasak Bumi dosis 200
mg/kgbb
dapat meningkatkan jumlah sel sperma, sel Sertoli dan sel Leydig (Rosida, 2003).
Beberapa penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa pasak bumi pada hewan
coba terbukti mampu meningkatkan kemampuan seks (Ang dan Ngai, 2001;Ang
dan Lee, 2002a; Ang dan Lee,2002b; Ang et al., 2000, 2003a, 2003b). Pada
pemberian fraksi kloroform, metanol, butanol dan air dengan dosis 500 mg/kg BB
akar Pasak Bumi selama 12 minggu mampu meningkatkan kualitas seksual (Ang
et al., 2003a) dan pada pemberian sediaan 800 mg/kg BB mampu meningkatkan
libido tikus jantan (Ang et al., 2002).
Pasak Bumi memiliki efek aprodisiak dan kemampuannya untuk
meningkatkan kadar hormon Testosteron pada dosis tertentu (Tambi,2012).
Pemberian pasak bumi pada pria dengan infertilitas idiopatik mampu
meningkatkan konsentrasi sperma, motilitas sperma dan morfologi sperma
(Chan,2009). Sebelumnya telah dilakukan penelitian pada hewan coba dimana
pemberian ekstrak air akar pasak bumi pada dosis 50 mg/kgbb selama 6 hari tidak
mampu meningkatkan kadar hormon Testosteron dan pemberian ekstrak akar
pasak bumi 200 mg/kgbb selama 49 hari mampu meningkatkan kadar hormon
testosteron (Hayati, 2012 ).
Penelitian lain dengan menggunakan ekstrak akar pasak bumi dosis 600
mg/kgbb selama 14 hari menunjukkan adanya peningkatan kadar hormon
Pasak Bumi secara oral (p<0.05). Beradasarkan hasil penelitian ini didaptkan
peningkatan kadar testosterone pada kelompok perlakuan dari rerata 2,50±0,02
ng/ml menjadi 2,99±0,04 ng/ml setelah 14 hari perlakuan (Novianti, 2015).
Pasak bumi kaya akan kuasionoid juga berguna untuk mengatasi masalah
reproduksi, seperti menginduksi sintesis Testosteron, LH, dan FSH namun
menurunkan kadar estrogen plasma, sehingga mempengaruhi fertilitas pria.
(Talbott et al., 2013; Henkel et al., 2013; Low et al., 2013). Pada tikus betina
yang mengalami irregular oestrous cycle dan polycystic ovarian syndrome
(PCOS), pengobatan menggunakan ekstrak pasak bumi kaya akan kuasinoid dapat
menurunkan penyakit sistem reproduksi (Abdulghani et al., 2012).
Suplementasi Pasak Bumi juga meningkatkan vitalitas pada tikus usia
menengah yang lamban secara seksual (Ang et al., 2003b) dan peningkatan
bangkitan seksual (Ang et al., 2004). Belakangan ini, sebuah percobaan
pemberian pasak bumi selama 12 minggu terhadap pria sehat tanpa masalah
seksual dan fungsi ereksi dengan menggunakan ekstrak Pasak Bumi bermerk
Physta®, mendapati bahwa terdapat peningkatan libido secara signifikan disertai
peningkatan kepuasan seksual dan fungsi ereksi (Ismail et al., 2012). Pada studi
lain yang dilakukan dengan menggunkan Physta® terhadap 26 pria dengan
disfungsi ereksi ringan secara random selama 12 minggu, menyatakan bahwa
terdapat peningkatan yang signifikan pada beberapa parameter seperti Erection
Hardness Scale, Sexual Health Inventory for Males dan Ageing Male Symptom
Score (Udani et al., 2011)
langsung dan tidak langsung, secara tidak langsung melalui aromatisasi androgen
menjadi estrogen (Balasch, 2003). Testosteron dikonversi menjadi
dihydrotestosterone (DHT) yang mengaktifasi proliferasi dan diferensiasi
osteoblast (Vanderschueren et al., 2004). Pasak Bumi juga meningkatkan
produksi nitric oxide (NO) (Zakaria et al., 2004), menginhibisi formasi osteoklas
dan resorpsi tulang (Michael et al., 2005; Wimalawansa, 2010), prevensi terhadap
hilangnya kalsium tulang (Shuid et al., 2011b), memperbaiki kekuatan tulang
(Saadiah et al. 2012). Mekanisme yang mungkin terjadi adalah adanya elevasi
kadar testosteron yang menekan kadar c-terminal telopeptide dari kolagen tipe I
(CTX), sebuah marker resorpsi tulang, yang meningkat pada binatang yang
dikastrasi (Shuid et al., 2012). Telah diketahui sebelumnya bahwa aktivitas
oseteoklast meningkat dan aktivitas osteoblast menurun seiring dengan stress
oksidatif, dalam hal ini Pasak Bumi memiliki peranan penting sebagai antioksidan
penangkal radikal bebas (Varghese et al., 2013).
Sebuah studi yang terdiri dari 31 wanita usia 45 - 59 tahun, dengan
perlakuan berupa pemberian suplemen pasak bumi 100 mg per hari, menunjukkan
adanya peningkatan kekuatan otot dengan parameter berupa kekuatan genggaman
tangan dan otot quadriceps yang membesar bila dibandingkan dengan kelompok
plasebo (Sarina et al., 2009).
Pasak Bumi dapat meningkatkan kadar Testosteron kemudian menurunkan
low-density lipoprotein (LDL) dan kolesterol total (Monroe dan Dobs, 2013).
Selain itu juga memiliki efek antihiperglikemik, namun pada subjek
tanaman ini menormalisasi kadar gula darah daripada menurunkannya, seperti
yang terjadi pada efek restorasi kada testosteron (Talbott et al., 2013). Namun
mekanisme molekular untuk efek ini belum diketahui secara pasti.
Pasak bumi dapat memperbaiki kualitas hidup dengan cara meningkatkan
vitalitas, aktivitas fisik, sense of general well-being, anti-aging, tenaga dan
mood dengan menurunkan anxietas, memperbaiki disfungsi ereksi ringan yang
semuanya dipengaruhi oleh kadar Testosteron (Lunenfeld dan Nieschlag, 2007;
Udani, 2011; Ismail et al. 2012; Talbott et al., 2013).
2.3.3 Kandungan Senyawa Pasak Bumi
Hasil analisis yang telah dilakukan oleh beberapa ahli baik dari Malaysia,
Jepang, Thailand juga Indonesia menyatakan bahwa dalam akar Pasak Bumi
terdapat kandungan kimia : (1) aervin, karbolina, α-7-metoksi, 1-asid propionik,
(9) eurikomalakton, (10) eurikomanol, (11) eurikomanol, 13-β-18-dihidro, (12)
eurikomanol,-2-α-D-glukosida, (13) eurikomanon, (14) eurikomanona, 13-21-
dihidro, (15) eurikomanona, 13-beta-21-dihidroksi, (16) klaineanon,
14-15-betadihidroksi, (17) klaineanon,14-15-dihidroksi, (18) longilaston, (19) β
-sitosterol, (20) stigmasterol.
Sejauh ini setidaknya terdapat 65 komponen yang berhasil diisolasi dari
pasak bumi (Kuo et al., 2003). Tumbuhan ini sangat kaya akan komponen bioaktif
seperti eurycomaoside, eurycolactone, eurycomalactone, eurycomanone dan
pasakbumin-B dimana alkaloid dan kuasinoid memegang porsi terbesar (Bhat dan
Karim, 2010). Komponen kuasinoid eurycomanone digunakan sebagai marker
2011) dan terbukti dapat meningkatkan kadar testosteron serta produksi sperma
pada binatang coba (Zanoli et al., 2009; Low et al., 2013). Ekstrak Pasak Bumi
dikenal sebagain adaptogen (Tambi dan Kadir, 2006) dan pengobatan anti-aging
terutama pada pria untuk meningkatkan level energi, mood, fungsi seksual dan
libido yang menurun seiring dengan bertambahnya usia (Adimoelya, 2000;
Cyranoski, 2005).
Hasil analisis laboratorium analisis pangan Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Udayana pada November 2014 memberikan hasil analisis
dari akar Pasak Bumi hutan di Kalimantan Barat memberikan hasil kapasitas
antioksidannya 5514,58 ppm GAEAC (Gallic Acid EquivalentAntioxidant
Capacity), IC 50 % (Inhibition Concentration terhadap radikal bebas DPPH 0,1
mM) sebesar 3,56 mg/ml, kadar total fenol 3,01 % b/b GAE (Gallic Acid
Equivalent), kadar tanin 0,63 % b/b TAE (Tannic Acid Equivalent), vitamin C
1496,60 mg/100g, Rendemen 0,35 % b/b (Novianti, 2015).
Hasil analisis yang dilakukan pada Maret 2015 di UPT Laboratorium
Analitik Universitas Udayana dengan hasil analisis kimia ekstrak akar Pasak
Bumi terdapat 5 formula kimia utama yaitu senyawa ester 3,06%, senyawa
phenanthroline 3,85%, senyawa naphthyridin 1,06%, senyawa beta sitosterol
5,77% dan senyawa estragole 1,17% (Novianti, 2015). Pada hasil analisis yang
dilakukan pada Februari 2016 di UPT Laboratorium Analitik Universitas
Udayana didapatkan kadar phytotestosteron pada ekstrak akar Pasak Bumi
kelompok ekstrak tanaman yang mampu meniru dan memperkuat aksi dari
hormon testosteron itu sendiri.
2.3.4 Uji Toksisitas Pasak Bumi
Kajian keamanan pada hewan coba dilakukan melalui uji ketoksikan akut
dan uji ketoksikan sub kronis dilakukan dengan metode yang baku, menurut
General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional
Medicine, data keamanan yang ada ditunjukan dengan nilai LD50 dari ekstrak
akar Pasak Bumi pada mencit adalah sebesar 2,6 g/kg dan nilai LD50 dari 20%
ekstrak akar Pasak Bumi pada mencit adalah 30,8 ml/kgBB.
Studi keamanan Pasak Bumi menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat
pasak bumi sebagai terapi (2.5 g/ml) tidak memiliki efek buruk terhadap
spermatozoa in vitro (Erasmus et al., 2011). Pada data in vivo oleh Tambi (2006)
didapatkan bahwa ekstrak Pasak Bumi tidak toksik. Pada studi hewan, tidak ada
efek negatif pada keturunannya, seperti malformasi maupun perubahan berat
badan dan jumlah keturunan (Solomon et al., 2013). Pada uji toksisitas akut yang
dilakukan terhadap tikus diungkapkan bahwa LD50 untuk ekstrak etanol dan aqua
dari Pasak Bumi sebesar 2000 dan 3000 mg/kgBB (Satyavidad et al., 1998; Kuo
et al., 2003). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa hanya pada dosis di atas
1200 mg/kgBB ekstrak Pasak Bumi dapat bersifat hepatotoksik pada tikus (Shuid
et al., 2011a). Pada studi toksisitas akut, sub-akut, dan sub-kronik terhadap sebuah
ekstrak standardised aqueous Pasak Bumi bermerk Physta® yang dilakukan pada
2000mg/kgBB didapatkan tidak ada perubahan bermakna pada parameter kimia
darah, hematologi, histopatologi, mortalitas dan tingkah laku tikus (Choudhary et
al., 2012).
Sejumlah penelitian yang dilakukan untuk menguji toksisitas menunjukkan
bahwa Pasak Bumi aman untuk dikonsumsi bahkan dalam dosis tinggi. Ini
menjadikan Pasak Bumi sebagai obat herbal yang serba guna dan tak tertandingi
(Ang dan Cheang, 2001). Penelitian terkini juga menyebutkan pemberian ekstrak
akar Pasak Bumi terstandar eurikomanon 2 % terbukti aman pada tikus yang
dinyatakan dalam data hasil uji ketoksikan akut dan sub kronik pada tikus
menunjukan LD50 tergolong kategori relatif kurang berbahaya dan tidak ada
pengaruh terhadap organ tikus (Hayati, 2012).
2.4Purwoceng (Pimpinela Alpina molk)
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) merupakan salah satu
tanaman obat Indonesia yang telah banyak dikenal dan digunakan oleh
masyarakat. Hal ini terkait potensi androgenik yang terdapat dalam tanaman
Purwoceng. (Usmiati dan Yuliani, 2010).
Tanaman Purwoceng banyak tumbuh di dataran tinggi sekitar 800 –
3500m dpl yang terkena sinar matahari seperti dataran tinggi Dieng (Jawa
Tengah), serta Gunung Galunggung dan Pangrango (Jawa Barat). Sampai saat ini
dataran tinggi Dieng dikenal sebagai daerah pengembangan Purwoceng.
Pelestarian dan pengembangan Purwoceng dalam skala besar untuk memenuhi
kebutuhan industri jamu di luar habitatnya sangat sukar karena tanaman ini hanya
pemeliharaan khusus dan waktu yang lama agar dapat beradaptasi dan tumbuh
dengan baik. Tanaman purwoceng merupakan tanaman endemik Indonesia. Hal
ini sangat menguntungkan untuk mengembangkan purwoceng sebagai obat yang
berfungsi androgenik yang tidak kalah dengan ginseng dari Korea (Usmiati dan
Yuliani, 2010).
2.4.1 Deskripsi Tanaman Purwoceng
Purwoceng adalah tumbuhan endemik Indonesia yang sudah lama dikenal berkhasiat
obat. Purwoceng merupakan tanaman berumah satu tetapi dapat juga menyerbuk
silang (Rahardjo et al., 2005). Klasifikasi Purwoceng adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Sub Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Apiales (Umbelliflorae)
Suku : Apiaceae (Umbelliferae)
Marga : Pimpinella
Gambar 2.5 Tanaman Purwoceng (Tjitrosoepomo, 1994)
Tumbuhan ini termasuk dalam bangsa Apiales sebagian besar merupakan
terna, jarang yang berupa tumbuhan berkayu. Daunnya tunggal atau majemuk
tanpa daun penumpu. Jaringanjaringannya sering memiliki saluran-saluran resin
atau minyak. Bunganya tersusun seperti payung, berumah satu, aktinomorf,
berbilangan empat atau lima. Kelopak bunga sangat kecil, mahkota-mahkota
bebas, benang-benang sari dalam satu lingkaran dan berhadap-hadapan dengan
kelopak-kelopaknya. Bakal buah terbenam, seringkali memiliki ruang-ruang
dengan satu atau dua bakal biji dalam tiap ruangnya. Bakal biji kebanyakan hanya
memiliki satu integumen. Biji mempunyai endosperm dan lembaga yang kecil
(Tjitrosoepomo, 1994).
Tumbuhan yang termasuk suku Apiaceae sebagai terna yang berumur
pendek atau panjang dengan batang berongga dan beralur atau bergerigi
membujur pada permukaannya. Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan,
majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki
majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil,
berumah satu, aktinomorf atau sedikit zigomorf, dan berbilangan lima.
Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang
melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna
merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan
mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi
dua, beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu bakal biji yang
bergantungan. Tangkai putik berjumlah dua dan letaknya terpisah. Buahnya
berbelah dua (diakenium), tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor.
Dalam kulit buah terdapat saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji
mempunyai tanduk. Sifat-sifat anatomis yang penting antara lain adanya
saluran-saluran resin skizolisigen dalam gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya
kolenkim dalam korteks primer batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi
sederhana dalam trakea, adanya rambut-rambut lain yang bukan merupakan
kelenjar (Tjitrosoepomo, 1994).
Purwoceng merupakan tanaman semak penutup tanah dengan tinggi
sekitar 25 cm. Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan
berwarna hijau pucat. Daunnya merupakan daun majemuk dengan pertulangan
daun menyirip. Tangkai daun berwarna coklat kehijauan dengan panjang sekitar 5
cm. Anak daun berbentuk jantung yang tepinya bergerigi, berujung tumpul dan
pangkal bertoreh, berukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar sekitar 2.5 cm. Bunga
Purwoceng merupakan bunga majemuk berbentuk payung. Tangkai bunga
berwarna hijau, benang sari berwarna putih, putik berbentuk bulat berwarna hijau,
dan mahkota berambut berwarna coklat. Buah berbentuk lonjong kecil berwarna
hijau, dan biji berbentuk lonjong kecil berwarna coklat. Akar merupakan akar
tunggang yang berwarna putih kotor (Pulungan, 2008).
Tangkai bunga purwoceng memiliki cabang-cabang. Purwoceng memiliki
sekitar 7.4 tangkai bunga primer,setiap tangkai primer memiliki sekitar tiga
tangkai sekunder, setiap tangkai sekunder memiliki sekitar 2 tangkai tertier, dan
setiap tangkai tertier memiliki sekitar 5-8 tandan bunga yang membentuk bunga
payung. Pada setiap tandan bunga terdapat sekitar 5-10 bunga yang akan
menghasilkan sekitar 8.6 biji sehingga satu tanaman purwoceng dapat
menghasilkan 2.260 biji. Biji yang telah matang berwarna hitam, berukuran sangat
kecil dengan bobot 1000 butirnya sekitar 0.52 g (Rahardjo et al., 2005).
2.4.2 Manfaat Tanaman Purwoceng
Beberapa peneliti telah menguji efek penggunaan akar Purwoceng pada
tikus. Salah satu teknik yang digunakan adalah dengan mengebiri tikus jantan dan
menyuntiknya dengan ekstrak akar Purwoceng dalam minyak zaitun (dosis 20-40
mg). Efek yang teramati adalah adanya peningkatan kelenjar prostat dan kelenjar
seminalis secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian tersebut
didukung oleh hasil penelitian yang melaporkan bahwa ekstrak akar Purwoceng
sebanyak 50 mg mampu meningkatkan kadar hormon Testosteron dibandingkan
dengan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus Sprague Dawley. Efek
Purwoceng tersebut juga dibandingkan dengan efek bahan obat alami lain yang
menunjukkan bahwa pada dosis 25 mg, Pasak Bumi mempunyai efek peningkatan
kadar Testosteron. Pada dosis 50 mg, Purwoceng juga memberikan efek peningkatan
kadar Testosteron yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasak bumi. Namun ketika
purwoceng dicampurkan dengan Pasak Bumi pada dosis yang sama (masing-masing
25 mg), maka efek peningkatan kadar Testosteron lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (Taufiqqurrachman, 1999).
Ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada tikus Spraque Dawley juga
dapat meningkatkan derajat spermatogenesis dalam testis, jumlah maupun motilitas
spermatozoa dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian purwoceng), namun
cenderung tidak berbeda dengan perlakuan Pasak Bumi (Juniarto, 2004).
2.4.3 Kandungan Senyawa Purwoceng
Hasil identifikasi secara kualitatif, akar Purwoceng mengandung senyawa
turunan kumarin seperti bergapten, xanthotoksin, marmesin, 6,8 dimetoksi
umbelliferon dan psoralen (Hernani dan Yuliani, 2004).
Studi lain menunjukkan hasil isolasi senyawa aktif dari tanaman
purwoceng terdapat stigmasterol yaitu senyawa golongan steroida saponin yang
mempunyai gugus OH terikat pada atom karbon ke - 3 dari inti
siklopentanoperhidrofenantren, sehingga mampu mengadakan ikatan dengan
oligosakarida (Suzery et al., 2004). Saponin steroid larut dalam air akibat ikatan
glikosida yang terbentuk. Senyawa ini diduga sebagai salah satu pemicu
timbulnya perilaku seksual setelah menggunakan ekstrak Purwoceng. Senyawa
oligosakarida. Senyawa ini biasa digunakan sebagai bahan dasar industri pada
produk hormon seks dan aktivitas anabolik (Dewick, 1997).
Pencarian senyawa saponin dalam tumbuhan didorong oleh kebutuhan
akan sumber sapogenin yang akan diubah menjadi sterol hewan yang penting.
Dahulu sterol hanya dianggap sebagai hormon kelamin dan/atau asam empedu
namun setelah banyak dilakukan penelitian senyawa tersebut juga banyak
dijumpai dalam jaringan tumbuhan yang dikenal dengan nama fitosterol.
Fitosterol terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi dan dibedakan menjadi sitosterol,
stigmasterol dan kampesterol dalam bentuk glikosida dan bebas (Usmiati and
Yuliani, 2010).
Pada hasil analisis yang dilakukan pada Februari 2016 di UPT
Laboratorium Analitik Universitas Udayana didapatkan kadar phytotestosteron
ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) sebesar 10,60 % (Lampiran 1).
Phytotestosterone adalah kelompok ekstrak tanaman yang mampu meniru dan
memperkuat aksi dari hormon testosteron itu sendiri.
2.5 Tikus (Rattus norvegicus)
Penggunaan tikus atau rat (Rattus Norvegicus) telah diketahui
sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat
dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau
varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague dawley
badannya, dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih
pendek (Hubrecht dan Kirkwood, 2010).
Tikus (Rattus Norvegicus) galur Wistar lebih besar dari famili tikus
umumnya, di mana tikus ini dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai
ujung ekor dan berat 140-500 gram. Tikus betina biasanya memiliki ukuran lebih
kecil dari tikus jantan dan memiliki kematangan seksual pada umur 4 bulan dan
dapat hidup selama 4 tahun (Kusumawati, 2004).
Tabel 2.1
Data biologis tikus wistar (Hubrecht dan Kirkwood, 2010)
Jenis Data Nilai
Taksonomi tikus wistar adalah sebagai berikut (Armitage 2008) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata