• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS SUGENG IBRAHIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 PEMBERIAN EKSTRAK AKAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS SUGENG IBRAHIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 PEMBERIAN EKSTRAK AKAR"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

1

PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK

AKAR PURWOCENG (Pimpinela Alpina molk)

MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA

TIKUS WISTAR JANTAN TUA

SUGENG IBRAHIM

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

PEMBERIAN EKSTRAK AKAR

PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK

(2)

MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA

TIKUS WISTAR JANTAN TUA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

SUGENG IBRAHIM NIM 1490761033

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI

(3)

PENETAPAN PENGUJI

Tesis ini telah diuji pada

Tanggal………

Penguji tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : ……/UN14.4/HK/2016, Tanggal:………….. Pembimbing I

Prof. DR.dr. Wimpie Pangkahila Sp And FAACS

NIP. 194612131971071001

Pembimbing II

Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And

NIP. 194402011964091001

Mengetahui,

Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

DR.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK NIP.1958052119850312002

(4)

Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS

Sekretaris : Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And Anggota : 1. Prof. dr. I Gusti.Made Aman, Sp.FK

2.Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, M.Sc.

3. DR.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : dr. Sugeng Ibrahim NIM : 1490761033

(5)

JUDUL TESIS : PEMBERIAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinela Alpina molk) MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA

TIKUS WISTAR JANTAN TUA

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan

untuk petunjuk serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis dan penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas

akhir studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister Denpasar, 25 Maret 2016

(6)

pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging

Medicine, Pascasarjana Universitas Udayana.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor

Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD. dan Prof. dr.

A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., Direktur Program Pascasarjana serta Dr. dr. Gde.

Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp. GK Ketua Program Studi Ilmu Biomedik

atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS,

Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan pemikiran untuk membimbing,

mengarahkan, mengoreksi serta memberi masukan yang berharga kepada Penulis

dalam penelitian dan seluruh proses pembuatan tesis ini.

Terima kasih pula kepada Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And

pembimbing II untuk waktu yang sangat berharga, kesabaran, arahan serta

bimbingan dalam setiap tahap penyusunan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan

kepada para penguji tesis ini, yaitu Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, DR.dr.

Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK dan Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,

M.Kes, yang telah memberi koreksi dan masukan yang sangat berharga. Terima

kasih sebesar-besarnya dan penghargaan kepada “ Chief “ Orlen, dan seluruh

(7)

adikku dr. Herna, dr. Widya, dr. Iftitah, dr. Juju dan dr. Siska atas

spirit yang diberikan.

Terima kasih kepada istriku Diana dan anak gadisku Meutia untuk

dorongan semangat yang tulus.

Denpasar, Maret 2016

Penulis

ABSTRAK

PEMBERIAN EKSTRAK AKAR PASAK BUMI (Eurycoma longifolia) ATAU EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinela Alpina molk)

MENINGKATKAN KADAR TESTOSTERON PADA TIKUS WISTAR JANTAN TUA

Manusia mengalami proses penuaan, penurunan fungsi biologik, penurunan kadar hormon terutama testosteron. Penurunan kadar testosteron mengakibatkan gangguan libido, disfungsi ereksi, kognitif, penurunan massa otot, penurunan densitas tulang, Androgen Deficiency in The Aging Male ( A.D.A.M ) sehingga diperlukan subtitusi testosteron sabagai terapi. Pasak bumi (Eurycoma longifolia) dan Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) mengandung Phytotestosteron. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan pemberian ekstrak akar Pasak bumi (Eurycoma longifolia) atau Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) meningkatkan kadar testosteron tikus wistar jantan tua.

Rancangan penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan post-test only control group design yang menggunakan 30 ekor Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, berumur ( 18 bulan ). Tikus dibagi menjadi 3

(8)

kelompok, masing - masing 10 ekor Tikus. Kelompok kontrol diberikan Placebo (P0) selama 14 hari, kelompok perlakuan 1 diberikan ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) dosis 200mg/200gr tikus selama 14 hari (P1), dan kelompok perlakuan 2 diberikan ekstrak Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) dosis 200mg/200gr tikus selama 14 hari (P2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang diberikan plasebo (P0), memiliki rerata kadar testosteron sebesar 2,787 ± 0,314 ng/mL, pada kelompok perlakuan 1 (P1) adalah 3,666 ± 0,493 ng/mL, dan pada kelompok perlakuan 2 (P2) adalah 3,569 ± 0,606 ng/mL. Hal ini menunjukkan bahwa dua kelompok, P0 dibanding P1 dan P0 dibanding P2 setelah diberikan perlakuan selama 14 hari, memiliki rerata kadar testosteron yang berbeda sangat bermakna (p<0,01). Sementara P1 dibanding P2 berbeda tidak bermakna (p>0,05).

Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) atau ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) meningkatkan kadar hormon testosteron pada tikus wistar jantan tua (p<0,01). Pemberian ekstrak akar pasak bumi (Eurycoma longifolia) oral tidak lebih meningkatkan kadar hormon testosteron dibandingkan pemberian ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral pada tikus wistar jantan tua (p>0,05).

Kata kunci : Penuaan, Testosteron, A.D.A.M , Eurycoma longifolia, Pimpinella

alpina Molk, Phytotestosteron ABSTRACT

TREATMENT ADMINISTRATION OF EURYCOMA LONGIFOLIA ROOT EXTRACT or PIMPINELLA ALPINA MOLK ROOT EXTRACT

INCREASED TESTOSTERONE LEVEL IN AGED MALE RATTUS NORVEGICUS

Human suffer aging process, biological function decrease, especially Testosterone level decrease. Decrease Testosterone level, effects to decrease libido, erectile disfungtion (ED), decrease muscle mass, decrease bone marrow density, Androgen Deficiency in The Aging Male ( A.D.A.M ). Testosterone substitution therapy is needed. Eurycoma Longifolia and Pimpinella Alpina Molk consisting Phytotestosteron. Goal of this study, is to prove that Eurycoma Longifolia root extract and Pimpinella Alpina Molk root extract increasing Testosterone level in aged male Rattus Norvegicus.

The study design was experimental, with “post-test only control group design” with 30 male Rattus Norvegicus, 18 months age. Rats were divided 3

(9)

groups, each of 10 Rats. Control group were given placebo ( P0 ) for 14 days, treatmen group 1 were given Eurycoma Longifolia extract 200mg/200gr for 14 days ( P1 ), treatmen group 2, were given Pimpinella Alpina Molk root extract 200mg/200gr for 14 days (P2).

The study results showed that P0, have mean of Testosteron level 2,787 ± 0,314 ng/mL, (P1) were 3,666 ± 0,493 ng/mL, and (P2) were 3,569 ± 0,606 ng/mL. This showed that 2 groups, P0 compared to P1 and P0 compared P2 were having very significant mean of Testosterone (p<0,01) after 14 days treatment. While P1 compared to P2 did not significant (p>0,05).

It was concluded that, treatment administration of root extract Eurycoma Longifolia or Pimpinella Alpina Molk increased Testosterone level of aged male Rattus Norvegicus (p<0,01). Treatment administration of Eurycoma Longifolia did not significantly increase Testosteron level compared with treatment of Pimpinella Alpina Molk in aged male Rattus Norvegicus (p>0,05).

Keywords: Aging, Testosteron, (A.D.A.M) , Eurycoma longifolia,Pimpinella

alpina Molk, Phytotestosteron

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENETAPAN PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...……… xiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 L

atar Belakang………... 1

(10)

1.2 R umusan Masalah………..… 7 1.3 T ujuan Penelitian………... 7 1.4 M anfaat Penelitian………... 8 1.4.1 Manfaat Ilmiah………...………... 8 1.4.2 Manfaat Praktis ………...………... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1Penuaan………...………... 9 2.1.1 Definisi Penuaan ... 9 2.1.2 Tanda - tanda Penuaan ... 12 2.2 Testosteron ... 14

2.2.1 Struktur Kimia Testosteron ... 1 5 2.2.2 Biosintesis Testosteron ... 1 6 2.2.3 Fungsi Testosteron ... 19

2.3 Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) ... 2 1

2.3.1 Deskripsi Tumbuhan Pasak Bumi ... 2 1

2.3.2 Manfaat Tumbuhan Pasak Bumi ... 2 4

2.3.3 Kandungan Senyawa Pasak Bumi ... 2 8

2.3.4 Uji Toksisitas Pasak Bumi ... 3 0

2.4 Purwoceng (Pimpinela Alpina molk) ... 31

(11)

2.4.1 Deskripsi Tanaman Purwoceng ... 3 2

2.4.2 Manfaat Tanaman Purwoceng ... 35

2.4.3 Kandungan Senyawa Purwoceng ………..…………... 36

2.5 Tikus (Rattus norvegicus) ………...…..…………... 37

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir……….……….. 4 2 3.2 Konsep Penelitian……… 44 3.3 Hipotesis Penelitian……… 4 5

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian………. 4 6

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian………. 4 7

4.3 Populasi dan Sampel……….. 47 4.3.1 Populasi ……… 47 4.3.2 Kriteria Sampel……… 48 4.3.2.1 Kriteria Inklusi………...……… 48

4.3.2.2 Kriteria Drop Out...……… 48

4.3.3 Penentuan Besar dan cara Pengambilan Sampel………. 49

4.3.3.1 Penghitungan Besar Sampel ...………. 4 9

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel...………... 5 0

(12)

4.4 Variabel………. 50 4.4.1 Identifikasi Variabel ………. 50 4.4.2 Klasifikasi Variabel ……… 50

4.4.3 Definisi Operasional Variabel ……… 52

4.5 Bahan dan Alat Penelitian……… 52

4.6 Prosedur Penelitian ………. 53

4.6.1 Pemeliharaan Tikus ………. 53

4.6.2 Prosedur pembuatan ekstrak akar Pasak Bumi…………..………… 54

4.6.3 Prosedur pembuatan ekstrak akar Purwoceng…………...………… 54

4.6.4 Pelaksanaan

Penelitian…...……...…………55

4.6.5 Prosedur Pengambilan Darah Tikus……...…...………… 56

4.6.6 Prosedur pemeriksaan Testosteron…...……...……...…… 57 4.7 Alur Penelitian………...………. 58 4.8 Analisis Data ………...………. 59

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Analisis Deskriptif……… 60 5.2 Uji Normalitas Data ………... 61 5.3 Uji Homogenitas Data……… 61

(13)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Subjek Penelitian……….………. 65 6.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ……… .… 65 6.3 Pengaruh Pemberian Ekstrak Akar Pasak Bumi

(Eurycoma longifolia) dan Purwoceng (Pimpinella alpina Molk)………. 66

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan……….. 74 7.2 Saran………. 74 DAFTAR PUSTAKA………... 75 LAMPIRAN……….. 83 DAFTAR GAMBAR Halaman

2.1 Struktur Testosteron (Sherwood, 2007)……….……...… 16

2.2 Jalur Biosintesis Testosteron (Atanassova and Koeva, 2012)….…….……....

17

2.3 Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Testis (Fitria, 2010)……….…………...

(14)

2.4 Pohon pasak bumi, akar pasak bumi...………..………. 22

2.5 Tanaman Purwoceng (Tjitrosoepomo, 1994)………... 33

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ...………...

44

4.1 Rancangan Penelitian ……….…………...……….

46

4.2 Hubungan Antar Variabel …...……….

51

4.3 Bagan Alur Penelitian……….………..

58

5.1 Grafik Perbedaan Rerata Kadar Testosteron antar Kelompok ………...….

64

DAFTAR TABEL

2.1 Data biologis tikus wistar (Hubrecht dan Kirkwood, 2010)………... 38

5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data Kadar Testosteron... 61

5.2 Hasil Uji Normalitas Data Kadar Testosteron Antar Kelompok ………... 61

5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Kadar Testosteron Antar Kelompok ……... 62

5.4 Perbandingan Rerata Kadar Testosteron antar Kelompok Setelah Perlakuan ………...……

62

5.5 Analisis LSD Perbandingan Rerata Kadar Testosterom antar Kelompok.... 63

(15)

5.6 Analisis LSD Perbandingan Rerata Kadar Testosterom antar

Kelompok...63

DAFTAR LAMPIRAN 1. Kelaikan Etik ... 83

2. Hasil Analisis Kadar Phytotestosteron ... 84

3. Analisis deskriptif ... 85

4. Uji Normalitas Data ... 86

5. Uji Homogenitas Data ... 87

6. Analisis komparasi menggunakan anova ... 88

7. Uji lanjutan dengan LSD ... 89

8. Dokumentasi Penelitian ...

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia memiliki fase kehidupan sejak lahir di dunia yang akan dilalui

oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa

hingga sebelum kematiannya akan mengalami masa penuaan. Fase kehidupan

seperti ini ini tidak dapat dihindari dan pasti akan dialami oleh setiap manusia.

Hingga saat ini, penuaan masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar

manusia, karena rendahnya kualitas hidup. Selama ini penuaan identik dengan

hari-hari yang kurang menyenangkan karena manusia akan di hadapkan pada

berbagai keluhan, penyakit degeneratif, dan menurunnya kualitas hidup.

Penuaan merupakan penurunan fungsi biologik dari usia kronologik

(Fowler, 2003), suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara

perlahan-lahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan

struktur, serta fungsi normalnya. Akibatnya tubuh tidak dapat bertahan terhadap

kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Cunningham, 2003). Penuaan

dapat ditandai dengan penurunan energi, massa otot, dan gangguan kognitif (Null,

2006). Saat ini, pandangan terhadap proses penuaan telah mengalami pergeseran.

Proses penuaan dapat dicegah, diobati dan dikembalikan ke keadaan semula

(Pangkahila, 2007). Penyakit dan disabilitas dahulu dianggap sebagai bagian yang

tidak dapat dihindari dari suatu proses tumbuh kembang, akan tetapi hal ini tidak

lagi dianggap benar. Proses penuaan memang meningkatkan risiko untuk

(17)

sehat dan aktif pada usia lanjut. Upaya-upaya untuk memperlambat proses

penuaan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup tetapi juga

usia harapan hidup aktif, yaitu kondisi bebas penyakit meskipun di usia lanjut.

(NIH, 2010).

Beberapa hormon akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.

Penurunan ini akan menimbulkan berbagai tanda dan keluhan. Beberapa hormon

yang pasti menurun kadarnya seiring dengan bertambahnya usia adalah

testosteron, estrogen dan progesteron, dehydroepiandrosterone (DHEA),

melatonin, triiodothyronine (T3), human growth hormone (HGH) dan

Insuline-like Growth Factor-1 (IGF-1) (Goldmann and Klatz, 2007; Pangkahila, 2011). Testosteron adalah salah satu hormon steroid dari androgen yang ada pada

manusia. Secara umum terdapat 2 macam efek Testosteron terhadap tubuh yaitu

efek anabolik (pertumbuhan) dan efek androgenik (pematangan organ seksual).

Efek androgenik meliputi: pematangan organ seks, terutama penis dan

pembentukan skrotum, pendalaman suara, pertumbuhan janggut dan ketiak

rambut. Secara umum testosteron banyak berperan dalam pembentukan

karakteristik seks sekunder laki-laki (Bhasin et al., 2001).

Kekurangan testosteron pada pria yang mengalami penuaan sering

dikaitkan dengan hilangnya libido, disfungsi ereksi, depresi, penurunan

kemampuan kognitif, lesu, osteoporosis, dan hilangnya massa otot dan kekuatan.

Gejala-gejala ini secara kolektif dikenal sebagai masa andropause, atau Androgen

(18)

Aging Male (PADAM) sindrom ini cenderung menjadi lebih parah semakin bertambahnya usia (Rajfer, 2003).

Terjadi perubahan degeneratif pada hipotalamus dan testis dengan

bertambahnya usia, yang memberikan kontribusi terhadap hipogonadisme pada

pria. Respon regulasi menurunnya kadar LH yang akan diikuti dengan

menurunnya kadar Terstosteron menjadi kurang sensitive dengan bertambahnya

usia (Veldhuis et al., 2001). Hal ini mungkin karena kegagalan hipotalamus untuk

menghasilkan GnRH (Mulligan et al., 2006).

Penelitian menunjukkan bahwa penurunan kadar Testosteron dapat

menyebabkan berbagai perubahan fisik dan mental yang berhubungan dengan

proses penuaan (Raynor et al., 2007).

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar

dengan sekitar 30.000 jenis tanaman dan lebih dari 940 jenis tanaman obat (Akib,

2006). Sebagian besar hanya berdasarkan pengalaman turun temurun, sehingga

pemakaiannya kurang jelas efektivitasnya, dosis, efek samping maupun

toksisitasnya, sehingga perlu dilakukan upaya ilmiah agar pemakaian obat

tradisional dapat tepat dosis dan memenuhi kaidah ilmiah.

Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) merupakan salah satu tanaman herbal

(19)

Laos, Kamboja dan Vietnam (Hassanah et al., 2006). Pasak Bumi dikenal

di Indonesia, di Vietnam dikenal dengan Cay Ba Binh, Bahrain menyebutnya

dengan Longir Siam dan di Thailand dikenal dengan nama Tung Sawa (Goreja,

2004).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa ekstrak akar Pasak Bumi

berpengaruh terhadap fertilitas pada tikus jantan, diantaranya ekstrak methanol

akar Pasak Bumi dosis 200 mg/kgbb dapat meningkatkan jumlah sel sperma, sel

Sertoli. Selain itu laporan menyebutkan bahwa Pasak Bumi pada hewan coba

terbukti mampu meningkatkan aktivitas seksual (Ang dan Ngai, 2001; Ang dan

Lee, 2002a; 2002b; Ang et al., 2000, 2003a, 2003b). Pasak Bumi memiliki efek

untuk meningkatkan kadar hormon Testosteron pada dosis tertentu (Tambi, 2012).

Pemberian Pasak Bumi pada pria dengan infertilitas idiopatik mampu

meningkatkan konsentrasi sperma, motilitas sperma dan morfologi sperma (Chan,

2009). Sebelumnya juga telah dilakukan penelitian pada hewan coba dengan

pemberian ekstrak air akar Pasak Bumi dosis 50 mg/kgbb selama 6 hari tidak

mampu meningkatkan kadar hormon Testosteron dan pemberian ekstrak air akar

Pasak Bumi dosis 200 mg/kgbb selama 49 hari mampu meningkatkan kadar

hormon Testosteron (Hayati, 2011).

Penelitian lain dengan menggunakan ekstrak akar Pasak Bumi dosis 600

mg/kgbb selama 14 hari menunjukkan adanya peningkatan kadar hormon

Testosteron total darah pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak akar

(20)

peningkatan kadar Testosteron pada kelompok perlakuan dari rerata 2,50±0,02

ng/ml menjadi 2,99±0,04 ng/ml setelah 14 hari perlakuan (Novianti, 2015).

Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) merupakan salah satu tumbuhan obat

asli Indonesia yang diduga mempunyai efek androgenik digunakan oleh

masyarakat sebagai obat untuk menimbulkan dorongan seksual. Penduduk sekitar

dataran tinggi Dieng sejak dulu telah menggunakan tumbuhan obat ini sebagai

salah satu bagian ramuan obat tradisional untuk mengobati macam-macam

penyakit dan gangguan kesehatan, sedangkan ekstrak akarnya sebagai diuretika,

tonika (Usmiati dan Yuliani, 2010).

Beberapa penelitian telah menguji efek penggunaan akar Purwoceng pada

tikus. Laporan penelitian menunjukkan bahwa tikus yang diberi ekstrak

Purwoceng dengan dosis 2 ml (50 mg) dapat meningkatkan kadar LH dan

Testosteron. Tikus jantan umur 90 hari dengan berat badan rata-rata 200 gram

diberi ekstrak Purwoceng sebanyak 25 mg, hasilnya menunjukkan bahwa

pemberian ekstrak dapat meningkatkan spermatogenesis dalam testis dan motilitas

sperma (Taufiqqurrachman, 2012). Penelitian lain melaporkan bahwa ekstrak akar

Purwoceng yang diberikan pada tikus Spraque Dawley juga dapat meningkatkan

derajat spermatogenesis dalam testis, jumlah maupun motilitas spermatozoa

dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian purwoceng), namun cenderung

tidak berbeda dengan perlakuan Pasak Bumi (Juniarto, 2004).

Hasil identifikasi secara kualitatif, akar Purwoceng mengandung senyawa

turunan kumarin seperti bergapten, xanthotoksin, marmesin, 6,8 dimetoksi

(21)

Studi lain menunjukkan hasil isolasi senyawa aktif dari tanaman

purwoceng terdapat Stigmasterol yaitu senyawa golongan steroida saponin yang

mempunyai gugus OH terikat pada atom karbon ke - 3 dari inti

siklopentanoperhidrofenantren, sehingga mampu mengadakan ikatan dengan

oligosakarida (Suzery et al., 2004). Saponin steroid larut dalam air akibat ikatan

glikosida yang terbentuk. Senyawa ini diduga sebagai salah satu pemicu

timbulnya perilaku seksual setelah menggunakan ekstrak Purwoceng. Senyawa

saponin steroid tersusun dari suatu aglikon steroid yang terikat pada suatu

oligosakarida. Senyawa ini biasa digunakan sebagai bahan dasar industri pada

produk hormon seks dan aktivitas anabolik (Dewick, 1997).

Pada hasil analisis laboratorium Analitik Universitas Udayana 2016

didapatkan kadar phytotestosteron pada ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma

longifolia) sebesar 12,17 % dan pada ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) sebesar 10,60 % (Lampiran 1). Phytotestosterone adalah kelompok ekstrak

tanaman yang mampu meniru dan memperkuat aksi dari hormon Testosteron itu

(22)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pemberian ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) oral

dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus wistar jantan

tua?

2. Apakah pemberian ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral

dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus wistar jantan

tua?

3. Apakah pemberian ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) oral

lebih meningkatkan kadar hormon Testosteron dibandingkan pemberian

ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral pada tikus wistar

jantan tua?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk membuktikan pemberian ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma

longifolia) oral dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus wistar jantan tua.

2 Untuk membuktikan pemberian ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella

alpina Molk) oral dapat meningkatkan kadar hormon Testosteron pada tikus wistar jantan tua.

3 Untuk membuktikan ekstrak akar Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) oral

(23)

ekstrak akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) oral pada tikus wistar

jantan tua

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Memperbanyak informasi ilmiah terkait manfaat ekstrak akar Pasak Bumi

(Eurycoma longifolia) dan Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap

kadar Testosteron total pada tikus wistar jantan tua.

1.4.2 Manfaat Praktis

Memperbanyak informasi dan menawarkan ekstrak Akar Pasak Bumi

(Eurycoma longifolia) dan Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) kepada

masyarakat untuk mengatasi keluhan akibat proses penuaan yang terjadi karena

(24)

9

2.1.1 Definisi Penuaan

Ilmu kedokteran Anti-Aging Medicine (AAM) menjadi salah satu ilmu yang

telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Saat ini penuaan dianggap

sebagai penyakit, sehingga dapat dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke

keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan

kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan

mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar

tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih

muda, walaupun usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian penampilan dan

kualitas hidup dapat menjadi lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya

(Pangkahila, 2007).

Aging secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik, dan aging tidak dapat dihindari, berjalan dengan kecepatan

yang berbeda tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya

hidup sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung dari

kesehatan individu (Fowler, 2003). Definisi aging menurut A4M (American

Academy of Anti Aging Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi

fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang

(25)

Terdapat banyak sekali teori mengenai mengapa manusia mengalami

proses penuaan. Tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear

meliputi kerusakan DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan

neuroendocrine theory (Pangkahila, 2007).

Terdapat 4 teori pokok mengenai penyebab aging (Goldman and Klatz,

2007), yaitu:

1) Teori “wear and tear”

Menurut teori ini, tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering

digunakan dan disalahgunakan, baik penggunaan secara alami maupun

penyalahgunaan. Kerusakan terjadi dalam sel sampai organ. Pada usia muda,

kerusakan yang terjadi dapat diatasi atau dikompensasi karena sistem perbaikan

dan pemeliharan yang masih baik tetapi seiring dengan bertambahnya umur, tubuh

mulai kehilangan kemampuan tersebut. Teori ini meyakini pemberian suplemen

yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan

proses penuaan. Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk

melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Goldman dan

Klatz, 2007).

2) Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan pada peranan berbagai hormon yang mengatur

fungsi tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh

hipotalamus. Fungsi Hormon mengatur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pada usia

(26)

fungsi organ tubuh. Ketika manusia menjadi tua, produksi hormone menurun,

fungsi tubuh menjadi terganggu. Beberapa contoh yang sering ditemui adalah

Menopouse pada wanita dimana terjadi penurunan hormone estrogen yang

menyebabkan menopouse, menunjukan kegagalan fungsi ovarium karena proses

penuaan, lebih jauh kualitas hidup menurun karena berbagai keluhan yang muncul

sebagai akibatnya, juga terjadinya penurunan kadar hormon testosteron pada pria

yang dimulai sejak usia 30 tahun dan terus menurun yang kemudian menimbulkan

berbagai keluhan yang disebut Andropouse (Pangkahila, 2011).

3) Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memrogram sandi sepanjang DNA, dimana

kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik

dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat

kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.

4) Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi

akumulasi kerusakan radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas

sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik

elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh

karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal

bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut

sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.

(27)

lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel

akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu

metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada

kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin,

suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis.

Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada

daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam

akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).

2.1.2 Tanda-tanda Penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi

berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan

gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:

1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut,

daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja

menurun dan sakit tulang.

2. Tanda psikis, antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah

cemas, mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi.

Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung

menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas, melainkan berlangsung

melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2007):

1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun):

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,

(28)

radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh.

Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang

merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan

pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. Tetapi tidak

sedikit perempuan usia muda pengguna kontrasepsi hormon mengalami gangguan

fngsi seksual berupa hambatan dorongan seksual. Keadaan ini terjadi akibat

ketidakseimbangan hormon.

2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun):

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan

kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini

menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung pembuluh

darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan

pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi

kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang

mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas

mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti

kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner,

dan diabetes.

3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas):

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi

DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron,

(29)

kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang

menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang

mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh

dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai

mengalami kegagalan. Ketidak mampuan menjadi faktor utama sehingga

mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang

penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.

Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu

harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang

tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses

penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses

penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata

(Pangkahila, 2007).

2.2 Testosteron

Testosteron adalah hormon seks pria yang tergolong hormon androgen. Istilah androgen berarti hormon steroid yang mempunyai efek maskulinisasi, terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting di antara ketiganya, sedangkan dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang lemah. Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun dalam adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A (Guyton dan Hall, 2001).

Hormon Testosteron merupakan suatu hormon steroid androgen yang

penting dalam kehidupan seksual dan reproduksi baik wanita maupun pria,

(30)

reproduksi laki laki, selain fungsinya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan

seksual juga memiliki efek biologik yang penting di antaranya pada metabolisme,

integritas tulang, otot, sistem kardiovaskular dan otak sehingga pada keadaan

berkurangnya hormon Testosteron berpengaruh terhadap berkurangnya

sensitivitas insulin, kelemahan otot, gangguan metabolism karbohidrat, gangguan

fungsi kognitif, berkurangnya dorongan motivasi, lelah dan letargi, peningkatan

lemak tubuh, serta penurunan dorongan dan kemampuan seksual.

Hormon Testosteron pada pria diproduksi oleh sel Leydig didalam testis

sebanyak 95% sedangkan sisanya diproduksi oleh cortex adrenal. Pada pria

setelah pubertas, kadar Testosteron serum berkisar antara 300-1000 ng/dL

(ratarata 611±186 ng). Pada pria, 98% testosteron terikat pada protein plasma,

yang meliputi albumin dan steroid hormon-binding globulin (SHBG). Sisanya

sebesar 2% merupakan Testosteron bebas karena beredar dalam keadaan tidak

terikat pada protein apapun yang mengalir dalam darah. Persentase Testosteron

yang terikat pada SHBG bervariasi antar individu, tetapi pada umumnya sekitar

40-80% dari testosteron yang beredar (Pangkahila, 2011).

2.2.1 Struktur Kimia Testosteron

Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol

dengan nama sistematik (memakai sistem IUPAC) :

(8R,9S,10R,13S,14S,17S)-17- hydroxy-10,13-dimethyl-1,2,6,7,8,9,11,12,14,15,16,17 dodecahydrocyclopenta [a]phenanthren-3-one (Sherwood, 2007).

(31)

Gambar 2.1 Struktur Testosteron (Sherwood, 2007)

2.2.2 Biosintesis Testosteron

Hormon testosteron disintesis di jaringan intersisial oleh sel leydig dengan

menggunakan prekursor dari kolesterol. Sintesis ini dimulai dengan pengangkutan

kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein pengangkut steroidogenic

acute regulatory protein (STAR). Setelah berada pada posisi yang tepat, kolesterol akan bereaksi dengan enzim pemutus rantai samping P450scc dan

menjadi pregnenolon. Konversi pregnenolon menjadi testosteron dapat terjadi

dalam 2 lintasan, yaitu (Sherwood, 2007 ):

 Lintasan progesterone

(32)

Gambar 2.2 Jalur Biosintesis Testosteron (Atanassova and Koeva, 2012)

Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh

hipofisis anterior yaitu: Luteinizing Hormone (LH) dan Folicle Stimulating

Hormone (FSH). Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis yang berbeda. LH bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi testosteron, sedangkan FSH

bekerja pada tubulus seminiferus sel Sertoli yang berpengaruh terhadap

spermatogenesis. Sekresi dari LH dan FSH pada hipofisis anterior distimulasi oleh

hormon hipotalamus, yaitu Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)

(33)

Meskipun GnRH sama-sama menstimulasi sekresi dari LH dan FSH, tetapi

kadar kedua hormon ini di dalam darah tidak selalu sama banyak. Hal ini terjadi

karena adanya faktor lain yang ikut mempengaruhi. Testosteron yang merupakan

produk dari stimulasi LH pada sel Leydig juga berfungsi sebagai umpan balik

negative terhadap sekresi LH. Efek umpan balik ini terjadi melalui 2 cara yaitu:

testosterone menurunkan pelepasan GnRH dari hipotalamus (secara indirek

menurunkan LH dan FSH dari hipofisis anterior) dan juga secara langsung bekerja

pada hipofisis anterior untuk menurunkan sekresi LH (Sherwood, 2007).

Sedangkan inhibisi spesifik untuk mengontrol sekresi FSH diatur oleh

hormone inhibin, yang diproduksi oleh sel sertoli. Inhibin bekerja secara langsung

pada hipofisis anterior untuk menghambat sekresi FSH (Sherwood, 2007).

(34)

Pada pria setelah pubertas, kadar testosteron serum berkisar antara

300-1000 ng/dL (rata-rata 611±186 ng). Pada pria, 98% testosteron terikat pada

protein plasma, yang meliputi albumin dan steroid hormon-binding globulin

(SHBG). Sisanya sebesar 2% merupakan testosteron bebas karena beredar dalam

keadaan tidak terikat pada protein apapun yang mengalir dalam darah. Presentase

testosteron yang terikat pada SHBG bervariasi antar individu, tetapi pada

umumnya sekitar 40-80% dari testosteron yang beredar (Pangkahila, 2007).

Testosteron yang tidak terikat pada jaringan, dengan cepat akan diubah

oleh hati menjadi androsteron dan dehidroepiandosteron, kemudian secara

serempak dikonfigurasikan sebagai glukoromida dan sulfat kemudian

diekskresikan ke usus melalui empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal

(Guyton dan Hall, 2001).

2.2.3 Fungsi Testosteron

Testosteron memiliki beberapa fungsi yang berbeda di dalam tubuh, antara

lain (Sherwood, 2007):

1. Efek pada jaringan seks spesifik setelah lahir

Masa puber adalah masa dimana terjadi maturasi dari sistem reproduktif yang

sebelumnya non fungsional untuk mencapai puncaknya dan mempunyai

kemampuan untuk bereproduksi. Biasanya dimulai pada usia 10-14 tahun. Pada

masa puber, sel Leydig sekali lagi mulai mensekresi testosteron. Testosteron

inilah yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh

(35)

pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma untuk pertama kalinya,

terjadi pembesaran glandula seksual aksesoris, dan pembesaran penis serta

skrotum. Setelah masa pubertas, sekresi testosterone dan spermatogenesis

terjadi secara terus-menerus seumur hidup seorang laki-laki, meskipun

produksinya akan berkurang secara bertahap setelah umur 45 atau 50 tahun ke

atas. Penurunan level testosteron dan produksi sperma ini tidak disebabkan

oleh penurunan stimulasi testis tetapi kemungkinan besar terjadi karena

perubahan degenerasi yang berkaitan dengan penuaan yang terjadi pada

pembuluh darah kecil di testis. Penurunan ini sering disebut sebagai

andropause.

2. Efek lain yang berkaitan dengan reproduksi

Testosteron mengatur perkembangan libido dan mempertahankan libido pada

seorang laki-laki dewasa.Tetapi pada manusia libido juga dipengaruhi oleh

interaksi sosial dan faktor emosional.Testosteron juga berfungsi sebagai umpan

balik negatif untuk mengontrol produksi hormon gonadotropin dari hipofisis

anterior.

3. Efek pada perkembangan seksual sekunder

Perkembangan dan pemeliharaan seksual sekunder laki-laki bergantung pada

testosterone.

 Pertumbuhan rambut pada bagian vital

 Suara yang lebih dalam

 Kulit yang lebih tebal.

(36)

4. Efek non reproduksi

Testosteron juga mempunyai efek anabolik protein dan pertumbuhan tulang

yang akan mengarah pada pembentukan fisik laki-laki yang lebih berotot dan

pertumbuhan yang cepat selama masa puber. Testosteron juga menstimulasi

sekresi pada kelenjar minyak. Pada hewan Testosteron akan mengakibatkan

terjadinya perilaku agresif.

Kekurangan testosteron pada pria yang mengalami penuaan sering dikaitkan

dengan hilangnya libido, disfungsi ereksi, depresi, penurunan kemampuan

kognitif, lesu, osteoporosis, dan hilangnya massa otot dan kekuatan.

Gejala-gejala ini secara kolektif dikenal sebagai masa andropause, atau Androgen

Deficiency in The Aging Male (ADAM), dan Partial Androgen Deficiency In The Aging Male (PADAM) sindrom ini cenderung menjadi lebih parah semakin bertambahnya usia (Rajfer, 2003).

2.3 Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)

2.3.1 Deskripsi Tumbuhan Pasak Bumi

Pasak Bumi yang banyak dikenal di Indonesia memiliki nama latin

Eurycoma longifolia, disebut juga sebagai Tongkat Ali / Bedara Merah / Bedara Putih di Malaysia, dan Cay Ba Bihn di Vietnam, Tung Saw / Phiak / Hae Pan

Chan di Thailand (Goreja, 2004; Susilowati, 2010). Pasak Bumi juga memiliki

nama lokal antara lain: bidara laut / mempoleh di Bangka, widara putih di Jawa,

penawar pahit di Melayu, besan di Sumatera Utara (Susilowati, 2010).

(37)

pematang dan daerah berlereng (Nuryamin, 2000). Tumbuhan ini tumbuh pada

temperature rata-rata 25OC dengan kelembaban udara 86% setelah melalui masa

muda tumbuhan ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk membantu

perkembangan vegetatif dan system reproduksinya. Pasak bumi berbunga dan

berbuah sepanjang tahun.

Gambar 2.4 Pohon Pasak Bumi (kiri), akar Pasak Bumi (kanan) (Riceplex.com)

Pasak bumi memiliki kedudukan taksonomi adalah sebagai berikut

(Suhartinah, 2006):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

(38)

Famili : Simaroubaceae

Genus : Eurycoma

Spesies : Eurycoma longifolia

Tanaman Pasak Bumi merupakan pohon dengan tinggi mencapai 6 meter.

Batang tanaman Pasak Bumi umumnya tidak bercabang, atau sedikit bercabang,

daunnya melingkar (rosette), batangnya kokoh berwarna coklat keabu-abuan licin

dengan diameter batang sekitar 15 cm. Daunnya majemuk menyirip, jumlahnya

ganjil, panjang 0,3-1 meter dengan anak daun berjumlah 20-30 pasang,

berbentuk oblong, bergelombang, warna anak daunnya hijau tua berukuran 5-25

cm x 1,25-3 cm, pinggirnya bergelombang, tangkai daunnya berwarna coklat

kehitaman. Bunga tanaman Pasak Bumi bersifat monoceous atau dioceous,

berwarna merah jingga, lebar bunga 0,6 cm, berbulu halus dengan benjolan

kelenjar di ujungnya, ada 2 (dua) kelompok tumbuhan yaitu tumbuhan berbunga

jantan (tidak menghasilkan buah) dan berbunga betina (mampu menghasilkan

buah) (Susilowati, 2008). Pohon jantan dapat menghasilkan buah namun gugur

pada saat muda, selain itu memiliki bunga yang dapat tumbuh namun

putiknya steril, sedangkan pohon betina mampu menghasilkan benih dan

memiliki benang sari namun steril, oleh karena itu proses penyerbukannya

kemungkinan dibantu oleh serangga dan terjadi penyerbukan silang. Buah

tanaman pasak bumi kira-kira panjang 1,25 cm, berbentuk oblong, berwarna

merah ketika masak. Tumbuhan pasak bumi dijumpai pada tanah masam,

berpasir, dan beraerasi baik pada ketinggian dibawah 1.200 meter diatas

(39)

2.3.2 Manfaat Tumbuhan Pasak Bumi

Banyak manfaat Pasak Bumi yang bisa didapatkan baik dari akar, batang,

kulit batang, dan daun Pasak Bumi, semua bagian tumbuhan ini di kenal memiliki

banyak manfaat baik yang telah pernah diteliti secara ilmiah maupun hanya

berdasarkan keyakinan turun temurun saja. Salah satu penelitian menjelaskan

bahwa aktivitas farmakologi yang dimiliki oleh pasak bumi berupa antiplasmodial

dimiliki oleh akar, batang, kulit batang dan daun, aktivitas sitotoksisitas dimiliki

oleh bagian akarnya, aktivitas anti tumor dimiliki oleh bagian daun, aktivitas anti

ulkus dimiliki oleh bagian akar sementara aktivitas anti mikroba berada pada

bagian daun, akar, dan batang (Bhat dan Karim, 2010), Akar Pasak Bumi terbukti

memiliki aktivitas antioksidan penangkal radikal bebas (Varghese et al., 2013),

anti-kanker (Nurhanan et al., 2005; Tee et al., 2007), anti-bakteria (Farouk dan

Benafri, 2007), untuk pengobatan osteoporosis pada laki-laki (Effendy et al., 2012),

aphrodisiac (Ang et al., 2003a; 2004), anti-leukemia, dan pengobatan disentri (Chan et al., 2005). Penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa akar Pasak

Bumi meningkatkan kadar Testosteron total (George dan Henkel, 2013; Novianti,

2015), memperbaiki spermatogenesis tikus yang dipapar estrogen (Wahab et al.,

2010) dan meningkatkan konsentrasi, motilitas, morfologi, dan mitochondrial

membrane potential dari sperma (Solomon et al., 2013). Selain itu, reputasi pasak bumi juga dikenal sebagai obat tradisional untuk pengobatan malaria,

hipertensi, kelelahan, migrain, demam, artritis, memperbaiki impotensi, libido

rendah, stamina, vitalitas, struktur kulit, massa otot, dan sistem imun (Goreja,

(40)

Beberapa penelitian membuktikan akar Pasak Bumi berpengaruh terhadap

fertilitas jantan di antaranya ekstrak methanol akar Pasak Bumi dosis 200

mg/kgbb

dapat meningkatkan jumlah sel sperma, sel Sertoli dan sel Leydig (Rosida, 2003).

Beberapa penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa pasak bumi pada hewan

coba terbukti mampu meningkatkan kemampuan seks (Ang dan Ngai, 2001;Ang

dan Lee, 2002a; Ang dan Lee,2002b; Ang et al., 2000, 2003a, 2003b). Pada

pemberian fraksi kloroform, metanol, butanol dan air dengan dosis 500 mg/kg BB

akar Pasak Bumi selama 12 minggu mampu meningkatkan kualitas seksual (Ang

et al., 2003a) dan pada pemberian sediaan 800 mg/kg BB mampu meningkatkan libido tikus jantan (Ang et al., 2002).

Pasak Bumi memiliki efek aprodisiak dan kemampuannya untuk

meningkatkan kadar hormon Testosteron pada dosis tertentu (Tambi,2012).

Pemberian pasak bumi pada pria dengan infertilitas idiopatik mampu

meningkatkan konsentrasi sperma, motilitas sperma dan morfologi sperma

(Chan,2009). Sebelumnya telah dilakukan penelitian pada hewan coba dimana

pemberian ekstrak air akar pasak bumi pada dosis 50 mg/kgbb selama 6 hari tidak

mampu meningkatkan kadar hormon Testosteron dan pemberian ekstrak akar

pasak bumi 200 mg/kgbb selama 49 hari mampu meningkatkan kadar hormon

testosteron (Hayati, 2012 ).

Penelitian lain dengan menggunakan ekstrak akar pasak bumi dosis 600

mg/kgbb selama 14 hari menunjukkan adanya peningkatan kadar hormon

(41)

Pasak Bumi secara oral (p<0.05). Beradasarkan hasil penelitian ini didaptkan

peningkatan kadar testosterone pada kelompok perlakuan dari rerata 2,50±0,02

ng/ml menjadi 2,99±0,04 ng/ml setelah 14 hari perlakuan (Novianti, 2015).

Pasak bumi kaya akan kuasionoid juga berguna untuk mengatasi masalah

reproduksi, seperti menginduksi sintesis Testosteron, LH, dan FSH namun

menurunkan kadar estrogen plasma, sehingga mempengaruhi fertilitas pria.

(Talbott et al., 2013; Henkel et al., 2013; Low et al., 2013). Pada tikus betina

yang mengalami irregular oestrous cycle dan polycystic ovarian syndrome

(PCOS), pengobatan menggunakan ekstrak pasak bumi kaya akan kuasinoid dapat

menurunkan penyakit sistem reproduksi (Abdulghani et al., 2012).

Suplementasi Pasak Bumi juga meningkatkan vitalitas pada tikus usia

menengah yang lamban secara seksual (Ang et al., 2003b) dan peningkatan

bangkitan seksual (Ang et al., 2004). Belakangan ini, sebuah percobaan

pemberian pasak bumi selama 12 minggu terhadap pria sehat tanpa masalah

seksual dan fungsi ereksi dengan menggunakan ekstrak Pasak Bumi bermerk

Physta®, mendapati bahwa terdapat peningkatan libido secara signifikan disertai

peningkatan kepuasan seksual dan fungsi ereksi (Ismail et al., 2012). Pada studi

lain yang dilakukan dengan menggunkan Physta® terhadap 26 pria dengan

disfungsi ereksi ringan secara random selama 12 minggu, menyatakan bahwa

terdapat peningkatan yang signifikan pada beberapa parameter seperti Erection

Hardness Scale, Sexual Health Inventory for Males dan Ageing Male Symptom Score (Udani et al., 2011)

(42)

langsung dan tidak langsung, secara tidak langsung melalui aromatisasi androgen

menjadi estrogen (Balasch, 2003). Testosteron dikonversi menjadi

dihydrotestosterone (DHT) yang mengaktifasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast (Vanderschueren et al., 2004). Pasak Bumi juga meningkatkan

produksi nitric oxide (NO) (Zakaria et al., 2004), menginhibisi formasi osteoklas

dan resorpsi tulang (Michael et al., 2005; Wimalawansa, 2010), prevensi terhadap

hilangnya kalsium tulang (Shuid et al., 2011b), memperbaiki kekuatan tulang

(Saadiah et al. 2012). Mekanisme yang mungkin terjadi adalah adanya elevasi

kadar testosteron yang menekan kadar c-terminal telopeptide dari kolagen tipe I

(CTX), sebuah marker resorpsi tulang, yang meningkat pada binatang yang

dikastrasi (Shuid et al., 2012). Telah diketahui sebelumnya bahwa aktivitas

oseteoklast meningkat dan aktivitas osteoblast menurun seiring dengan stress

oksidatif, dalam hal ini Pasak Bumi memiliki peranan penting sebagai antioksidan

penangkal radikal bebas (Varghese et al., 2013).

Sebuah studi yang terdiri dari 31 wanita usia 45 - 59 tahun, dengan

perlakuan berupa pemberian suplemen pasak bumi 100 mg per hari, menunjukkan

adanya peningkatan kekuatan otot dengan parameter berupa kekuatan genggaman

tangan dan otot quadriceps yang membesar bila dibandingkan dengan kelompok

plasebo (Sarina et al., 2009).

Pasak Bumi dapat meningkatkan kadar Testosteron kemudian menurunkan

low-density lipoprotein (LDL) dan kolesterol total (Monroe dan Dobs, 2013). Selain itu juga memiliki efek antihiperglikemik, namun pada subjek

(43)

tanaman ini menormalisasi kadar gula darah daripada menurunkannya, seperti

yang terjadi pada efek restorasi kada testosteron (Talbott et al., 2013). Namun

mekanisme molekular untuk efek ini belum diketahui secara pasti.

Pasak bumi dapat memperbaiki kualitas hidup dengan cara meningkatkan

vitalitas, aktivitas fisik, sense of general well-being, anti-aging, tenaga dan

mood dengan menurunkan anxietas, memperbaiki disfungsi ereksi ringan yang semuanya dipengaruhi oleh kadar Testosteron (Lunenfeld dan Nieschlag, 2007;

Udani, 2011; Ismail et al. 2012; Talbott et al., 2013).

2.3.3 Kandungan Senyawa Pasak Bumi

Hasil analisis yang telah dilakukan oleh beberapa ahli baik dari Malaysia,

Jepang, Thailand juga Indonesia menyatakan bahwa dalam akar Pasak Bumi terdapat kandungan kimia : (1) aervin, karbolina, α-7-metoksi, 1-asid propionik, (9) eurikomalakton, (10) eurikomanol, (11) eurikomanol, 13-β-18-dihidro, (12)

eurikomanol,-2-α-D-glukosida, (13) eurikomanon, (14) eurikomanona, 13-21-

dihidro, (15) eurikomanona, 13-beta-21-dihidroksi, (16) klaineanon,

14-15-betadihidroksi, (17) klaineanon,14-15-dihidroksi, (18) longilaston, (19)

β-sitosterol, (20) stigmasterol.

Sejauh ini setidaknya terdapat 65 komponen yang berhasil diisolasi dari

pasak bumi (Kuo et al., 2003). Tumbuhan ini sangat kaya akan komponen bioaktif

seperti eurycomaoside, eurycolactone, eurycomalactone, eurycomanone dan

pasakbumin-B dimana alkaloid dan kuasinoid memegang porsi terbesar (Bhat dan Karim, 2010). Komponen kuasinoid eurycomanone digunakan sebagai marker

(44)

2011) dan terbukti dapat meningkatkan kadar testosteron serta produksi sperma

pada binatang coba (Zanoli et al., 2009; Low et al., 2013). Ekstrak Pasak Bumi

dikenal sebagain adaptogen (Tambi dan Kadir, 2006) dan pengobatan anti-aging

terutama pada pria untuk meningkatkan level energi, mood, fungsi seksual dan libido yang menurun seiring dengan bertambahnya usia (Adimoelya, 2000;

Cyranoski, 2005).

Hasil analisis laboratorium analisis pangan Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Udayana pada November 2014 memberikan hasil analisis

dari akar Pasak Bumi hutan di Kalimantan Barat memberikan hasil kapasitas

antioksidannya 5514,58 ppm GAEAC (Gallic Acid EquivalentAntioxidant

Capacity), IC 50 % (Inhibition Concentration terhadap radikal bebas DPPH 0,1 mM) sebesar 3,56 mg/ml, kadar total fenol 3,01 % b/b GAE (Gallic Acid

Equivalent), kadar tanin 0,63 % b/b TAE (Tannic Acid Equivalent), vitamin C 1496,60 mg/100g, Rendemen 0,35 % b/b (Novianti, 2015).

Hasil analisis yang dilakukan pada Maret 2015 di UPT Laboratorium

Analitik Universitas Udayana dengan hasil analisis kimia ekstrak akar Pasak

Bumi terdapat 5 formula kimia utama yaitu senyawa ester 3,06%, senyawa

phenanthroline 3,85%, senyawa naphthyridin 1,06%, senyawa beta sitosterol

5,77% dan senyawa estragole 1,17% (Novianti, 2015). Pada hasil analisis yang

dilakukan pada Februari 2016 di UPT Laboratorium Analitik Universitas

Udayana didapatkan kadar phytotestosteron pada ekstrak akar Pasak Bumi

(45)

kelompok ekstrak tanaman yang mampu meniru dan memperkuat aksi dari

hormon testosteron itu sendiri.

2.3.4 Uji Toksisitas Pasak Bumi

Kajian keamanan pada hewan coba dilakukan melalui uji ketoksikan akut

dan uji ketoksikan sub kronis dilakukan dengan metode yang baku, menurut

General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine, data keamanan yang ada ditunjukan dengan nilai LD50 dari ekstrak akar Pasak Bumi pada mencit adalah sebesar 2,6 g/kg dan nilai LD50 dari 20%

ekstrak akar Pasak Bumi pada mencit adalah 30,8 ml/kgBB.

Studi keamanan Pasak Bumi menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat

pasak bumi sebagai terapi (2.5 g/ml) tidak memiliki efek buruk terhadap

spermatozoa in vitro (Erasmus et al., 2011). Pada data in vivo oleh Tambi (2006)

didapatkan bahwa ekstrak Pasak Bumi tidak toksik. Pada studi hewan, tidak ada

efek negatif pada keturunannya, seperti malformasi maupun perubahan berat

badan dan jumlah keturunan (Solomon et al., 2013). Pada uji toksisitas akut yang

dilakukan terhadap tikus diungkapkan bahwa LD50 untuk ekstrak etanol dan aqua

dari Pasak Bumi sebesar 2000 dan 3000 mg/kgBB (Satyavidad et al., 1998; Kuo

et al., 2003). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa hanya pada dosis di atas 1200 mg/kgBB ekstrak Pasak Bumi dapat bersifat hepatotoksik pada tikus (Shuid

et al., 2011a). Pada studi toksisitas akut, sub-akut, dan sub-kronik terhadap sebuah ekstrak standardised aqueous Pasak Bumi bermerk Physta® yang dilakukan pada

(46)

2000mg/kgBB didapatkan tidak ada perubahan bermakna pada parameter kimia

darah, hematologi, histopatologi, mortalitas dan tingkah laku tikus (Choudhary et

al., 2012).

Sejumlah penelitian yang dilakukan untuk menguji toksisitas menunjukkan

bahwa Pasak Bumi aman untuk dikonsumsi bahkan dalam dosis tinggi. Ini

menjadikan Pasak Bumi sebagai obat herbal yang serba guna dan tak tertandingi

(Ang dan Cheang, 2001). Penelitian terkini juga menyebutkan pemberian ekstrak

akar Pasak Bumi terstandar eurikomanon 2 % terbukti aman pada tikus yang

dinyatakan dalam data hasil uji ketoksikan akut dan sub kronik pada tikus

menunjukan LD50 tergolong kategori relatif kurang berbahaya dan tidak ada

pengaruh terhadap organ tikus (Hayati, 2012).

2.4 Purwoceng (Pimpinela Alpina molk)

Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk) merupakan salah satu

tanaman obat Indonesia yang telah banyak dikenal dan digunakan oleh

masyarakat. Hal ini terkait potensi androgenik yang terdapat dalam tanaman

Purwoceng. (Usmiati dan Yuliani, 2010).

Tanaman Purwoceng banyak tumbuh di dataran tinggi sekitar 800 –

3500m dpl yang terkena sinar matahari seperti dataran tinggi Dieng (Jawa

Tengah), serta Gunung Galunggung dan Pangrango (Jawa Barat). Sampai saat ini

dataran tinggi Dieng dikenal sebagai daerah pengembangan Purwoceng.

Pelestarian dan pengembangan Purwoceng dalam skala besar untuk memenuhi

kebutuhan industri jamu di luar habitatnya sangat sukar karena tanaman ini hanya

(47)

pemeliharaan khusus dan waktu yang lama agar dapat beradaptasi dan tumbuh

dengan baik. Tanaman purwoceng merupakan tanaman endemik Indonesia. Hal

ini sangat menguntungkan untuk mengembangkan purwoceng sebagai obat yang

berfungsi androgenik yang tidak kalah dengan ginseng dari Korea (Usmiati dan

Yuliani, 2010).

2.4.1 Deskripsi Tanaman Purwoceng

Purwoceng adalah tumbuhan endemik Indonesia yang sudah lama dikenal berkhasiat obat. Purwoceng merupakan tanaman berumah satu tetapi dapat juga menyerbuk silang (Rahardjo et al., 2005). Klasifikasi Purwoceng adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dycotiledonae Sub Kelas : Dialypetalae

Bangsa : Apiales (Umbelliflorae) Suku : Apiaceae (Umbelliferae) Marga : Pimpinella

(48)

Gambar 2.5 Tanaman Purwoceng (Tjitrosoepomo, 1994)

Tumbuhan ini termasuk dalam bangsa Apiales sebagian besar merupakan

terna, jarang yang berupa tumbuhan berkayu. Daunnya tunggal atau majemuk

tanpa daun penumpu. Jaringanjaringannya sering memiliki saluran-saluran resin

atau minyak. Bunganya tersusun seperti payung, berumah satu, aktinomorf,

berbilangan empat atau lima. Kelopak bunga sangat kecil, mahkota-mahkota

bebas, benang-benang sari dalam satu lingkaran dan berhadap-hadapan dengan

kelopak-kelopaknya. Bakal buah terbenam, seringkali memiliki ruang-ruang

dengan satu atau dua bakal biji dalam tiap ruangnya. Bakal biji kebanyakan hanya

memiliki satu integumen. Biji mempunyai endosperm dan lembaga yang kecil

(Tjitrosoepomo, 1994).

Tumbuhan yang termasuk suku Apiaceae sebagai terna yang berumur

pendek atau panjang dengan batang berongga dan beralur atau bergerigi

membujur pada permukaannya. Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan,

majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki

(49)

majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil,

berumah satu, aktinomorf atau sedikit zigomorf, dan berbilangan lima.

Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang

melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna

merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan

mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi

dua, beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu bakal biji yang

bergantungan. Tangkai putik berjumlah dua dan letaknya terpisah. Buahnya

berbelah dua (diakenium), tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor.

Dalam kulit buah terdapat saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji

mempunyai tanduk. Sifat-sifat anatomis yang penting antara lain adanya

saluran-saluran resin skizolisigen dalam gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya

kolenkim dalam korteks primer batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi

sederhana dalam trakea, adanya rambut-rambut lain yang bukan merupakan

kelenjar (Tjitrosoepomo, 1994).

Purwoceng merupakan tanaman semak penutup tanah dengan tinggi

sekitar 25 cm. Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan

berwarna hijau pucat. Daunnya merupakan daun majemuk dengan pertulangan

daun menyirip. Tangkai daun berwarna coklat kehijauan dengan panjang sekitar 5

cm. Anak daun berbentuk jantung yang tepinya bergerigi, berujung tumpul dan

pangkal bertoreh, berukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar sekitar 2.5 cm. Bunga

Purwoceng merupakan bunga majemuk berbentuk payung. Tangkai bunga

(50)

berwarna hijau, benang sari berwarna putih, putik berbentuk bulat berwarna hijau,

dan mahkota berambut berwarna coklat. Buah berbentuk lonjong kecil berwarna

hijau, dan biji berbentuk lonjong kecil berwarna coklat. Akar merupakan akar

tunggang yang berwarna putih kotor (Pulungan, 2008).

Tangkai bunga purwoceng memiliki cabang-cabang. Purwoceng memiliki

sekitar 7.4 tangkai bunga primer,setiap tangkai primer memiliki sekitar tiga

tangkai sekunder, setiap tangkai sekunder memiliki sekitar 2 tangkai tertier, dan

setiap tangkai tertier memiliki sekitar 5-8 tandan bunga yang membentuk bunga

payung. Pada setiap tandan bunga terdapat sekitar 5-10 bunga yang akan

menghasilkan sekitar 8.6 biji sehingga satu tanaman purwoceng dapat

menghasilkan 2.260 biji. Biji yang telah matang berwarna hitam, berukuran sangat

kecil dengan bobot 1000 butirnya sekitar 0.52 g (Rahardjo et al., 2005).

2.4.2 Manfaat Tanaman Purwoceng

Beberapa peneliti telah menguji efek penggunaan akar Purwoceng pada

tikus. Salah satu teknik yang digunakan adalah dengan mengebiri tikus jantan dan

menyuntiknya dengan ekstrak akar Purwoceng dalam minyak zaitun (dosis 20-40

mg). Efek yang teramati adalah adanya peningkatan kelenjar prostat dan kelenjar

seminalis secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian tersebut

didukung oleh hasil penelitian yang melaporkan bahwa ekstrak akar Purwoceng sebanyak 50 mg mampu meningkatkan kadar hormon Testosteron dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus Sprague Dawley. Efek Purwoceng tersebut juga dibandingkan dengan efek bahan obat alami lain yang berkhasiat serupa, yaitu Pasak Bumi. Hasil penelitian pada tikus Sprague Dawley

(51)

menunjukkan bahwa pada dosis 25 mg, Pasak Bumi mempunyai efek peningkatan kadar Testosteron. Pada dosis 50 mg, Purwoceng juga memberikan efek peningkatan kadar Testosteron yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasak bumi. Namun ketika purwoceng dicampurkan dengan Pasak Bumi pada dosis yang sama (masing-masing 25 mg), maka efek peningkatan kadar Testosteron lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Taufiqqurrachman, 1999).

Ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada tikus Spraque Dawley juga dapat meningkatkan derajat spermatogenesis dalam testis, jumlah maupun motilitas spermatozoa dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian purwoceng), namun cenderung tidak berbeda dengan perlakuan Pasak Bumi (Juniarto, 2004).

2.4.3 Kandungan Senyawa Purwoceng

Hasil identifikasi secara kualitatif, akar Purwoceng mengandung senyawa

turunan kumarin seperti bergapten, xanthotoksin, marmesin, 6,8 dimetoksi

umbelliferon dan psoralen (Hernani dan Yuliani, 2004).

Studi lain menunjukkan hasil isolasi senyawa aktif dari tanaman

purwoceng terdapat stigmasterol yaitu senyawa golongan steroida saponin yang

mempunyai gugus OH terikat pada atom karbon ke - 3 dari inti

siklopentanoperhidrofenantren, sehingga mampu mengadakan ikatan dengan

oligosakarida (Suzery et al., 2004). Saponin steroid larut dalam air akibat ikatan

glikosida yang terbentuk. Senyawa ini diduga sebagai salah satu pemicu

timbulnya perilaku seksual setelah menggunakan ekstrak Purwoceng. Senyawa

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Testosteron (Sherwood, 2007)
Gambar 2.2 Jalur Biosintesis Testosteron (Atanassova and Koeva, 2012)
Gambar 2.3  Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Testis (Fitria, 2010).
Gambar 2.4 Pohon Pasak Bumi (kiri), akar Pasak Bumi (kanan)  (Riceplex.com)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) dalam jamu “T” berpengaruh meningkatkan mounting pada mencit Swiss Webster jantan. 1.7

Hasil penelitian disimpulkan bahwa ekstrak etanol akar pasak bumi ( Eurycoma longifolia Jack) dosis 400 mg/kg BB yang diberikan sebelum dan selama induksi DMBA

Hasil penelitian disimpulkan bahwa ekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) dosis 400 mg/kg BB yang diberikan sebelum dan selama induksi DMBA

Fraksi etil asetat ekstrak etanol akar pasak bumi ( Eurycoma longifolia , Jack.) mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel HeLa dengan harga IC 50 sebesar 3, 70 µg/ ml dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek respons imun (TNF-α) mencit terinfeksi Plasmodium berghei yang diberi ekstrak akar pasak bumi ( Eurycoma longifolia jack )

Pasak bumi (Eurycoma longifolia, Jack) adalah salah satu tumbuhan pohon yang memiliki khasiat farmakologis yang meliputi semua bagian tumbuhannya mulai dari akar,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pemberian infusa akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.) meningkatkan libido tikus putih jantan, yang ditunjukkan adanya

Adanya perbedaan bermakna kualitas spermatozoa kelompok perlakuan 2 terhadap kelompok kontrol sesuai dengan hipotesis bahwa pemberian ekstrak pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)