• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Kebisingan

a. Pengertian Kebisingan

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Sedangkan menurut Suma’mur (2009) Kebisingan adalah bunyi atau suara yang keberadaannya tidak dikehendaki (noise is unwanted sound) yang bersumber dari peralatan produksi dan peralatan kerja yang dapat mengganggu pendengaran.

b. Jenis-jenis Kebisingan

Jenis kebisingan menurut Suma’mur (2009) adalah :

1) Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum frekuensi yang lebar (Steady state, Wide band noise)

Misal : mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar.

2) Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis (Steady state, narrow band noise)

(2)

commit to user Misal : gergaji sirkuler, katup gas.

3) Kebisingan terputus-putus (intermittent noise) Misal : lalu lintas, suara kapal terbang di bandara.

4) Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise)

Misal : pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, ledakan.

5) Kebisingan impulsive berulang

Misal : mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.

Menurut Tambunan (2005), kebisingan di tempat kerja diklasifikasikan ke dalam 2 jenis golongan besar, yaitu :

1) Kebisingan tetap (steady noise).

2) Kebisingan tidak tetap (non-steady noise).

c. Sumber Kebisingan

Menurut DEPKES RI (2007) sumber kebisingan dibedakan menjadi : 1) Bising Industri

Industri besar termasuk di dalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya.

Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat di sekitar industri.

2) Bising Rumah Tangga

Umumnya disebabkan oleh alat-alat rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat kebisingannya.

(3)

commit to user 3) Bising Spesifik

Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya pemasangan tiang pancang tol atau bangunan.

Sedangkan menurut Tambunan (2005), sumber bising berasal dari aktivitas-aktivitas di tempat kerja seperti :

1) Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.

2) Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.

3) Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya, misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.

4) Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidah- kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen- komponen mesin tiruan.

5) Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection).

6) Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya penggunaan palu/alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.

(4)

commit to user d. Kebisingan di Pabrik Tekstil

Menurut Moeadi (2004) pada forum penelitian Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang, di Pabrik Pemintalan proses pembuatan benang tenun diproses pada unit-unit mesin produksi yang telah didesain sedemikian rupa sehingga masing-masing proses diolah secara berkesinambungan. Masing-masing mesin memiliki fungsinya sendiri yang dinyatakan sebagai urutan proses sebagai berikut :

1) Mesin Blowing merupakan unit mesin yang mengolah bahan baku kapas menjadi bahan lap, tingkat kebisingan sekitar 72,5 dB sampai dengan 73,4 dB.

2) Mesin Carding yang meneruskan produk dari mesin Blowing (lap) menjadi sliver, tingkat kebisingan mesin Carding sekitar 81 dB sampai dengan 82,4 dB.

3) Mesin Drawing yang berfungsi membuat perangkapan dan pemadatan sliver, nilai kebisingan sekitar 80 dB sampai dengan 81,8 dB.

4) Mesin Flyer yang berfungsi membuat roving, tingkat kebisingan sekitar 82 dB sampai dengan 82,8 dB.

5) Mesin Spinning merupakan inti dari proses pembuatan mesin tenun yang mempunyai tingkat kebisingan sekitar 95 dB sampai dengan 96,8 dB.

6) Mesin Winding merupakan mesin terakhir dari proses pembuatan benang tenun yang menyelesaikan proses penggulungan benang tenun

(5)

commit to user

yang merupakan produk akhir yang dipersiapkan untuk dijual, nilai kebisingan mesin Winding yaitu 89,2 dB sampai dengan 92,6 dB.

e. Teknik Pengukuran Kebisingan

Metode pengukuran tingkat paparan kebisingan atau Time Weighted Average (TWA) dilakukan sesuai dengan standar OSHA (Occupational Safety and Health Act) yaitu menggunakan alat Sound Level Meter (SLM). OSHA mengatur kebisingan yang masuk ke dalam telinga, biasanya diukur 3 – 4 feet dari mesin. Jarak pengukuran kebisingan dengan sumber kebisingan sangat penting, jika jarak tidak ditentukan maka pengukuran menjadi tidak bermakna, karena tingkat kebisingan pada jarak 1 inchi dari mesin tidak sama dengan tingkat kebisingan pada jarak 20 feet dari mesin. Maka standar atau spesifikasi pengujian tingkat kebisingan yang digunakan harus jelas agar hasil pengukuran dapat diinterpretasikan secara tepat terhadap efek dari kebisingan tersebut (Health and Safety Protection, 2012).

Metode pengukuran kebisingan continue dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Noise Mapping, untuk menggambarkan arah dan pola penyebaran kebisingan di ruangan.

2. Mengukur kebisingan latar belakang (Background Noise) sebagai efek lain yang berpengaruh terhadap timbulnya kebisingan.

3. Pengukuran Daily Noise Dose, apabila nilainya melebihi 100% maka tenaga kerja telah berada pada tempat yang melebihi dosis maksimum

(6)

commit to user

yang diizinkan. Perhitungan persen (%) noise dose (D) menggunakan persamaan :

D = 100 (C1/T1 + C2/T2 +.... Cn/Tn)%

Keterangan :

Cn : Lamanya waktu paparan pada level yang tertentu Tn : Lamanya waktu paparan sesuai perhitungan

Setelah nilai persentase pemaparan kebisingan diperoleh maka dapat dihitung Time Weighted Average (TWA) berdasarkan persamaan :

TWA = 10 log (D / 100) + 85 dB(A) (Sembiring, 2010)

Lamanya paparan bising yang diijinkan agar tidak merusak telinga sesuai dengan standar OSHA dalam Sintorini, dkk, (2007:9-13), dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

T = (L CL)/ER 2

8

Keterangan :

T : Lamanya waktu yang diizinkan (jam) L : Level suara dB(A)

CL : Level kriteria standar (untuk Indonesia 85 dB(A)) ER : Exchange Rate (bilangan dasar penukaran) (ER berdasarkan OSHA adalah 5 dB(A))

(7)

commit to user f. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaannya sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Menurut OSHA paparan kebisingan yang diizinkan menurut waktu kerja adalah sebagai berikut : Tabel 1. Paparan Kebisingan yang Diizinkan OSHA

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA 8

Jam

90

6 92

4 95

3 97

2 100

1,5 102

1 105

0,5 110

0,25 115

Sumber : Health and Safety Protection (2011)

Menurut Permenakertrans RI No. PER.13/MEN/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, NAB kebisingan adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA 8

Jam

85

4 88

2 91

1 94

30

Menit

97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

28,12

Detik

115

14,06 118

7,03 121

(8)

commit to user

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA 3,52

Detik

124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Sumber : Permenakertrans RI No. PER.13/MEN/2011 g. Pendengaran

1) Struktur telinga manusia

Telinga manusia adalah sebagai penerima suara. Secara garis besar, struktur anatomi telinga terdiri atas tiga bagian yaitu telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan telinga bagian dalam. Tulang berbentuk spiral di bagian dalam telinga disebut cochlea yang dilapisi sel rambut yang halus. Gelombang bunyi dihantarkan dari telinga bagian luar ke bagian tengah dan telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam, melalui jaringan syaraf, tentang suara yang didengar telinga dan mengurangi kemampuan telinga untuk mendengar dan menghantarkan informasi ke otak. Jika sel rambut ini rusak, tidak dapat diperbaiki sehingga kehilangan pendengaran.

a) Telinga luar

Telinga luar terdiri atas pinna dan lubang telinga yang berakhir di membrane timpani. Panjang lubang telinga sekitar 3,175 cm.

Telinga luar berfungsi sebagai pendeteksi suara dan menyetarakan tekanan.

(9)

commit to user b) Telinga tengah

Suara dalam bentuk mekanik melewati telinga tengah yang terdiri atas tiga tulang yang disebut malleus, incus, dan stapes secara berurutan. Stapes berfungsi sebagai piston hidrolik yang mengubah gerak mekanik suara menjadi gerak fluida. Tiga tulang kecil yang terdapat dalam stapes dan tulang oval akan bekerja sama dalam menyetarakan tekanan dan merintangi udara di telinga luar dan fluida di telinga dalam.

c) Telinga dalam

Bagian yang paling penting di telinga tengah adalah cochlea.

Bentuk cochlea seperti tulang siput 2,75 lingkaran dan ditengahnya terdapat serabut saraf yang berhubungan dengan otak. Sekitar setengah dari jalur spiral dalam cochlea yang merupakan bagian terpenting adalah organ korti. Organ korti terdiri dari beribu-ribu sel rambut yang berfungsi menghantarkan rangsangan suara ke otak. Jika sel rambut ini selalu menghantarkan suara dengan frekuensi yang tinggi maka sel rambut akan kelelahan dan kemudian mati. Kerusakan seperti ini adalah ireversibel (Anizar, 2009).

2) Mekanisme Pendengaran

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar terdiri atas pinna dan meatus akustikus eksternus.

Telinga luar melindungi telinga tengah dan telinga dalam dengan

(10)

commit to user

memelihara lingkungan yang stabil. Telinga tengah adalah terowongan yang berhubungan dengan telinga luar melalui membrane timpani dan berhubungan dengan telinga dalam melalui tingkap oval dan tingkap bundar. Telinga tengah mempunyai tiga tulang (rangkaian osikel) terdiri atas maleus, inkus, dan stapes. Ketiga osikel ini menghantarkan gelombang suara dari telinga luar menuju cochlea.

Cochlea dan kanal semisirkularis di telinga dalam bertanggung jawab masing-masing untuk proses pendengaran dan keseimbangan.

Cochlea, berupa sebuah tabung melingkari pilar tulang, menyerupai bentuk rumah keong. Organ Corti mempunyai sekitar 24.000 sel rambut yag terletak pada membrane basilar. Sel rambut organ corti adalah sel sensorik yang bertanggung jawab dalam proses pendengaran.

Untuk keperluan fisiologi, telinga dibagi atas perangkat penghantar dan perangkat sensorineural. Perangkat penghantar terdiri atas telinga luar, membran timpani, rangkaian osikel, dan cairan labirin. Perangkat sensorineural terdiri atas organ corti di dalam cochlea, bagian pendengaran nervus akustikus dan hubungannya ke sentral.

Suara dapat dihantarkan menuju telinga dalam melalui tiga cara. Cara yang paling umum adalah bila energi suara dihantarkan ke tingkap oval melalui membran timpani yang bergetar oleh rangkaian osikel. Suara dapat dihantarkan langsung menuju telinga tengah bila

(11)

commit to user

gelombang suara jatuh pada tingkap bundar bila terdapat perforasi membrane timpani yang besar. Suara juga dapat dihantarkan melalui konduksi tulang bila energi suara dihantarkan menuju telinga dalam melalui tulang tengkorak. Pada rute yang paling umum, telinga tengah berperan dalam sebagai alat pengubah yang menyesuaikan tahanan akustik udara antara telinga luar dengan tahanan yang ada di dalam cairan labirin. Di dalam cochlea, getaran pada cairan cochlea diproses sedemikian rupa sehingga frekuensi suara, intensitas suara, dan hubungan suara dengan waktu dihantar menuju saraf pendengaran.

Nervus cochlearis membawa informasi sensorik dari sel rambut organ corti ke otak. Arah datangnya suara dikaji dengan menghubungkan perbedaan pada dua sisi kepala (perbedaan keras dan waktu penerima suara) (Jeyaratnam dkk, 2010).

Gambar 1. Diagram Telinga

(12)

commit to user h. Gangguan Akibat Kebisingan

Pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengar yang menyebabkan ketulian (Suma’mur, 2009). Menurut Sasongko (2000), pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada karakteristik fisis, waktu berlangsung, dan waktu kejadiannya. Pengaruh tersebut berbentuk gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman manusia.

Beberapa bentuk gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan adalah sebagai berikut :

1) Gangguan Pendengaran

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk telinga berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespons suara pada kisaran antara 0 - 140 dBA tanpa menimbulkan rasa sakit. Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan penurunan sensitivitas yang berlangsung secara terus- menerus. Tindak pencegahan terhadap ketulian akibat kebisingan memerlukan kriteria yang berhubungan dengan tingkat kebisingan maksimum dan lamanya kebisingan yang diterima.

2) Gangguan Percakapan/komunikasi

Kebisingan dapat mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi komunikasi yang berlangsung (tatap muka atau via telepon).

(13)

commit to user 3) Gangguan Psikologis

Kebisingan bisa menimbulkan gangguan psikologis seperti kejengkelan, kecemasan, dan ketakutan. Gangguan psikologis akibat kebisingan tergantung pada intensitas, frekuensi, periode, saat dan lama kejadian, kompleksitas spektrum atau kegaduhan dan ketidakteraturan kebisingan.

4) Gangguan Produktivitas Kerja

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang memulai gangguan psikologis dan gangguan konsentrasi sehingga menurunkan produktivitas kerja.

5) Gangguan Kesehatan

Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila terpapar suara dalam suatu periode yang lama dan terus- menerus. Selain gangguan terhadap sistem pendengaran, kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan terhadap mental emosional serta meningkatkan frekuensi detak jantung dan meningkatkan tekanan darah (Sasongko, 2000).

i. Pengendalian Kebisingan

Kebisingan dapat dikendalikan dengan :

1) Mengisolasi mesin-mesin yang menjadi sumber bising yaitu mendesain ulang mesin dengan memberikan kaca penghalang sehingga suara bising tidak seluruhnya mengenai pekerja.

(14)

commit to user

2) Engineering control yang dilakukan untuk mengendalikan kebisingan yaitu dengan perawatan peralatan atau mesin-mesin, penggantian proses atau peralatan yang menyebabkan bising, penggunaan bahan sebagai penyerap suara dan lain-lain (Tambunan, 2005).

3) Penempatan penghalang pada jalan transmisi. Isolasi tenaga kerja atau mesin adalah usaha untuk mengurangi kebisingan. Bahan- bahan yang dipakai harus mampu menyerap suara dan bahan penutup dibuat cukup berat dan lapisan dalam terbuat dari bahan yang menyerap suara, agar tidak terjadi getaran yang lebih hebat (Suma’mur, 2009).

4) Dengan memakai alat pelindung telinga yaitu ear plug atau ear muff.

Alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20 - 25 dBA (Sasongko, 2000).

2. Kecemasan

a. Pengertian Kecemasan

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Menurut Freud dalam Alwisol dalam Pratiwi (2010) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal

(15)

commit to user

kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan.

Menurut Prawirohusodo dalam Atina Inayah dan Arifah S (2008), kecemasan adalah pengalaman emosi yang tidak menyenangkan, datang dari dalam dan bersifat meningkat, menggelisahkan dan menakutkan yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu. Perasaan ini disertai oleh komponen somatik, fisiologik, otonomik, biokimiawi, hormonal dan perilaku.

b. Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh Townsend dalam Atina Inayah dan Arifah S (2009:19-24), ada empat tingkat yaitu : 1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai dengan situasi.

2) Kecemasan Sedang

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada rangsang yang tidak menambah

(16)

commit to user

kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.

3) Kecemasan Berat

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung dan disorientasi.

4) Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan, teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat merespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik dapat mengakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu berfikir rasional.

c. Respon Individu Terhadap Kecemasan

Menurut Stuart dan Sundden (1998) kecemasan dapat diekspresikan langsung melalui perubahan fisiologi, perilaku, kognitif, dan afektif secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme coping dalam upaya mempertahankan diri dari kecemasan.

(17)

commit to user 1) Respon Fisiologis terhadap Kecemasan

a) Pada sistem kardiovaskuler terjadi palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa mau pingsan, denyut nadi dan tekanan darah turun.

b) Pada sistem saluran pernafasan terjadi nafas cepat, pernafasan dangkal, rasa tertekan pada dada, pembengkakan pada tenggorokan, rasa tercekik dan terengah-engah.

c) Pada sistem neuromuskuler terjadi insomnia, ketakutan, gelisah, wajah tegang dan kelemahan secara umum.

d) Pada sistem gastrointestinal terjadi kehilangan nafsu makan, menolak makan, nausea dan diare, perasaan panas atau dingin pada kulit dan muka pucat.

2) Respon pada Perilaku

a) Perubahan pada perilaku karena kecemasan dapat terjadi gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, menarik diri dan menghindar.

b) Respon pada kognitif dapat terjadi tidak sabar, tegang, nervous, takut yang berlebihan, gugup yang luas biasanya dan sangat gelisah.

3) Rentang Respon Kecemasan

Menurut Stuart dan Sundden (1998) tentang respon kecemasan dapat digambarkan dalam rentang respon adaptif sampai maladaptif.

Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat konstruktif dan destruktif.

Dimana yang bersifat konstruktif seperti motivasi individu untuk

(18)

commit to user

belajar, mengejar perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman serta berfokus pada proses perubahan sedangkan reaksi kecemasan yang bersifat destruktif seperti menimbulkan tingkah laku maladaptif, disfungsi yang menyangkut kecemasan berat dan panik.

RENTANG RESPONS ANSIETAS Respon Maladaptif Respon Adaptif

Panik Berat Sedang Ringan Antisipasi Gambar 2. Rentang respons ansietas (Stuart dan Sundden, 1998) d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

1) Jenis Kelamin

Stres yang sering dialami oleh wanita lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Kaplan and Sadock dalam Stuart dan Sundden (1998) menyatakan bahwa kurang lebih 5% dari populasi, kecemasan pada wanita dua kali lebih banyak daripada pria, lebih tinggi kecemasan yang dialami oleh wanita kemungkinan disebabkan wanita lebih mempunyai kepribadian labil, juga adanya peran hormon yang mempengaruhi kondisi emosi sehingga mudah meledak, mudah cemas, dan curiga.

2) Umur

Seseorang yang berumur lebih muda ternyata lebih mengalami gangguan akibat stres dari pada seseorang yang lebih tua.

(19)

commit to user 3) Tingkat Pendidikan

Status pendidikan yang kurang pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih mudah mengalami stres dibandingkan mereka yang status pendidikannya lebih tinggi atau lebih baik.

4) Lingkungan atau Sanitasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami stres.

5) Sosial Budaya

Seseorang yang mempunyai falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama yang kuat umumnya lebih sukar mengalami stres.

6) Keadaan Fisik

Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cedera penyakit badan, operasi, aborsi lebih mudah mengalami kelelahan fisik sehingga mudah mengalami stres.

7) Tipe Kepribadian

Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat stres dari pada orang yang berkepribadian B.

8) Potensi Stressor

Stresor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu melakukan adaptasi.

(20)

commit to user 9) Maturasi (Kematangan)

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar mengalami gangguan terhadap stres, karena individu matang mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap stresor yang timbul. Sebaliknya individu yang berkepribadian tidak matang yaitu tergantung pada peka terhadap rangsangan sehingga sangat mudah mengalami gangguan akibat stres.

10) Teori Biologi

Peneliti biologis pada penghambat asam sistem neurotransmitter gamma aminobutyricacid (GABA), serotanim dan neropinetrin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan. Gangguan kecemasan juga bersifat diturunkan kurang lebih 25% generasi pertamanya juga akan terkena. Sebanyak 50% anak kembar satu sel telur dan 155 pada dua telur dari yang mengalami gangguan kecemasan.

11) Teori Psikologis

Dua faktor pikiran utama tentang faktor psikologis yang menyebabkan perkembangan gangguan kecemasan umum adalah bidang psikoanalitik dan bidang kognitif perilaku. Teori psikoanalitik kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan super ego. Id mewakili dorongan insting sedangkan teori kognitif perilaku yaitu pandangan perilaku kecemasan yang

(21)

commit to user

merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

e. Teknik Pengukuran Kecemasan

Teknik pengukuran kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton Rate Scale Anxiety (HRSA). Skala HRSA pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Skala HRSA telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HRSA akan diperoleh hasil yang valid dan reliable (Larasati dan Wibowo, 2012).

Menurut Nursalam dalam Sumanto, dkk (2011), pengukuran kecemasan dengan menggunakan HRSA yang reliabel dengan rhitung = 0,57 – 0,84 dan rtabel = 0,349 memiliki 14 item penilaian, meliputi : 1) Perasaan cemas : firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

2) Ketegangan : merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.

3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.

4) Gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.

(22)

commit to user

5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.

6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.

8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.

9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap.

10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

11) Gejala gastrointestinal : sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut.

12) Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing, amenorrhea, ereksi lemah atau impotensi.

13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.

14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.

(23)

commit to user

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori :

1) 0 = tidak ada gejala sama sekali 2) 1 = satu dari gejala yang ada

3) 2 = sedang atau separuh dari gejala yang ada 4) 3 = berat atau lebih dari setengah gejala yang ada 5) 4 = sangat berat semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1 – 14 dengan hasil :

1) Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan 2) Skor 6 – 14 = kecemasan ringan 3) Skor 15 – 27 = kecemasan sedang 4) Skor lebih dari 27 = kecemasan berat f. Mekanisme Kecemasan akibat Stres

Menurut Heryati (2008), stresor pertama kali ditampung oleh panca indera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat.

Stres menimbulkan reaksi yang berbeda di sepanjang axis hipotalamus hipofise adrenal diantaranya peningkatan adenokortikotropin (ACTH) dan peningkatan kortikosteroid (Ronald dalam Wibowo dan Hartono, 2010). Banyak penelitian telah dilakukan oleh pakar untuk mengetahui bagaimana kaitan stres dengan sistem kekebalan tubuh, sehingga muncul bidang baru yang disebut

(24)

commit to user

psychoneuroimmunology. Dalam kaitan ini para ilmuwan ingin melihat bagaimana faktor psikologis itu dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Pada perspektif psikoneuroimunologi, sistem imun sangat dipengaruhi oleh kinerja sistem hormon dari poros (axis) Hyphotalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan poros (axis) Sympathetic Adrenal Medullary (SAM) (Ader, 2000; Padget and Glaser, 2003 dalam Wibowo dan Hartono, 2010).

Gambar 3. Komponen utama dari hipotalamus hipofisis adrenal (HPA) dan sympathetic adrenal meduler (SAM) sumbu. NB: CRH = corticotropin releasing hormone, ACTH = adrenocorticotropin hormon

(Thomton L.M dan Andersen B, 2006)

(25)

commit to user

HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) memegang peranan penting dalam beradaptasi terhadap stres baik stres eksternal maupun internal. HPA tersebut adalah poros atau aksis yang merupakan jalur antara hipotalamus, kelenjar pituitary atau hipofisis, dan kelenjar adrenal (korteks adrenal). Ketika berespon terhadap ketakutan, marah, cemas, dan hal-hal yang tidak menyenangkan atau bahkan juga terhadap harapan, dapat terjadi peningkatan aktivitas aksis HPA.

Stresor

Korteks dan sistem limbik

Hipotalamus CRF

Hipofisis (pituitary) feedback ACTH mechanism (-) Korteks adrenal

Glukokortikoid (cortisol) Gambar 4. Skema Aksis HPA

Cortisol mempunyai efek umpan balik yang sifatnya langsung terhadap hipotalamus untuk menurunkan CRF, dan kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan ACTH. Namun jika stresor terus-menerus ada, maka mekanisme umpan balik ini tidak akan mampu lagi menekan sekresi CRF maupun ACTH sehingga aktivitas pada aksis HPA ini akan meningkat terus. Bila peningkatan aktivitas ini terus terjadi sehingga produksi cortisol terus meningkat, dapat merusak sel-

(26)

commit to user

sel neuron di hipotalamus sehingga terjadi atrofi hipotalamus, dan akibatnya bisa muncul gangguan kognitif, seperti pada penderita depresi. Bahkan cortisol yang meningkat terus diduga kuat dapat mempengaruhi kekebalan tubuh dengan menekan T-cell (Heryati E dan Faizah N, 2008).

Aktivasi sumbu SAM dimulai dengan pengolahan yang terkait dengan stres sinyal sensorik di coeruleus lokus pons. Pelepasan CRH dari hipotalamus lebih memberikan kontribusi untuk aktivasi dari sumbu SAM. Serabut saraf simpatis memicu pelepasan katekolamin (norepinefrin dan epinefrin) ke dalam aliran darah oleh medula adrenal, dan perifer serabut saraf simpatis melepaskan norepinephrine tambahan. Sumbu ini menghasilkan "melawan atau lari" klasik respon, ditandai dengan peningkatan denyut jantung, pernapasan dan pengalihan aliran darah dari organ-organ pencernaan ke otot rangka (Thomton L.M dan Andersen B, 2006).

Ketika mengalami kecemasan, individu menggunakan berbagai mekanisme coping untuk mencoba mengatasinya, ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Pola yang biasa digunakan individu untuk mengatasi kecemasan ringan cenderung tetap dominan, ketika kecemasan menjadi lebih intens. Kecemasan ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar (Stuart dan Sundden, 1998).

(27)

commit to user 3. Kelelahan Kerja

a. Pengertian Kelelahan

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat (Tarwaka, 2010).

Menurut Grandjean dalam Setyawati (2010) kelelahan kerja adalah perasaan lelah dan adanya penurunan kesiagaan. Kelelahan merupakan akibat dari kebanyakan tugas pekerjaan yang sama. Pada pekerjaan yang berulang, tanda pertama kelelahan merupakan peningkatan dalam rata-rata panjang waktu yang diambil untuk menyelesaikan suatu siklus aktivitas. Waktu pendistribusian yang hati- hati sering menunjukkan kelambatan performansi sebagaimana yang tampak dalam pendistribusian proporsi yang lebih besar dari siklus lambat yang tidak normal (Nurmianto, 2003).

b. Jenis-jenis Kelelahan

Menurut Grandjean dalam Tarwaka (2010) kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :

1) Kelelahan otot, adalah merupakan tremor pada otot/perasaan nyeri pada otot.

2) Kelelahan umum, biasanya ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.

(28)

commit to user

Menurut Grandjean dan Kogi dalam Setyawati (2010), berdasarkan waktu terjadinya kelelahan dibagi menjadi dua macam, yaitu :

1) Kelelahan Akut

Terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh tubuh secara berlebihan.

2) Kelelahan Kronis

Terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari dan berkepanjangan.

Menurut Singleton dalam Setyawati (2010) terdapat dua macam kelelahan, yaitu :

1) Kelelahan Fisiologis

Disebabkan oleh faktor fisik di tempat kerja antara lain oleh suhu dan kebisingan.

2) Kelelahan Psikologis

Merupakan kelelahan yang disebabkan oleh faktor psikologis.

c. Gejala Kelelahan Kerja

Menurut Ramadhani Srie dalam Budiono Sugeng (2003) gambaran mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subyektif dan obyektif antara lain :

1) Perasaan lesu, ngantuk dan pusing.

2) Kurang mampu berkonsentrasi.

3) Berkurangnya tingkat kewaspadaan.

4) Persepsi yang buruk dan lambat.

(29)

commit to user 5) Berkurangnya gairah untuk bekerja.

6) Menurunnya kinerja jasmani dan rohani.

Menurut Grandjean dalam Setyawati (2010) mengemukakan bahwa gejala kelelahan kerja ada dua macam yaitu gejala subjektif dan gejala obyektif. Gejala kelelahan yang penting antara lain adalah adanya perasaan kelelahan, somnolensi, tidak bergairah bekerja, sulit berpikir, penurunan kesiagaan, penurunan persepsi dan kecepatan bereaksi bekerja.

Kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi) dimana keduanya berada pada susunan syaraf pusat. Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan untuk tidur. Sistem penggerak terdapat dalam formatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari dalam tubuh ke arah bekerja. Maka keadaan seseorang pada suatu saat sangat tergantung pada hasil kerja di antara dua sistem antagonistic tersebut. Apabila sistem aktivasi lebih kuat maka seseorang dalam keadaan segaruntuk bekerja, sebaliknya manakala sistem penghambat lebih kuat maka seseorang dalam keadaan kelelahan (Suma’mur, 2009).

Kondisi atau Keadaan kelelahan secara neurofiologis cortex cerebri mengalami penurunan aktivitas sehingga tubuh tidak dapat cepat

(30)

commit to user

menjawab signal-signal dari luar termasuk rangsangan cahaya dan suara (Suma’mur P.K., 2009).

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelelahan Kerja 1) Faktor Internal

a) Usia

Usia yang bertambah tua akan diikuti oleh kekuatan dan ketahanan otot yang menurun (Tarwaka, Solichul, dan Lilik, 2004).

Menurut Chaffin dan Guo et al dalam Tarwaka, Solichul, dan Lilik (2004) pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25 - 65 tahun. Pada usia muda proses-proses di dalam tubuh sangat besar dan kemudian menurun lambat-lambat menurut umur (Suma’mur, 2009).

b) Jenis Kelamin

Pria dan wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot dari wanita relatif kurang jika dibandingkan pria. Kemudian pada saat wanita sedang haid yang tidak normal (dysmenorrhoea), maka akan dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah (Suma’mur, 2009).

c) Psikis

Menurut Ramadhani Srie dalam Budiono Sugeng, dkk., (2003) Tenaga kerja yang mempunyai masalah psikologis amatlah mudah mengidap suatu bentuk kelelahan kronis. Salah satu

(31)

commit to user

penyebab dari reaksi psikologis adalah pekerjaan yang monoton yaitu suatu kerja yang berhubungan dengan hal yang sama dalam periode atau waktu yang tertentu dan dalam jangka waktu yang lama dan biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang besar.

Nan Jiang, Takeshi Sato, Tomihide Hara, Yaeko Takedomi, Iwata Ozaki, dan Shigeto Yamada (2003) menyatakan bahwa ada hubungan antara kecemasan sifat, dimensi temperamen menghindari bahaya, karakter dimensi diri directedness dan kelelahan. Dimensi Temperament and Character Inventory (TCI), menghindari bahaya dan self-directedness, dianggap sebagai penyebab kelelahan.

d) Kesehatan

Kesehatan fisik sangat penting untuk menduduki suatu pekerjaan. Tidak mungkin seseorang dapat menyelesaikan tugas- tugasnya dengan baik jika sering sakit (Hasibuan, 2000).

e) Status gizi

Kesehatan dan daya kerja sangat erat kaitannya dengan tingkat gizi seseorang. Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan kerusakan sel dan jaringan.

Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk bekerja dan meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan (Suma’mur, 2009).

Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus :

(32)

commit to user

Tabel 3. Kategori IMT

NO Kategori IMT

1. Kekurangan berat badan tingkat berat

< 17,0 2. Kekurangan berat badan tingkat

ringan

17,0 – <18,5

3. Normal 18,5 – 25,0

4. Kelebihan berat badan tingkat ringan <25,0 – 27,0 5. Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0 Sumber : I Dewa Nyoman Supariasa, dkk. Tahun 2002

f) Sikap Kerja

Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya terhadap sarana kerja akan menentukan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja. Semua sikap tubuh yang tidak alamiah dalam bekerja, misalnya sikap menjangkau barang yang melebihi jangkauan tangan harus dihindarkan. Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap duduk yang terlalu tinggi sedikit banyak akan berpengaruh terhadap hasil kerjanya. Hal ini akan menyebabkan kelelahan (Ramadhani Srie dalam Budiono Sugeng, dkk., 2003). Bekerja dalam kondisi yang tidak alamiah dapat menimbulkan berbagai masalah, antara lain : nyeri, kelelahan, dan bahkan kecelakaan (Santoso Gempur, 2004).

IMT =

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m) Berat Badan (Kg)

(33)

commit to user 2) Faktor Eksternal

a) Beban kerja

Setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Beban yang dimaksud mungkin fisik, mental atau sosial. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Di antara mereka ada yang lebih cocok untuk beban fisik, mental ataupun sosial (Suma’mur, 2009). Bahkan banyak juga dijumpai kasus kelelahan kerja dimana hal itu adalah sebagai akibat dari pembebanan kerja yang berlebihan (Ramadhani Srie dalam Budiono Sugeng, dkk., 2003). Menurut Tarwaka (2010) beban kerja dinyatakan normal apabila denyut nadi 75 – 100 denyut per menit.

b) Penerangan

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya yang tidak diperlukan. Lebih dari itu, penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Suma’mur, 2009).

Penerangan yang buruk dapat mengakibatkan (Hapsari Diana dalam Budiono Sugeng, dkk., 2003) adalah :

(1) Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja.

(2) Keluhan-keluhan pegal di daerah mata, dan sakit kepala sekitar mata.

(34)

commit to user (3) Kerusakan indera mata.

(4) Kelelahan mental.

(5) Menimbulkan terjadinya kecelakaan.

c) Kebisingan

Kebisingan merupakan suara atau bunyi yang tidak dikehendaki karena pada tingkat atau intensitas tertentu dapat menimbulkan gangguan, terutama merusak alat pendengaran.

Kebisingan akan mempengaruhi faal tubuh seperti gangguan pada saraf otonom yang ditandai dengan bertambahnya metabolisme, bertambahnya tegangan otot sehingga mempercepat kelelahan (Heru Setiarto, 2002).

d) Masa Kerja

Masa kerja adalah lamanya seorang karyawan menyumbangkan tenaganya pada perusahaan tertentu. Sejauh mana tenaga kerja dapat mencapai hasil yang memuaskan dalam bekerja tergantung dari kemampuan, kecakapan dan keterampilan tertentu agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Masa kerja seseorang berkaitan dengan pengalaman kerjanya. Karyawan yang telah lama bekerja pada perusahaan tertentu telah mempunyai berbagai pengalaman yang berkaitan dengan bidangnya (Nitisemito, 1996).

(35)

commit to user e) Monotoni

Suatu kerja yang berhubungan dengan hal sama dalam periode atau waktu tertentu, dan dalam jangka waktu yang lama dan biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang besar. Salah satu efek dari pekerjaan monoton adalah kemunduran dari kapasitas kerja dan produktifitas (Pusparini dalam Budiono Sugeng, dkk., 2000).

f) Shift Kerja

Shift Work adalah pola waktu kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, sore, dan malam (Suma’mur, 2009).

(36)

commit to user e. Penyebab Kelelahan Kerja

Faktor penyebab kelelahan digambarkan sebagai berikut :

Gambar 5. Teori Kombinasi Pengaruh Penyebab Kelelahan dan Penyegaran (Tarwaka, 2010).

f. Pengukuran Derajat Kelelahan Kerja

Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan kerja secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja (Tarwaka, Solichul, dan Lilik, 2004).

Menurut Grandjean (1993) dalam Tarwaka, dkk (2004) metode pengukuran tingkat kelelahan kerja ada beberapa cara, antara lain : 1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan

Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu.

Intensitas dan lamanya kerja fisik dan mental

Lingkungan : Iklim, Penerangan, Kebisingana

Cyrcadian Rhytm

Problem Fisik : Tanggung jawab dan Kekhawatiran Konflik

Kenyerian dan Kondisi Kesehatan

Nutrisi

Pemulihan/Penyegaran Tingkat Kelelahan

(37)

commit to user 2) Uji Psiko-motor

Pada metode ini pengukuran yang digunakan adalah perhitungan waktu reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian rangsang sampai pada suatu saat kesadaran atau dilaksanakannya suatu kegiatan.

3) Uji Fliker Fusion

Dalam kondisi yang lelah kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah maka semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antar dua kelipatan.

4) Perasaan kelelahan secara subjektif

Subjective Self Rating test dari Industrial Fatique Research Committe (IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur tingkat kelelahan.

5) Uji mental

Pada uji ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan.

6) Waktu Reaksi (Reaction timer)

Waktu reaksi yang diukur dapat merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi-reaksi yang memerlukan koordinasi.

Biasanya waktu reaksi adalah jangka waktu dari pembuatan rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakannya kegiatan tertentu (Suma’mur, 1999).

(38)

commit to user

Menurut Sanders & Mc Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka,dkk (2004), waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik saat satu stimuli terjadi. Sedangkan menurut laporan Setyawati yang dikutip oleh Tarwaka, dkk (2004), dalam uji waktu reaksi ternyata stimuli terhadap cahaya lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli suara.

Menurut Grandjean yang dikutip dalam Heru Setiarto (2002), proses penerimaan rangsangan terjadi karena setiap rangsang yang datang dari luar tubuh akan melewati sistem aktivitas, yang kemudian secara aktif menyiagakan korteks bereaksi. Dalam hal ini sistem aktivasi retrikulasi befungsi sebagai distributor dan amplifier sinyal- sinyal tersebut. Pada keadaan lelah secara neurofisiologis, cortecs cerebri mengalami penurunan aktivasi, terjadi perubahan pengarahan sehingga tubuh tidak secara cepat menjawab sinyal-sinyal dari luar.

Kelelahan dapat diklasifikasikan berdasarkan rentang atau range waktu reaksi sebagai berikut :

1) Normal : waktu reaksi 150,0 – 240,0 milidetik

2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi > 240,0 - < 410,0 milidetik

3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi > 410,0 – < 580,0 milidetik

4) Kelelahan Kerja Berat (KKB) : waktu reaksi 580,0 milidetik (Tim Hiperkes, 2004)

(39)

commit to user g. Akibat Kelelahan Kerja

Menurut Gilmer dan Suma’mur dalam Setyawati (2010) kelelahan kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan yaitu prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis motorik dan neural yang menurun, badan terasa tidak enak di samping semangat kerja yang menurun. Perasaan kelelahan kerja cenderung meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja, sehingga dapat merugikan diri pekerja sendiri maupun perusahaannya karena adanya penurunan produktifitas kerja.

Menurut Tarwaka, dkk (2004) risiko terjadinya kelelahan adalah sebagai berikut :

1) Motivasi kerja turun 2) Performansi rendah 3) Kualitas kerja rendah 4) Banyak terjadi kesalahan 5) Stres akibat kerja

6) Penyakit akibat kerja 7) Cedera

8) Terjadi kecelakaan akibat kerja h. Pencegahan kelelahan kerja

Upaya agar tingkat produktivitas kerja tetap baik atau bahkan meningkat, salah satu faktor pentingnya adalah pencegahan terhadap kelelahan kerja. Menurut Tarwaka, dkk (2004) cara mengatasi kelelahan :

(40)

commit to user 1) Sesuai kapasitas kerja fisik

2) Sesuai kapasitas kerja mental 3) Redesain stasiun kerja ergonomis 4) Sikap kerja alamiah

5) Kerja lebih dinamis 6) Kerja lebih bervariasi 7) Redesain lingkungan kerja 8) Reorganisasi kerja

9) Kebutuhan kalori seimbang 10) Istirahat setiap 2 jam kerja Manajemen pengendalian kesehatan : 1) Tindakan preventif

2) Tindakan kuratif 3) Tindakan rehabilitatif 4) Jaminan masa tua

4. Mekanisme Terjadinya Kelelahan pada Tenaga Kerja yang Mengalami Kecemasan Akibat Kebisingan

Menurut Sasongko (2000) kebisingan dapat menyebabkan gangguan-gangguan psikologis seperti kejengkelan, kecemasan, dan ketakutan. Gangguan psikologis akibat kebisingan tergantung pada intensitas, frekuensi, periode, saat dan lama kejadian, kompleksitas spektrum atau kegaduhan dan ketidakteraturan kebisingan. Bila kebisingan

(41)

commit to user

di tempat kerja diterima dalam waktu lama lebih dari 8 jam per hari dapat menyebabkan penyakit psychosomatic berupa stres akibat kerja.

Melalui serangkaian jalur pendengaran, di dalam pusat pendengaran impuls yang datang akan dianalisis sebagai bunyi. Bunyi tersebut kemudian akan diinterpretasikan oleh persepsi individu sebagai suara yang tidak mengganggu atau yang sifatnya mengganggu yang dikenal sebagai bising (Ganong, 2003; Guyton and Hall, 2006 dalam Wibowo dan Hartono, 2010).

Kebisingan yang diinterpretasikan oleh persepsi individu sebagai suara yang mengganggu menimbulkan terjadinya kecemasan, kemudian individu menggunakan berbagai mekanisme coping untuk mencoba mengatasinya, ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis (Stuart dan Sundden, 1998).

Terjadinya kecemasan sangat berhubungan dengan sistem imun yang hubungannya dengan kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan kerja. Sistem imun sangat dipengaruhi oleh kinerja sistem hormon dari poros (axis) Hyphotalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dan poros (axis) Sympathetic-Adre-nal Medullary (SAM) (Ader, 2000;

Padget and Glaser, 2003 dalam Wibowo dan Hartono, 2010).

Menurut Heryati E dan Faizah N (2008), stresor pertama kali ditampung oleh panca indera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari pusat emosi yaitu kelenjar HPA (Hipotalamus-

(42)

commit to user

Pituitari-Adrenal) akan meningkatkan aktifitas hormon cortisol yang kemudian akan merusak sel-sel neuron di hipotalamus sehingga terjadi atrofi hipotalamus, dan akibatnya dapat muncul gangguan kognitif salah satunya yaitu kecemasan. Cortisol yang meningkat terus dapat mempengaruhi kekebalan tubuh dengan mengganggu metabolisme tubuh.

Aktivasi sumbu SAM dimulai dengan pengolahan yang terkait dengan stres sinyal sensorik di coeruleus lokus pons. Pelepasan CRH dari hipotalamus lebih memberikan kontribusi untuk aktivasi dari sumbu SAM.

Serabut saraf simpatis memicu pelepasan catecholamines (norepinefrin dan epinefrin) ke dalam aliran darah oleh medula adrenal, dan perifer serabut saraf simpatis melepaskan norepinephrine tambahan. Sumbu ini menghasilkan "melawan atau lari" klasik respon, ditandai dengan peningkatan denyut jantung, pernapasan dan pengalihan aliran darah dari organ-organ pencernaan ke otot rangka. Catecholamines yang meningkat dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan mengganggu metabolisme tubuh (Thomton L.M dan Andersen B, 2006).

Metabolisme tubuh yang terganggu akibat kecemasan ini dapat menimbulkan terjadinya kelelahan kerja. Dalam sistemnya makanan yang mengandung glikogen mengalir dalam tubuh melalui peredaran darah.

Setiap kontraksi dari otot selalu diikuti reaksi kimia (oksidasi glukosa) yang mengubah glikogen tersebut menjadi tenaga, panas dan asam laktat (produk sisa). Dalam tubuh dikenal fase pemulihan yaitu suatu proses untuk merubah asam laktat menjadi glikogen kembali dengan adanya oksigen dari

(43)

commit to user

pernafasan sehingga memungkinkan otot-otot bisa bergerak secara kontinu ini berarti keseimbangan kerja bisa dicapai dengan baik apabila kerja fisiknya tidak terlalu berat. Kelelahan ini timbul karena terakumulasinya produk sisa dalam otot atau peredaran darah (metabolisme tubuh terganggu) yang disebabkan tidak seimbangnya antara kerja dan proses pemulihan (Rosanti, 2011).

Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan jurnal yang ditulis oleh Peter Roy-Byrne, MD, Niloofar Afari, PhD, dkk (2002) tentang Kelelahan Kronis dan Kecemasan atau Depresi yang menyatakan bahwa tiga per empat dari pasien yang mengalami sindrom kelelahan berasal dari kecemasan atau depresi.

(44)

commit to user

Faktor Eksternal : 1. Monotoni 2. Masa kerja

3. Keadaan Lingkungan 4. Beban kerja

5. Sikap kerja 6. Shift Kerja B. Kerangka Pemikiran

CRH ACTH

Mesin Tenun Sebagai Sumber Bising Continue

Otak

Korteks dan sistem limbik

HPA Axis Hipotalamus

Kelelahan Kerja Suara yang Tidak

Mengganggu

Suara yang Mengganggu (Kecemasan)

Cortisol

Coping

SAM Axis Locus Coeruleus

Adrenal Cortex Adrenal Medulla

Catecholamines

1. Jenis Kelamin 2. Umur

3. Tingkat Pendidikan 4. Lingkungan dan

Sanitasi 5. Sosial Budaya 6. Keadaan fisik 7. Tipe Kepribadian 8. Potensi stressor 9. Maturasi 10. Teori Biologi 11. Teori Psikologi

Faktor Internal : 1. Jenis Kelamin 2. Psikis

3. Status Gizi 4. Usia

Telinga :

1. Gendang Telinga (Membrane Thympani) 2. Maleus, inkus, stapes

3. Cochlea 4. Sel-sel rambut 5. Impuls Syaraf

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Metabolisme Tubuh Meningkat

Otak Feedback

Mechanism

Cortex Cerebri

(45)

commit to user C. Hipotesis

1. Ada perbedaan intensitas kebisingan pada bagian weaving, riching, dan administrasi di PT. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

2. Ada perbedaan tingkat kecemasan yang dialami oleh tenaga kerja yang terpapar kebisingan pada bagian weaving, riching, dan administrasi di PT.

Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

3. Ada perbedaan tingkat kelelahan tenaga kerja yang mengalami kecemasan akibat kebisingan pada bagian weaving, riching, dan administrasi di PT.

Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

Gambar

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia
Gambar 1. Diagram Telinga
Gambar 3. Komponen utama dari hipotalamus hipofisis adrenal  (HPA) dan sympathetic adrenal meduler (SAM) sumbu
Tabel 3. Kategori IMT
+3

Referensi

Dokumen terkait

Rumah Perawatan Psiko-Neuro-Geriatri atau yang lebih dikenal dengan “Puri Saras” adalah klinik kesehatan yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan jiwa, mulai beroperasi sejak

Penerapan Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dalam penerapan berbagai ketentuan baru terutama

Jaringan Irigasi ( Sumber Dana DAK ) Terlayaninya kebutuhan irigasi melalui peningkatan, pengembangan, pemeliharaan, pelestarian jaringan irigasi dan optimalinya fungsi

menggunakan video kamera selama berlangsungnya unjuk rasa. 4) Mengedepankan peran negosiasi yang mengambil posisi di depan pasukan Dalmas awal untuk melakukan

Setiap orang yang memasukkan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi kendaraan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh employer attractiveness terhadap retensi karyawan tetap pada Direktorat Sumber Daya Manusia PT Pertamina