• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN BAGI HASIL DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN BAGI HASIL DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

14 A. Pengertian Paro (Kerjasama) Ternak

Paro secara sederhana diartikan sebagai setengah atau seseorang yang memberikan modal yang dimilikinya untuk dikembangkan oleh orang lain.1 Persamaan kata paro adalah kerjasama yang artinya suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan kerugiannya ditanggung secara bersama.2 Paro (kerjasama) dalam Islam merupakan suatu bentuk sikap tolong menolong secara sesama yang disuruh dalam agama Islam selama kerjasama itu tidak dalam bentuk dosa atau permusuhan. Kerjasama disini yang dimaksud adalah bentuk bagi hasil yaitu berusaha untuk mendapat keuntungan. Paro merupakan suatu kerjasama bagi hasil antara dua orang dimana satu pihak sebagai pemodal dan satu pihak lain sebagai pengelola dan pembagian keuntungan disepakati oleh dua pihak, dalam fiqh muamalah bagi hasil biasa dikenal dengan istilah Qίradh. Qίradh merupakan bentuk dari akad syirkah (perkongsian).

Paro biasanya digunakan dalam kerjasama ternak atau pertanian.3 Dalam fiqh muamalah kerjasama bagi hasil ternak disebut dengan syirkah hewan, syirkah hewan yang dimaksud adalah kerjasama antara pihak-pihak untuk menjaga hewan yang dijadikan alat transportasi (seperti kuda) atau penggemukan sapi/kerbau dan domba/kambing untuk dimanfaatkan dagingnya.4

Syirkah mudhârabah (Qίradh) merupakan kongsi antara dua syarik atau lebih untuk melakukan kegiatan bisnis, dimana syarik pertama sebagai shâhibul mâl atau penyedia modal, sedangkan syarik lainnya sebagai pengelola atau

1 Http//KBBI.Com Diakses Pada 2 Maret 2018.

2 Abdul Rahman Gazali, Dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana 2010), 127.

3 Paro Adalah Istilah Bagi Hasil Yang Digunakan Oleh Masyarakat Desa Limbangan Yaitu Bagi Hasil Setengah-Setengah.

4Maulana Hasanudin Dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana, 2012), 78.

(2)

mudhârib. Dalama syirkah mudhârabah pembagian keuntungan dibagi antara dua pihak sesuai kesepakatan.5

1. Akad Paro (Kerjasama) Dalam Islam

Paro (kerjasam bisnis) dalam Al-Qur‟an dijelaskan melalui kata tijarah, yang mencangkup dua makna yaitu, perniagaan secara umum yang mencangkup perniagaan antara manusia dengan Allah. Akad kerjasama merupakan akad antara satu pihak dengan pihak lain. Bentuk akad kerjasama dalam Islam diantaranya adalah: mudhârabah, musyarakah, muzara’ah dan mukhabarah. Keempat akad tersebut merupakan akad kerjasama yang menghasilkan bagi hasil antara dua pihak atau lebih. Bagi hail dalam terminologi asing (inggris) dikenal dengan istilah profit sharing dalam buku pintar kamus syariah diartikan dengan pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan prinsip bagi untung usaha diantara dua pihak dalam suatu bentuk usaha kerjasama yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya pengelolaan dana.6

2. Unsur-unsur paro (kerjasama)

Dalam kegiataan bermuamalah ada beberapa prinsip-prinsip sebagai acuan dan pedoman diantaranya yaitu: muamalah adalah berurusan duniawi, muamalah harus di dasarkan kepada persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak, dan tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain.7 Paro merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama. begitu juga dalam suatu kegiatan paro (kerjasama) harus terpenuhinya unsur-unsur yang merupakan rukun dari paro (kerjasama) yaitu: Aqad harus diucapkan oleh kedua pihak atau lebih untuk menunjukan kemauan mereka dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah kontrak, anggota yang bekerjasama harus sudah baliqh, berakal, sehat dan tidak dalam tekanan atau kehendak sendiri, modal harus

5 Maulana Hasanudin Dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, 47.

6 Ahmad Irfan Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2010), 670. Selanjutnya Ditulis: Sholihin Buku Pintar.

7 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah 2010), 3.

(3)

berupa uang tunai, atau juga berupa asset-aset perniagaan seperti barang inventori, properti, perlengkapan, dan lainnya.8

Sebagaimana yang telah di jelaskan bentuk kerjasama salah satunya adalah mudhârabah dan musyarakah, dalam penelitian ini peneliti hanya akan menjelaskan bentuk paro (kerjasama) dalam bagi hasil permodalan yaitu mudhârabah.

a. Pengertian Akad Mudhârabah 1) Pengertian Akad

Akad menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu ةبرلا berarti menghubungkan atau mengaitkan, atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu. sedangkan akad menurut istilah adalah hubungan atau keterkaitan antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara‟ dan akan menimbulkan implikasi hukum tertentu.9

Dasar hukum akad adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat al-maidah ayat 1













“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akadmu” (Qs.

Al-Maidah: 1).10

Maksud dari penuhi akad-akad tersebut bahwa setiap mu‟min yang melakukan suatu perjanjian harus melakukan kewajibannya dan tidak boleh menginkarinya.

Dalam kaidah fiqh, dikemukakan hukum asal dari transaksi adalah keridhoan dari kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.11 Suatu keridhoan disini merupakan prinsip dalam perjanjian, akad akan sah jika kedua pihak saling ridho.

8 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 213.

9 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 48.

10 Alqur‟an Surat Al-Maidah Ayat 1.

11 Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Cet Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2006), 130.

(4)

Dalam hukum kontrak telah ditetapkan beberapa asas yang berpengaruh kepada pihak yang berakad, diantaranya adalah:

a) Asas Ibahah

Asas ibahah merupakan asas umum dalam hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam agadium yaitu

“pada asasnya segalah sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya”. Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalh ibadah. Dalam hukum Islam untuk tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil syariah.12

b) Asas Kebebasan Berakad

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausula apa saja kedalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan bathil.13 c) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu terpenuhinya formalitas-formalitas tertentu.14

d) Asas Janji Itu Mengikat

Dalam Al-Qur‟an dan Hadits terdapat perintah agar memenuhi janji.

Dalam kaidah Usul Fiqh “perintah itu pada asasnya menunjukan wajib”. Hal ini menunjukan bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi.15

12 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2012), 14.

13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 15.

14 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 16

15 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 16

(5)

e) Asas Keseimbangan

Hukum Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima, maupun keseimbangan dalam memikul resiko.16

f) Asas Kemaslahatan

Asas kemaslahatan merupakan akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memebratkan.17 g) Asas Amanah

Asas amanh dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beriktikad baik dalam transaksi dengan pihak lain yang tidak dibenarkan oleh salah satu pihak mengeksploitasi.18

h) Asas Keadilan

Asas keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-Qur‟an yang menegaskan “berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa” (QS. Al-Maidah: 8).19

Suatu akad akan dikatan sah apabila memenuhi rukun dan syarat akad yaitu:

(1) Rukun-Rukun Akad

 Aqid (orang yang berakad)

 Ma‟qud alaih (benda yang diakadkan)

 Maudhu‟ al-„aqd (tujuan akad)

 Shighat al-„aqd (ijâb qâbúl).20

16 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 17

17 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 17

18 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 18.

19 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, 18.

20 Abdul Rahman Ghazaly, Dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 52.

(6)

(2) Syarat-Syarat Akad

 Orang yang berakad harus cakap tindak (ahli)

 Yang dijadikan objek akad harus menerima hukumnya

 Akad yang di izinkan oleh syara‟

 Akad itu tidak dilarang oleh nash syara‟

 Akad bisa memberikan faidah

 Objek akad dapat ditransaksikan

 Ijab dan qabul meski bersambung.21 2) Pengertian Mudhârabah

Mudhârabah berasal dari kata dhard, memukul atau berjalan.

Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakan kakinya dalam menjalankan usaha. Orang irak menyebutnya dengan istilah mudhârabah (

ُةَبَر اَضُمْلَا

) sebab

ِنْيَدِق اَعْللا َنِم ٌّلُك حْبِّرلا ِمْهَسِب ُبِرْضَي

(setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba), atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut, perjalan tersebut dinamakan

ِرَفَّس َفَ اًبْرَض

. 22

Mudhârabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shâhibul mâl) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua (mudhârib) bertinda sebagai pengelola, dan kuntungan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan dua pihak di awal akad.23

Pengertian mudhârabah menurut empat madzhab yaitu:

a) Madzhab Hanafi mendefinisikan mudhârabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan pekerja (usaha) dari pihak yang lain.

21 Abdul Rahman Ghazaly, Dkk, Fiqh Muamalat, 55.

22 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 135.

23 Dawan Nasional Syariah MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta: Erlangga, 2014), 76.

(7)

b) Madzhab Maliki mendefinisikan mudhârabah adalah penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.

c) Madzhab Syafi`i mendefinisikan mudhârabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua.

d) Madzhab Hambali mendefinisikan mudhârabah adalah penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.24

Pengertian mudhârabah menurut istilah akan di kemukakan oleh beberapa pendapat para Fuqaha, diantyaranya:

Menurut Zuhaily mengemukakan akad mudhârabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shâhibul mâl) yang menyediakan seluruh modal, dan pihak kedua sebagai pengelola usaha (mudhârib). Keuntungan yang didapatkan dari akad mudhârabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan biasanya dalam bentuk presentase (nisbah).

Sayid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud akad mudhârabah adalah akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.25

Dalam hukum positif dijelaskan pada pasal 20 ayat (4) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bahwa akad mudhârabah adalah kerjasama

24 Sohari Sahrani, Fikih Muamalah, (Bogor: Galia Indonesia, 2012), 190.

25 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 141.

(8)

antara pemilik dana dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.26

3) Pengertian Akad Mudhârabah

Secara teknis, akad mudhârabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shâhibul mâl) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola (mudhârib). Keuntungan dalam mudhârabah dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shâhibul mâl sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudhârib. Mudhârib akan menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudhârib, maka mudhârib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.27

Berdasarkn pemaparan diatas dapat dipahami bahwa akad mudhârabah adalah bentuk kerjasama antara dua orang dimana satu pihak sebagai penyedia modal dan satu pihak lainya sebagai pengelola, apabila terjadi kerugian maka kerugian tersebut ditanggung oleh shâhibul mâl selama kerugian tersebut bukan karena kelalaian pengelola, dan apabila kerugian disebabkan oleh kelalaian pengelola maka kerugian ditanggung oleh pengelola, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan diawal akad.

b. Dasar Hukum Mudhârabah

Mudhârabah merupakan suatu bentuk kontrak yang lahir sejak zaman Rasulullah Saw sejak zaman Jahiliyah/sebelum Islam. Dan Islam menerimanya dalam bentuk bagi hasil dan investasi. Dalam bangsa Arab ada tiga istilah yang digunakan untuk bentuk organisasi bisnis ini: yaitu Qίrad, muqabarah, dan mudhârabah.

26 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Bandung: Fokusmedia, 2008), 14.

27 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 224.

(9)

Ketetapan hukum Islam berkaitan dengan muamalah sebagian merupakan penetapan dan penegasan kembali atas praktik-praktik yang telah berlangsung pada masa sebelum. Hal itu disebabkan praktik muamalah tersebut selaras dengan prinsip dasar ajaran agama Islam. Selain itu dalam praktik muamalah terkandung manfaat yang besar. Salah satu bentuk muamalah tersebut adalah Mudarabah.28

Dasar kebolehan melakukan praktik mudhârabah diantaranya adalah 1) Al-Qur‟an

Secara eksplisit, Al-Qur‟an tidak menyebut Mudhabah sebagai salah satu bentuk muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Secara umum, beberapa ayat menyiratkan kebolehannya dan para ulama menjadikan beberapa ayat tersebut sebagai dasar hukum Mudhârabah, diantaranya Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ma‟idah ayat 1:

















































“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Ma‟idah : 1).29

Dari ayat di atas dapat dijelaskan bahwa Allah telah menyuruh bagi orang-orang yang beriman untuk memenuhi semua akad baik akad kamu dengan Allah yang terjalin dalam pengakuan kamu dengan beriman kepada Nabi-Nya ataupun melalui nalar yang dianugerahi-Nya kepada kamu, begitu

28 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, Jilid IV, 1996), 382.

29 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemah, 156.

(10)

pula perjanjian yang terjalin antara kamu dan sesama manusia, bahkan perjanjian antara kamu dan diri kamu sendiri, bahkan semua perjanjian selama tidak mengandung pengharaman yang halal dan pengahalalan yang haram. Kemudian Allah menghalalkan binatang ternak baik unta, sapi, kambing dan hewan, unggas yang memakan tumbuhan-tumbuhan.

Allah juga mengharamkan bagi orang yang sedang berihram berburu baik menggunakan seperti tali, jala, tombak, panah dan lain-lain, atau menggunakan binatang terlatih. Karena kota Mekkah merupakan kota yang dikehendaki-Nya menjadi kota yang aman dan tentram, baik bagi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.30

Surat Al-Muzzammil ayat 20:



















....

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS. Al-Muzzammil:20).31

Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa sebagai manusia yang hidup dimana, maka kiranya senantiasa mencari rizki (karunia Allah) dengan bermuamalah, salah satunya yaitu dengan kerjasama antara manusia.

2) Hadits

Asal hukum mudhârabah diambil dari apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw, ketika beliau mengikat akad mudhârabah dengan Siti Khadijah (sebelum terikat dalam pernikahan) dengan hartanya yang diperdagangkan di Negri Syam, dan para sahabat Nabi telah sepakat menetapkan cara perdagangan seperti ini.

Dari shuhaibah Rasulullah Saw bersabda :

َلَث ِف ْي ث َّن ِه ْا َ بل َ ر َك ُة ْا : َ بل ْي ُع ِا َا َل َج َو ْا ل َقُلم َ َض را ُة َو َخ َل ُط ْا ُل ِّبّ

َّشلا ِب ِْي ِع ِل ْل َ ب ْي ِت َو َل ِل ْل َ ب ْي ع

30 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah “ Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an”, (Jakarta: Lentera Hati, Vol 3, 2002), 8-11.

31 Al-Qur‟an Dan Terjemah, 575.

(11)

“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).32

Kerjasama mudhârabah sudah ada sejak zaman Nabi. Kerjasama ini sangat membantu bagi orang yang mempunyai modal sehingga ia terhindar dari sistem riba. Para ulama fiqh dalam mencari rujukan bagi keabsahan mudhârabah ini, secara umum mengacu pada aspek latar belakang sosio- historisnya. Mereka menganilis wacana-wacana kegiatan muamalah Nabi Saw dan para sahabatnya yang terjadi pada waktu itu.

Dari hadits lain diriwayatkan oleh Thabrani:

َع ُنْب ُسَّبَعلْا َدِّيَس َناَك ,اًرَْبَ ِوِب َكُلْسَيَل ْنَأ ِوِبِحَص ىَلَع َطَرَ تْشِا ةَبَراَضُم َلاَلمْا َعَفَداَذ ِا ِبِّلَط ُ لمْاُدْب

ُلُسَر.ُوُطْرَش َغَلَ بَ ف ,َنِمَض َكِلَذ َلَعَ ف , ةَبْطَر دِبَك َتاَذ ًةَّبَد ِوِب َىَِتَْشَيَلَو اًيِداَو ِوِب َلِزْنَ يَلَو لله ا ىَّلص لله

َوهْيَلَع )سابع نب نع طسولآا فَ نيا بّطلا هاور( َهَرَجَأَف َمَّلَس .

“Diriwayatkan dari Abbas bahwa Abbas bin Abdul Mutholib, jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudhârabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya” (HR. Thabrani).33

3) Ijma‟

Zuhaily mengemukakan kesepakatan ulama tentang bolehnya mudhârabah. Diriwayatkan sejumlah sahabat melakukan mudhârabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak ada seorangpun dari mereka menyanggah atau menolak. Jika praktik sahabat

32 Iilfi Nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, (Malang: UIN Maliki Pres, 2012), 141-142.

33 Dewan Nasional Syariah MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, 87

(12)

dalam suatu praktik amalan tertentu yang disaksikan sahabat yang lain tidak ada satupun yang menyanggah maka hal itu merupakan ijma‟.34

4) Qiyas

Mudhârabah diqiyaskan sebagai bentuk interaksi antara sesama manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, kebutuhan akan kerjasama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan lain.

Kenyataan menunjukan berdasarkan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada yang kaya. Disatu sisi, banyak orang kaya yang tidak bisa mengusahakan hartanya. Disisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudhârabah ditunjukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.35

c. Rukun dan Syarat Mudhârabah

Mudhârabah sebagai kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum.

Akad mudhârabah yang sah harus memenuhi rukun dan syaratnya.

Ulama Hanafiyah mengemukakan rukun mudhârabah yaitu ijâb dan qâbúl yang diucapkan oleh dua orang yang berakad, tidak disyaratkan lafal tertentu. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun mudhârabah ada lima yaitu ijâb qâbúl, orang yang berakad yakni pemilik modal (shâhibul mâl) dan pelaku usaha atau pengelola modal (mudhârib), modal (ra’sul), kerja dan keuntungan (al-ribh).36

34 Dewan Nasional Syariah MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, 80.

35 Rahmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 226.

36 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 208.

(13)

1) Rukun Mudhârabah Menurut pasal 232 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ada tiga, yaitu sebagai berikut:

a) Shάhib al-maal/pemilik modal.

b) Mudhârib/pelaku usaha.

c) Akad.37

Menurut Sayid Sabiq, rukun mudhârabah adalah ijâb dan qâbúl yang keluar dari orang yang memiliki keahlian.38 Dalam akad mudhârabah Penggunaan modal pada dasarnya untuk perdagangan, namun pada praktiknya tidak selalu digunakan untuk bidang perdagangan saja, akan tetapi juga ada yang digunakan untuk usaha dalam bidang jasa.

2) Mudhârabah yang sah harus memenuhi syarat, syarat yang melekat pada rukunya. Syarat-syarat tersebt adalah sebagai berikut:

a) Ijâb Qâbúl

Menurut Sayid Syabiq, mudhârabah itu terjadi apabila terdapat ijâb qâbúl yang dilakukan oleh pihak yang memiliki keahlian, yaitu antara pihak pemberi modal dan pihak yang akan menjalankan usaha.

Tidak ada suatu ketentuan tentang apa lafaz yang harus diucapkan dalam ijâb qâbúl itu. Yang penting dalam pelaksanaan ijâb qâbúl bukanlah bentuk lafaz, tetapi adanya bentuk persetujuan kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama dalam bentuk mudhârabah.

Ijâb qâbúl dinilai tidak ada bila sekiranya pihak-pihak atau salah satu pihak yang melakukan ijâb qâbúl belum mukallaf atau ijâb qâbúl itu dilakukan oleh orang lain yang bukan dikuasakan untuk itu oleh salah satu pihak yang melakukan mudhârabah. Karena akad ijâb qâbúl itu mencerminkan kerelaan untuk bekerjasama, maka tidak boleh pula salah satu pihak pun dari orang yang melakukan akad itu dalam keadaan terpaksa.39

37 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 50.

38 Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah “Fiqh Muamalah”, (Jakarta: Kencana, 2012), 197.

39 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakrta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 14.

(14)

b) Syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad.

Kedua belah pihak yang berakad, yakni pemilik modal dan pengelola harus cakap bertindak atau harus cakap hukum. Berakal dan baligh, akad bisa dilakukan secara lisan atau verbal, secara tertulis maupun ditandatangani. Dalam akad mudhârabah kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan harus muslim.

c) Modala ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudhârib untuk tujuan usaha menurut DSN No:07/DSN-MUI/IV/2000 syarat-syarat yang berkaitan dengan modal sebagi berikut:

(1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

(2) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal berbentuk aset atau barang maka harus diketahui nilainya pada awal akad.

(3) Modal tidak boleh berupa piutang dan harus dibayarkan kepada mudhârib baik secara bertahap atau tidak, sesuai dengan kesepakatan awal akad.40

(4) Modal harus berupa uang cash, bukan piutang.

(5) Modal harus ada pada saat dilaksanakanya akad mudhârabah.

(6) Modal harus diserahkan kepada pihak pengelola modal atau pengelola usaha (mudhârib), bila modal tidak diserahkan maka akad mudhârabah rusak.41

d) Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan sebagai berikut:

(1) Keuntungan adalah tujuan akhir mudhârabah. Jumlah keuntungan harus jelas, karena dalam mudhârabah yang menjadi ma’qud alaih atau objek akad adalah laba atau

40 Dewan Nasional Syariah MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, 82.

41 Imam Mustafa, Fiqih Mu’amalah Kontemporel, (Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2016), 156.

(15)

keuntungan, bila keuntungan atau pembagiannya tidak jelas maka akad dianggap rusak.42

(2) Bagian keuntungan proposional bagi setiap pihak harus diketahu dan dinyatakan pada awal akad, dan keuntungan mudhârabah harus berbentuk prosentase nisbah keuntungan sesuai kesepakatan.

(3) Penyediaan dana menanggung semua kerugian dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun selama kerugian tersebut bukan karena kelalaian dari pengelola sendiri.43

e) Pekerjaan/usaha perniagaan adalah kontribusi mudhârib dalam kontrak mudhârabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang disediakan oleh shâhibul mâl, syarat yang harus dipenuhi adalah usaha perniagaan seperti hak eksklusif mudhârib tanpa adanya intervensi dari pihak shâhibul mâl, pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha mudhârib sedemikian rupa, sehingga dapat mencegahnya dari mencapai tujuan kontrak mudhârabah, yakni keuntungan. Menurut Zuhaili Mudhârib tidak boleh menyalahi aturan syariat dalam usaha perniagaanya yang berhubungan dengan kontrak mudhârabah, serta ia harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan shâhibul mâl, sepanjang syarat itu tidak kontrakdiktif dengan apa yang ada dalam kontrak mudhârabah.44

3) Menurut pasal 187 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, syarat mudhârabah, yaitu sebagai berikut:

a) Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan, atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha b) Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakti.

42 Imam Mustafa, Fiqih Mu’amalah Kontemporel, 157.

43 Dewan Nasional Syariah MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, 82.

44 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 229.

(16)

c) Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad.45

d. Macam-Macam dan Hukum Mudhârabah 1) Macam-Macam Mudhârabah

Secara umum mudhârabah di bagi menjadi dua macam yaitu mudhârabah mutlak dan mudhârabah muqayyad, berikut penjelasannya:

a) Mudhârabah muthlaqah

Mudhârabah muthlaqah adalah akad mudhârabah di mana pemilik modal memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengeloalaan usahanya. Dalam mudhârabah muthlaqah pemilik dana memiliki kewenanagan untuk melakukan apasaja dalam pelaksanaan bisnisnya untuk mencapai keberhasilan atau keuntungan. Jenis mudhârabah ini tidak ditentukan masa berlakunya, di Daerah mana usaha itu akan dilakukan, hanya saja kebebasan ini tidak berlaku untuk modal yang digunakan. Modal yang ditanamkan tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek yang dilarang dalam Islam seperti perdagangan minuman keras, peternakan babi, atau yang berkaitan dengan riba dan lainnya. Namun apabila pengelola melakukan kelalaian atau kecurangan, maka pengelola harus bertanggung jawab atas semua kerugian.46

b) Mudhârabah muqayyad

Adapun yang dimaksud dengan mudhârabah muqayyad adalah suatu akad mudhârabah dimana pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan-batasan yang berkaitan dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha, barang yang menjadi objek usaha, waktu, dan dari siapa barang tersebut dibeli. Pembatasan dengan waktu dan orang yang menjadi sumber pembelian barang dibolehkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad, sedangkan menurut Malik dan Syafi‟i tidak dibolehkan.

45 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 50.

46 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, 211.

(17)

Demikian pula menyandarkan akad kepada waktu yang akan datang dibolehkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad, dan tidak dibolehkan menurut Imam Malik dan Syafi‟i.47

2) Hukum mudhârabah a) Mudhârabah Shahih

Mudhârabah yang shahih adalah suatu akad mudhârabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Hukum mudhârabah shahih yang tergolong shahih cukup banyak, antara lain tanggung jawab pengusaha. Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada ditangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas izin pemiliknya. Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal. Jika modal Mudhârabah rusak atau rugi karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak atau rugi, maka pengelola memiliki hak untuk mendapatkan upah.48

b) Mudhârabah Fasid

Menurut Habafiyah, Syafi‟iah, dan Hanabillah apabila mudhârabah fasid karena syarat-syarat yang tidak selaras dengan tujuan mudhârabah maka mudhârib tidak berhak melakukan perbuatan sebagaimana yang dikehendaki oleh mudhârabah yang shahih, ia tidak berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu, melainkan ia hanya memperoleh atas hasil pekerjaanya, baik kegiatan mudhârabah itu mendapat keuntungan atau tidak.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudhârib dalam semua hukum mudhârabah yang fasid dikembalikan kepada Qίradh yang sepadan (Qίradh mitsl) dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lain, dan mudhârib berhak atas upah yang sepadan dengan perbuatan yang dilakukan. Apabila diperoleh keuntungan maka mudhârib berhak atas

47 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2013), 371-372.

48 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 380.

(18)

keuntungannya itu sendiri, bukan dalam perjanjian dengan pemilik modal, sehingga apabila harta rusak mudhârib tidak memperoleh apa- apa. Demikian pula apabila keuntungan tidak ada maka ia juga tidak memperoleh apa-apa.49

e. Nisbah Bagi Hasil Mudhârabah

Angka nisbah bagi hasil merupakan angka hasil negosiasi antara shâhibul mâl dengan mudhârib, dalam kerjasama mudhârabah penentuan nisbah bagi hasil antara pemodal dengan pengelola harus disepakati diawal perjanjian. Pada proporsi tertentu dari keuntungan nyata yang menjadi pembagian masing-masing. Besarnya nisbah bagi hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam syariah, tetapi tergantung kesepakatan mereka. nisbah bagi hasil bisa dibagi rata 50%:50%, tetapi bisa juga 30%:70%, 60%:40%, atau proporsi lain yang disepakati.

Mereka juga dapat membagi keuntungan dengan proporsi berbeda untuk mudhârib dan shâhibul mâl. Namun demikian, mereka tidak boleh mengalokasikan keuntungan secara lumsum untuk siapa saja dan mereka juga tidak boleh mengalokasikan keuntungan dengan tingkat persentase tertentu dari modal. Misalnya, jika modal 100 juta, mereka tidak boleh sepakat terhadap syarat bahwa mudhârib akan mendapatkan 10 juta dari keuntungan, atau terhadap syarat bahwa 20% dari modal harus menjadi bagian shâhibul mâl. Namun mereka boleh sepakat bahwa 40% dari keuntungan riil menjadi bagian shâhibul mâl dan 60% menjadi bagian mudhârib atau sebaliknya.50 f. Hal yang Membatalkan Akad Mudhârabah

Adapun hal-hal yang membatalkan mudhârabah adalah sebagai berikut:

1) Pembatalan, Larangan Tasarruf, Dan Pemecatan

Mudhârabah dapat batal karena dibatalkan oleh kedua belah pihak, dihentikan kegiatannya, atau diperhentikan oleh pemilik modal. Hal ini dengan syarat:

49 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 378-379.

50 Ascara, Akad Produk Bank Syariah, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persaja, 2011), 62-64.

(19)

a) Pihak yang bersangkutan (mudhârib) mengetahui pembatalan dan penghentian kegiatan tersebut.

b) Pada saat pembatalan dan penghentian kegiatan usaha atau pemecatan tersebut, modal harus dalam keadaan tunai sehingga jelas atau tidak adanya keuntungan yang menjadi milik bersama antara pemilik modal dan mudhârib

2) Meninggalnya Salah Satu Pihak

Apabila salah satu pihak baik pemilik modal maupun mudhârib meninggal dunia, maka menurut Jumhur Ulama, mudhârabah menjadi batal. Hal tersebut karena dalam mudhârabah terkandung unsur wakalah, dan wakalah batal karena meninggalnya orang mewakilkan atau wakil.

Menurut Malikiyah, mudhârabah tidak batal karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Dalam hal ini apabila yang meninggal itu mudhârib maka ahli warisnya dapat menggantikan untuk melaksanakan kegiatan usahanya, jika mereka itu orang yang dapat dipercaya.

3) Salah Satu Pihak Terserang Penyakit Gila 4) Pemilik Modal Murtad

Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam), lalu ia meninggal, atau dihukum mati karena riddah, atau ia berpindah ke negri bukan Islam maka mudhârabah menjadi batal, semenjak hari ia keluar dari Islam, menurut Abu Hanifah. Akan tetapi apabila mudhârib yang murtad maka akad mudhârabah tetap berlaku karena ia memiliki kecakapan.

5) Harta Mudhârabah Rusak Ditangan Mudhârib

6) Apabila harta rusak atau hilang ditangan mudhârib sebelum ia membeli sesuatu maka mudaharabah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan sudah jelas modal telah diterima oleh mudharaib untuk kepentingan akad mudhârabah. Dengan demikian, akad mudhârabah menjadi batal karena modalnya rusak atau hilang.51

51 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 388-390.

(20)

g. Hak dan Kewajiban Shâhibul mâl dan Mudhârib 1) Hak Dan Kewajiban Shâhibul mâl

Sebagai sebuah akad kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses bersatu dalam tujuan tentunya dalam melakukan akad tersebut ada batasan-batasan yang mengatur dan melindungi salah satu pihak yang bersangkutan. Dalam akad muḍārabah pihak-pihak yang melakukan akad akan mempunyai hak dan kewajibannya dalam melakukan suatu perjanjian kerjasama.

Pada hakikatnya kewajiban utama dari shâhibul mâl ialah menyerahkan modal kepada mudharaib. Apabila hal itu tidak dilakukan maka perjanjian mudhârabah menjadi tidak sah. Shâhibul mâl berkewajiaban untuk menyediakan dana yang di percayakan kepada mudhârib untuk tujuan membiayai suatu proyek atau suatu kegiatan usaha.

Shâhibul mâl tidak diperkenankan untuk mengelola proyek atau kegiatan usaha yang dibiayai olehnya. Pengelolaan proyek atau kegiatan usaha itu sepenuhnya dilakukan oleh mudhârib. Paling jauh shâhibul mâl hanya boleh memberikan saran-saran tertentu kepada mudhârib dalam menjalankan atau mengelola proyek atau usaha tertentu. Dengan demikian shâhibul mâl hanya bersatu sebagai sleeping partner. Shâhibul mâl berhak untuk melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa mudhârib menaati syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian mudhârabah.

Shâhibul mâl berhak untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan perjanjian awal jika dalam usahanya mendapatkan keuntungan, dan shâhibul mâl berhak mendapatkan kembali investasinya dari hasil likuidasi usaha mudhârabah tersebut apabila usaha mudhârabah itu telah diselesaikan oleh mudhârib dan jumlah hasil likuidasi usaha mudhârabah itu cukup untuk pengembalian dana awal yang diberikan oleh shâhibul mâl kepada mudhârabah.52

52 Fathurahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Dilembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 180.

(21)

2) Hak Dan kewajiban Mudhârib (a) Hak Mudhârib

Pengelola memiliki hak beberapa hak dalam akad mudhârabah, yakni nafkah (biaya hidup) dan keuntungan yang disepakati dalam akad.

Ulama berbeda pendapat tentang hak Mudhârib atas aset mudhârabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika di rumah maupun dalam perjalanan.

(1) Menurut Imam Syafi‟i, mudhârib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya. Karena mudhârib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudhârabah.

(2) Menurut mayoritas ulama termasuk Abu Hanfiyah, Imam Malik, dan kalangan Zaidiyah, mudhârib berhak mendapatkan nafkah selama berjalankan ushanya. Termasuk tempat tinggal, makan dan keperluan lainnya. Hanya saja ia tidak berhak atas nafkah tersebut saat dirumah atau sedang tidak menjalankan usaha.

Biaya nafkah tersebut bias diambil dari modal maupun dari keuntungan.53

(3) Mudhârib berhak mendapatkan keuntungan dari bisnis yang dijalankan, namun jika dalam bisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan mudhârib tidak berhak mendapatkan apapun. Keuntungan akan dibagikan setelah mudhârib menyerahkan asset yang diserahkan shâhibul mâl secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan.54

(b) Kewajiban Mudhârib

Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelola diantaranya yaitu:

53 Imam Mustafa, Fiqih Mu’amalah Kontemporel, 159.

54 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 234-235.

(22)

(1) Apabila dalam mudhârabah muthlaqah mudhârib bebas mengelola modal yang diberikan oleh shâhibul mâl untuk tujuan usaha apasaja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan, dan jika mudhârib melakukan kelalaian atau kecurangan yang menimbulkan kerugian, maka mudhârib harus bertanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun jika kerugian itu disebabkan dari resiko bisnis maka kerugian tidak menjadi beban mudhârib.

(2) Apabila mudhârabah tersebut merupakan mudhârabah muqayyadah (mudhârabah yang terikat) mudhârib tidak bebas menggunakan modal tersebut menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh shâhibul mâl.55

(3) Mudhârib tidak boleh mengambil atau berutang dengan menggunakan uang modal untuk keperluan lain tanpa seizin pemilik modal. Dan muharaib tidak boleh mengalihkan modal kepada orang lain dengan akad mudhârabah, atau dengan kata lain mengoper modal untuk akad mudhârabah dan yang paling terpenting mudhârib harus melaksanakan usahanya sebagaimana mestinya dan sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati.56 3) Hikmah Mudhârabah

Hikmah disyariatkannya mudhârabah adalah mempermudah manusia agar bisa kerjasama untuk mengembangkan modal secara suka sama suka sesuai dengan ketentuanm syariat. Tidak ada pihak yang dizalimi dan dijalankan secara jujur dan bertanggung jawab. Pihak yang punya modal dapat membantu pihak lain yang mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengembangkan usaha. Artinya manusia manusia membutukan akad mudhârabah sebagai pegangan untuk menjalankan usaha yang halal. Al-

55 Fathurahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Dilembaga Keuangan Syariah, 178-179.

56 Imam Mustafa, Fiqih Mu’amalah Kontemporel, 158.

(23)

Kasani mengatakan: “manusia membutuhkan akad mudhârabah, karena terkadang ada orang yang mempunyai modal, akan tetapi tidak mempunyai keterampilan berdagang, sementara ada yang mempunyai keterampilan berdagang tidak mempunyai modal. Maka dalam mudhârabah keduanya bias bersinergi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Allah tidak mensyariatkan akad (mudhârabah) kecuali untuk menciptakan kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan hambna-Nya”. 57

Dengan sistem mudhârabah pemilik modal mendapat keuntungan dari modalnya, sedangkan tenaga kerja (skill) mendapat upah dari pekerjaan itu, bisa juga bahwa tenaga kerja tidak mendapat upah tetapi mendapatkan sebagian keuntungan dari hasil usahanya itu. Persentase juga ditetapkan atas kesepakatan bersama. Sewaktu menandatangani surat perjanjian kerjasama.

Kontrak mudhârabah dengan bentuk kedua ini sebenarnya memberi kesan yang amat baik bagi tenaga kerja, karena mereka merasa puas mendapatkan keuntungan dari kerjasama itu. Hal ini merupakan motivasi yang amat kuat bagi mereka sehingga bekerja lebih giat untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dan dengan sendirinya dan mereka akan mendapatkan bagian yang banyak pula. Para tenaga kerja (skill) merasa memiliki usaha yang mereka jalankan itu.

B. Paro (Kerjasama) Ternak Kambing 1. Jenis Ternak Kambing

Peternakan kambing di Indonesia merupakan peternakan rakyat, serupa degan peternakan ayam kampung, kedua ternak ini dijumpai hampir setiap petani di Pulau Jawa.58 Tujuan ternak kambing adalah untuk menghasil kan keuntungan. Diantaranya adalah menghasilkan daging, mendapatkan uang

57 Imam Mustafa, Fiqih Mu’amalah Kontemporel, 154.

58 Mangku Sitepoe, Cara Memelihara Domba Dan Kambing Organik, (Jakarta: PT Indek, 2012), 1.

(24)

sebagai tabungan, untuk upacara ritual, menghasilkan susu, menghasilkan bulu domba,pupuk, dan bisa menjadi hewan kesayangan.59

Kambing merupakan jenis ternak yang sudah lama dibudidayakan.

Memelihara kambing tidak sulit karena pakannya cukup beragam.

Jenis kambing yang biasa di ternak diantaranya adalah :

a. Kambing kacang merupakan jenis kambing yang sangat kuat itu sebabnya bisa bertahan lama di Negara Indonesia.

b. Kambing etawa merupakn kambing import dari India di sebut dengan kambing jumnapara, pada dasarnya kambing etawa berpotensi besar untuk dijadikan salah satu pilar ketahnan pangan dalam penggunaan protein hewani dari susu

c. Kambing kampung merupakan kambing yang memiliki daya tahan tubuh kuat sehingga bisa terhindar dari penyakit, dalam perkembangannya, kambing kampung ini bisa melahirkan 2 ekor cempe, dewasa selama 7 bulan, dan bagi kambing muda bisa beranak ketika umur 15 bulan.60

2. Pemeliharaan Kambing

Pakan kambing yang digunakan cukup mudah didapatkan, dan berada disekitar lingkungan warga, pakan yang biasa digunakan, yaitu diberi makanan hijauan seperti rumput liar, daun ubi-ubian dan daun kacang tanah dan lain-lain. Cara pemberian pakan yang dilakukan warga di gunakan dua nmetode yaitu;

a. Digembala

Metode ini dilakukan dengan melepas ternak di padang rumput untuk mencari makan sendiri metode ini dilakukan pada saat pagi dan di giring kembali kekandang yang telah disediakan.

59 Mangku Sitepoe, Cara Memelihara Domba Dan Kambing Organik, 3-6.

60 Mangku Sitepoe, Cara Memelihara Domba Dan Kambing Organik, 15-17.

(25)

b. Dikandang

Metode ini merupakan pemeliharaan kambing dengan cara dikandang khusus tidak pernah digembalakan. Metode ini banyak dilakukan oleh peternak. Cara memberi makan kambing dengan dikandang yaitu pada pagi, Siang dan malam hari.61

3. Tradisi Bagi Hasil Ternak

Di kalangan masyarakat pedesaan tidak saja berlaku adat perjanjian bagi hasil tanah pertanian, tetapi juga berlaku perjanjian bagi hasil pemeliharaan ternak. Suatu perjanjian bagi hasil ternak, adalah persetujuan yang diadakan antara pemilik ternak dengan pengelola hewan ternak dengan sistem bagi hasil. kerjasama paro ternak merupakan bagi hasil yang biasa dilakukan oleh masyarakat, sitem paro ternak secara umum sama dengan sistem gaduh dalam istilah adat atau bagi hasil. Sistem paro ternak adalah suatu perjanjian kerjasama antara pemilik modal dan pengelola dengan upah khusus, yang berlaku dilingkungan masyarakat itu sendiri.

Istilah kerjasama bagi hasil di Indonesia tidak sama, setiap daerah memiliki julukan yang berbeda-beda seperti:

1) Daerah Kalimantan

a) Banjar memakai istilah “bahakaarun”.

b) Lawangan memakai istilah “sabahandi”.

c) Ngaju memakai istilah “bahandi”.

2) Daerah Sumatra

a) Sumatera selatan untuk jambi memakai istilah “bagi dua”, “bagi tiga”.

b) Palembang menggunakn istilah “separoan”.

c) Tapanuli selatan memakai istilah “marbolam”

61Redaksi Agromedia, Petunjuk Praktis Penggemukan Kambing, (Jakarta: PT Agromedia Pustaka, 2010), 116-117.

(26)

d) Aceh memakai istilah “madu laba” (1:1), “bagi eut”, atau “muwne peut”, bagi thee, “bagi limong”, dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/2, 2/3, 1/5

3) Daerah jawa

a) Jawa Timur dan Jawa Tengah banyak memakai istilah “maro” (1:2),

“mertelu” (1:3), “maro lima” (2:3)

b) Jawa barat memakai istilah “nengah”, “mirtelu”, dan c) Madura memakai istilah “paro”.62

62 Maria Magdalena Retno Hapsari, Pelaksanaan Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian Di Kecamatan Sawangan Magelang, (Tesis S-2, Universitas Diponegoro Semarang, 2008), 16-17.

Referensi

Dokumen terkait

TIPE | MERK JUMLAH 1 3 4 NAMA ALAT 2 25 Dudukan layar 26 Dudukan lampu 27 Penumpu papanserbaguna 28 Filter warna merah 29 Filter warna hijau 30 Filter warna biru 31 Filter

Berdasarkan pada uraian yang telah diberikan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa estimator linier dalam bentuk umum untuk model linier pada kasus homoskedastik dan

155 Dengan tidak meninggalkan pantangan-pantangan yang sejak dulu sudah ada, maka salah satu permasalahan yang dihadapi oleh etnis Dayak Ot Danum di Desa Tumbang

Sistem pencernaan manusia dalam prosesnya akan melibatkan dua komponen penting yaitu saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Saluran pencernaan adalah organ

Dalam kasus closed globe eye injury, zona I meliputi luka yang hanya melibatkan konjungtiva , sklera atau kornea , cedera zona II meliputi kerusakan pada bilik mata

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan untuk mampu menerapkan Keahlian dalam Manajemen.. Mutu

Berdasarkan hasil pemilihan pengklasifikasi yang dilakukan, jenis pohon keputusan yang akan digunakan adalah pohon keputusan C4.5. Pohon keputusan C4.5 tersebut akan

Bedasarkan penilaian tingkat kesehatan yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia PT BPR Dana Utama berasa pada kriteria “Tidak Sehat” dan rasio NPL yang