• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stunting “Anak Kadorih”: Yang Terabaikan. Etnik Dayak Ot Danum - Kabupaten Gunung Mas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Stunting “Anak Kadorih”: Yang Terabaikan. Etnik Dayak Ot Danum - Kabupaten Gunung Mas"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Stunting “Anak Kadorih”:

Yang Terabaikan

Etnik Dayak Ot Danum - Kabupaten Gunung Mas

Haruman S. Nazarwin S. Tri Juni Angkasawati

Penerbit

(3)

Haruman S, dkk

Stunting “Anak Kadorih”:

Yang Terabaikan

Etnik Dayak Ot Danum - Kabupaten Gunung Mas

Diterbitkan Oleh

UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97

Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang

Gedung C-15Surabaya

Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598

Email: unipress@unesa.ac.id unipressunesa@yahoo.com Bekerja sama dengan:

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749

xiv, 168 hal., Illus, 15.5 x 23

ISBN : 978-979-028-949-9 copyright © 2016, Unesa University Press

All right reserved

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit

(4)

iii

SUSUNAN TIM

Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH)

Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc

Ketua Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Anggota Tim Teknis : Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes

Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes

drg. Made Asri Budisuari, M.Kes

dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH

drs. Kasno Dihardjo

dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK

Sekretariat : Mardiyah, SE. MM

(5)

Koordinator Wilayah:

1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala

2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan

3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan

4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru

5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan

6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat

7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng

9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke

10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu

Raijua, Kab. Tolikara

12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna

(6)

v

KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk

mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan

masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia.

Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

(7)

Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI

(8)

vii

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL & BAGAN ... xi

DAFTAR GAMBAR... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan penelitian ... 7

1.3. Metode penelitian ... 7

1.3.1.Lokasi penelitian ... 7

1.3.2.enis dan sumber informan ... 8

1.3.3.Cara pengumpulan data ... 8

1.3.4.Keterbatasan Penelitian ... 9

1.3.5.Cara Analisis Data ... 10

BAB II SELAYANG PANDANG TUMBANG ANOI ... 11

2.1. Kalimantan dan Dayak ... 11

2.2. Tumbang Anoi: Salah satu tonggak sejarah etnis Dayak ... 13

2.3. Geografi dan Kependudukan ... 18

2.3.1. Geografi ... 18

2.3.2. Sebuah nama “Tumbang Anoi” ... 24

2.4. Bahasa ... 34

2.4.1Bahasa Dayak Kahayan (Ngaju) ... 34

2.4.2Bahasa Kadorih. ... 35 2.4.3Bahasa Indonesia. ... 35 2.5. Kesenian ... 36 2.5.1.Manasai ... 36 2.5.2.Karungut ... 37 2.6. Religi ... 38

2.6.1 Praktek keagamaan dan kepercayaan di Desa Tumbang Anoi ... 39

2.6.1.1 Basarah ... 39

(9)

2.6.2 Aktivitas Alam Dan Keseharian ... 48

2.6.3 Alam dan Kebutuhan di Desa Tumbang Anoi ... 50

2.7. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ... 53

2.7.1.Keluarga Inti ... 53

2.7.2.Sistem Kekerabatan ... 54

2.8. Pengetahuan kesehatan ... 55

2.8.1Konsep Sehat Sakit ... 55

2.8.1.1 Konsep sehat ... 56

2.8.1.2 Konsep sakit ... 57

2.8.2. Penyembuhan Tradisional. ... 58

2.8.3. Pengetahuan obat tradisional dan biomedikal. ... 60

2.8.4. Pengetahuan dan persepsi pelayanan Kesehatan. ... 61

2.9. Mata pencaharian. ... 62

2.9.1. Ladang berpindah ... 63

2.9.2. Mendulang dan “menyedot” emas. ... 64

2.10. Sistem peralatan dan tekhnologi ... 66

BAB III JENDELA KESEHATAN MASYARAKAT TUMBANG ANOI ... 70

3.1. Sejarah Kesehatan di Desa Tumbang Anoi. ... 70

3.2. Penyakit Menular ... 75

3.2.1.Malaria ... 76

3.2.2.Diare ... 79

3.3 Penyakit tidak menular ... 81

3.3.1 Hipertensi ... 81

3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Desa Tumbang Anoi ... 84

3.4.1 Persalinan oleh tenaga kesehatan ... 84

3.4.2 Penimbangan bayi dan balita ... 85

3.4.3 Cuci tangan pakai sabun ... 86

3.4.4 Jamban sehat ... 86

3.4.5 Aktifitas fisik ... 87

3.4.6 Konsumsi buah dan sayur ... 87

3.4.7 Tidak merokok dalam rumah ... 88

3.4.8 Penggunaan air bersih ... 90

3.4.9 Memberantas jentik nyamuk ... 91

(10)

ix

3.5.1 Formal ... 91

3.5.1.1 Ketersediaan ... 92

3.5.2.Tradisional ... 93

3.6. Health Seeking Behaviour ... 93

BAB IV ANTARA TRADISI DAN MODERNITAS ... 96

4.1. Pra hamil. ... 96

4.1.1.Pengetahuan tentang reproduksi. ... 96

4.1.2.Pola Makan dan aktivitas remaja ... 101

4.2.Perkawinan ... 102

4.3.Hamil ... 105

4.3.1.Ritual Nyakidiri ... 105

4.3.2.Hamil dan kepercayaan ... 106

4.3.3.Pemeriksaan kehamilan ... 110

4.3.4.Peran Suami ketika istri hamil ... 112

4.4.Melahirkan dan nifas ... 113

4.4.1.Pengetahuan tanda akan melahirka ... 113

4.4.2.Proses melahirkan ... 115

4.4.3.Plasenta dan Tali Pusar. ... 118

4.4.4.Masa Nifas. ... 119

4.4.5.Ritual pada bayi setelah lahir ... 120

4.4.6.ASI Eksklusif. ... 123

4.5.Nilai Anak dan Jumlah Anak ... 125

4.6.Antara Tradisi dan Modernitas. ... 127

BAB V PAMBORUM ANAK KADORIH STUNTING YANG TERABAIKAN . 131 5.1. Gambaran umum ... 131

5.2. Eksistensi Fasilitas Kesehatan di Tumbang Anoi ... 132

5.3. Stunting yang terabaikan ... 132

5.3.1.Pengetahuan tentang Stunting atau pendek ... 134

5.3.2.Pernikahan dini ... 135

5.3.3.Pola pernikahan di desa Tumbang Anoi ... 136

5.3.4.Karakteristik keluarga ... 137

5.3.5.Faktor risiko stunting ... 141

5.3.5.1.Riwayat pemeriksaan kehamilan ... 141

(11)

5.3.5.3.Pemberian Makanan Pengganti

Air Susu Ibu (MPASI) ... 145

5.3.5.4.Sumber air dan Riwayat Infeksi ... 147

5.3.5.5.Pola Asuh dan Asupan Makanan. ... 150

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 154

Daftar Pustaka ... 158

Daftar Indeks ... 161

(12)

xi

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel 5.1. Kasus stunting ... 131 Bagan 5.2 Pola pernikahan di desa Tumbang Anoi ... 137 Tabel 5.2 Tinggi Ibu ... 140

(13)
(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Huma betang atau Rumah Betang ... 14

Gambar 2.2. Tempat Perjanjian Damai Tumbang Anoi ... 18

Gambar 2.3. Akses menuju desa Tumbang Anoi ... 22

Gambar 2.5. Peta Desa Tumbang Anoi ... 23

Gambar 2.4. Salah satu Fasilitas Pendidikan di Desa Tumbang Anoi ... 23

Gambar 2.6. Jalan penghubung antar RT di tengah desa Tumbang Anoi .... 29

Gambar 2.7. Rumah yang dipasang sakehang ... 34

Gambar 2.8. Beberapa orang sedang melakukan Manasai ... 37

Gambar 2.9. Peralatan yang digunakan upacara Basarah ... 41

Gambar 2.10. Patahu desa Tumbang Anoi ... 43

Gambar 2.11. Sangkaraya dalam acara tiwah ... 45

Gambar 2.12. Hewan korban dalam acara tiwah ... 47

Gambar 2.13 Penyembuh tradisional ... 59

Gambar 2.14. Tekhnologi atau peralatan untuk “menyedot” emas .. 68

Gambar 2.15. Peralatan untuk memasak ... 69

Gambar 3.1. Puskesmas Pembantu Tumbang Anoi ... 72

Gambar 3.2. Pemeriksaan RDT oleh tenaga kesehatan ... 76

Gambar 3.3. Kelambu yang digunakan masyarakat Tumbang Anoi . 79 Gambar 3.4. Air mentah yang di konsumsi oleh salah satu warga ... 80

Gambar 3.5. Baram ... 82

Gambar 3.6. Tanaman sanggau ... 84

Gambar 3.7. Sayur umbut yang dipercayai salah satu alternatif obat malaria... 88

Gambar 3.8. DAM di Desa Tumbang Anoi ... 91

Gambar 3.9. Modifikasi Model Kroeger ... 94

Gambar 4.1. Seorang ibu pergi ke hutan mencari sayur ... 101

Gambar 4.2. Jimat (Dirit) yang dipakai oleh ibu hamil ... 109

Gambar 4.3. Daun Paku dan daun hara ... 109

Gambar 4.4. Kayu dan akar yang dipakai selama masa nifas ... 120

Gambar 4.5. Jimat yang dipakai untuk bayi dan anak kecil ... 122

Gambar 4.6. Daun kelakai ... 124

Gambar 5.1. Ibu dengan anaknya yang stunting ... 141

Gambar 5.2. Bidan Desa sedang melakukan kunjungan ANC ... 144

(15)

Gambar 5.6. Anak berada di pondokan lokasi pertambangan emas . 151 Gambar 5.7. Ibu sedang memberikan makan nasi pada anak

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potret kemakmuran rakyat diukur melalui berbagai indikator, antara lain; bertambahnya tingkat pendapatan dari waktu ke waktu, kualitas pendidikan dan derajat kesehatan yang membaik, bertambah banyaknya penduduk yang menempati rumah layak huni, lingkungan permukiman yang nyaman dan aman. Beberapa program telah dilaksanakan oleh pemerintah, salah satunya di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut kementerian kesehatan telah melakukan berbagai macam program baik jangka panjang maupun jangka pendek. Program yang dikembangkan antara lain penambahan kuantitas dan kualitas fasilitas dan tenaga kesehatan hingga program pembiayaan kesehatan. Berjalannya beberapa program, tidak serta merta langsung dapat memajukan derajat kesehatan masyarakat.

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 angka kematian bayi mencapai 32 per 1000 kelahiran hidup di Indonesia. Pemerintah pusat menetapkan target yang ingin dicapai sesuai MDGs ke-4 pada tahun 2015 yaitu AKB turun menjadi 23/1000 kelahiran hidup. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat tidak selalu berhubungan dengan klinis individu atau sosial masyarakat namun juga dipengaruhi oleh beberapa macam faktor.

Menurut H.L. Bloom dalam Notoadmodjo status kesehatan masyarakat sendiri dipengaruhi 4 faktor yaitu faktor keturunan, lingkungan, perilaku dan manajemen pelayanan kesehatan. Walaupun faktor budaya adalah salah satu yang berpengaruh dalam peningkatan status kesehatan masyarakat namun seyogyanya pemangku kebijakan kesehatan harus menganalisa pemasalahan secara holistik dari seluruh komponen tersebut (Notoadmodjo, 2010).

Permasalahan kesehatan masyarakat yang beragam, baik penyakit menular, tidak menular, lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Setiap masalah yang ada pada hakikatnya mempunyai keterkaitan antara masalah satu dengan lainnya. Faktor yang

(17)

berpengaruh dalam masalah peningkatan derajat kesehatan salah satunya adalah faktor sosial budaya.

Indonesia adalah negara yang kaya akan etnis bangsa serta mempunyai keberagaman budaya, adat istiadat. Budaya tersebut merupakan identitas kultural dari bangsa Indonesia itu sendiri. Pemahaman terkait kearifan budaya lokal yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia seyogya perlu dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan. Dengan pemahaman ini, diharapkan setiap tenaga kesehatan dapat memecahkan setiap masalah kesehatan tidak hanya berfokus dari sudut pandang medis saja tapi juga dari kearifan lokal yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Kebudayaan yang dimiliki setiap etnis di Indonesia tentunya mempunyai keterkaitan dengan bidang kesehatan. Kearifan budaya lokal tersebut ada yang menunjang kesehatan sehingga dapat sebagai faktor profektif dari permasalahan kesehatan. Selain itu ada juga kearifan budaya lokal yang menjadi faktor risiko terhadap permasalah kesehatan baik individu, keluarga maupun komunitas. Faktor protektif dan risiko tersebut dari setiap kearifan lokal seyogyanya dapat dijadikan bahan untuk merancang program kesehatan.

Dalam membuat program kesehatan tentunya ada beberapa tujuan yang akan dicapai baik jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Pencapaian target program kesehatan, antara lain; menurunnya angka kejadian penyakit menular maupun tidak menular, terpenuhinya target program kesehatan terstandar lokal maupun nasional. Dimana program-program tersebut bertujua untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

Kearifan budaya lokal yang dimiliki bangsa indonesia belum semua terekspos oleh pemangku kebijakan kesehatan. Padahal hal tersebut sangat berpengaruh terhadap proses peningkatan status kesehatan masyarakat. Untuk mempelajari kearifan budaya lokal yang masih belum terekspos khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan, maka diperlukan studi etnografi. Studi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar. Etnografi dapat diartikan melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat, etnis atau bangsa. Etnografi merupakan studi dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan utamanya untuk memahami

(18)

3 padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan mengenai “dunia” masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). Salah satu ciri kebudayaan adalah bahwa setiap kebudayaan akan selalu mengalami perubahan atau dalam proses perubahan secara lambat ataupun cepat. Makin intensif terjadinya kontak budaya, makin cepat berlangsungnya proses perubahan kebudayaan. Sehat, sakit, penyakit, kesehatan, maupun perawatan kesehatan merupakan kenyataan yang harus dihadapi masyarakat. Tipe-tipe penyakit beserta persepsi dan perawatannya antara kelompok sosial satu dengan lainnya berbeda. Gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan makna hubungan timbal balik antara gejala sosial dari penyakit dan perawatan kesehatan dengan gejala biologis dan biomedis.

Indeks pembangunan kesehatan masyarakat untuk Kabupaten Gunung Mas, banyak aspek yang perlu menjadi perhatian seperti penyakit menular, penyakit tidak menular, dan sanitasi lingkungan. Selain itu, terdapat salah satu masalah kesehatan ibu dan anak yang masih menjadi perhatian serius baik tingkat nasional maupun lokal yaitu masalah stunting.

Hasil Riskesdas 2013 prevalensi stunting secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Hasil riskesdas 2013 dalam angka didapatkan informasi kasus stunting di kalimantan tengah sebesar 22,9%. Dari hasil pelaporan evaluasi cakupan gizi dinas kesehatan Gunung Mas tahun 2014 didapatkan kasus stunting sebesar 23%, dimana mengalami peningkatan dari 17,8% di tahun 2013. Pada tahun 2012 kasus stunting mencapai 27%. Untuk wilayah puskesmas Tumbang Marikoi kasus stunting mencapai 24% pada tahun 2014, sedangkan pada tahun 2012 hanya mencapi 12%. Kasus gizi buruk di Gunung Mas menurut laporan evaluasi gizi tahun 2014 mencapai 19,7%, sedangkan di wilayah Kecamatan Tumbang Marikoi mencapai 17%. Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Mas menyatakan bahwa angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2013 sebesar 2 per 1000 kelahiran hidup.

Kasus stunting merupakan masalah gizi yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi serta masih merupakan masalah yang serius baik tingkat nasional maupun global. Stunting merupakan

(19)

kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD. (nutrition landscape information system (NLIS) country profile indicators:intrepretation guide. Geneva: World Health Organization; 2010.)

Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antrometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi kronik jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN & International food policy research institute (IFPRI). 2000. 4th report on the world nutrition situation, nutrition throughout the life cycle.)

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Hasil penelitian yang pernah dilakukan ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting. Kejadian stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan mental (Purwandini K, dkk; 2013). Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang (Anugrah, 2012).

Kejadian stunting banyak terdapat pada usia 12 hingga 58 bulan. Stunting pada anak usia 12 hingga 59 bulan menyebabkan gangguan pertumbuhan linier terutama 2 atau 3 tahun pertama masa pertumbuhan. Kondisi tersebut merupakan salah satu efek kurangnya gizi (Ramli, et all; 2009). Gizi berpengaruh dalam pertumbuhan bayi sejak dalam kandungan hingga melahirkan. Pengetahuan dan persepsi masyarakat umum mengenai pentingnya gizi ketika hamil dan masa pertumbuhan dipandang masih kurang. Hal ini dibuktikan dengan masih ada kasus gizi buruk, mal nutrisi, dan lain-lain. Selain asupan gizi faktor-faktor yang berpengaruh

(20)

5 terhadap stunting, antara lain; pendapatan keluarga, pengetahuan ibu, pola asuh, riwayat infeksi penyakit, asupan protein, pendidikan ibu. (Picaluly, 2013). Faktor tinggi badan ibu, tingkat asupan lemak, jumlah anggota keluarga, sumber air minum juga berpengaruh terhadap kejadian stunting (oktarina, 2013). Faktor lainnya yakni kunjungan ANC, pemberian MPAsi, pemberian asi eksklusif (wahda, 2012).

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Gunung Mas. Kabupaten Gunung Mas merupakan Kabupaten pemekaran Kabupaten Kapuas, yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002. Kabupaten Gunung Mas berbatasan dengan Kabupaten Katingan dan Provinsi Kalimantan Barat di sebelah barat, Kabupaten Murung Raya di sebelah Utara, Kabupaten Kapuas di sebelah timur, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya di sebelah selatan. Luas wilayah Kabupaten Gunung Mas adalah 10.804 km² dan merupakan Kabupaten terluas keenam dari empat belas Kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah (7,04 % dari luas Provinsi Kalimantan Tengah). Kabupaten ini didiami oleh dua etnis Dayak yaitu etnis Dayak Ot Danum dan etnis Dayak Ngaju. Di Kecamatan Damang Batu sendiri didiami oleh etnis Dayak Ot Danum. Etnis Dayak Ot Danum adalah etnis Dayak asli kalimantan tengah yang menetap di hulu sungai kahayan.

Secara historis etnis Dayak Ot Danum mempunyai riwayat yang sangat bersejarah bagi etnis Dayak yang di kalimantan. Khususnya terkait dengan perjanjian Damai yang terjadi pada tahun 1984. Dalam Perjanjian tersebut lahir kesepakatan menghentikan kebiasaan mengayau bagi masyarakat etnis Dayak. Maka dari latar belakang diatas pada penelitian etnografi kesehatan ini peneliti akan menggambarkan faktor khasanah budaya terkait kesehatan yang berpengaruh terhadap kejadian stunting di Etnis Dayak Ot Danum yang bermukim di wilayah Kecamatan Damang Batu, kabupaaten Gunuung Mas.

1.2 Identifikasi masalah

Faktor khasanah budaya kearifan lokal merupakan salah satu titik penentu keberhasilan sebuah program kesehatan. Namun tidak semua pemangku kebijakan memperhatikan hal tersebut dalam membuat kebijakan maupun program kesehatan. Khasanah budaya

(21)

lokal tersebut tentu banyak terkait dengan bidang kesehatan baik cara pengobatan, perawatan, persepsi sehat-sakit. Kasus stunting merupakan kasus yang masih jadi perhatian secara nasional khususnya di Kabupaten Gunung Mas. Walaupun telah ada program terkait stunting namun kasusnya masih meningkat secara nasional. Riskesdas 2013 menunjukkan angka kejadian stunting mencapai 37,2%, sedangkan hasil evaluasi gizi Kabupaten Gunung Mas untuk wilayah puskesmas marikoi (kecamatan Damang Batu) mencapai 24%. Maka pada penelitian etnografi kesehatan ini peneliti akan mengindetifikasi gambaran faktor khasanah budaya kearifan lokal apa saja yang menjadi faktor protektif untuk mengurangi kejadian sakit di masyarakat. Faktor protektif merupakan faktor yang dapat melindungi masyarakat dari sebuah kejadian sakit baik itu secara klinis ataupun sosial budaya. Selain faktor protektif peneliti juga mengidentifikasi faktor risiko dari kejadian stunting di Kabupaten Gunung Mas. Diharapkan faktor-faktor tersebut dapat menjadi acuan dalam merancang program kesehatan yang lebih efektif dalam mengurangi kasus stunting. Dengan harapan tersebut, pertanyaan dalam penelitian etnografi kesehatan ini adalah budaya kearifan lokal apa sajakah terkait poin poin dibawah ini yang dapat menggambarkan faktor yang mempengaruhi stunting:

1.2.1. Gambaran latar belakang karakteristik keluarga

Gambaran ini meliput pendapatan keluarga pengetahuan gizi ibu, tinggi badan ibu, pola asuh, jumlah anggota keluarga, riwayat infeksi penyakit, pendidikan ibu yang mempengaruhi kejadian stunting di Desa Tumbang Anoi, kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas

1.2.2.Pola konsumsi

Gambaran kearifan budaya lokal terkait tingkat asupan protein, asupan lemak, sumber air minum yang mempengaruhi kejadian stunting di Desa Tumbang Anoi, kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas.

1.2.3. Tumbuh kembang

Gambaran kearifan budaya lokal terkait kunjung ANC,

(22)

7 mempengaruhi kejadian stunting di Desa Tumbang Anoi, kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas.

1.2. Tujuan penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain;

1.2.1. Mengetahui deskripsi secara ethnografi terkait masalah kesehatan khususnya stunting di desa Tumbang Anoi.

1.2.2. Menyusun rekomendasi berdasar kearifan lokal untuk penyelesaian masalah stunting.

1.3. Metode penelitian 1.3.1. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Tumbang Anoi, wilayah Kecamatan Damang Batu, kabupaten Gunung Mas. Wilayah tersebut dipilih berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Masalah yang perlu menjadi perhatian adalah masalah kesehatan ibu dan anak. Hal ini dikarenakan masih tingginya kasus stunting di wilayah Gunung Mas. Berdasarkan hasil diskusi kepala dinas Kesehatan Kabupaten, Kepala Perencanaan Program, Kepala Bidang Pelayanan dan Kesehatan dengan melihat data yang ada dan program yang sedang dilaksanakan merekomendasikan agar penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tumbang Marikoi (Kecamatan Damang Batu).

Data Dinas Kesehatan Kabupaten dalam evaluasi pencapaian program gizi tahun 2014 menjelaskan bahwa Kecamatan Damang Batu prevalensi pendek dan sangat pendek hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2014 mencapai 24% dari 15 Kecamatan. Hasil Pemantauan Status Gizi tahun 2014 prevalensi gizi buruk dan kurang di Kecamatan Damang Batu mencapai 16.7%. Berdasarkan laporan kesehatan anak per desember tahun 2014 dinas kesehatan, untuk cakupan pelayanan kesehatan bayi sebesar 3,97% sedangkan untuk cakupan pelayanan kesehatan anak dan Balita sebesar 47.48% di Puskesmas Tumbang Marikoi (Kecamatan Damang Batu).

Untuk pemilihan desa yang tercakup di puskesmas Tumbang Marikoi, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Mas merekomendasikan ke desa Tumbang Anoi. Selain berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten, Desa Tumbang Anoi merupakan salah satu desa terpencil di wilayah kabupaten Gunung Mas. Desa Tumbang

(23)

Anoi merupakan desa yang bersejarah bagi pulau Kalimantan dan didiami oleh etnis Dayak Ot Danum. Etnik Dayak Ot Danum sendiri mempunyai historikal yang cukup panjang dalam peradabannya. 1.3.2. Jenis dan sumber informan

Pemilihan informan didasarkan pada tekhnik snow ball yang merupakan tekhnik pengambilan informan. Kriteria informan di penelitian ini, antara lain; kepala keluarga dengan anak stunting, ibu dengan anak stunting, kepala keluarga dengan anak tidak stunting, ibu dengan anak tidak stunting, dukun kampong atau bidan kampung, mantir dan warga masyarakat desa Tumbang Anoi. Wawancara awal dilakukan pada perangkat desa, kepala puskesmas, bidan desa yang kemudian memberikan rekomendasi informan yang lain. Setelah menemukan beberapa informan yang terpilih, kemudian peneliti membagi dua informan dengan kasus stunting dengan non-stunting. Pembagian dua informan bertujuan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dalam kasus stunting. Selain itu pembagian informan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola asuh, pola makan, tinggi badan dan sebagainya dari dua kelompok tersebut.

1.3.3. Cara pengumpulan data

Penelitian etnografi kesehatan tahun 2015 bersifat kualitatif. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data-data primer yang didapat dengan cara wawancara mendalam atau indepth interview dengan tetap didukung dengan data-data sekunder seperti profil kesehatan dari puskesmas Tumbang Marikoi, profil desa Tumbang Anoi, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gunung Mas dan Profil kesehatan Dinas kesehatan Kabupaten Gunung Mas.

Dengan pentingnya data primer yang berupa hasil wawancara atau interview, maka pencatatan data dilakukan dengan sistematis. Buku tulis, alat perekam dan kamera digunakan untuk mencatat dan mendokumentasikan semua data yang berwujud wawancara dan gambar.

Dalam penelitian seringkali mendapat informasi yang kurang jelas. Namun kesulitan ini diatasi dengan sering mengadakan obrolan atau diskusi dengan informan. Informan terpilih jumlahnya terbatas dan diperoleh setelah peneliti cukup lama tinggal di daerah penelitian. Pembatasan informan dilakukan dengan tujuan agar data yang

(24)

9 diperoleh lebih fokus dan tidak melebar. Bentuk wawancara dengan para informan terpilih adalah wawancara terfokus. Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan telah disusun secara matang.

Selain indepth interview, metode partisipasi aktif dan observasi digunakan juga dalam penelitian ini. Partisipasi yang dilakukan adalah dengan tinggal di desa penelitian selama 35 hari dan bertindak sebagai warga desa biasa, serta berpartisipasi aktif dalam aktifitas sehari-hari warga desa. Partisipasi aktif ketika ikut aktifitas sehari-hari warga desa, seperti ikut menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh masyarakat masyarakat, bermain ke rumah salah satu warga, ikut beberapa warga ketika bekerja di ladang ataupun di lokasi sedot emas. Metode seperti ini akan memperlancar wawancara, sebab pada dasarnya wawancara adalah tukar menukar informasi yang sifatnya mendalam bagi kedua belah pihak (peneliti dan informan). Kedekatan emosional menjadi suatu kebutuhan dalam pengumpulan data, namun tidak berarti peneliti meninggalkan keobyektifitasan dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Metode observasi cukup banyak menyumbang data penelitian, terutama mengenai cara perilaku kesehatan informan dan beberapa warga desa. Data yang didapat melalui observasi ini dapat diperjelas dan diperluas melalui wawancara terhadap informan yang bersangkutan (Toni Murwanto, dkk; 2012)

1.3.4. Keterbatasan Penelitian

Singkatnya waktu penelitian menjadi keterbatasan dalam studi ini. Keterbatasan waktu menyebabkan studi ini tidak mendapatkan data yang mendalam mengenai kondisi sosial budaya kesehatan yang ada di lokasi penelitian. Selain itu tidak ada beberapa peristiwa dan kejadian yang terjadi selama waktu penelitian yang bisa langsung diamati oleh peneliti. Untuk memperoleh data beberapa peristiwa. Beberapa solusi untuk mendapatkan gambaran peristiwa yang tidak terekam dengan menggunakan wawancara beberapa narasumber yang mengetahui dan berperan dalam peristiwa tersebut. Peristiwa-peristiwa yang tidak bisa terekam, antara lain pernkahan, ibu hamil dan melahirkan.

(25)

1.3.5. Cara Analisis Data

Setelah dilakukan wawancara, dilanjutkan kemudian data dipilih berdasarkan tema wawancara. Setelah dipilih dan dikategorikan kemudian dilakukan triangagulasi data-data yang berkaitan. Selain

melakukan trianggulasi data, tahap selanjutnya dengan

mendeskripsikan interpretatif beberapa data dan fenomena yang ada di lokasi penelitian. Deskripsi interpretatif merupakan suatu bentuk analissa dari berbagai data yang berupa informasi, perilaku maupun kegiatan yang digambarkan secara menyeluruh sehingga membentuk beberapa pola tertentu serta diberikan pemaknaan terhadap pola-pola itu (Ratna widyasari, dkk; 2015). Selain penggunaan data primer yang berupa hasil wawancara, data sekunder dan literatur menjadi dukungan dalam melakukan analisis.

(26)

11

BAB II

SELAYANG PANDANG TUMBANG ANOI

2.1. Kalimantan dan Dayak

Bila kita mendengar istilah etnik Dayak, pikiran tentu langsung mengarah ke pulau Kalimantan. O.K Rahmat dan R. Sunardi dalam buku “Maneser Panatau Tatu Hiang” (Nila Riwut; 2003); mengatakan bahwa kata Dayak adalah satu perkataan untuk menamakan stam-stam yang tidak beragama Islam yang mendiami pedalaman Kalimantan. Istilah ini diberikan oleh bangsa Melayu di pesisir Kalimantan yang berarti gunung. Namun sampai saat ini belum pernah ada kamus yang menyatakan bahwa Dayak berarti orang gunung. Kemungkinan pengertian tersebut dikarenakan sebagian besar orang-orang Dayak tinggal di udik-udik sungai yang tanahnya bergunung-gunung (Nila Riwut; 2003). Terdapat sumber lain juga bahwa pada awalnya mereka tinggal di pantai, namun kemudian terdesak semakin jauh ke pedalaman oleh pendatang Melayu. Mereka tinggal di tepi sungai dan dataran tinggi, jauh di dalam rimba dan hidup dengan cara yang tak jauh berbeda dari nenek moyang mereka (Septa, dkk; 2014).

Mengenai asal usul Etnis Bangsa Dayak, menurut Nila Riwut dalam buku “Manaser Tatu Hiang” menyatakan bahwa etnis Dayak berasal dari langit ketujuh dan ada pula yang berpendapat bahwa etnis Dayak berasal dari proto Melayu. Menurut tetek tatum, orang Dayak berasal dari langit ketujuh dan diturunkan ke bumi dengan menggunakan Palangka Bulau oleh Ranying Hatalla Langit1. Menurut keyakinan orang Dayak yang berasal dari kepercayaan Kaharingan, manusia diturunkan dari langit ke tujuh di empat tempat, yaitu:

1) Di tantan Puruk Pamatuan, yang terletak di hulu Sungai Kahayan dan Barito

2) Di Tantang Liang Mangan Puruk Kaminting, yang letaknya di sekitar Gunung Raya

3) Di datah Tangkasiang, di hulu Sungai Malahui, yang terletak di daerah Kalimantan Barat.

1 Ranying Hatalla Langit merupakan Tuhan bagi masyarakat yang menganut keyakinan kaharingan. Bagi etnis dayak Ot Danum menyebutnya dengan Mahatara.

(27)

4) Di Puruk Kambah Tanah Siang, yang terletak di hulu sungai Barito. Orang-orang Dayak yang diturunkan di tempat-tempat di atas kemudian saling kawin satu dengan lainnya lalu berkembang biak dan menempati seluruh pulau Kalimantan.

Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya terdapat beberapa etnis Dayak yang mendiami provinsi tersebut. Etnis Dayak di Kalimantan Tengah terbagi menjadi beberapa etnis, diantaranya Manyan, Ot Danum dan Ngaju. Etnis Dayak Ngaju mendiami daerah sepanjang sungai kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan. Untuk Etnis Dayak Ot Danum mendiami daerah sepanjang hulu sungai besar seperti sungai Kahayan, Rungan, Barito, dan Kapuas juga di hulu sungai Mahakam, sekitar Long Pahangei di pedalaman. Untuk etnis Dayak Ngaju mendiami di daerah hilir, sedangkan Ot Danum di daerah hulu. Batas kediaman etnik Dayak Ngaju dan Ot Danum dipisahkan oleh sungai miri. Untuk sebelah hulu sungai miri dan kahayan di diami oleh etnik Dayak Ot Danum sedangkan bagian hilir didiami oleh etnik Dayak Ngaju.

Bila kita berbicara mengenai sejarah Kalimantan Tengah, kita tidak bisa melepaskan peran besar seorang pahlawan nasional yang bernama Tjilik Riwut. Perjuangan Tjilik Riwut tidak berhenti secara fisik ketika Indonesia merdeka, namun dilanjutkan dengan diplomasi. Dengan perjuangan tekad membuka hutan dan diplomasi beliau maka pada tanggal 23 mei 1957 dengan undang-undang Darurat No. 10 dibentuklah daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut Septa Agung dan kawan-kawan dalam buku “etnik Dayak Ngaju Kabupaten Kapuas” (2014), masyarakat Kalimantan Tengah sangat mengenal tokoh Tjilik Riwut dan menganggap beliau tidak meninggal tetapi muksa. Hal ini juga dirasakan oleh penduduk atau warga desa Tumbang Anoi sendiri. Mereka mempunyai kesan tersendiri seperti yang diutarakan oleh seorang warga yang bernama bapak BIL. Menurut Bapak BIL, sosok Tjilik Riwut oleh warga desa Tumbang Anoi merupakan salah satu pembesar di Kalimantan Tengah. Bahkan menurut warga Tumbang Anoi, Tjilik Riwut hanya meninggal dalam jasadnya saja. Untuk rohnya masih tetap melindungi dan mengawasi warga Kalimantan Tengah. Suatu saat bila semua warga Kalimantan Tengah membutuhkan beliau, roh Tjilik Riwut akan segera dan selalu membantu.

(28)

13 2.2. Tumbang Anoi: Salah satu tonggak sejarah etnis Dayak

Desa Tumbang Anoi merupakan salah satu desa yang bersejarah di Kalimantan, ketika masyarakat Dayak masih melakukan “mengayau”. Kebiasaan mengayau dilakukan dikarenakan untuk memperluas wilayah kekuasan juga mencari tawanan atau budak yang akan dijadikan korban atau tumbal ketika melaksanakan upacara tiwah di suatu komunitas etnis Dayak. Selain hal tersebut, kebiasaan mengayau merupakan kegiatan yang penting untuk melengkapi syarat dengan mempersembahkan kepala manusia ketika akan mendirikan sebuah rumah Dayak. Mengayau juga diperlukan untuk menghalau wabah penyakit dan kelaparan serta mengusir roh jahat. Selain itu kebiasaan mengayau juga diperuntukkan untuk menguasai sumber daya alam, sumber daya manusia di komunitas Dayak lainnya. Hal yang penting adalah ingin menunjukkan eksistensi keberadaan etnisnya kepada etnis Dayak lainnya (Septa, dkk; 2014).

Miller dalam buku “Identitas Dayak Komodifikasi dan politik Kebudayaan” yang ditulis oleh Yekti Maunati (2006) menyatakan bahwa praktik memburu kepala, bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.

Untuk mencegah menjadi korban mengayau, maka etnis Dayak membuat rumah mereka sedemikian rupa sehingga bisa terhindar dari serangan. Rumah tersebut dikenal dengan nama “huma betang” atau yang sering disebut dengan rumah betang. Rumah betang merupakan rumah tradisional etnis Dayak di Provinsi Kalimantan tengah. Rumah betang terbuat dari kayu ulin (kayu khas dari pulau Kalimantan). Segala bentuk dari rumah betang dari atap, dinding, lantai terbuat dari kayu ulin. Paku tidak dipergunakan untuk merangkai rumah betang. Mereka hanya menggunakan pasak yang terbuat dari kayu ulin. Lama

(29)

pembangunan rumah betang menghabiskan total waktu selama 6 bulan bahkan lebih.

Menurut cerita yang berkembang di desa Tumbang Anoi, untuk mendirikan rumah betang banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satu persyaratannya dengan menjadikan kepala manusia sebagai “tumbal”.

Menurut bapak TI (70 tahun), pada zaman dahulu rumah betang memiliki lebar 20 – 30 meter dan panjang bisa mencapai 150 meter tergantung dari jumlah banyaknya keluarga dan banyaknya budak. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu ladang, kebun mereka sangat banyak dan luas. Begitu juga dengan binatang peliharaan mereka sangat banyak dari berbagai jenis (ayam, kerbau, sapi dan babi), terutama yang dimiliki oleh kepala etnis.

“..amun zaman horu, urun aro toko umo, kabun kamulan dongan karon joporum jadi ihkai puna perlu umbak jihpon ahkai iyo ahkai bagawi ngumok dongan jaga karon joporum raja ihkai. Koro jejadi toko Damang Batu horu toko pamborum sapi, hadangan, manuk, urak jumlah karoi 1000 kungan...”

“kalau zaman dulu, orang banyak memiliki ladang, kebun dan hewan peliharaannya. Jadi mereka sangat butuh budak untuk menggarap lahan dan menjaga hewan peliharaannya. Terutama kalau orang tersebut kepala etnis. Seperti yang dimiliki Damang Batu dulu punya hewan peliharaan sebanyak 1000 ekor...” (Bapak TI).

Gambar 2.1. Huma betang atau Rumah Betang Sumber: Dokumentasi Peneliti

(30)

15 Selain untuk mengawasi anggota keluarga dan budak, tujuan tinggal bersama untuk melindungi diri dari kebiasaan mengayau. Dikarenakan sebagai tempat berlindung dari mengayau, maka rumah betang pada zaman dahulu mempunyai tinggi sekitar ± 6-7 meter. Tingginya tiang pancang dikarenakan untuk menghindari tombak yang bisa masuk ke rumah dengan menembus lantai.

Dalam menggali informasi mengenai sejarah desa, kami meminta bapak TI untuk bercerita mengapa desa Tumbang Anoi dapat terkenal se-Kalimantan. Bapak TI merupakan salah satu tetua di desa Tumbang Anoi dan merupakan juru kunci rumah betang. Beliau juga mengetahui runtutan sejarah mengenai perjanjian damai di desa Tumbang Anoi. Beliau bercerita dengan adanya kebiasaan mengayau, kepala etnis Dayak Ot Danum (Damang Batu) merasa prihatin dan khawatir. Damang Batu beranggapan bahwa etnis etnis Dayak tidak memiliki persatuan. Oleh karena itu, beliau mengajak musyawarah beberapa kepala etnis Dayak yang lain untuk mengadakan pertemuan. Cikal bakal rapat damai Tumbang Anoi diawali dengan adanya pertemuan pendahuluan yang dilakukan di Kuala kapuas pada tanggal 14 juni 1893. Dalam pertemuan tersebut membahas beberapa hal, antara lain; memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus tuan rumah untuk melaksanakan rapat damai tersebut, merencanakan tempat rapat damai, waktu pelaksanaan dan lama waktu sidang rapat damai dilaksanakan. Pada pertemuan awal tersebut hampir semua kepala etnis merasa tidak mampu untuk menjamu dan menjadi tuan rumah rapat damai. Hal ini dikarenakan harus menanggung semua makanan dan penginapan bagi tamu yang datang di acara rapat damai. Tidak lama kemudian dengan lantang dan tegapnya Damang Batu (Kepala etnis Dayak Ot Danum) menyatakan bahwa dirinya sanggup untuk menjadi ketua dan tuan rumah rapat damai. Kesanggupan Damang Batu dikarenakan beliau mempunyai ladang yang ukurannya berhektar-hektar dan hewan peliharaan yang banyak sehingga mampu untuk memberi makan atau melayani semua kepala etnis Dayak yang beliau undang.

Selama lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan bahan makanan yang akan disajikan untuk acara perjanjian damai. Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau yang akan dijadikan makanan untuk para

(31)

undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya untuk membangun pondok bagi tamu undangan rapat. Rapat perdamaian untuk mengakhiri kebiasaan mengayau dilakukan pada tanggal 22 mei hingga 24 juli 1984. Dalam rapat damai tersebut disepakai untuk menghentikan kebiasaan mengayau. Selain itu proses untuk menghentikan kebiasaan mengayau dengan membayar jipen2. Besarnya nominal ditentukan berdasarkan musyawarah bersama-sama. Dalam musyawarah atau perjanjian damai tersebut dihasilkan 4 petisi:

1. Menghentikan permusuhan antar etnis di seluruh Kalimantan dan berjanji tidak akan saling menyerang.

2. Semua bentuk perbudakan dihapuskan. Budak dianggap sebagai golongan yang merdeka.

3. Melarang semua bentuk tradisi pemenggalan kepala (pengayauan) antara sesama etnis Dayak, karena tindakan semacam itu sudah melanggar batas kemanusiaan.

4. Menetapkan keseragaman di dalam hukum adat, terutama yang kaitannya dengan masalah denda, bagi setiap pelanggaran adat. Sampai sekarang hasil musyawarah perdamaian di Tumbang Anoi terutama yang berkaitan dengan ketentuan tentang keseragaman di dalam hukum adat, nampaknya membawa dampak positif bagi tatanan kehidupan antar etnis Dayak di Kalimantan sebagai salah satu media penyelesaian berbagai konflik yang timbul di kalangan masyarakat Dayak.

Terdapat cerita di desa Tumbang Anoi mengenai sejarahnya pendirian rumah betang yang dijadikan untuk tempat perdamainan damai. Menurut bapak TI, pada awalnya bangunan tersebut dibangun oleh Tumenggung Runjan pada tahun 1868, saat Tumenggung pindah dari tempat asalnya di Kaleka Panahan hulu sungai Pajangei (secara administrasi sekarang masuk di wilayah kecamatan Tewah). Bangunan rumah panjang didirikan secara beramai-ramai dibantu oleh sanak keluarganya. Ketika bangunan tersebut baru setengah jadi yaitu baru selesai pemasangan atap dan lantai, Tumenggung Runjan pindah dari desa Tumbang Anoi ke Tanjung Rendan di Kapuas Hulu pada lebih

(32)

17 kurang tahun 1876. Pada saat perpindahannya itu bangunan tersebut dijual kepada keponakannya Damang Batu. Adapun pembayarannya dilakukan dengan sistem barter, yaitu menukar dengan sebuah guci bergambar 2 ekor naga (halamaung sangarang). Akhirnya rumah yang belum selesai dibangun itu diselesaikan oleh Damang Batu dengan memperkerjakan tukang kayu dari daerah Kuala Kapuas, dan bayarannya dengan sebuah guci yang disebut Halamaung Tumbang Tasirat.

Dengan adanya perjanjian damai tersebut, pihak Belanda ataupun Inggris mulai berani masuk ke pedalaman Kalimantan. Pada awalnya mereka merasa takut untuk masuk ke pedalaman Kalimantan dikarenakan masih terdapat kebiasaan mengayau. Menurut bapak TI, perjanjian damai ini juga ditunggangi oleh kepentingan Belanda agar bisa masuk ke pedalaman Kalimantan. Sebelum adanya perjanjian damai pihak Belanda bila ingin masuk ke pedalaman merasa kerepotan dan jatuh banyak korban. Dengan masuksnya belanda ke pedalaman kalimantan juga turut mempengaruhi akan nasib tempat atau rumah yang dijadikan perjanjian damai.

Terdapat beberapa versi yang berkembang di masyarakat mengenai kelanjutan dari rumah betang peninggalan Damang Batu. Versi pertama menceritakan bahwa rumah yang menjadi tempat perjanjian damai dibagi menjadi beberapa bagian kemudian dibawa oleh keturunan Damang Batu yang mengadu nasib ke berbagai tempat. Versi kedua menceritakan bahwa setelah diadakannya perjanjian damai, pihak Belanda dengan leluasa bisa masuk atau menjajah sampai pedalaman Kalimantan. Menurut bapak TI, setelah Damang Batu meninggal kemudian digantikan oleh keturunannya yang bernama Damang Kupang. Cara Belanda agar tidak ada perlawanan dari etnis Dayak di pedalaman khususnya Tumbang Anoi dengan cara memindahkan damang Kupang ke tumbang joloi yang berada di barito Hulu yang sekarang dikenal dengan kecamatan Seribu Riam. Dengan dipindahnya Damang kupang tersebut maka wabah penyakit menyerang desa Tumbang Anoi. Banyak warga yang sakit kemudian meninggal. Dengan adanya wabah tersebut maka semua warga desa Tumbang Anoi pindah, sehingga yang ada hanyalah kera.

Dengan kekosongan desa Tumbang Anoi kemudian pada tahun 1923 salah satu pejabat Belanda di betawi yang bernama Tuan Hoklan

(33)

kemudian mengambil semua benda pemilikan Damang Batu termasuk rumah yang menjadi tempat perjanjian damai. Oleh karena itu sekarang tempat perjanjian damai hanya tinggal tonggak kayunya saja.

2.3. Geografi dan Kependudukan 2.3.1. Geografi

Kabupaten Gunung Mas merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Induk yaitu Kabupaten Kapuas, yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002. Kabupaten Gunung Mas berbatasan dengan Kabupaten Katingan dan Provinsi Kalimantan Barat di sebelah barat, Kabupaten Murung Raya disebelah Utara, Kabupaten Kapuas disebelah timur, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya di sebelah selatan.

Luas wilayah Kabupaten Gunung Mas adalah 10.804 km² dan merupakan Kabupaten terluas ke-enam dari empat belas kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah (7,04 % dari luas Provinsi Kalimantan Tengah). Luas wilayah tersebut terdiri atas:

a. Kawasan Hutan Belantara b. Kawasan Pemukiman c. Sungai, Danau dan Rawa

d. Daerah Pertanian (sawah, ladang, kebun)

Wilayah Kabupaten Gunung Mas termasuk dataran tinggi yang memiliki potensi untuk dijadikan perkebunan. Daerah utara merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara ± 100 – 500 meter dari permukaan air laut dan mempunyai tingkat kemiringan ± 8

Gambar 2.2. Tempat Perjanjian Damai Tumbang Anoi Sumber dokumentasi peneliti

(34)

19 - 15°, serta mempunyai daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan ± 15 - 25°.

Pada daerah tersebut terdapat pegunungan Muller dan Schwanner dengan puncak tertinggi (Bukit Raya) mencapai 2.278 meter dari permukaan air laut. Bagian selatan terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa yang berpotensi mengalami banjir cukup besar pada musim hujan, selain itu juga daerah Kabupaten Gunung Mas memiliki perairan yang meliputi danau, rawa-rawa dan ada empat jalan sungai yang berada / masuk wilayah Kabupaten Gunung Mas yaitu :

1. Sungai Manuhing dengan panjang ± 28,76 km 2. Sungai Rungan dengan panjang ± 86,25 km 3. Sungai Kahayan dengan panjang ± 600 km 4. Sungai Miri

Kecamatan Damang batu dimana desa Tumbang Anoi berada, merupakan satu dari 12 kecamatan yang secara administratif berada di bawah naungan kabupaten Gunung Mas. Kecamatan Damang Batu merupakan kecamatan yang tergolong muda di kabupaten Gunung Mas dan berada di hulu sungai kahayan. Kecamatan Damang Batu merupakan pemekaran dari kecamatan Kahayan Hulu Utara.

Menurut Bapak MA yang merupakan salah satu staf pegawai kecamatan Damang Batu bercerita bahwa Kecamatan Kahayan Hulu Utara dimekarkan menjadi 3 kecamatan; kecamatan Damang Batu, kecamatan Miri Manasa, dan Kecamatan Kahayan Hulu Utara sendiri. Pemekaran ini dilakukan karena luasnya kecamatan Kahayan Hulu Utara, maka harus dimekarkan menjadi beberapa kecamatan yang lebih kecil. Pemberian nama kecamatan baru menjadi kecamatan Damang Batu mengambil dari nama salah satu tokoh yang sangat berjasa bagi etnis Dayak. Damang Batu merupakan salah satu ketua etnis etnis Dayak Ot Danum yang wilayah kekuasaannya pada zaman dahulu meliputi 3 kecamatan (kecamatan kahayan Hulu Utara, kecamatan Damang Batu, dan kecamatan Miri Manasa).

Kecamatan Damang batu terletak di ujung utara kabupaten Gunung Mas dan berbatasan dengan beberapa kecamatan dan kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan provinsi Kalimantan Barat, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan kecamatan Miri manasa dan Kahayang Hulu Utara. Perbatasan sebelah selatan

(35)

berdampingan dengan kecamatan Kahayan Hulu utara dan Kecamatan Rungan, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten katingan.

Kecamatan Damang batu mempunyai luas wilayah permukiman sebesar 1.425 km terbagi dalam 8 desa. Sebagian besar wilayah kecamatan Damang batu berupa hutan (baik hutan adat maupun hutan perhutani), perkebunan karet dan ladang berpindah. Kepemilikan perkebunan karet, hutan adat, dan ladang dimiliki oleh setiap kepala keluarga. Kecamatan Damang Batu dilalui oleh 1 sungai induk yaitu sungai kahayan walaupun di beberapa desa terdapat sungai yang bermuara di sungai Kahayan. Wilayah kecamatan Damang Batu merupakan dataran tinggi dengan ketinggian >500 meter di atas permukaan laut dan beriklim tropis. Terdapat beberapa desa dibawah administratif kecamatan Damang batu, salah satunya desa Tumbang Anoi yang menjadi lokasi penelitian.

Desa Tumbang Anoi merupakan salah satu dari delapan desa di kecamatan Damang batu yang letaknya di ujung utara. Menurut data BPS Kabupaten Gunung Mas, luas wilayah desa Tumbang Anoi sekitar 185 km² atau 12.98% dari luas wilayah kecamatan Damang Batu. Secara topografis desa Tumbang Anoi bukit dan lereng.

Luas wilayah desa Tumbang Anoi didominasi oleh hutan, perkebunan karet dan ladang berpindah. Menurut bapak MA, hutan yang ada di Kecamatan Damang Batu dan desa Tumbang Anoi terbagi menjadi beberapa yaitu hutan adat, Hutan pahewan (hutan untuk melakukan ritual masyarakat yang beragama kaharingan), hutan yang menjadi hak milik perseorangan dengan cara dibuka untuk dijadikan ladang. Masyarakat desa Tumbang Anoi dalam memanfaatkan hutan dengan cara membuka dan menjadikannya ladang berpindah. Tujuan masyarakat desa Tumbang Anoi membuka hutan agar lahan tersebut dapat ditanami padi sebagai sumber bahan pokok makanan mereka. Setiap 1 tahun sekali masyarakat desa Tumbang Anoi membuka hutan dan berpindah dari ladang yang telah mereka tanami sebelumnya.

Pada awalnya mereka menanam padi dan dalam jangka waktu 1 tahun baru bisa dipanen. Setelah padi dipanen masyarakat desa Tumbang Anoi akan membuka lahan lagi dan ladang yang sudah dipanen akan ditanami pohon karet. Terdapat anggapan di masyarakat bahwa ladang yang sudah ditanami padi dan dipanen,

(36)

21 kesuburannya akan hilang dan bila ditanami lagi akan membuat hasil panen dikemudian hari menjadi berkurang. Luas ladang yang dimiliki tiap kepala keluarga berbeda-beda, disesuaikan dengan kemampuan. Pembukaan lahan oleh masyarakat desa Tumbang Anoi juga terdapat aturan main. Ketika ada salah satu masyarakat desa akan membuka ladang dan bersebelahan dengan lahan yang sudah dibuka harus berjarak 1 km. Jarak tersebut dibuat berjauhan dikarenakan bila orang yang mempunyai ladang tersebut masih ada hutan yang bisa dijadikan ladang. Pembukaan ladang dimulai dari hutan atau tanah yang dekat dengan sungai yang biasanya berada di bawah hutan. Ketika akan membuka ladang lagi, maka hutan yang ada disamping atau diatas ladang akan dibuka untuk dijadikan lahan pertanian yang baru.

Terdapat dua cara atau jalan yang dapat ditempuh untuk menuju desa Tumbang Anoi dari pusat kabupaten Gunung Mas, yaitu dengan jalan darat dan air. Perjalanan menuju desa Tumbang Anoi lewat darat ketika jalan kering atau musim kemarau membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan. Ketika musim penghujan datang, membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Hal ini dikarenakan jalan yang dilewati di awalnya berupa tanah yang keras menjadi tanah lumpur. Ketika jalan sudah menjadi lumpur cara satu-satunya agar bisa mencapai desa Tumbang Anoi menggunakan mobil yang mempunyai perlengkapan double gardan. Cara yang lain untuk menuju ke Desa Tumbang Anoi lewat air dengan memanfaatkan klotok. Perjalanan lewat air atau sungai membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam dari ibukota kabupaten.

Sebelum tahun 2008 untuk menuju kecamatan Damang Batu harus menggunakan pesawat capung yang bisa mendarat di air atau speed boat. Ketika menggunakan speed boat harus berhenti terlebih dahulu di desa Tumbang Miri (kecamatan sebelum kecamatan Damang Batu) kemudian berganti menggunakan klotok agar dapat mencapai desa Tumbang Anoi atau kecamatan Damang Batu.

Sejak tahun 2008, pemerintah kabupaten Gunung Mas kemudian membuka jalan sampai di ibukota kecamatan Damang Batu. Jalan mulai dibuka lebar dan bisa dilalui oleh mobil pada tahun 2013. Sebelum ada pembukaan jalan masyarakat desa Tumbang Anoi hanya memanfaatkan jalan perintis yang ada atau lewat jalan air untuk menuju ke kecamatan atau desa lainnya. Pelebaran jalan dilakukan

(37)

oleh pemerintah daerah dikarenakan akan diselenggarakan acara napak tilas perjanjian damai Tumbang Anoi. Mulai tahun 2013 menuju desa Tumbang Anoi dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan mobil yang mempunyai perlengkapan double gardan.

Beberapa fasilitas ada di desa Tumbang Anoi, antara lain; pendidikan dan kesehatan. Fasilitas pendidikan pada awalnya Sekolah Rakyat. Sekolah rakyat dibangun pada tahun 1947. Kemudian tahun 1963 atau 1964 diubah menjadi Sekolah dasar. Guru pertama yang datang berasal dari luar Provinsi Kalimantan seperti dari pulau Jawa. Keberadaan sekolah lanjutan seperti SMP dibangun tahun 2006. Selain fasilitas pendidikan, desa Tumbang Anoi juga terdapat Puskesmas pembantu. Pada tahun 2008 pemerintah daerah membangun puskesmas pembantu di desa Tumbang Anoi. Pembangunan puskesmas pembantu bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat desa Tumbang Anoi yang berada di hulu sungai kahayan dan sekitarnya untuk berobat. Hal ini dikarenakan pada saat itu belum ada jalan untuk mencapai pusat kecamatan untuk berobat di fasilitas kesehatan. Jalan satu-satunya untuk mencapai fasilitas harus menggunakan klotok3.

3 Pembahasan Fasilitas kesehatan dijelaskan lebih lanjut di bab 3

Gambar 2.3. Akses menuju desa Tumbang Anoi Sumber Dokumentasi peneliti

(38)

23 Desa Tumbang Anoi terdapat 1 RW dan terbagi menjadi 3 RT. Untuk perbatasan wilayah desa Tumbang Anoi, adalah: sebelah utara berbatasan dengan desa Karetau Sarian, sebelah selatan berbatasan dengan desa Karetau Rambangun. Batas sebelah timur bersebelahan dengan sungai Kahayan.

Gambar 2.5. Peta Desa Tumbang Anoi

Sumber: Dokumentasi peneliti

Masyarakat Desa Tumbang Anoi dalam mencari kebutuhan untuk makan dan lainnya mengandalkan keberadaan toko kelontong. Beberapa toko kelontong menyediakan berbagai macam kebutuhan masyarakat desa Tumbang Anoi, antara lain kebutuhan makan, MCK, kesehatan, bahkan reparasi mesin untuk klotok hingga mesin sedot emas. Toko-toko tersebut belanja barang persediaan masyarakat desa

Gambar 2.4. Salah satu Fasilitas Pendidikan di Desa Tumbang Anoi Sumber dokumentasi peneliti

(39)

Tumbang Anoi berasal dari pasar yang terletak di kecamatan Tewah yang sejauh ± 70 km. Dengan jauhnya letak pasar tersebut maka tidak mengherankan bila harga semua kebutuhan masyarakat desa Tumbang Anoi tinggi atau mahal, salah satu contoh harga beras di Tumbang Ano 25 kg mencapai Rp 250.000, harga satu butir telor mencapai Rp 1.000.. Hal ini Selain mengandalkan toko kelontong, masyarakat desa juga mengandalkan abang pedagang keliling. Pedagang tersebut berasal dari pulau jawa biasanya berasal dari Brebes, Indramayu, Tegal dan sekitarnya. Mereka menjual dari perlengkapan makan, cd musik hingga kebutuhan makan seperti ikan, tempe dan tahu.

Ketersediaan bahan makan hingga perlengkapan kebutuhan lain sebetulnya sudah tersedia bagi masyarakat desa Anoi, namun terdapat beberapa keterbatasan. Salah satunya dikarenakan keterbatasan antara pendapatan dan harga kebutuhan yang ada di desa. Untuk pembahasan mengenai pendapatan dan harga kebutuhan akan dibahas lebih lanjut di bab mata pencaharian.

2.3.2. Sebuah nama “Tumbang Anoi”

Berbicara tentang sebuah desa, terkadang tidak lepas mengenai bagaimana desa tersebut terbentuk. Dalam menggali informasi mengenai sejarah desa, sering kali muncul atau terdapat beberapa macam versi serta ragam asal informasi yang diperoleh baik dari tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan desa, maupun tetua adat setempat. Kondisi ini juga terjadi di Desa Tumbang Anoi yang terpilih sebagai lokasi penelitian Etnografi Budaya kesehatan tahun 2015. Desa Tumbang Anoi merupakan satu dari delapan desa yang berada di wilayah Kecamatan Damang Batu. Beberapa desa lainnya adalah Tumbang Marikoi yang merupakan ibu kota Kecamatan Damang Batu, Tumbang Posu, Tumbang Maraya, Lawang Kanji, Karetau Rambangun, Tumbang Anoi, Karetau Serean, dan Tumbang Mahoroi. Bila menilik nama-nama desa di atas, enam desa yang memakai nama tumbang. Pertanyaannya adalah: “Mengapa enam desa tersebut menggunakan kata tumbang?”

Salah satu tetua masyarakat di desa Tumbang Anoi, Bapak TI (70 tahun) bercerita bahwa “Tumbang Anoi” terdiri dari dua etnis kata; “Tumbang” dan “Anoi”. Kata “Tumbang” berarti simpangan sungai,

(40)

25 sedangkan “Anoi” merupakan nama sungai. Jadi nama desa Tumbang Anoi mempunyai arti desa yang terletak di persimpangan sungai Anoi dan hulu sungai Kahayan. Sungai Anoi merupakan salah satu anak sungai yang bermuara di sungai kahayan4.

Demikian juga dengan desa lainnya. Bila desa tersebut memakai nama “Tumbang”, maka sudah dipastikan desa tersebut terdapat sungai yang mengaliri desa tersebut. Sebagai perbandingan peneliti juga menanyakan arti kata di desa-desa lainnya, seperti Tumbang Marikoi, Tumbang Maraya, dan Tumbang Mahoroi. Menurut penuturan tokoh masyarakat di desa Marikoi (Bapak MA), arti kata “tumbang” berarti muara sungai sedangkan “Marikoi” merupakan nama sungai yang mengaliri desa tersebut. Untuk nama Marikoi sendiri beliau tidak bisa menjelaskan karena nama Marikoi juga sudah turun temurun dari zaman kakek nenek moyang yang dahulu.

Hal ini seperti yang diceritakan oleh bapak TI kepada tim peneliti, bahwa untuk menceritakan nama sungai tidak bisa beliau ceritakan dikarenakan penamaan ini sudah zaman kakek nenek moyang. Ketika zaman dahulu kakek dan nenek bercerita, anak-anak muda tidak berani untuk menanyakan kembali jadi.

“....Nonga aran sungoi anoi, ikai eyam tae ngesa ahkan ihkam gawi aran sungoi anoi tuh barak zaman horuk bara Damang Batu...”

“...untuk penamaan sungai anoi, kami tidak bisa menceritakan kepada kalian. Soalnya penamaan sungai ini sudah sejak zaman nenek moyang kami....” (pak TI)

Terdapat beberapan versi cerita yang beredar di antara warga mengenai tempat yang dianggap memiliki kekuatan magis ataupun tempat yang dianggap keramat/angker oleh masyarakat, bahkan ada sebuah tempat yang dijadikan tempat untuk bersemedi/bertapa sejak masa lalu hingga saat ini.

Terdapat cerita rakyat yang berdasarkan tatum dan berkembang di masyarakat mengenai “asal-usul” desa Tumbang Anoi. Tatum merupakan kisah asal-usul dan pengembaraan nenek moyang etnis Dayak yang pertama kalinya memasuki Kalimantan Tengah. Tatum biasanya dituturkan dalam bahasa Sangen atau Sangiang berupa

(41)

pantun-pantun atau bahasa berirama yang dibawakan dengan meratap (Abdul Fatah Nahan, dkk; 2010).

Cerita mengenai asal usul desa berawal dari, masyarakat desa Tumbang Anoi berkeyakinan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan oleh Ranying Hatalla Langit dengan menggunakan wadah emas. Dengan kehendak-Nya diturunkanlah seorang lelaki yang bernama Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut di puncak bukit Pamatuan (suatu dataran tinggi antara hulu sungai kahayan dan Barito). Dengan kesaktiannya Antung Bajela Bulau menciptakan dua orang lelaki yang diberi nama Lambung dan Lanting (Abdul Fatah Nahan, dkk; 2010). Di tempat lain Tuhan menurunkan dua butir telur burung yang kemudian berubah menjadi seorang lelaki dan tiga orang perempuan. Lelaki tersebut diberi nama Litih atau Tiung Layang, sedangkan ketiga perempuan bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameluh Putak Bulau, dan Lentar Katingei Bulau.

Ketika Lambung berajak dewasa kemudian beliau melakukan pengembaraan dari sungai Rakaui hingga sungai Kapuas. Ketika sampai di muara sungai Kapuas, beliau bertemu dengan seorang wanita cantik. Dikarenakan terkesima dengan kecantikannya, Lambung mengutakan niatnya untuk memperistri perempuan tersebut. Wanita tersebut menolak ajakan Lambung disebabkan perempuan tersebut ternyata jelmaan dari hantu kuntilanak. Wanita tersebut menyarankan agar Lambung pergi ke sebuah pulau untuk menemui seorang wanita yang sudah menjadi jodohnya. Lambung mengikuti petunjuk dan akhirnya bertemu Kameluh Putak Bulau serta mengambilnya sebagai isterinya. Mereka mendapat anak lima orang yakni Sempung (ayah Bungai), Serupoi (ayah Tambun), Nyai Etan, Nyai Rambu, dan Kumpang (Abdul Fatah Nahan, dkk; 2010).

Setelah sekian tahun lamanya Lambung hidup di pengembaraan, beliau merasa rindu dengan saudara-saudaranya. Oleh karena itu, lambung mengajak semua anggota keluarganya kecuali Sempung untuk kembali ke kampung halamannya. Sempung sengaja tidak diajak karena akan menuntut ilmu terlebih dahulu di negeri Cina. Dengan kembalinya lambung dan keturunannya ke Rangan Marau (suatu dataran tinggi yang terletak di sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan kahayan), maka dipercaya oleh masyarakat bahwa

(42)

27 Lambung dan keturunannya merupakan cikal bakal etnis Dayak Ot Danum.

Sekembalinya Sempung dari negeri Cina ke desa Rangan Marau, beliau mendengar bahwa akan ada penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang dari sungai Mahakam. Dengan adanya informasi tersebut, maka Sempung mengumpulkan seluruh warga untuk mencari solusi yang tepat. Solusi terpecahkan secara mufakat dengan mencari atau pindah ke tempat yang lebih aman. Perpindahan ini menggunakan cara dengan menyebar. Hal ini dikarenakan bila ada penyerangan dari etnis Dayak lainnya, maka satu etnis Ot Danum tidak meninggal semua.

Bapak TI bercerita, kedekatan dengan alam membuat masyarakat Rangan Anum meyakini bahwa leluhur mereka akan memberikan petunjuk lewat makhluk hidup, salah satunya lewat burung. Oleh karena itu mereka meminta petunjuk dari antang (burung elang) dengan melaksanakan upacara manajah antang (meramal). Dengan dipimpin oleh Sempung mereka mendirikan tiga batang tiang petunjuk dengan masing-masing diberi warna yang berbeda-beda. Maksud dari pemberian warna tersebut merupakan sebuah petunjuk yang diberikan oleh leluhur mereka kemana mereka harus pergi. Tidak lama setelah upacara dilaksanakan hinggaplah seekor elang di tiang dengan bendera kuning yang berarti mereka harus pergi ke arah hulu sungai Kahayan. Setelah petunjuk didapatkan maka semua warga desa mempersiapkan bekal dan bersama-sama pergi ke arah hulu sungai Kahayan.

Bapak TI melanjutkan cerita, setelah berpuluh-puluh hari melewati hutan sampailah mereka di sungai Kahayan. Tidak lama kemudian mereka bekerja keras dengan menebang pohon untuk dijadikan rakit sehingga mereka bisa menyisir sungai untuk mencari tempat atau rumah mereka yang baru. Setelah semua Kepala keluarga menyelesaikan rakit masing-masing, mereka memulai perjalanan melewati sungai. Agar dapat memberikan petunjuk untuk tempat tinggal yang baik, Sempung mempergunakan seekor ayam jantan yang diperolehnya waktu mengembara dulu. Ada cerita bahwa sebenarnya ayam tersebut berasal dari kayangan. Ketika ayam tersebut berkokok, merupakan pertanda bagi suatu kelompok atau keluarga untuk singgah dan menetap di suatu tempat.

(43)

Setelah tiga malam, mereka mendayung rakit, sampailah mereka di muara sungai dan ayam jantan Sempung berkokok. Sempung segera memerintahkan semua rakit untuk menepi dan berunding keluarga siapa yang menetap di lokasi tersebut. Setelah rundingan tercapai maka mereka segera bersama-sama membangun betang sebagai tempat tinggal keluarga yang menetap. Dengan selesainya membangun betang dan menetapkan lokasi tempat tinggal, mereka kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi baru bagi keluarga lainnya. Ketika melanjutkan perjalan, ayam Sempung kemudian berkokok lagi, dan memilih satu keluarga lainnya untuk menetap di lokasi tersebut. Kejadian tersebut terus berulang-ulang sampai semua warga desa Rangan Anum menempati lokasi yang baru. Menurut bapak TI, cerita rakyat di atas merupakan cerita yang turun temurun yang menceritakan bagaimana kejadian atau asal mula terdapat desa di sepanjang sungai Kahayan, salah satunya desa Tumbang Anoi.

2.3.3. Pola Pemukiman Masyarakat Desa Tumbang Anoi

Desa Tumbang Anoi merupakan desa terakhir yang bisa diakses menggunakan transportasi darat. Sebagian besar masyarakat desa Tumbang Anoi merupakan etnis Dayak Ot Danum. Ot Danum mempunyai arti sesuai dengan tempat tinggal mereka. Ot mempunyai arti hulu sedangkan Danum berarti Air. Etnis Dayak Ot Danum merupakan etnis Dayak yang tinggal di hulu sungai kahayan.

Sebagian kecil warga yang tinggal di desa Tumbang Anoi merupakan pendatang. Pendatang disini dapat dibagi menjadi beberapa, antara lain; pendatang sesama etnis Dayak dan etnis Jawa. Pendatang yang dimaksudkan di sini adalah orang di luar etnis Dayak Ot Danum yang bermukim di desa Tumbang Anoi. pendatang disini terdiri dari orang yang bekerja sebagai tenaga pendidik di desa Tumbang Anoi dan menikah dengan penduduk dari desa Tumbang Anoi, salah satunya seperti ibu El. Beliau baru 1 tahun tinggal di perumahan guru yang letaknya di belakang SD. Beliau merupakan CPNS yang ditugaskan oleh dinas pendidikan kabupaten dan diberikan mandat untuk mengajari pelajaran bahasa Inggris. Beliau berasal dari Lumajang, Jawa Timur;

Gambar

Gambar 2.1. Huma betang atau Rumah Betang  Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2.2. Tempat Perjanjian Damai Tumbang Anoi  Sumber dokumentasi peneliti
Gambar 2.4. Salah satu Fasilitas Pendidikan di Desa Tumbang Anoi  Sumber dokumentasi peneliti
Gambar 2.6. Jalan penghubung  antar RT di tengah desa Tumbang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik terapi kognitif dan perilaku menurut Workshop Keperawatan Jiwa ke-IX, (2015) adalah : empirically based (berbasis empiris) ada penelitian sebelumnya

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai impostor phenomenon pada mahasiswa psikologi Universitas Surabaya angkatan 2004 dan 2005, dan mengetahui

Dari gambar 4.12 sampai dengan 4.15 dapat dilihat bahwa saat tidak dihubungkan dengan jala-jala listrik sistem mampu mengirim dan menerima data dengan baik pada kecepatan

Punoh mideuen agam inong Han peue tanyong tuba muda Sulaiman yang bri mupeuti Geupumandi yang mulia Lhee lapeh kafan di Nabi U kubu le nyan geubawa Lheueh geukubu Nabi Daud

33 Disajikan pernyataan sederhana tentang Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, siswa mampu menjelaskan tentang dakwah kepada seseorang baik yang sudah islam maupun tidak.

Sehubungan dengan pengertian tersebut berhubungan dengan slogan dalam iklan ini yang menyatakan bahwa slogan “laki kalah sama pelangi” mencerminkan Tim kuning

Hasil uji hipotesis ditemukan bahwa variabel Kualitas Layanan dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kepuasan Konsumen khususnya pada responden di

Fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, merupakan fungsi koordinasi Unsur Pelaksana BPBD dilaksanakan melalui koordinasi dengan SKPK,