• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SELAYANG PANDANG TUMBANG ANOI

2.3. Geografi dan Kependudukan

2.3.2. Sebuah nama “Tumbang Anoi”

Berbicara tentang sebuah desa, terkadang tidak lepas mengenai bagaimana desa tersebut terbentuk. Dalam menggali informasi mengenai sejarah desa, sering kali muncul atau terdapat beberapa macam versi serta ragam asal informasi yang diperoleh baik dari tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan desa, maupun tetua adat setempat. Kondisi ini juga terjadi di Desa Tumbang Anoi yang terpilih sebagai lokasi penelitian Etnografi Budaya kesehatan tahun 2015. Desa Tumbang Anoi merupakan satu dari delapan desa yang berada di wilayah Kecamatan Damang Batu. Beberapa desa lainnya adalah Tumbang Marikoi yang merupakan ibu kota Kecamatan Damang Batu, Tumbang Posu, Tumbang Maraya, Lawang Kanji, Karetau Rambangun, Tumbang Anoi, Karetau Serean, dan Tumbang Mahoroi. Bila menilik nama-nama desa di atas, enam desa yang memakai nama tumbang. Pertanyaannya adalah: “Mengapa enam desa tersebut menggunakan kata tumbang?”

Salah satu tetua masyarakat di desa Tumbang Anoi, Bapak TI (70 tahun) bercerita bahwa “Tumbang Anoi” terdiri dari dua etnis kata; “Tumbang” dan “Anoi”. Kata “Tumbang” berarti simpangan sungai,

25 sedangkan “Anoi” merupakan nama sungai. Jadi nama desa Tumbang Anoi mempunyai arti desa yang terletak di persimpangan sungai Anoi dan hulu sungai Kahayan. Sungai Anoi merupakan salah satu anak sungai yang bermuara di sungai kahayan4.

Demikian juga dengan desa lainnya. Bila desa tersebut memakai nama “Tumbang”, maka sudah dipastikan desa tersebut terdapat sungai yang mengaliri desa tersebut. Sebagai perbandingan peneliti juga menanyakan arti kata di desa-desa lainnya, seperti Tumbang Marikoi, Tumbang Maraya, dan Tumbang Mahoroi. Menurut penuturan tokoh masyarakat di desa Marikoi (Bapak MA), arti kata “tumbang” berarti muara sungai sedangkan “Marikoi” merupakan nama sungai yang mengaliri desa tersebut. Untuk nama Marikoi sendiri beliau tidak bisa menjelaskan karena nama Marikoi juga sudah turun temurun dari zaman kakek nenek moyang yang dahulu.

Hal ini seperti yang diceritakan oleh bapak TI kepada tim peneliti, bahwa untuk menceritakan nama sungai tidak bisa beliau ceritakan dikarenakan penamaan ini sudah zaman kakek nenek moyang. Ketika zaman dahulu kakek dan nenek bercerita, anak-anak muda tidak berani untuk menanyakan kembali jadi.

“....Nonga aran sungoi anoi, ikai eyam tae ngesa ahkan ihkam gawi aran sungoi anoi tuh barak zaman horuk bara Damang Batu...”

“...untuk penamaan sungai anoi, kami tidak bisa menceritakan kepada kalian. Soalnya penamaan sungai ini sudah sejak zaman nenek moyang kami....” (pak TI)

Terdapat beberapan versi cerita yang beredar di antara warga mengenai tempat yang dianggap memiliki kekuatan magis ataupun tempat yang dianggap keramat/angker oleh masyarakat, bahkan ada sebuah tempat yang dijadikan tempat untuk bersemedi/bertapa sejak masa lalu hingga saat ini.

Terdapat cerita rakyat yang berdasarkan tatum dan berkembang di masyarakat mengenai “asal-usul” desa Tumbang Anoi. Tatum merupakan kisah asal-usul dan pengembaraan nenek moyang etnis Dayak yang pertama kalinya memasuki Kalimantan Tengah. Tatum biasanya dituturkan dalam bahasa Sangen atau Sangiang berupa

pantun-pantun atau bahasa berirama yang dibawakan dengan meratap (Abdul Fatah Nahan, dkk; 2010).

Cerita mengenai asal usul desa berawal dari, masyarakat desa Tumbang Anoi berkeyakinan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit yang diturunkan oleh Ranying Hatalla Langit dengan menggunakan wadah emas. Dengan kehendak-Nya diturunkanlah seorang lelaki yang bernama Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut di puncak bukit Pamatuan (suatu dataran tinggi antara hulu sungai kahayan dan Barito). Dengan kesaktiannya Antung Bajela Bulau menciptakan dua orang lelaki yang diberi nama Lambung dan Lanting (Abdul Fatah Nahan, dkk; 2010). Di tempat lain Tuhan menurunkan dua butir telur burung yang kemudian berubah menjadi seorang lelaki dan tiga orang perempuan. Lelaki tersebut diberi nama Litih atau Tiung Layang, sedangkan ketiga perempuan bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameluh Putak Bulau, dan Lentar Katingei Bulau.

Ketika Lambung berajak dewasa kemudian beliau melakukan pengembaraan dari sungai Rakaui hingga sungai Kapuas. Ketika sampai di muara sungai Kapuas, beliau bertemu dengan seorang wanita cantik. Dikarenakan terkesima dengan kecantikannya, Lambung mengutakan niatnya untuk memperistri perempuan tersebut. Wanita tersebut menolak ajakan Lambung disebabkan perempuan tersebut ternyata jelmaan dari hantu kuntilanak. Wanita tersebut menyarankan agar Lambung pergi ke sebuah pulau untuk menemui seorang wanita yang sudah menjadi jodohnya. Lambung mengikuti petunjuk dan akhirnya bertemu Kameluh Putak Bulau serta mengambilnya sebagai isterinya. Mereka mendapat anak lima orang yakni Sempung (ayah Bungai), Serupoi (ayah Tambun), Nyai Etan, Nyai Rambu, dan Kumpang (Abdul Fatah Nahan, dkk; 2010).

Setelah sekian tahun lamanya Lambung hidup di pengembaraan, beliau merasa rindu dengan saudara-saudaranya. Oleh karena itu, lambung mengajak semua anggota keluarganya kecuali Sempung untuk kembali ke kampung halamannya. Sempung sengaja tidak diajak karena akan menuntut ilmu terlebih dahulu di negeri Cina. Dengan kembalinya lambung dan keturunannya ke Rangan Marau (suatu dataran tinggi yang terletak di sungai Joloi yang bermuara di sungai Barito dan kahayan), maka dipercaya oleh masyarakat bahwa

27 Lambung dan keturunannya merupakan cikal bakal etnis Dayak Ot Danum.

Sekembalinya Sempung dari negeri Cina ke desa Rangan Marau, beliau mendengar bahwa akan ada penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang dari sungai Mahakam. Dengan adanya informasi tersebut, maka Sempung mengumpulkan seluruh warga untuk mencari solusi yang tepat. Solusi terpecahkan secara mufakat dengan mencari atau pindah ke tempat yang lebih aman. Perpindahan ini menggunakan cara dengan menyebar. Hal ini dikarenakan bila ada penyerangan dari etnis Dayak lainnya, maka satu etnis Ot Danum tidak meninggal semua.

Bapak TI bercerita, kedekatan dengan alam membuat masyarakat Rangan Anum meyakini bahwa leluhur mereka akan memberikan petunjuk lewat makhluk hidup, salah satunya lewat burung. Oleh karena itu mereka meminta petunjuk dari antang (burung elang) dengan melaksanakan upacara manajah antang (meramal). Dengan dipimpin oleh Sempung mereka mendirikan tiga batang tiang petunjuk dengan masing-masing diberi warna yang berbeda-beda. Maksud dari pemberian warna tersebut merupakan sebuah petunjuk yang diberikan oleh leluhur mereka kemana mereka harus pergi. Tidak lama setelah upacara dilaksanakan hinggaplah seekor elang di tiang dengan bendera kuning yang berarti mereka harus pergi ke arah hulu sungai Kahayan. Setelah petunjuk didapatkan maka semua warga desa mempersiapkan bekal dan bersama-sama pergi ke arah hulu sungai Kahayan.

Bapak TI melanjutkan cerita, setelah berpuluh-puluh hari melewati hutan sampailah mereka di sungai Kahayan. Tidak lama kemudian mereka bekerja keras dengan menebang pohon untuk dijadikan rakit sehingga mereka bisa menyisir sungai untuk mencari tempat atau rumah mereka yang baru. Setelah semua Kepala keluarga menyelesaikan rakit masing-masing, mereka memulai perjalanan melewati sungai. Agar dapat memberikan petunjuk untuk tempat tinggal yang baik, Sempung mempergunakan seekor ayam jantan yang diperolehnya waktu mengembara dulu. Ada cerita bahwa sebenarnya ayam tersebut berasal dari kayangan. Ketika ayam tersebut berkokok, merupakan pertanda bagi suatu kelompok atau keluarga untuk singgah dan menetap di suatu tempat.

Setelah tiga malam, mereka mendayung rakit, sampailah mereka di muara sungai dan ayam jantan Sempung berkokok. Sempung segera memerintahkan semua rakit untuk menepi dan berunding keluarga siapa yang menetap di lokasi tersebut. Setelah rundingan tercapai maka mereka segera bersama-sama membangun betang sebagai tempat tinggal keluarga yang menetap. Dengan selesainya membangun betang dan menetapkan lokasi tempat tinggal, mereka kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi baru bagi keluarga lainnya. Ketika melanjutkan perjalan, ayam Sempung kemudian berkokok lagi, dan memilih satu keluarga lainnya untuk menetap di lokasi tersebut. Kejadian tersebut terus berulang-ulang sampai semua warga desa Rangan Anum menempati lokasi yang baru. Menurut bapak TI, cerita rakyat di atas merupakan cerita yang turun temurun yang menceritakan bagaimana kejadian atau asal mula terdapat desa di sepanjang sungai Kahayan, salah satunya desa Tumbang Anoi.

2.3.3. Pola Pemukiman Masyarakat Desa Tumbang Anoi

Desa Tumbang Anoi merupakan desa terakhir yang bisa diakses menggunakan transportasi darat. Sebagian besar masyarakat desa Tumbang Anoi merupakan etnis Dayak Ot Danum. Ot Danum mempunyai arti sesuai dengan tempat tinggal mereka. Ot mempunyai arti hulu sedangkan Danum berarti Air. Etnis Dayak Ot Danum merupakan etnis Dayak yang tinggal di hulu sungai kahayan.

Sebagian kecil warga yang tinggal di desa Tumbang Anoi merupakan pendatang. Pendatang disini dapat dibagi menjadi beberapa, antara lain; pendatang sesama etnis Dayak dan etnis Jawa. Pendatang yang dimaksudkan di sini adalah orang di luar etnis Dayak Ot Danum yang bermukim di desa Tumbang Anoi. pendatang disini terdiri dari orang yang bekerja sebagai tenaga pendidik di desa Tumbang Anoi dan menikah dengan penduduk dari desa Tumbang Anoi, salah satunya seperti ibu El. Beliau baru 1 tahun tinggal di perumahan guru yang letaknya di belakang SD. Beliau merupakan CPNS yang ditugaskan oleh dinas pendidikan kabupaten dan diberikan mandat untuk mengajari pelajaran bahasa Inggris. Beliau berasal dari Lumajang, Jawa Timur;

29 “...Saya di sini baru satu tahun mas.... rencananya sih 2 tahun di sini namun belum tahu juga...”

Ibu EL pada awalnya tinggal di Palangkaraya, kemudian beliau mendaftar CPNS lewat jalur online. Setelah melalui berbagai macam tes kemudian beliau diterima di kabupaten Gunung Mas dan di tempatkan di desa Tumbang Anoi.

Hal yang agak berbeda dengan ibu LI. Beliau sudah menetap di desa Tumbang Anoi ± 4 tahun. Beliau menetap di desa ini dikarenakan mengikuti suami. Suami ibu LI berasal dari desa Tumbang Anoi, sedangkan ibu LI berasal dari Banjar. Ibu LI mencoba keberuntungan di desa Tumbang Anoi dengan membuka usaha warung kelontong yang menjual jajanan anak kecil, kebutuhan dapur dan sebagainya. Setiap 1 tahun sekali beliau pulang ke Banjar untuk menengok saudaranya, dan orang tuanya.

Pola pemukiman masyarakat desa Tumbang Anoi, secara umum berdekatan. Jarak rumah satu dengan lainnya sekitar 5 hingga 10 meter. Mereka membangun pola tempat tinggal berdekatan dengan sanak saudaranya. Dikarenakan jumlah pendatang di desa Tumbang Anoi berjumlah sedikit dan kebanyakan mereka menikah dengan orang asli Tumbang Anoi, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat satu desa ini masih saudara. Untuk pendatang yang bekerja di desa Tumbang Anoi, seperti ibu EL, mereka menempati rumah dinas yang dibuatkan oleh pemerintah daerah.

Pola pemukiman di desa Tumbang Anoi searah aliran sepanjang sungai kahayan. Pertengahan kampung dipisahkan oleh jalan cor semen dari selatan ke utara. Selain itu terdapat juga jalan luar penghubung ke desa di bawahnya yang belum diaspal ataupun dicor. Jalan tanah masih yang licin bila turun hujan masih menjadi “sahabat yang kental” bila akan menuju ke desa sebelah.

Gambar 2.6. Jalan penghubung antar RT di tengah desa Tumbang

Anoi

Letak rumah paling jauh dari sungai kahayan berjarak 500 meter. Walaupun jarak agak jauh namun mereka tetap berada di pinggiran sungai kecil Anoi. Selain memilih di pinggir sungai dalam memilih tempat tinggal, dekat dengan jalan penghubung antar RT juga menjadi pilihan warga bagi yang akan membangun rumah. Pemilihan dekat dengan sungai menjadi prioritas bagi warga desa bila akan membangun rumah. Hal ini dikarenakan fungsi sungai sangat besar bagi masyarakat desa Tumbang Anoi. Sungai berfungsi sebagai akses jalan, MCK dan air minum. Bila rumah mereka berjauhan dengan sungai maka mereka akan berjalan agak jauh untuk mengambil air. Dikarenakan sungai sebagai sumber air minum selain mata air, maka terdapat keputusan bersama untuk pemilihan lokasi untuk MCK dan air minum. Daerah yang agak atas menjadi pemilihan untuk diambil air minumnya, sedangkan bila untuk MCK diharuskan untuk di bagian hilir air sungai.

Pemeliharaan binatang terutama babi menjadi suatu hal yang penting bagi mereka. Memelihara babi bisa mendapatkan pemasukan bagi ekonomi keluarga. Harga babi hidup mencapai Rp 50.000/kg, sedangkan untuk babi yang sudah disembelih mencapai Rp 60.000/kg. Babi merupakan binatang yang dijadikan hewan kurban ketika ritual (tiwah, dan sebagainya) dan juga menjadi salah satu lauk. Dengan harga yang relatif mahal, maka banyak warga desa yang memelihara babi untuk dijual. Mereka membuat kandang babi di belakang rumah, dimana kebanyakan kebanyakan rumah warga adalah sungai yang menjadi tempat MCK mereka.

Terdapat beberapa warga yang membuat kandang di halaman belakang mereka. Kotoran hewan peliharaan mereka kebanyakan tidak diurus hanya dibiarkan saja. Warga desa Tumbang Anoi juga memelihara ayam dan anjing. Ayam dibiarkan saja berkeliaran tidak dibuatkan kandang. Pemeliharaan anjing dipergunakan untuk teman berburu. Dengan fungsi tersebut maka warga desa menganggap bahwa anjing merupakan hewan yang penting sehingga tidak menjadi barang konsumsi. Dikarenakan menjadi teman berburu babi hutan dan tidak dikonsumsi maka mereka membiarkan saja anjing berkeliaran. Dengan berkeliarannya anjing maka kotorannya dibiarkan saja.

31 Hewan penting lainnya adalah ayam kampung terutama jantan. Ayam jantan oleh warga desa dijadikan tempat pertaruhan ketika ada sabung ayam. Warga desa bila ada kerumunan atau acara kumpul-kumpul sering melakukan sabung ayamdengan taruhan hingga berjuta-juta. Taruhan berjuta-juta tidak hanya ditanggung oleh satu orang saja namun bisa berombongan. Harga satu ayam kampung jantan bisa mencapai Rp 200.000. Dengan tidak diurusnya kotoran babi dan anjing menjadikan suatu permasalah tersendiri bagi masyarakat desa. Banyak warga terjangkit sakit diare dikarenakan kotoran binatang selain pemanfaatan sungai sebagai air minum. Selain kotoran hewan, sampah juga menjadi permasalahan. Mereka biasa membuang sampah di sungai atau membakarnya.

Desa Tumbang Anoi merupakan desa yang sudah lama, sehingga masyarakat punya cara pandang dalam memahami dan membangun pola tempat tinggal. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa bentuk rumah yang ada di desa Tumbang Anoi. Terdapat dua model bentuk rumah di desa Tumbang Anoi, antara lain; rumah panggung yang terbuat dari kayu dan rumah permanen yang lantainya terbuat dari “cor” (semen dan pasir). Penggunaan cor, keramik, dan kayu ulin untuk semua bangunan rumah menjadi ukuran untuk memandang prestise seseorang. Masyarakat desa Tumbang Anoi, beranggapan bahwa bila rumah menggunakan bahan baku tersebut dapat dikatakan bahwa rumah permanen dan tidak akan diubah, rehab atau pindah lagi.

Bagi masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke atas membangun rumah dengan semen walaupun dinding rumah masih tetap memakai kayu, namun lantai memakai keramik dan semen. Hal ini dikarenakan tidak semua rumah menggunakan model tersebut. Rumah dengan model tersebut membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Biaya tersebut meliputi dari bahan baku seperti pasir, semen, dan keramik. Untuk menggunakan semen dan pasir di desa Tumbang Anoi sangatlah mahal, dikarenakan ongkos transportasi dan tidak adanya sumber daya (pasir). Tidak ada toko atau warung di Tumbang Anoi menjual keramik, sehingga harus membeli di ibu kota kabupaten dan membutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit. Selain itu juga membutuhkan lokasi yang harus rata sehingga harus dipasang keramik.

Selain ongkos untuk material yang dirasa cukup mahal, kebutuhan tukang untuk membangun rumah yang bahan baku dari semen tidak tersedia di desa Tumbang Anoi. Oleh karena itu bila ada masyarakat yang akan mendirikan rumah memakai semen maka harus mengambil tukang dari daerah lain (biasanya mereka memakai tukang dari kuala kurun, atau bahkan memanggil dari kabupaten lain).

Dengan adanya ongkos yang dirasa sangat berat maka, kebanyakan masyarakat bahkan 90% mereka menggunakan kayu untuk membangun rumah. Mereka memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekeliling mereka. Beberapa menggunakan kayu ulin (kayu khas Kalimantan) untuk membangun rumah mereka. Untuk membangun rumah, mereka mencari kayu ulin dari hutan yang ada di lingkungan mereka kemudian membawanya ke pemukiman dengan memakai klotok. Untuk membangun rumah, mereka tidak hanya memakai kayu ulin namun juga menggunakan kayu banoas, kayu mahadiram, kayu mranti, dan sebagainya.

Menurut bapak BIL, membangun rumah dengan menggunakan kayu bila dihitung nilai nominal sebenarnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan memakai semen. Bapak BIL bercerita bahwa biaya untuk membeli papan untuk dinding dan lantai 1 kubik (sejumlah 62 buah) seharga Rp 4.000.000 – Rp 5.000.000. Penggunaan kayu ulin dipergunakan untuk memasang jihi (penopang utama dalam rumah panggung). Untuk dinding dan lantainya biasanya memakai kayu mranti, dan lainnya. Dalam penebangan kayu mereka juga ada aturan main yang harus mereka lakukan. Dalam menebang kayu mereka harus sampai tumbang dan bila tumbangnya menutupi akar pohon, pohon tersebut tidak boleh diambil untuk dijadikan rumah. Hal ini dikarenakan pohon tersebut belum mau berpisah dengan apa yang “ditinggalinya” sekarang. Namun bila ada orang atau kelompok lain yang sedang mencari kayu untuk membangun rumah diperbolehkan untuk mengambil kayu tersebut. Model rumah panggung masih mendominasi dalam bentuk rumah warga desa Tumbang Anoi. Alasan warga membangun rumah dengan model tersebut dikarenakan beberapa hal, antara lain; untuk menyiasati konstur tanah. Hal ini dikarenakan bentuk topografis desa lereng dan berbukit-bukit. Sehingga meratakan tanah untuk dibangun rumah membutuhkan

33 waktu dan biaya. Selain menyiasati konstur tanah, bentuk rumah panggung juga menghindari binatang untuk masuk ke dalam rumah.

Sebagian masyarakat desa Tumbang Anoi menganut agama Kristen namun sebagai orang asli Dayak, ritual kaharingan dan panggilan leluhur tidak bisa lepas di kehidupan sehari-hari termasuk di rumah mereka. Mereka mempercayai bahwa roh-roh leluhur mereka masih melindungi mereka. Oleh karena itu di beberapa rumah di desa Tumbang Anoi terutama yang membuka usaha menempelkan sebuah benda di depan rumah mereka. Mereka biasa menyebutnya dengan istilah “sakehang”. Sakehang berupa bekas botol minuman yang diisi kayu dan dicampur dengan minyak. Tujuan pemasangan sakehang ini agar bisa menjaga rumah beserta isinya, selain itu juga agar bisa melindungi dari roh-roh jahat yang akan mengganggu.

Bapak CI bercerita bahwa fungsi dari sakehang juga sebagai penolak dari perbuatan seseorang yang akan berbuat jahat seperti mencuri dan merampok. Menurut bapak CI Sakehang ada yang terbuat dari minyak dan ada juga yang dari kayu. Untuk jenis kayu bapak CI tidak bisa bercerita dikarenakan beliau tidak mengetahui dan hanya beberapa orang saja yang tahu. Selain itu juga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh sakehang tersebut.

Bapak CI bercerita bahwa kalau ada yang memasang sakehang sebagai pelindung harus hati-hati. Hal ini dikarenakan bila ada seseorang baru memasang sakehang pertama kali dan ada orang lain yang akan berbuat jahat pasti akan meninggal dunia.

“....ini cuma cerita mas, namun saya tidak bohong. Dulu ada orang yang baru pasang sakehang, kemudian beberapa hari kemudian ada orang yang mau nyuri tetapi gagal. Namun karena rumah itu ada sakehangnya terus orang itu gagal nah... lalu kemudian orang itu sakit lalu meninggal. Kata orang-orang yang tahu hal tersebut ternyata rumah itu ada yang jaga (sakehang). Orang itu memakai kayu dan ada rohnya nah...roh itu yang nyerang orang yang mau curi itu. Namun roh di sini bukan roh orang yang sudah meninggal ya mas tapi roh kayu itu kadang-kadang ada yang jadi ular, atau hewan lainnya....”

Dokumen terkait