• Tidak ada hasil yang ditemukan

IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Bubble tea merupakan minuman olahan teh asal Taiwan yang bercita rasa manis dari susu dan gula kelapa dengan tambahan mutiara tapioka. Bubble tea juga dikenal dalam beberapa nama yaitu boba milk tea dan pearl milk tea yang merujukpada tambahan elemen minuman khas berupa bubble atau boba atau pearl sebagai identitas yang melekat pada setiap produk (Yu et al, 2016: 4). Popularitas bubble tea sebagai minuman yang memadukan mutiara kenyal menjadi daya tarik utama yang menarik perhatian para konsumen minuman cepat saji. Dengan nama lokal fen yuan yang berarti puding tapioka manis menyebar secara domino sebagai teahouse folklore di Taiwan. Sebagai hasil inovasi dari olahan teh tradisional asal Distrik Taichung di Taiwan, bubble tea mengalami perkembangan hingga menjadi tren konsumsi yang dibawa melalui komersialisasi boba sebagai bisnis waralaba yang mengglobal. Oleh sebab itu produk kuliner ini tidak lagi hanya dapat ditemui pada domestik Taiwan namun juga telah dapat ditemui diberbagai negara di Dunia. Pada mulanya, bubble tea merambah wilayah terdekatnya yaitu China dan Hongkong. Kemudian produk kuliner bubble tea mulai popular di Singapura pada tahun 2003 meskipun telah muncul pada tahun 1992 dalam bentuk bisnis kedai di sekitar Marina Garden yang kemudian tumbuh dan berkembang pesat sebagai kafe (Yap, 2004). Tercatat bahwa sebanyak 5000 kafe bubble tea berdiri disekitar Marina Garden. Demografi Singapura yang didominasi oleh warga bertenis Tionghoa menjadi faktor pendukung yang prominen.

Tidak hanya menyasar pasar Asia, bubble tea juga merambah Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Afrika dan Australia. Masuknya bubble tea di Negara- negara non-Asia menjadi fenomena yang tidak biasa mengingat bahan baku gula kelapa tidak umum bahkan tidak cukup popular untuk dikonsumsi secara transnasional. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang dituju secara

(2)

profesional oleh aktivitas bisnis waralaba internasional bubble tea. Chatime1 berdiri di California pada tahun 2006. California menjadi negara bagian pertama yang dikenal identik dengan bisnis bubble tea bersamaan dengan besarnya konsentrasi aktivitas imigran Asia disana. Disusul dengan masuknya berbagai merek bubble tea lain seperti Quickly Tea House, Gong Cha, Share Tea dan CoCo Fresh Tea & Juice pada rentang waktu yang saling berdekatan. Bubble tea yang berbahan dasar teh mampu menyisip ditengah kultur kopi yang telah mengakar melalui kedai-kedai kopi yang mengadiksi kultur publik Amerika Serikat (CNBC, 2011). Efeknya, kedai bubbe tea dapat memperlihatkan popularitasnya dikehidupan sosial warga Amerika Serikat yang dikenal sebagai konsumen kafein terbesar setelah Eropa (McCarthy, 2015). Gelombang antusiasme diaspora Asia Amerika terhadap bubble kemudian merambah wilayah utara Amerika Serikat tepatnya di New York. Dengan dibukanya tiga kedai waralaba Tiger Sugar pada empat bulan pertama periode pembukaannya yang menunjukan antusiasme publik Amerika Serikat secara umum. Sebab pendiriannya menyasar wilayah yang ramai dengan aktivitas metropolitan. Kedai pertama berdiri di Flushing pada bulan Mei, disusul dengan pendirian di Brooklyn, baru Chinatown pada September 2019.

Gambar 1.1. Unggahan Akun Instagram Food Reviewer (Food With Becka, 2018)

1 Chatime merupakan waralaba internasional bubble tea moderen yang berkembang dari bisnis lokal di Taiwan (Chatime, 2020).

(3)

Bubble tea muncul sebagai ikon kuliner khas yang menarik perhatian. Pada tataran interaksi sosial warga Amerika Serikat, bubble tea telah menjadi bagian dari preferensi konsumsi disaat momentum libur musim panas. Besarnya massa penikmat bubble tea terlihat secara signifikan pada dua fenomena yang berkembang yakni pada kegiatan yang mengundang massa serta perilaku korporasi kuliner Amerika Serikat. Hello Taiwan Festival2 yang diadakan sejak tahun 2017 telah menarik antusiasme publik tidak hanya dari anggota komunitas Taiwan namun juga publik New York. Tercatat sebanyak 450.000 orang telah menghadiri Hello Taiwan Festival pada tahun pertama penyelenggaraan. Tiket terjual masif dalam tiga tahun penyelenggaraan festival yang diadakan di Kota New York. Terlebih ketika kunjungan warga New York memadati stand yang memperagakan proses pembuatan serta bilik yang memaparkan informasi terkait bubble tea (Tzu-ti, 2019). Diperkuat dengan Starbuck yang menambahkan menu bubble kedalam deretan menu rahasia (lihat gambar 1.1). Penambahan menu dilakukan dalam skema pekan percobaan di Huston, Texas yang notabene banyak dihuni warga imigran asal Amerika Latin. Unggahan konten foto akun

@foodwithbecka yang menunjukan dua menu khas Starbuck Karamel Frappucino dan Macchiato dengan tambahan boba didalamnya menjadi fenomena digital yang memantik rantai unggahan serupa.

Melalui rekam digital pada mesin pencarian google Amerika Serikat menjadi platform digital yang tepat untuk mengamati pertumbuhan tren secara agregat.

Data yang disajikan menggunakan pola interval dalam rentang 25 poin dengan nilai optimum 100 poin. Disajikan data pembanding antara popularitas bubble tea dengan jarritos sebagai minuman popular yang beriringan dengan imigran Meksiko ditunjukan pencarian kata kunci terkait (lihat grafik 1.1).

2 Festival berbayar yang diadakan oleh komunitas Taiwan di Amerika Serikat dalam memperkenalkan dan branding terhadap bubble tea diluar wilayah konsentrasinya yaitu Chinatown. Dengan penyelenggaraan yang berlangsung tematik setiap tahunnya didukung dengan bilik-bilik informasi yang bersesuaian. Inisasi kemunculannya berkaitan dengan upaya untuk menjembatani anggota muda komunitas Taiwan-New York, Amerika melalui konser musik.

Didukung dengan momen penyelenggaraan yang diadakan berdekatan dengan perayaan Thanksgiving menjadi momen tepat untuk merekatkan ikatan komunal (Hello Taiwan, 2018).

(4)

Grafik 1.1. Perbandingan Pencarian Kata Kunci Bubble Tea dan Jarritos (Google Trends, 2020)

Pada rentang waktu yang sama, terlihat bahwa pertumbuhan tren berlangsung positif sepanjang tahun dibandingkan dengan minuman popular jarritos. Hal tersebut dikarenakan, kata kunci bubble tea near dan bubble tea near me tidak hanya menduduki top search namun juga mengalami peningkatan bersama dengan kata kunci best bubble tea. Disamping pengamatan terhadap persebaran kedai bubble tea, telah timbul ketertarikan dari publik Amerika Serikat terhadap bubble tea yang telah menyebar kesuluruh wilayah negara bagian. Pada pola persebarannya, bubble tea telah mampu keluar dari California menuju kota-kota metropolitan dibagian utara sebagai pusat tren baru. Apabila dibandingkan dengan jarritos yang masih menyisakan beberapa negara bagian dengan data tak terekam.

Terlebih ketika wilayah persebaran yang masih terkonsentrasi pada negara bagian yang memang berdekatan secara geografis dengan Meksiko. Proyeksi pertumbuhan tren masih terus positif hingga tahun 2023 dengan estimasi pertumbuhan pasar bubble tea diestimasikan akan tumbuh hingga 7.3% (Xu dalam Nguyen, 2020: 3).

(5)

Grafik 1.2. Presentase Kelompok Imigran kelahiran luar Amerika Serikat, Mexico 25%; India 5,9%; China 4,9%; Filipina 4,5%; Vietnam 3.1%; dan Korea 2.3% dari Total imigran di Amerika Serikat (Batalova, Blizzard & Bolter, 2020).

Meskipun popularitas bubble tea terlihat sangat progresif namun berbanding terbalik dengan kuantitas imigran Taiwan sebagai pembawa kultur. Sebab ditengah komposisi masyarakat imigran di Amerika Serikat, kuantitas imigran Taiwan tidak cukup besar. Imigran Taiwan berada dibawah identifikasi sebagai bagian dari imigran etnis China bersama dengan Hongkong dan Makau. Etnis China sendiri berada pada peringkat ketiga setelah imigran Meksiko dan India (lihat grafik 1.2). Selain itu Imigran Taiwan merupakan satu dari banyak etnis asal Asia yang juga bertempat tinggal di Amerika Serikat serta memiliki jumlah yang lebih signifikan. India menjadi etnis Asia terbesar mencapai 2.688.000 orang.

Sedangkan China berada diposisi kedua dengan 2.482.000 orang. Disusul dengan negara-negara Asia Tenggara yaitu Filipina dan Vietnam sebesar 2.045.000 dan 1.384.000 orang. Imigran Korea berada pada peringkat terakhir pada komposisi imigran Asia di Amerika Serikat dengan jumlah 1.039.000 orang. Hal tersebut menunjukan adanya limitasi ruang bagi eksplorasi kultural dari komunitas imigran Taiwan pada lingkungan sosial Amerika Serikat.

Perlu diketahui bahwa terminologi imigran pada data diatas berhubungan dengan seseorang yang bukan warga negara Amerika Serikat ketika dilahirkan. Meliputi penduduk naturalisasi, penduduk bertempat tinggal permanen yang diakui secara hukum, migrasi legal kategori non-imigran serta penduduk ilegal. Dengan begitu

(6)

dalam kuantitasnya, imigran Taiwan tidak berada pada posisi yang optimum untuk mempopularkan bubble tea di Amerika. Disisi lain, bubble tea tumbuh dan dapat dikenali secara otentik sebagai bagian dari kultur yang melekat dengan identitas kultural warga Asia Amerika. Hadirnya boba menjadi ikon yang berasosiasi dengan Asia sekaligus membedakan identitas produk kuliner ini dengan kuliner popular lainnya yang telah berkembang sebelumnya di Amerika Serikat (Hale, 2020). Kondisi yang ada merujuk pada pergeseran posisi generasi Asia Amerika dari penerima kini sebagai pencipta tren tersendiri yang notabene diikuti secara publik (Park, 2015: 24). Dinyatakan pula bahwa boba telah hadir dalam kehidupan generasi muda Asia Amerika sebagai penanda munculnya kekuatan komunitas Asia dan produk kultural diaspora Asia (Cong, 2016: 61).

Dengan demikian, tautan simbolik terhadap identitas kultural Asia Amerika pada tataran publik Amerika semakin popular seiring dengan membesarnya antusiasme terhadap bubble tea. Tren bubble tea yang meningkat pesat, tidak dapat dilepaskan dari keberlangsungan konsumsi diaspora Asia Amerika terhadap produk minuman popular yang telah menyebar di Amerika Serikat. Ditengah keberagaman etnis Asia yang bertempat tinggal di Amerika Serikat, keumuman simbol identitas tidak menunjukan adanya bentuk clash atau patahan kultural.

Terlebih ketika berhubungan dengan keberagaman karakteristik etnis Asia yang tumbuh di Amerika Serikat. Justru mencuatkan kultur boba sebagai ikon baru di Kota-kota metropolitan Amerika Serikat.

1.2.Rumusan Masalah

Mengapa produk minuman bubble tea bisa menjadi tren sebagai simbol identitas kultural diaspora Asia Amerika di Amerika Serikat?.

1.3.Kajian Literatur

Kajian model integrasi kultur yang dilakukan migran dalam masyarakat dominan di negara destinasi menempatkan migran sebagai subjek utama yang akan selalu dihadapkan kepada upaya adaptasi melalui asimilasi (Lucassen & Böcker, 2004:

(7)

7; Fong, Verkuyten & Choi, 2016: 560). Dorongan adaptasi dipengaruhi oleh hubungan relasional antara persepsi migran dengan lingkungan setempat.

Tingkat asimilasi yang juga mempengaruhi keberlangsungan identitas kultural migran baik yang membawa pengaruh positif maupun destruktif. Pertama bentuk asimilasi yang berlangsung positif seringkali dikaitkan dengan dukungan pemerintah negara asal dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah negara penerima ditengah kultur dan orientasi politik yang berbeda dicontohkan pada pemerintah Taiwan terhadap China (Lynch, 2004: 31). Dapat pula ditunjang melalui institusi yang memperjelas kedudukan migran melalui produk kebijakan dan arah transformasi (Losoncz & Marlowe, 2019: 12). Meskipun kebijakan bersifat direktif yang menghadirkan tekanan namun mampu memfasilitasi ruang dialog. Sebaliknya pada negara yang tidak menghadirkan institusi resmi menghadirkan kondisi complex ethnic mozaic yang memungkinkan untuk mengidentifikasi setiap identitas kultural selayaknya di Amerika Serikat yang tidak mensyaratkan peleburan (Vecoli, 1996: 10). Kedua asimilasi yang berlangsung destruktif disebabkan pada besarnya adaptasi yang dilakukan migran yang seringkali menghilangkan identitas kultural migran (Bhugra, 2004: 129).

Douglas Massey & Magaly Sánchez R. (2009: 6) menggunakan metode kuantitatif yang mencoba untuk menghadirkan tingkatan simbol identitas rasial dengan orientasi masyarakat dominan melalui peringkat warna kulit dari migran Meksiko kepada warga Amerika Serikat. Masyarakat setempat menjadi tolak ukur dalam menilai kedekatan identitas kultural yang dikandung masyarakat migran.

Meskipun demikian, upaya akulturasi migran tidak merubah kedudukannya sebagai masyarakat kelas kedua dalam masyarakat (Bhugra & Becker, 2005: 18;

Sorrell et al., 2019: 5).

Dorongan adaptasi sangat kuat dirasakan oleh migran generasi pertama, yang kemudian menyediakan ruang independen pada generasi lanjutan dalam melakukan akulturasi. Sebab akulturasi tidak berimplikasi pada hilangnya identitas nasional dan etnisitas bawaannya (Phinney et al, 2001: 494). Hal tersebut semakin terlihat pada besarnya proses intensifikasi identitas bawaan diaspora,

(8)

teknologi berperan dalam rekonstruksi identitas secara negosiatif (Nagel &

Staeheli, 2004: 14). Dengan begitu diaspora tidak mendapatkan beban tertentu untuk mengasimilasikan identitas dan kulturalnya pada sektor yang kongruen melainkan mengikuti kondisi yang berkembang di negara bermukimnya. Oleh sebab itu generasi lanjutan migran akan perlahan berintegrasi dalam small community (Lopez, t.t: 17). Atau berlangsung secara cross-cultural identity yang menghasilkan kondisi bikultural yang ditunjukan melalui bilingualisme, kuatnya identitas diri bahkan kapabilitas akademik berprogres (Rumbaut, 1998: 1). Proses penyebaran informasi sebagai penguat identitas sebagai bentuk klarifikasi atas pandangan negatif yang berkembang (Szabo & Ward, 2015: 21-2). Dicapai melalui komunitas atau institusi sehingga diapora berada diantara asimilasi identitas sebagai mayoritas setempat dan preservasi identitas etnisitasnya. Leana Reich (2019: 1) menyebutkan tiga faktor yaitu pemahaman terhadap kultur, pengalaman terkait kultural secara berkesinambungan dan aktualisasi identitas pada sphere tertentu baik publik maupun privat. Dengan begitu dalam perspektif identitas, diaspora lebih kuat daripada migran terutama pasca hadirnya keturunan lanjutan yang mengalami bikultural.

Kajian korelasional antara produk popular dengan identitas kultural diaspora belum cukup banyak tersaji terutama dalam kasus bubble tea yang berasosiasi dengan Asia Amerika. Popularitas bubble tea merupakan kristalisasi terhadap perilaku Asia Amerika yang selama ini berkembang pada kehidupan sosialnya.

Dimulai dari membawa bekal makanan yang dapat dikenali dengan mudah.

Kedai-kedai makanan yang sebelumnya telah eksis mulai memikat model restoran sebagai bentuk ekonominya. Munculnya tren merupakan bentuk dari komodifikasi makanan Asia (Nguyen, 2020: 2). Didukung dengan narasi umum yang dibangun dalam cakupan atau fokus dari media. Selain itu Nguyen juga mengidentifikasikan posisi Asia Amerika sebagai margin of existence yang tidak berada ditengah kehidupan sosial namun memiliki hasrat atas rekognisi didalam kultur dan politik dominan. Disisi lain perjalanan bubble tea di Amerika Serikat sejatinya merupakan fenomena suburban (Trazo, 2020: 22-5). Meskipun fenomena tren

(9)

tidak juga dilepaskan dari analisisnya namun intensifikasi pengasosiasian bubble tea dengan migran Asia Amerika tidak berlangsung konsensual. Sebab bubble tea lebih dipandang sebagai bentuk ekspresi Asia daripada asimilasi sebagai bagian dari Asia Amerika.

Kurangnya kajian yang mengangkat faktor influensial globalisasi menjadi ruang yang akan dikaji oleh penulis. Tren kuliner imigran biasanya mengemuka pada makanan yang popular pada lingkup yang terbatas bahkan melekat semata pada kelompok masyarakat pembawa kultur. Sedangkan intensifikasi identitas kini mampu berkembang menjadi tren popular yang berkembang ditengah masyarakat dominan bahkan ditengah perbedaan kultur yang sangat mencolok, dalam konteks diaspora.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menunjukan faktor yang mempengaruhi terbentuknya tren suatu produk kultural imigran. Dalam hal ini minuman bubble tea yang berkembang sebagai produk kultural khas Asia. Dikembangkan oleh etnis Hakka, asal Taiwan dengan penerimaan yang luas oleh diaspora Asia Amerika sebagai simbol identitas kultural pada ranah publik Amerika Serikat.

1.5. Kerangka Teoritik

1.5.1. Diaspora dan Hibriditas Kultural

Dalam konteks globalisasi, hibriditas kultural hadir sebagai pembaharuan atas simbol identitas tradisional yang melekat pada diri individual secara material. Ciri khusus yang notabene melekat semenjak lahir menjadi prekondisi yang berusaha direposisi seiring dengan kehadiran generasi muda diaspora. Sebab fenomena berkembangnya identitas tidak lagi semata mengharuskan diaspora untuk menjadi bagian dari etnis tertentu melainkan lebih berkaitan dengan afiliasi sukarela pada simbol kultural (Gans 1996 dalam João Sardinha, 2009: 58). João Sardinha (2009:

52) menyebutkan enam fitur yang digunakan sebagai identifikasi terhadap simbol kultural yang membedakan satu etnis dengan yang lainnya yaitu (1) hadirnya

(10)

common proper name, (2) pemahaman terkait garis keturunan yang serupa, (3) persebaran kesamaan talian sejarah, (4) adanya satu atau lebih kultur umum yang dianggap familiar, (5) pertalian dengan negara asal sebagai bagian dari diaspora dan (6) rasa bersolidaritas dalam populasi etnis. Keberadaan fitur-fitur tersebut lebih berkembang pada internal kelompok etnis imigran yang berlangsung secara sosial tanpa struktur sosial yang jelas. Meski demikian, faktor etnisitas dapat menjadi awalan untuk memahami pemaknaan dan rasionalisasi simbol dalam lingkup etnisitas yang lebih beragam.

Titik pertemuan atau hibridisasi terjadi diantara budaya pendatang dan budaya lokal pada ruang ketiga sebagai bentuk dari transformasi kultural melalui percepatan akulturasi (Martynuska, 2017: 91). Diaspora akan mengasosiasikan diri dengan kondisi yang berkembang di negara tempat tinggalnya dalam beberapa praktek sosial dan perilaku seperti konsumerisme dan makanan. Simbol mengemuka dengan signifikan pada weekend ethnicity yang mana diaspora akan merefleksikan dirinya lebih kuat ketika waktu senggang diluar waktu profesional dan interaksi sosial (Elliott and Fleras, 1992 dalam João Sardinha, 2009: 60).

Dengan begitu dalam konteks bubble tea, hibridisasi terlihat dari aktivitas sosial bahkan hiburan yang bersesuaian dengan produk yang identik. Resep menjadi elemen primer untuk dapat dikenali secara familiar (Ferguson, 2010: 105).

Identifikasi identitas diperlihatkan pada pilihan aspek dari gaya hidup suatu kultur daripada sekadar dihitung pada intensitas. Untuk mengamati visibilitas hibriditas kultural, media serta komunikasi internasional memegang peranan krusial (Kraidy, 2002: 1). Adanya spasial ketiga dari pelafalan kultur menjadi formasi konstan yang membedakan eksistensinya dari ketetapan tradisional terutama pada aspek teritorial nasional. Terutama pada tendensi pertalian suatu kelompok sosial (Hull, Lamb, & Vigo, 1994: 113).

Hobsbawn dalam João Sardinha (2009: 60) menunjukan bahwa kondisi yang ada akan menghasilkan repetisi simbol identitas yang mengalami percepatan sejalan dengan cepatnya transformasi sosial. Dalam tiga fitur utama yaitu (1) pendirian simbol kohesi sosial dan identitas kolektif, (2) berdirinya atau terlegitimasinya

(11)

suatu institusi dan hierarki sosial serta (3) membawa identitas partikular kedalam konteks sosial dan masyarakatnya. Sebab terdapat tiga jalan yang mempengaruhi yaitu individu, interaksi dan institusi yang memperkekuat identifikasi lintas individu dalam ruang sosial (Jenkin dalam McAreavey, 2017: 2). Individu memiliki prioritas tertentu dalam menghadirkan kesebangunan identitas menurut situasi sosial dalam momen partikular. Oleh sebab itu kultivasi identitas etnis dapat terus berlangsung bahkan mendapatkan rekognisi dari masyarakat kultur dominan. Dengan merujuk pada bentuk asosiasi antara bubble tea yang dikembangkan oleh imigran Taiwan dengan simbol identitas Asia Amerika.

1.5.2. Ekonomi dan Identitas

Berawal dari paradigma multikulturalisme, ekonomi identitas mengemuka sebagai cara pandang dalam menghubungkan dua elemen dalam konteks interaksi sosial migrasi yaitu ekonomi dan identitas kultural. George A. Akerlof & Rachel E.

Kranton (2000: 718) mengidentifikasikan empat jalur korespondensi dari identitas dalam aktivitas ekonomi yaitu (1) penguatan konsepsi identitas pada diri atau self- image, (2) pemahaman pada respon terkait identitas eksternal yang berbeda, (3) identitas menjadi jalan baru yang mendorong pergeseran preferensi dan (4) identitas menjadi faktor detrimental pada kebebasan individu untuk memilih aktivitas ekonomi yang sesuai. Setiap orang akan memiliki kapabilitas dan nilai lebih ketika merekognisi dan mengembangkan aktivitasnya menurut identitas atau preferensinya. Dengan begitu, eksplorasi secara optimal dapat berlangsung dalam aktivitas ekonomi yang tidak lagi hanya pada ranah individu namun juga pada societal engagement (Akerlof & Kranton, 2000: 727). Dengan sangat mudahnya kedai bubble tea untuk ditemui disepanjang jalan terutama di California, mengemukakan bentuk korelasi antara aspek identitas kultural individu imigran dengan preferensi aktivitas ekonomi. Hal tersebut dimaksutkan supaya timbul ketahanan melalui maksimalisasi atribut identitas pada aktivitas ekonominya.

Karst (1986 dalam Prinz, 2019: 6) menjelaskan bahwa posibilitas adanya penguatan solidaritas daripada asimilasi terjadi ketika jarak perbedaan kultur dengan negara destinasi semakin besar serta tingkat besaran komunitas imigran.

(12)

Keuntungan hadir dalam masyarakat diaspora yang notabene mengandung keberagaman (Prinz, 2019: 2). Selanjutnya identifikasi kultur dapat dilakukan dalam dua kerangka utama yaitu kultur sebagai primary good dan social good (Appiah, 2005: 120 dalam Prinz, 2019: 3). Apabila pada opsi pertama pemerintah akan hadir untuk melindungi kultur nasionalnya diluar negeri, berbeda dengan kultur sebagai social good yang akan selalu melekat dalam individu. Pada konteks bubble tea, yang mana peran pemerintah tidak cukup prominen maka fenomena yang berkembang lebih diamati sebagai bentuk social good yang berlangsung informal. Dengan begitu penggunaan prekondisi kedua lebih memadai untuk menangkap fenomena merebaknya suatu produk kultural yang notabene tidak mensyaratkan dukungan pemerintah dalam penciptaan tren konsumsi atasnya.

Dalam implementasinya, kultur sebagai social good erat dengan perkembangan produk dan instrumen lainnya yang kaya akan nilai intrinsik yang dapat dipahami secara interpretatif. Oleh sebab itu perbedaan interpretasi atas nilai intrinsik oleh setiap orang dapat terakomodasi dalam bingkai besar opini publik yang terbentuk melalui konsumsi massal. Melalui kolektivisme dari setiap individu yang terinternalisasi pada suatu kultur akan mempersempit jarak perbedaan kultural yang terjadi ditengah kultur dominan. Ditunjukan melalui pertumbuhan ekonomi mikro (McAreavey, 2017: 3). Dikarenakan semakin sempit jarak perbedaan kultural akan mempercepat laju investasi dan perdagangan yang terjadi pada suatu negara (Guiso, Sapienza & Zingales, 2009 dalam Prinz, 2019: 4).

Aktivitas ekonomi yang berkembang dalam kedai-kedai bubble tea dapat dikenali secara identik yang dimiliki dan dikembangkan oleh generasi komunitas Taiwan serta China dan Asia secara umum. Dalam hal ini identitas terbentuk melalui aktivitas berulang yang mengandung kompleksitas kepercayaan, asumsi, kebiasaan, representasi, serta praktek (Gulliver, 2011: 121). Fenomena ekonomi yang bertalian dengan aspek identitas kultural dapat dimaknai sebagai bentuk kapitalisasi, seiring dengan produk yang terkomodifikasi. Komodifikasi dipahami sebagai bentuk komersialisasi suatu komoditas dengan tidak lagi hanya memandang nilai guna yang dikandung secara internal namun juga nilai penanda

(13)

sebagai keuntungan yang didapat dari suatu produk (Sayer, 2003: 343). Makna yang dikandung produk terutama produk kultural, akan berasosiasi dengan pengguna dalam situasi sosial dan selalu bergerak pada dimensi sosial. Sebab komodifikasi bergerak pada dua sektor yaitu (1) individualisme dan (2) selfishness (Sayer, 2003: 344). Hal ini mempengaruhi individu dalam melakukan penilaian, aktualisasi dalam praktek, pandangan komunal dan luar, serta kemunculan faktor pendorong. Komodifikasi terkonsentrasi pada budaya konsumen yang menandakan adanya pendalaman terhadap dimensi pasar penikmat produk. Dalam konteks konsumsi produk akhir, Igor Kopytoff (1986 dalam Sayer, 2003: 346) menyorot pentingnya bentuk periklanan pada dua hal yaitu (1) mengikatkan sign values dengan produk serta (2) menjanjikan peningkatan daya tarik, status, pergaulan sosial, pembebasan personal, dan bahkan pengalaman yang melegakan.

Keberlangsungan komoditas untuk terus dikonsumsi bergantung pada proses dekomodifikasi yang notabene menghentikan proses pertukaran nilai produk dengan barang penukar lainnya. Dengan begitu, konsumen akan dengan sangat optimal menikmati komoditas yang dikonsumsinya bersama dengan kultur yang berasosiasi dalam produk. Dalam mengamati bentuk signifikansi produk, terdapat kaitan antara rivalitas status dengan simbol yang dominan. Individu dan kelompok mendapatkan keuntungan ekonomis maupun non-ekonomis layaknya modalitas kultural (Bourdieu, 1984 dalam Sayer, 2003: 349). Kelompok yang dipandang sebagai bentuk altruisme akan menjadi sarana asistansi terhadap tiga hal yaitu (1) kultivasi penampangan status dan kehormatan, (2) akumulasi modalitas kultural, dan (3) keinginan untuk menjadi superior atau unggul (Sayer, 2003: 354).

1.5.3. Interactive Spectacles

Fenomena spectacle berlangsung ketika suatu komoditas telah memasuki kehidupan sosial secara keseluruhan (Debord dalam Best & Kellner, 1999: 130).

Dikarenakan spectacle berlangsung ketika media melakukan paparan pada kehidupan sosial secara dominan. Suatu komoditas menjadi sangat dimungkinkan untuk memiliki dimensi yang semakin dalam dan luas seiring dengan penggunaan teknologi baru yang berkembang. Masyarakat spectacle merupakan bentuk

(14)

normalisasi atas diskursus media popular yang mengangkat ranah baru pada kultur dan pengalaman (Best & Kellner, 1999: 129). Posisi masyarakat terletak sebagai subjek atas produksi komoditas sebagai konsumen dan entertainment society.

Dikarenakan masyarakat menjadi penerus antara bentuk konsumen dengan spectator yang mengangungkan suatu komoditas yang terangkat pada media massa. Media menjadi artikulator terhadap sajian konten kultural (Castells, 2010a:

357). Bersamaan dengan internalisasi pada kehidupan sosial etnisitas. Produk kultural bubble tea yang dikembangkan oleh imigran Taiwan, menyebar secara meluas melalui bidang media yang berlangsung dua arah. Sebab pesan yang disampaikan berhubungan dengan media sebagai medium (Castells, 2010a: 368).

Dikarenakan perbedaan tujuan akan berpengaruh langsung pada cara penyampaian bahkan pilihan media. Dikarenakan media menjadi penerjemah terhadap kondisi objektif yang berlangsung ditengah masyarakat dalam citra yang ditampilkan (Debord, 1997: 118).

Dalam pendekatan situasionis, terdapat tiga arah rujukan yaitu konsumsi pada citra, komoditas dan performa yang dipentaskan (Best & Kellner, 1999: 132).

Individu memiliki peranan dalam menciptakan kreatifitas daripada sebagai penikmat sajian semata. Dikarenakan individu memiliki ruang eksplorasi dan determinasi yang tidak lagi bergantung pada kultur dominan. Seiring dengan paparan media pada kultur yang berlangsung universal (Castells, 2010b: 30).

Aktualisasi dibentuk melalui aktivitas digital yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sosial yang mendapatkan pusat perhatian, selayaknya selebriti. Sebab terjadi transformasi dari pola perilaku individu dari aspek memiliki menjadi menampilkan (Debord dalam Best & Kellner, 1999: 134). Hal ini menunjukan adanya fungsi dari citra sebagai simbol yang merefleksikan individu. Komoditas tidak lagi menjadi bagian dari pertukaran nilai melainkan menjadi sign values sebagai citra atau kodifikasi simbolik (Luke, 1991: 348). Individu memegang peranan penting dalam rasionalisasi sign values yang dikandung suatu produk untuk dapat terus memunculkan permintaan. Dikarenakan individu dapat secara langsung memproduksi karakteristik kehidupan, kultur, dan bentuk dari interaksi

(15)

sosial (Best & Kellner, 1999: 133). Masyarakat membentuk suatu keberlangsungan regenerasi nilai dan makna terhadap produk yang serupa atau familiar (Luke, 1991: 350).

Dalam masyarakat kontemporer, media memegang peranan penting ketika mampu memperluas luasan audien yang terpapar media. Sehingga terbentuk industri citra dan komoditas baru yang indah (Debord dalam Best & Kellner, 1999: 134).

Sehingga kultur mengalami proses mediasi dan berlangsung seirama dalam komunikasi. Hal ini menghadirkan bentuk ranah digital yang tidak lagi hanya berlangsung satu arah namun berlangsung sebagai sebuah ekspresi kultural.

Korelasi antara karakteristik masyarakat dengan perkembangan teknologi dapat diamati pada moda interaksi sosial yang terbentuk. Masyarakat yang mendapatkan paparan media secara intensif tidak lagi sekadar dikenali sebagai audien massal penerima informasi namun bergerak kepada jejaring yang interaktif (Castells, 2010a: 367). Ditunjang dengan hadirnya kesempatan terhadap terciptanya ruang kultural bersama dengan bentuk kreativitas individu (Best & Kellner, 1999: 144).

Pola persebaran informasi menempatkan masyarakat sebagai subjek aktif sejalan dengan penggunaan teknologi. Setidaknya terdapat tiga indikasi aktivisme masyarakat dalam teknologi informasi yaitu (1) interpretasi individu terhadap produk media, (2) interpretasi kolektif, dan (3) aksi politik kolektif (Castells, 2010a: 363). Tradisi yang kemudian mengemuka yaitu adanya pertemuan antara klaim yang terkonstruksi dengan ketersediaan data serta hadirnya ilustrasi.

Dengan begitu masyarakat terfasilitasi untuk mempercayai dan turut mengultivasi persepsi terkait nilai bahkan model kultur sebagai sesuatu yang bermakna aktual.

Bubble tea menjadi komoditas yang tersimplifikasi ditengah keberagaman nilai dan identitas diaspora Asia Amerika di Amerika Serikat yang selama ini yang berkembang diranah internal. Tren yang berkembang, mampu menjadi bukti dari realitas baru yang dapat dipercayai oleh diaspora Asia ditengah perbedaan persepsi terhadap bubble tea yang diasosiakan secara general. Terlebih ketika citra sederhana ini mengarah kepada motivasi efektif yang menghipnosis perilaku (Debord dalam Best & Kellner, 1999: 135). Hal ini mendorong bentuk

(16)

komodifikasi dari produk kultural sejalan dengan bentuk kapitalisasi (Best &

Kellner, 1999: 138).

1.6. Hipotesis

Produk minuman bubble tea mampu menjadi tren minuman yang melekat dengan ekspresi simbol identitas kultural Asia Amerika, karena; (1) keterlibatan diaspora Asia Amerika dalam proses hibriditas kultural, (2) ekonomi dan identitas menjadi sarana komodifikasi kedai bubble tea, (3) aktivisme media interaktif pada jejaring generasi muda diaspora Asia Amerika dalam promosi bubble tea

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Definisi dan Operasionalisasi Konsep 1.7.1.1. Diaspora

Dalam empat fitur yaitu populasi bangsa diluar teritori asal, kesadaran terhadap negara asal, hubungan dengan etnis lain dinegara tempat tinggal, serta timbulnya kecenderungan untuk tidak kembali ke negara asal (Cohen, 1996; Safran, 1991 dalam Hardill & & Raghura, 1998: 255). Schrover dan Vermeulen’s (2005 dalam João Sardinha, 2009: 210) mengidentifikasikan dua strategi dalam integrasi komunal yaitu ofensif dan defensif menurut orientasi diaspora pada negara bertempat tinggal. Pendekatan defensif menjadi konsentrasi dalam mengidentifikasikan bentuk ekspresi terhadap isu identitas dan kultur etnisitas.

Terminologi imigran tidak menjadi bagian dari penjelasan dalam penelitian ini.

Ikatan kultural menjadi lebih dominan melalui karakteristik diaspora yang dimaknai sebagai sebuah sebaran suatu bangsa diluar wilayah asal identifikasinya (Merriam-Webster, 2021). Dengan begitu keterhubungan lintas batas teritorial menjadi tidak cukup mengemuka dalam pembentukan suatu komunitas yang mempersatukan.

1.7.1.2. Asia Amerika

Merujuk pada Lowe (1991 dalam Trazo, 2020: 15) konteks generasi Asia Amerika dipahami sebagai hubungan transmisi kultural horizontal antar individu

(17)

dalam generasi yang sama. Transmisi vertikal yang notabene melibatkan generasi primer imigran tidak menjadi bagian dari penjelasan dari penelitian ini.

Dikarenakan etnisitas dipahami sebagai suatu elemen aktif yang berkembang dilingkungan interaksi publik. Terlebih ketika budaya popular pemuda-pemudi sebagai pusat dari globalisasi, sejalan dengan Maira and Soep (2005 dalam Trazo, 2020: 16) sebagai konsumen primer dari industri leissure yang mempengaruhi, mengganti, serta mentrasformasi sirkulasi produk. Dalam penelitian ini, diaspora Asia Amerika merujuk pada sudut pandang empat etnis Asia terbesar berdasarkan pada grafik 1.2. Baik diaspora kelahiran Amerika Serikat maupun kelahiran luar Amerika Serikat, diaspora Asia Amerika mengalami proses pendalaman kultur Amerika sekaligus Asia.

1.7.1.3. Generasi Muda

Generasi muda Asia Amerika yang menjadi fokus kajian yakni generasi yang mengalami kondisi bikultural antara kultur model Amerika dengan kultur keluarganya (Lorenzo, Frost & Reinherz, 2009: 291). Kultur Amerika yang mengindikasikan pentingnya liberalisasi diri ketika telah mencapai masa remaja yaitu usia 18-21 tahun atau yang disebut late adolesecent harus berhadapan dengan kultur Asia yang pada usia tersebut berupaya untuk memperluas jaringan dan kohesivitas dengan sosial. Hal ini mengarah kepada kondisi generasi muda Asia Amerika yang notabene terpapar oleh proses globalisasi. Sejalan dengan pengakuan Asia Amerika sebagai etnis imigran dengan pertumbuhan personal paling cepat bahkan melewati garis umum sosial warga Amerika Serikat. Atau dapat dikatakan sebagai bentuk dari model minoritas (Lorenzo, Frost & Reinherz, 2009: 290). Konteks yang dibangun pada penelitian ini, Asia Amerika ditempatkan sebagai model minoritas dengan tendensi terhadap optimisme yang melakukan internalisasi identitas sebagai masyarakat pendatang. Dalam kultur etnisitas yang menjadi bagian dari social good dan tidak lagi tertutup dalam interaksi sosial rekan sebayanya. Dikarenakan generasi late adolesecent menyediakan konstruksi individu yang menginisiasi identitas (Cao, 2004: 15).

(18)

1.7.1.4. Media Interaktif

Karakteristik media interaktif berhubungan dengan akses informasi bagi audien.

Masyarakat dimungkinkan untuk memberikan komentar bahkan menjadi bagian dari produksi informasi. Audien menjadi sangat dekat dengan kondisi bentuk paparan media terutama pada bentuk artikulasi fenomena sosial (Best & Kellner, 1999: 149). Dengan begitu transfer pengalaman menjadi sangat prominen dalam masyarakat yang interaktif sekaligus virtual terhadap aktivitas sosial yang bermuatan hiburan. Masyarakat yang besar mengalami pengerucutan ketertarikan pada subjek khusus yang terpromosikan dalam media. Pada penelitian ini, karakteristik media interaktif dimaknai pada fenomena merebaknya penggunaan media sosial. Dikarenakan media sosial menjadi bentuk mahir dari fenomena world wide web (www) dalam bentuk aplikasi (Fuchs, 2013: 32). Berbagai elemen yang berasosiasi dengan bubble tea menjadi pendukung atas penguatan tampilan dalam citra dan komodifikasi. Sejalan dengan karakteristik perilaku aktif pengguna yang partisipatif, menyebarnya kepercayaan, serta eksplorasi pengalaman personal. Terakomodasi dalam kehadiran komunitas siber yang secara intensif membangun bentuk komunikasi secara terbuka.

1.7.2. Tipe Penelitian

Dalam tipe penelitian ekplanatif dengan variabel independen tren konsumsi bubble tea dan variabel dependen hibriditas kultural, ekonomi identitas, dan interactive spectacles. Hal ini menghadirkan antara keterkaitan faktor-faktor pendorong terciptanya tren konsumsi produk minuman bubble tea yang dibawa oleh Imigran Taiwan dengan popularitas sebagai identitas kultural diaspora Asia Amerika. Dalam konteks simbol identitas penelitian ini hendak mengedepankan invented traditions oleh Asia Amerika yang ditunjang dengan penyebaran kedai waralaba bubble tea yang membentuk iklim konsumsi terhadap produk minuman bubble tea secara massal.

(19)

1.7.3. Ruang Lingkup dan Jangkauan Penelitian

Berada pada skema penelitian simbol identitas kultural warga Asia Amerika di Amerika Serikat menggunakan produk kuliner popular bubble tea yang dikembangkan oleh imigran Taiwan. Dengan menyasar pada rentang waktu yang lekat dengan pengelolaan jejaring informasi yakni diantara tahun 1999 sejak bubble tea mulai menyebar lintas negara bagian hingga puncak tren pada tahun 2019. Hal tersebut diamati dari kehadiran New York Bubble tea Festival sejak 2017 yang tercatat berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Jangkauan penelitian atas tren bubble tea dipandang dari perluasan permintaan dari wilayah Little Taipei yang tersebar di Wilayah Pesisir Barat Amerika Serikat hingga dikenali ditingkat popular diseluruh negara bagian Amerika Serikat. Dalam prosesnya, penulis menitikberatkan kepada proses pengembangan bubble tea baik sebagai bisnis waralaba ke berbagai wilayah baru maupun praktik tren konsumsi dalam menunjukan bentuk pengulangan simbol identitas dalam keserupaan produk.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengkaji sebab popularitas bubble tea sebagai ikon yang berasosiasi dengan simbol identitas kultural penduduk Asia Amerika penelitian ini didukung dengan data daring sebagai sumber data primer dan sekunder. Data primer peneliti dapatkan melalui informasi dipublikasikan oleh komunitas-komunitas penikmat bubble tea yang diunggah dalam laman www.youtube.com. Data penunjang dari platform google trends dengan kata-kata kunci yang diperoleh dari komparasi secara manual. Didukung dengan data resmi pemerintah, tesis, laman organisasi diaspora, serta laman resmi waralaba bubble tea di Amerika Serikat.

Terkonfirmasi melalui wawancara ahli yang diselenggarakan dalam kerangka problem-centered interview. Hal ini dimaksutkan untuk mengidentifikasikan fakta sosial dengan pemahaman akademis menurut pandangan ahli (Doringer, 2021: 5).

Dengan posisi peneliti sebagai pengarah yang mengeksplorasi fenomena untuk mendapatkan penjelasan lebih mendalam.

(20)

No. Nama Usia Tempat Tinggal Latar Belakang 1. William

Wongso

73 Tahun Malang, Indonesia Koki senior masakan Asia dan Eropa

2. Inga 20 Tahun California, Amerika Serikat

Miss Taiwanese

American 2019

Data sekunder penulis dapatkan melalui media massa yang menggarisbawahi fenomena bubble tea di Amerika Serikat dalam www.timeout.com, www.LAweekly.com dan www.taiwantoday.tw. Selain itu, peneliti menggunakan hasil penelitian sebelumnya dan publikasi internasional terkait pertumbuhan tren kultural Asia di Amerika Serikat. Melihat potensi data yang cenderung tersebar secara minor, peneliti menggunakan berbagai sumber terkait yang memiliki latar belakang kredibel dan terpercaya. Meskipun demikian, penulis terbuka terhadap berbagai sumber lain yang memiliki relevansi dan menunjang pembahasan dalam penelitian ini.

1.7.5. Sistematika Penulisan

Penelitian terdiri dari lima pokok pembahasan. Pada bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Pada bab II berisikan dinamika perkembangan bubble tea di Amerika Serikat. Pada bab III berisikan paparan analisis terkait proses hibriditas kultural dengan aktivitas identitas ekonomi. Pada bab IV berisikan paparan analisis terkait penggunaan media popular oleh generasi muda Asia Amerika. Terakhir pada bab V berisikan kesimpulan dari hasil penelitian ini.

Gambar

Gambar 1.1. Unggahan Akun Instagram Food Reviewer (Food With Becka,  2018)
Grafik 1.1. Perbandingan Pencarian Kata Kunci Bubble Tea dan Jarritos (Google  Trends, 2020)
Grafik 1.2. Presentase Kelompok Imigran kelahiran luar Amerika Serikat,  Mexico 25%; India 5,9%; China 4,9%; Filipina 4,5%; Vietnam 3.1%; dan Korea  2.3% dari Total imigran di Amerika Serikat (Batalova, Blizzard & Bolter, 2020)

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang sebaiknya digunakan oleh hotel Quds Royal dalam menghadapi persaingan berdasarkan hasil analisis matriks QSPM ialah menjalin kerja sama dengan berbagai

 Membuat laporan hasil analisis dalam bentuk tulisan dan/atau media lain mengenai kerajaan-kerajaan maritim Indonesia pada masa Hindu dan Buddha dalam sistem pemerintahan,

Analisa efektivitas biaya perawatan DM tipe 2 dengan PROLANIS terbukti efektif apabila biaya yang dikeluarkan untuk PROLANIS lebih rendah dan outcome yang diberikan

Pengujian terhadap program aplikasi kriptografi menggunakan algoritma MARS dengan modus ECB yang bekerja di dalam jaringan ini dilakukan dengan tujuan supaya program ini

Gambar 4.42 : Pola plafon yang mengikuti pola denah Crossing Gambar 4.43: Denah Lantai Gereja Sagrada Familia. Gambar 4.44 : Simbol pola lantai Gambar 4.45 : Pola lantai

Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2016 BAB II - 84 2.2 Evaluasi Pelaksanaan Program dan Kegiatan RKPD sampai Tahun.. berjalan dan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan, peneliti memaparkan beberapa kesimpulan yang didapatkan antara lain: 1) Hasil dari regresi sederhana

Setelah dilakukan analisis data penelitian mengenai kondisi fisik 11 atlet tarung derajat pada Puslatkot Kediri maka dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa