• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENAFSIRAN LAILATUL QADAR MENURUT IBNU KATSIR DAN M. QURAISH SHIHAB A. Penafsiran Lailatul Qadar Menurut Ibnu Katsir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV PENAFSIRAN LAILATUL QADAR MENURUT IBNU KATSIR DAN M. QURAISH SHIHAB A. Penafsiran Lailatul Qadar Menurut Ibnu Katsir"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

53







































































Artinya: sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.S. Al-Qadr/ 97: 1-5)

Allah SWT mengkhabarkan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an di malam lailatul qadar, yaitu malam yang penuh dengan keberkahan, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain melalui firman-Nya:



















Artinya: sesungguhnya kami telah menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Q.S. Ad-Dukhan/ 44: 3)

Ayat di atas yang dimaksud yaitu lailatul qadar yang terletak di dalam bulan Ramadhan. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:



























Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Q.S. Al-Baqarah/ 2: 185) 1

1Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, (Mesir: Darul Hadis, 2005), Juz 8, hlm. 411.

(2)

Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas dan lain- lainnya mengatakan Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sekaligus dari lauh mahfuz ke Baitul izzah di langit yang terdekat. Kemudian diturunkan secara terpisah-pisah sesuai dengan kejadian-kejadian dalam masa 23 tahun kepada Rasulullah SAW. Kemudian Allah berfirman keagungan kedudukan lailatul qadar ialah karena malam itu dikhususkan oleh Allah SWT sebagai malam yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Maka Allah SWT berfirman:



























Artinya: dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan (Q.S. Al-Qadr/ 97: 2-3) 2

Hal yang serupa terdapat pada tafsir Ruhul Ma’ani yang mengatakan pendapat Ibnu Abbas bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadar sekaligus ke langit dunia dengan cara terpisah-pisah. Allah SWT menurunkan Al- Qur’an kepada Rasulullah SAW bagian demi bagian dalam waktu 20 tahun.

Dalam riwayat yang lain mengatakan Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan yang di dalamnya terdapat lailatul qadar secara sekaligus kemudian diturunkan kepada Rasulullah SAW secara terpisah-pisah di dalam beberapa bulan dan hari. Ada yang mengatakan Al-Qur’an diturunkan selama 20 tahun dan ada juga yang mengatakan selama 23 tahun.3

Ada perbedaan pendapat mengenai riwayat yang berkembang berkenaan dengan asbabun nuzul surat al-Qadar, yakni:

Pertama, Ibnu Katsir mengutip dari Abu Isa At-Turmudzi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan:

ًّاّذذىا وضفىا ِت ٌعاقىا اْثذد ًغىاٍطىا دٗاد ٘تا اْثذد ُلاٍغ ِت دَ٘ذٍ اْث ذد

ِع جس ًاق :هاق ذعع ِت فعٌ٘

:هاقف حٌٗاعٍ عٌات اٍ ذعت ًيع ِتا ِغذىا ىىا و

ٍٍِْؤَىا ٓ٘جٗ خدّ٘ع –

ٍٍِْؤَىا ٓ٘جٗ دّ٘غٍاٌ :ٗأ –

لَدس ًْثّؤذ لا :هاقف

ّاللّ ىيص ًثْىا ُأف ّاللّ

:دىضْف لىر ٓءاغف ٓشثٍْ ىيع حٍٍأ ًْت يسأ ٌّيعٗ ٍٔيع

2Ibid, hlm. 411.

3Al-Alusi, Tafsir Ruhul Ma’ani, op.cit., hlm. 412.

(3)

شّٖ ًْعٌ ذَّذٍاٌ )شث٘نىا كاٍْطعأ اّّا(

:دىضّٗ ّْٔجىا ًف ا ِحيٍى ًف ُٓاْىضّْا اَّّا (

شٖش فىا ٍِ ٌشٍخ سذقىا حيٍى .سذقىا ُحيٍىاٍ كاسدا اٍٗ .سذقىا ْ٘ت كذعت اٖنيٌَ )

.ذَّذٍ اٌ حٍٍ أ

Artinya: telah menceritakan kepada kami Mahmud ibn Gailan, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani, dari Yusuf ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa seorang laki-laki bangkit menuju kepada Al-Hasan ibnu Ali sesudah membaiat Mu’awiyah. Lalu laki-laki itu berkata: engkau telah mencoreng muka kaum mukmin, atau “hai orang yang mencoreng muka kaum mukmin.” Maka Al-Hasan ibnu Ali menjawab: janganlah engkau mencelaku, semoga Allah merahmatimu, karena sesungguhnya Nabi SAW pernah diperlihatkan kepadanya bani Umayyah berada di atas mimbarnya, hal itu membuat diri beliau merasa berduka cita. Maka turunlah firman Allah SWT:







.

Artinya: sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu Al-Kausar. (Q.S. Al- Kausar/ 108: 1)

Hai Muhammad, yakni sebuah sungai (telaga) di dalam surga. Dan turun pula firman Allah SWT:











.











.













Artinya: sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Q.S. Al-Qadr/ 97: 1-3)

Ayat di atas yang dimaksud adalah yang akan dimiliki sesudahmu kepada bani Umayyah, hai Muhammad.4 Al-Qasim mengatakan bahwa lalu kami menghitung- hitung, dan ternyata masa pemerintahan bani Umayyah adalah 1000 bulan, tidak lebih dan tidak kurang sehari pun. Kemudian Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini gharib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui jalur ini, yaitu melalui hadis Al-Qasim ibnu Fadl. Dia adalah seorang yang berpredikat siqah, dinilai siqah oleh Yahya Al-Qattan dan Abdur Rahman ibnu Mahdi. Imam Turmudzi mengatakan bahwa gurunya bernama Yusuf ibnu Sa’d yang dikenal

4Imam At-Turmudzi, Sunan At-Tirmidzi, (Lebanon: Darul Fikr, 2009), Juz 5, hlm. 231- 232.

(4)

dengan nama Yusuf ibnu Mazin, dia adalah seorang yang tidak dikenal. Hadis dengan lafadz yang seperti ini tidaklah dikenal melainkan hanya melalui jalur ini.5

Berkenaan dengan hadis di atas terdapat juga dalam kitab tafsir Al-Jami Lil ahkamil Qur’an karya Al-Qurtubhi, yakni sebuah riwayat yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Al-Hasan bin Ali: sesungguhnya Rasulullah SAW pernah diperlihatkan bani Ummayah berada di atas mimbarnya, maka hal itu membuat diri beliau berduka cita. Maka turunlah firman Allah:







.

Artinya: sesungguhnya kami telah memberikanmu Al-Kausar. (Q.S. Al-Kausar/

108: 1)

Hai Muhammad, yakni sebuah sungai (telaga) di dalam surga. Dan turun pula firman Allah SWT:











.











.













Artinya: sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Q.S. Al-Qadr/ 97: 1-3)

Ayat di atas yang dimaksud adalah yang akan dimiliki sesudahmu kepada bani Umayyah, hai Muhammad. Al-Qasim mengatakan bahwa lalu kami menghitung- hitung, dan ternyata masa pemerintahan bani Umayyah adalah 1000 bulan, tidak lebih dan tidak kurang sehari pun. Kemudian At-Turmudzi mengatakan hadis ini adalah garib.6

Ibnu Katsir mengatakan : menurut guru kami Imam Al-Hafiz Al-Hujjah Abul Hajjaj Al-Maziy mengatakan bahwa hadis ini berpredikat munkar. Ibnu katsir mengatakan: ucapan Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani yang menyebutkan bahwa ia menghitung-hitung masa pemerintahan bani Umayyah dijumpainya selama 1000 bulan, tidak lebih dan tidak kurang sehari pun, pendapat ini tidaklah benar. Karena sesunguhnya Mua’wiyah ibnu Abu Sufyan r.a. baru memegang

5Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, op.cit., hlm. 411.

6Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami Lil ahkamil Qur’an, op.cit., hlm. 90.

(5)

pemerintahan saat Al-Hasan ibnu Ali menyerahkannya kepada dia pada tahun 40 Hijriyah, lalu semua baiat sepakat kepada Mua’wiyah, maka tahun ini dinamakan dengan tahun jama’ah.

Kemudian bani Umayyah terus-menerus memegang pemerintahan berturut-turut di negeri Syam dan negeri lainnya. Tidak ada suatu kawasan pun yang memberontak terhadap mereka kecuali hanya masa pemerintahan Abdullah ibnu Zubair di kedua tanah suci (Makkah dan Madinah), dan Al-Ahwaz serta negeri-negeri yang terdekat selama 9 tahun. Akan tetapi, kesatuan dan persatuan mereka tetap berada di bawah pemerintahan bani Umayyah secara keseluruhan terkecuali hanya pada sebagian kawasan tertentu. Hingga pada akhirnya kekhalifahan direbut dari tangan mereka oleh bani Abbas pada tahun 132 H.

Dengan demikian, jumlah masa pemerintahan bani Umayyah seluruhnya adalah 92 tahun, dan ini lebih dari 1000 bulan, jika dihitungkan 1000 bulan yakni 83 tahun lebih 4 bulan.7

Bukti lain yang menunjukkan ke dhaifan hadis ini karena hadis ini diutarakan hanya untuk mencela pemerintahan bani Umayyah. Seandainya dimaksudkan untuk mencela mereka, tentulah bukan dengan konteks seperti itu.

Mengingat keutamaan lailatul qadar di masa-masa pemerintahan mereka bukanlah menunjukkan tercelanya hari-hari mereka. Sesungguhnya malam lailatul qadar itu sangat mulia, dan surat yang mulia ini diturunkan hanya untuk memuji malam lailatul qadar. Kemudian bila dipahami dari ayat ini bahwa 1000 bulan yang disebutkan dalam ayat menunjukkan masa pemerintahan bani Umayyah, sedangkan suratnya sendiri adalah Makkiyah. Maka bagaimana bisa dibelokkan dengan pengertian 1000 bulan masa pemerintahan bani Umayyah? Padahal baik lafadz maupun makna ayat tidak menunjukkan kepada pengertian itu, dan lagi mimbar itu baru dibuat di Madinah sesudah hijrah. Semua bukti tersebut menunjukkan kelemahan dan kemungkaran hadis di atas.8

Adapun mengenai hal itu, terdapat kesamaan dalam tafsir Mafatihul Ghaib, Al-Qadhi mencela pendapat yang menyatakan bahwa malam lailatul qadar

7Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, op.cit., hlm. 412.

8Ibid, hlm. 412.

(6)

sama halnya dengan masa pemerintahan bani Umayyah. Dia berpendapat bahwa 1000 bulan dimasa bani Umayyah itu jauh dari kebenaran. Karena sesungguhnya Allah tidak menyebutkan keutamaan lailatul qadar dengan penyebutan 1000 bulan yang tercela, karena masa bani Umayyah adalah masa yang tercela. Fakhrur Razi berpendapat mengenai pendapat Al-Qadhi tentang tercelanya bani Umayyah adalah lemah, karena sesungguhnya bani Umayyah terdapat hari-hari yang agung dengan mengandung kebaikkan-kebaikkan dunia. Kemudian Allah memberikan malam yang mana malam tersebut mengandung kebaikkan-kebaikkan agama lebih utama daripada kebaikkan dunia. Maka menurut penulis tentang maksud dari pendapat Fakhrur Razi adalah Allah memberikan kebaikkan-kebaikkan agama yakni lailatul qadar, itu jauh lebih baik daripada kebaikkan-kebaikkan dunia yakni masa bani umayyah. Sehingga 1000 bulan masa pemerintahan bani Umayyah tidak bisa disamakan dengan lailatul qadar.9

Kedua, Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abu Hatim yakni:

َِِع ، ذِىاَخ َِْتا ًِْْعٌَ ،ٌٌِيْغٍُ ًَِّشَث ْخَأ ،ىَعٍُ٘ ُِْت ٌٍُِٕاَشْتِإ اََْثَّذَد ،َحَعْسُص ُ٘تَأ اََْثَّذَد ًَِْت ٍِِْ لاُجَس َشَمَر ٌََّيَعَٗ ٍَِْٔيَع ُ َّاللّ ىَّيَص ًَِّثَّْىا ََُّأ"، ذِٕاَجٍُ َِْع ، خٍِجَّ ًِتَأ ِِْتا لاِّغىا َظِثَى ،َوٍِئاَشْعِإ ،َلِىَر ٍِِْ ََُُِ٘يْغَُْىا َةِجَعَف :َهاَق ، شَْٖش َفْىَأ ِ َّاللّ ِوٍِثَع ًِف َح

َى ِسْذَقْىا ُحَيٍَْى اٍَ َكاَسْدَأ اٍََٗ ِسْذَقْىا ِحَيٍَْى ًِف ُٓاَْْىَضَّْأ اَِّّإ :َّوَجَٗ َّضَع ُ َّاللّ َهَضَّْأَف :َهاَق ُحَيٍْ

َّىا ، شَْٖش ِفْىَأ ٍِِْ ٌشٍَْخ ِسْذَقْىا شَْٖش َفْىَأ ِ َّاللّ ِوٍِثَع ًِف َحلاِّغىا ُوُجَّشىا َلِىَر َظِثَى ًِر

Artinya: telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, bahwa Nabi SAW menceritakan tentang seorang laki-laki dari kalangan bani Israil yang menyandang senjatanya selama 1000 bulan dalam berjihad di jalan Allah SWT. Maka kaum muslim merasa kagum dengan laki-laki bani Israil tersebut. Mujahid berkata: bahwa Allah SAW lalu menurunkan firman-Nya:











.











.













9Fakhrur Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, op.cit., hlm. 30.

(7)

Ayat tadi maksudnya lebih baik daripada laki-laki yang membawa senjatanya selama 1000 bulan dalam berjihad di jalan Allah.10

Kemudian Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abu Hatim yakni:

،َجَْٗشُع ِِْت ًِِّيَع َِْع ،ًٍِّيَع ُِْت ُحَََيْغٍَ ًَِْثَّذَد ، ةَْٕٗ ُِْتا اََّشَثْخَأ ، ُظٌُُّ٘ اََّشَثْخَأ َّيَص ِ َّاللّ ُهُ٘عَس َشَمَر :َهاَق َ َّاللّ اُٗذَثَع َوٍِئاَشْعِإ ًَِْت ٍِِْ حَعَتْسَأ ا ٌٍَْ٘ ٌََّيَعَٗ ٍَِْٔيَع ُ َّاللّ ى

،ِصُ٘جَعْىا َِْت َوٍِقْضِدَٗ ،اٌَِّشَمَصَٗ َبٌَُّ٘أ َشَمَزَف ، ٍَِْع َحَفْشَط َُْٓ٘صْعٌَ ٌَْى ،ا ٍاَع ٍَِِّاَََث ِهُ٘عَس ُباَذْصَأ َةِجَعَف :َهاَق ، ُُّ٘ َِْت َعَشٌَُ٘ٗ

،َلِىَر ٍِِْ ٌََّيَعَٗ ٍَِْٔيَع ُ َّاللّ ىَّيَص ِ َّاللّ

ٌَْى حََْع ٍَِِّاَََث ِشَفَّْىا ِءلاُؤَٕ ِجَداَثِع ٍِِْ َلُرٍَُّأ ْدَثِجَع ،ُذَََّذٍُ اٌَ :َهاَقَف ُوٌِشْثِج ُٓاَذَأَف ا شٍَْخ ُ َّاللّ َهَضَّْأ ْذَقَف ، ٍَِْع َحَفْشَط َُْٓ٘صْعٌَ

َشَقَف ،َلِىَر ٍِِْ

:ٍَِْٔيَع َأ ِحَيٍَْى ًِف ُٓاَْْىَضَّْأ اَِّّإ

شَْٖش ِفْىَأ ٍِِْ ٌشٍَْخ ِسْذَقْىا ُحَيٍَْى ِسْذَقْىا ُحَيٍَْى اٍَ َكاَسْدَأ اٍََٗ ِسْذَقْىا اٍََِّ ُوَضْفَأ اَزَٕ ،

َّيَعَٗ ٍَِْٔيَع ُ َّاللّ ىَّيَص ِ َّاللّ ُهُ٘عَس َلِىَزِت َّشُغَف ،َلُرٍَُّأَٗ َدَّْأ َدْثِجَع َُٔعٍَ ُطاَّْىاَٗ ٌَ

Artinya: telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Maslamah ibnu Ali, dari Ali ibnu Urwah yang mengatakan bahwa disuatu hari Rasulullah SAW menceritakan tentang kisah empat orang laki-laki dari kalangan kaum bani Israil (di masa lalu) mereka menyembah Allah selama 80 tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya sekejap mata pun. Beliau SAW menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnu Ajuz, dan Yusya’ ibnu Nun. Ali ibnu Urwah bekata:

maka para sahabat Rasulullah merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril kepada Nabi SAW dan berkata: “hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama 80 tahun itu tanpa berbuat durhaka sekejap mata pun. Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu.” Kemudian malaikat Jibril a.s. membacakan kepadanya firman Allah SWT:











.











.













Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersamanya saat itu.11

Ibnu Arabi mengatakan hal yang sama menganai riwayat di atas dalam tafsir Ahkamul Qur’an, yakni disuatu hari Rasulullah SAW menceritakan tentang

10Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Hatim, (Makkah: Maktabah Nazar Musthofa al Baz, 1997), hlm. 3453

11Ibid, hlm. 3453

(8)

kisah empat orang laki-laki dari kalangan kaum bani Israil (di masa lalu) mereka menyembah Allah selama 80 tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya sekejap mata pun. Beliau SAW menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnu Ajuz, dan Yusya’ ibnu Nun. Maka para sahabat Rasulullah merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril kepada Nabi SAW dan berkata: “hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama 80 tahun itu tanpa berbuat durhaka sekejap mata pun. Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu.” Kemudian malaikat Jibril a.s.

membacakan kepadanya firman Allah SWT:











.











.













Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah SAW.12

Mengenai dua pendapat di atas berkenaan dengan asbabun nuzul surat al- Qadr yakni, bahwa sebuah riwayat yang mengatakan asbabun nuzul surat al-Qadr adalah berkenaan dengan masa pemerintahan bani Umayyah adalah hal yang munkar. Mayoritas ulama mengatakan asbabun nuzul berkenaan dengan surat al- Qadr yang benar yakni mengenai kisah bani Israil yang berjihad di jalan Allah selama 1000 bulan, kemudian membuat umat Nabi Muhammad SAW merasa kagum. Sehingga Allah memberikan lailatul qadar pada umat Nabi Muhammad SAW yakni, lebih baik daripada laki-laki yang membawa senjatanya selama 1000 bulan dalam berjihad di jalan Allah.

Ibnu Katsir mengutip pendapat Sufyan As-Sauri yakni, telah sampai kepadaku dari Mujahid sehubungan dengan malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan. Bahwa amalan, puasa, dan ibadahnya lebih baik daripada melakukan hal yang sama dalam seribu bulan.

Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abu Hatim yakni, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang mengatakan bahwa malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan yang

12Ibnu Arabi, Tafsir Ahkamul Qur’an, op.cit., hlm. 428.

(9)

di dalam bulan-bulannya tidak terdapat malam lailatul qadar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah ibnu Di’amah dan Imam Syafi’i serta yang lainnya yang bukan hanya seorang.

Ibnu Katsir mengutip pendapat Amr ibnu Qais Al-Mala’i yakni, melakukan suatu amalan di malam kemuliaan lebih baik daripada melakukan amalan selama 1000 bulan. Pendapat yang menyebutkan bahwa malam lailatul qadar itu lebih baik daripada melakukan ibadah selama 1000 bulan yang di dalamnya tidak terdapat lailatul qadar, merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir, dan pendapat inilah yang benar, bukan yang lainnya.13





















Artinya: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (Q.S. Al-Qadr/ 97: 4)

Ayat di atas menjelaskan tentang banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan itu karena berkahnya yang banyak. Para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat. Adapun mengenai ar-ruh dalam ayat ini, menurut suatu pendapat makna yang dimaksud adalah Jibril a.s. hal ini berarti termasuk dalam bab “Ataf khusus kepada umum”. Menurut pendapat lain menyebutkan, ar-ruh adalah sejenis malaikat tertentu, untuk mengatur segala urusan.14

Demikian pula hal yang sama terdapat dalam tafsir Al-Jami Lilahkamil Qur’an karya Al-Qurthubi, mengenai ayat di atas. Bahwa para malaikat turun dari tiap-tiap langit, dari sidratul muntaha, dan malaikat Jibril bertempat di tengah- tengah para malaikat. Adapun yang dimaksud dengan ar-ruh, dalam ayat ini adalah malaikat Jibril a.s. Al-Qusyairy mengatakan: sesungguhnya ar-ruh itu bagian dari malaikat-malaikat, yang dijadikan untuk memelihara malaikat yang lain, dan sesungguhnya para malaikat tidak bisa melihatnya, seperti halnya kami yang tidak bisa melihatnya. Al-Muqattil mengatakan: ar-ruh adalah malaikat yang mulia, dan malaikat yang dekat dengan Allah. Pendapat lain mengatakan ar-ruh

13Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, op.cit., hlm. 413.

14Ibid, hlm. 414.

(10)

adalah malaikat Jibril yang menurunkan rahmat bersama para malaikat di malam hari yakni pada malam lailatul qadar atas izin tuhannya untuk membawa perintah.15

Ibnu Katsir mengutip dari Mujahid bahwa selamatlah malam kemuliaan itu dari semua urusan. Sa’id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isa Ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman Allah:







Malam itu penuh kesejahteraan (Q.S. Al-Qadr/ 97: 5). Bahwa malam itu penuh keselamatan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya atau melakukan gangguan padanya. Qatadah dan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah semua urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rezeki ditakdirkan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah:













Artinya: pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (Q.S. Ad- Dukhan/ 44: 4) 16













Artinya: malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.S. Al-Qadr/ 97:

5)

Ibnu Katsir mengutip pendapat Sa’id ibnu Mansur bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya’bi sehubungan dengan makna firman Allah:





















Artinya: untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.S. Al-Qadr/ 97: 4-5)

15Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami Lil ahkamil Qur’an, op.cit., hlm. 90.

16Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, op.cit., hlm. 414.

(11)

Makna yang dimaksud ialah salamnya para malaikat di malam lailatul qadar kepada orang-orang yang ada di dalam masjid sampai fajar terbit. Riwayat ini adalah garib.17

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Min kulli imri’in, yang artinya kepada setiap orang (malaikat memberi salam) di malam lailatul qadar sampai terbit fajar, yang dimaksud adalah ahli masjid. Orang yang membaca dengan bacaan min kulli imri’in akan mengartikannya dengan turunnya para malaikat dan ar-ruh dengan izin tuhannya mengucapkan salam pada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Namun aku tidak menganggap bacaan tersebut diperbolehkan, sebab adanya kesepakatan hujjah dari para qurra’ yang membaca sebaliknya yakni min kulli amrin, dan qira’at tersebut tidak sesuai dengan mushaf orang-orang muslim.18

Ibnu Katsir mengutip pendapat Abu Daud At-Tayalisi yakni, telah menceritakan kepada kami Imran Al-Qattan, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan (lailatul qadar) : sesungguhnya malam kemuliaan itu jatuh pada malam 27 atau 29 (Ramadhan), dan sesungguhnya para malaikat di bumi pada malam itu jumlahnya lebih banyak daripada bilangan batu krikil.

Ibnu Katsir mengutip pendapat Al-A’masy yakni, telah meriwayatkan dari Al-Minhal, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila sehubungan dengan makna firman Allah:













Artinya: Untuk mengatur segala urusan, yang (penuh) kesejahteraan. (Q.S. Al- Qadr/ 97: 4-5)

Makna di atas yakni tiada suatu urusan pun yang terjadi di malam itu. Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah:

17Ibid, hlm. 414.

18Ath-Thabari, Tafsir Jamiul Bayan An Ta’wilil Qur’an, op.cit., hlm. 8722.

(12)





Artinya: Malam itu (penuh) kesejahteraan (Q.S. Al-Qadr/ 97: 5)

Makna di atas yaitu semuanya baik, tiada suatu keburukan pun yang terjadi di malam itu sampai matahari terbit.19

Demikian pula hal yang sama pada tafsir Jamiul Bayan An Ta’wilil Qur’an karya Ath-Thabari, bahwa lailatul qadar itu diselamatkan dari segala keburukan, dari awal turun hingga sampai terbitnya fajar, dari malam tersebut.20

Ibnu Katsir mengutip pendapat Abu Daud At-Tayalisi yakni, telah menceritakan kepada kami Zam’ah, dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda sehubungan dengan malam lailatul qadar: yaitu malam yang sedang lagi terang, tidak panas dan tidak dingin, dan pada keesokan harinya cahaya mataharinya lemah kemerah-merahan.

Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abu Asim An-Nabil yakni, Ibnu Abu Asim An-Nabil telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: sesungguhnya aku telah melihat malam lailatul qadar, lalu aku dijadikan lupa kepadanya. Malam lailatul qadar itu ada pada sepuluh terakhir (bulan Ramadhan), pertandanya ialah cerah dan terang, suhunya tidak panas dan tidak pula dingin. Seakan-akan padanya terdapat rembulan, setan tidak dapat keluar di malam itu hingga pagi harinya.21

Ibnu Katsir mengatakan: para ulama berbeda pendapat, apakah di kalangan umat-umat terdahulu ada lailatul qadar, ataukah memang lailatul qadar hanya khusus bagi umat ini? Ada dua pendapat di kalangan mereka yaitu: pertama, pendapat dari Abu Mus’ab Ahmad bin Abu Bakar Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Malik, telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah SAW diperlihatkan kepadanya usia-usia manusia yang sebelumnya dari kalangan umat terdahulu, atau sebagian dari hal tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka Rasulullah SAW seakan-akan menganggap pendek usia

19Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, op.cit., hlm. 415.

20Ath-Thabari, Tafsir Jamiul Bayan An Ta’wilil Qur’an, op.cit., hlm 8722.

21Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, op.cit., hlm. 415.

(13)

umatnya bila dibandingkan dengan mereka yang berusia sedemikian panjangnya dalam hal beramal, dan beliau merasa khawatir bila amal umatnya tidak dapat mencapai tingkat mereka. Maka Allah SWT memberinya lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Hadis ini telah disandarkan melalui jalur lain, dan apa yang dikatakan oleh malik memberikan pengertian bahwa lailatul qadar hanya dikhususkan bagi umat ini. Pendapat ini telah dinukil oleh penulis kitab Al-Iddah, salah seorang ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dari jumhur ulama. Kedua, Al-Khattabi telah meriwayatkan adanya kesepakatan dalam hal ini, dan Al-Qadi telah menukilnya secara pasti dari madzhab Syafi’i. Akan tetapi pengertian yang ditunjukkan oleh hadis memberikan pengertian bahwa lailatul qadar terdapat pula di kalangan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dikalangan umat kita sekarang.22

Hal yang sama yang dikutip oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy yakni menurut jumhur ulama, telah ada malam al-Qadar sebelum Al-Qur’an diturunkan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada malam al-Qadar sebelum Al-Qur’an diturunkan. Tegasnya, tidak ada suatu masa sejak dahulu yang telah dijadikan malam yang mulia, hanya malam tersebut menjadi mulia, karena di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan pada suatu malam yang dikhususkan. Oleh karena itu, malam tersebut dinamakan dengan malam al- Qadar.23

Kemudian dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan beberapa pendapat mengenai penetapan waktu malam lailatul qadar, antara lain: lailatul qadar terdapat pada malam pertama bulan Ramadhan, pendapat ini diriwayatkan dari Abu Razin. Menurut pendapat lain, lailatul qadar terdapat pada malam 17 Ramadhan, pendapat ini bersumber dari Muhammad ibnu Idris Asy-Syafi’i dan diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri. Menurut pendapat lain, lailatul qadar jatuh pada tanggal 19 Ramadhan, pendapat ini bersumber dari Ali dan juga Ibnu Mas’ud. Menurut pendapat lain, lailatul qadar jatuh pada tanggal 21 Ramadhan, pendapat ini berdasarkan hadis Abu Sa’id Al-Khudri. Menurut pendapat lain

22Ibid, hlm. 415-416.

23M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, op.cit., hlm. 212.

(14)

lailatul qadar terdapat pada malam 23 Ramadhan, pendapat ini berdasarkan hadis Abdullah ibnu Unais dalam kitab Sahih Muslim. Menurut pendapat lain, lailatul qadar terdapat pada tanggal 24 Ramadhan, pendapat ini bersumber dari Abu Sa’id. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Al- Hasan, Qatadah, Abdullah ibnu Wahb, bahwa malam kemuliaan terdapat pada malam 24 Ramadhan. Menurut pendapat yang lain, malam kemulian terdapat dalam 25 Ramadhan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Abbas. Menurut pendapat yang lain, malam kemuliaan terdapat dalam malam 27 Ramadhan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ubay ibnu Ka’ab. Menurut pendapat lain, malam lailatul qadar terdapat pada malam 29 Ramadhan, pendapat ini berdasarkan dari Abu Hurairah dalam kitab Imam Ahmad bin Hambal. Menurut pendapat lain, lailatul qadar terdapat di malam terakhir bulan Ramadhan, pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Nasa’i melalui hadis Uyaynah ibnu Abdur Rahman. Menurut pendapat lain, lailatul qadar jatuh pada malam tujuh terakhir dari Ramadhan, pendapat ini disebutkan di dalam kitab sahihain melalui Abdullah bin Umar. Menurut pendapat lain, lailatul qadar terdapat pada malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, pendapat ini berdasarkan dari Aisyah r.a.24

Ibnu Katsir mengatakan: ada perbedaan pendapat mengenai lailatul qadar, apakah sudah dihapus atau masih tetap ada. Perbedaan pendapat itu yakni:

Pertama, ibnu Katsir mengutip sebagaimana yang disangka oleh sebagian golongan Syi’ah yang mengatakan bahwa lailatul qadar telah diangkat secara keseluruhan, sesuai dengan pemahaman mereka terhadap hadis Nabi yang mengatakan:

َُ ُْ٘نٌَ َُْا ىَغَعَٗ ْدَعِفُشَف .ٌُْنَىٌشٍَْخ

Artinya: maka diangkatlah (dihapuskanlah) lailatul qadar dan mudah-mudahan hal ini baik bagi kalian.25

Kedua, Ibnu Katsir berpendapat mengenai sabda Nabi yang mengatakan:

24Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adzim, op.cit., hlm. 417-420.

25Ibid, hlm. 416.

(15)

ْ تَعِفُرَف Artinya: maka dihapuslah (pengetahuan tentang malam kemuliaan dari ingatanku).

Hadis di atas yang dimaksud yakni dihapuskan pengetahuan mengenai ketentuan malamnya dari kalian, dan bukan berarti bahwa malam kemulian itu dihapuskan seluruhnya, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang kurang akalnya dari golongan Syi’ah. Karena sesungguhnya Rasulullah bersabda sesudahnya:

ُغََِرْىاَف ِعاَّرىا ىِف إَ ْ٘

.ِحَغٍِاَخْىاَٗ ِحَعِتاَّغىاَٗ ِحَع

Artinya: maka carilah malam kemuliaan itu di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh) tujuh, dan (dua puluh) lima.

Kemudian sabda Nabi SAW yang menyatakan:

ٌُْنَّى ا شٍَْخ َُ ُْ٘نٌَ َُْأ ىَغَعَٗ

Artinya: dan barangkali hal itu lebih baik bagi kamu.

Hadis di atas menjelaskan ketiadaan ketentuan malamnya lebih baik bagimu, karena sesungguhnya jika malam kemuliaan dimisterikan ketentuannya, maka orang-orang yang mencarinya akan mengejarnya dengan penuh kesungguhan guna mendapatkannya dalam seluruh bulan Ramadhan. Dengan demikian, berarti ibadah yang dilakukannya lebih banyak. Berbeda halnya jika ketentuan malamnya disebutkan dan mereka mengetahuinya, maka semangat menjadi pudar untuk mencarinya dan hanya muncul di malam itu saja. Sedangkan pada malam lainnya mereka tidak mau melakukan ibadah padanya. Sesungguhnya hikmah disembunyikannya ketentuan malam kemuliaan ini dimaksudkan agar ibadah meramaikan seluruh bulan Ramadhan untuk mencarinya, dan kesungguhan makin meningkat bila Ramadhan mencapai sepuluh terakhirnya.26

Dari penafsiran Ibnu Katsir mengenai surat al-Qadr dapat di ambil kesimpulan yakni, bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an di malam lailatul qadar, yaitu malam yang penuh dengan keberkahan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah (Q.S. Ad-Dukhan/ 44: 3). Kemudian lailatul qadar itu terletak di

26Ibid, hlm. 421.

(16)

malam bulan Ramadhan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah (Q.S. Al- Baqarah/2: 185). Ibnu Katsir juga mengutip pendapat Ibnu Abbas dan lain-lainnya bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sekaligus dari lauh mahfuz ke baitul izzah di langit yang terdekat. Kemudian diturunkan secara terpisah-pisah sesuai dengan kejadian-kejadian dalam masa 23 tahun kepada Rasulullah SAW.

Kemudian Allah berfirman keagungan kedudukan lailatul qadar ialah karena malam itu dikhususkan oleh Allah SWT sebagai malam yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Maka Allah SWT berfirman dalam (Q.S. Al-Qadr/ 97: 2- 3).

Berkenaan mengenai Asbabun Nuzul surat al-Qadr, Ibnu Katsir menghadirkan dua pendapat, yaitu: pertama, Ibnu Katsir mengutip pendapat Abu Isa At-Turmudzi berkenaan sebuah hadis dari Al-Qasim Ibnu Fadl Al-Haddani mengenai asbabun nuzul surat al-Qadr adalah sama halnya dengan masa pemerintahan bani Umayyah. Al-Qasim mengatakan bahwa telah menghitung masa pemerintahan bani Umayyah adalah tidak lebih dan tidak kurang sehari pun.

Kemudian Ibnu Katsir mengatakan bahwa pendapat Al-Qasim ibnul Fadl Al- Haddani ini tidaklah benar. Karena sesungguhnya Mu’awiyyah ibnu Abu Sufyan r.a. baru memegang pemerintahan saat Al-Hasan ibnu Ali menyerahkannya kepada dia tahun 40 Hijriyah sampai 132 H. Dengan demikian, jumlah masa pemerintahan bani umayyah seluruhnya adalah 92 tahun, dan ini lebih dari 1000 bulan, jika dihitungkan 1000 bulan yakni 83 tahun lebih 4 bulan. Bukti lain ke dhaifan hadis yang menyebutkan 1000 bulan yang disebutkan dalam ayat menunjukkan masa pemerintahan bani umayyah, sedangkan suratnya sendiri adalah makkiyah. Bagaimana bisa dibelokkan dengan pengertian 1000 bulan masa pemerintahan bani Umayyah. Baik lafadz maupun makna ayat tidak menunjukkan pengertian itu. Kedua, Ibnu Katsir mengatakan mayoritas ulama berpendapat asbabun nuzul dalam surat al-Qadr dikarenakan Nabi Muhammad dan Umat-Nya merasa kagum dengan pemuda bani Israil yang berjihad dan beribadah kepada Allah selama 1000 bulan. Nabi merasa jika umat-Nya tidak akan mampu menyamai umur pada masa umur umat terdahulu. Maka Allah menurunkan surat al-Qadr yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari 1000 bulan, yakni

(17)

lebih baik daripada laki-laki yang membawa senjatanya selama 1000 bulan dalam berjihad di jalan Allah.

Ibnu Katsir berpendapat mengenai surat al-Qadr ayat 4 yakni, ayat ini menjelaskan tentang banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan itu karena berkahnya yang banyak. Para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat. Adapun mengenai ar-ruh Ibnu Katsir berpendapat makana yang dimaksud adalah jibril a.s. menurut pendapat lain menyebutkan, ar-ruh adalah sejenis malaikat tertentu, untuk mengatur segala urusan.

Ibnu Katsir berpendapat mengenai surat al-Qadr ayat 5 yakni, ayat ini menjelaskan tentang malam yang penuh keselamatan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya atau melakukan gangguan padanya. Semua urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rizki ditakdirkan. Malam itu penuh dengan keselamatan hingga terbit fajar.

Ibnu katsir mengatakan ada dua pendapat berkenaan dengan lailatul qadar apakah terdapat pada umat-umat terdahulu, atau lailatul qadar khusus bagi umat Nabi Muhammad SAW? Perbedaan itu yaitu: pertama, pendapat dari Abu Mus’ab Ahmad bin Abu Bakar Az-Zuhri mengatakan bahwa lailatul qadar hanya terdapat pada masa Nabi Muhammad SAW saja. Kedua, pendapat Al-Khattabi mengatakan bahwa lailatul qadar terdapat pula di kalangan umat-umat terdahulu.

Ibnu Katsir menjelaskan tentang ketentuan malam lailatul qadar yang menjadi perbedaan pandangan para ulama dalam menentukan tanggal malam lailatul qadar. Ibnu Katsir juga mengatakan berkenaan tentang hadis Nabi farufiat (maka dihapuslah) yakni yang dimaksud adalah dihapuskan pengetahuan mengenai ketentuan malamnya, dan bukan berarti bahwa malam kemuliaan itu dihapuskan seluruhnya.

B. Penafsiran Lailatul Qadar Menurut M. Quraish Shihab













Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam al-Qadar. (Q.S.

Al-Qadr/ 97: 1)

(18)

Kata )ٓاْىضّأ( anzalnahu terdiri dari kata-kata )هضّأ( anzala telah menurunkan, )اّ( na yang merupakan pengganti nama banyak persona kedua, serta )ٓ( hu yang merupakan pengganti tunggal persona ketiga. Kata )هضّأ( anzala terambil dari kata )هضّ( nazala yakni turun atau berpindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Bentuk lain yang juga terambil dari kata tersebut adalah )هّضّ( nazzala.

Quraish Shihab mengatakan sebagian mereka berpendapat bahwa kata anzala pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada turunnya sesuatu secara utuh sekaligus, sedangkan kata nazzala digunakan untuk turunnya sesuatu sedikit demi sedikit atau berangsur-angsur. Atas dasar itu dan atas dasar adanya dua kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menjelaskan turunnya Al-Qur’an, maka mereka berkesimpulan bahwa Al-Qur’an pernah turun sekaligus dan itulah yang ditunjuk oleh ayat yang menggunakan kata anzalnahu, dan juga Al-Qur’an turun berangsur-angsur dan itulah yang ditunjuk oleh ayat yang menggunakan kata nazzala. Diturunkannya Al-Qur’an sekaligus adalah dari al-Lauh al-Mahfuzh ke langit kedua, sedangkan diturunkannya berangsur-angsur adalah dari langit dunia kepada Nabi Muhammad SAW yang dibawa oleh malaikat Jibril selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari.

Pada ayat di atas, kata “Al-Qur’an” tidak disebut secara eksplisit (tegas).

Ia hanya ditunjuk dengan pengganti nama (nya). Hal itu untuk memberi kesan tentang keagungan wahyu-wahyu Ilahi itu, karena salah satu bentuk pengagungan yang dikenal dalam bahasa adalah tidak menyebutkan nama yang diagungkan, selama telah ada qarinah (indikator atau tanda-tanda) yang dapat mengantar pendengar atau pembacanya kepada yang diagungkan itu. Itu juga mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an selalu hadir dalam benak mitra bicara karena memang ayat- ayatnya memberi pengaruh luar biasa di tengah masyarakat muslim atau non muslim ketika itu.27

27M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, op.cit., hlm 422-423.

(19)

Kata )حيٍى( lailah dari segi bahasa berarti hitam pekat, itu sebabnya malam dan rambut yang hitam keduanya dinamai )وٍى( lail. Kata malam dimulai dari tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar. Beliau mengatakan Al-Qur’an diturunkan tidak memperoleh informasi yang pasti, apakah turunnya pada awal malam, pertengahan atau akhirnya. Benar ada riwayat yang menyatakan bahwa Allah turun pada sepertiga malam terakhir, untuk menerima taubat hamba-hamba- Nya atau memperkenankan permohonan mereka. Namun itu tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah pada saat tersebut.

Quraish Shihab mengatakan di sisi lain kita dapat berkata bahwa Al- Qur’an menyebut bahwa bulan Ramadhan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an, dan itu terjadi pada malam hari, tetapi tanpa menetapkan tanggal tertentu.

Sebagaimana firman Allah:



























Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).(Q.S. Al-Baqarah/ 2: 185)

Sementara ulama cenderung menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, dengan merujuk kepada firman Allah:



























 

Artinya: apabila kamu percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan pada hari al-Furqan, hari bertemunya dua pasukan (Q.S. Al-Anfal/ 8: 41)

Mereka memahami hari al-Furqan sebagai hari turunnya Al-Qur’an, sedangkan bertemunya dua pasukan dipersamakan dengan perang Badar. Di sisi lain mereka berpendapat bahwa peperangan Badar terjadi pada tanggal 17 bulan Ramadhan, maka ini berarti bahwa hari turunnya Al-Qur’an adalah malam 17 Ramadhan. Mereka hanya menegaskan bahwa persamaan itu hanya pada tanggal

(20)

bukan pada tahun terjadinya peperangan tersebut. Karena wahyu-wahyu Al- Qur’an sudah banyak yang turun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.28

Pendapat di atas tidak didukung oleh sebagian ulama, antara lain karena al-Furqan pada ayat di atas tidak harus diartikan sebagai Al-Qur’an. Bisa juga ia berarti pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Sehingga hari peperangan Badar itu merupakan hari pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Sedangkan yang diturunkan Allah pada hari itu tidak juga harus Al-Qur’an, tetapi yang diturunkan- Nya ketika itu adalah malaikat-malaikat. Seperti dalam firman Allah:

























Artinya: (ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut". (Q.S.

Al-Anfal/ 8: 9)29

Berkenaan dengan penjelasan di atas tadi, terdapat kesamaan pada tafsir Al-Maraghi yakni surat al-Qadr menjelaskan bahwa masa diturunkannya Al- Qur’an adalah pada malam lailatul qadar, sedangkan pada surat ad-Dukhan berfungsi sebagai penguat dari ayat pertama surat al-Qadar, dan menjelaskan pula bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam lailatul qadar. Ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah memberi petunjuk bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan. Sedangkan ayat yang terdapat dalam surat al-Anfal menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW pada malam yang sama dengan bertemunya dua golongan pasukan dalam perang Badar, yaitu pada hari Allah memisahkan antara yang hak dan yang batil. Pada saat itu tentara Allah menang atas tentara setan. Berdasarkan keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa malam diturunkannya Al-Qur’an adalah malam jum’at tanggal 17 Ramadhan.30

Quraish Shihab mengutip pendapat ulama yakni, sementara itu ada ulama yang mengatakan bahwa lailat al-Qadr hanya terjadi sekali itu dan tidak akan ada

28Ibid, hlm. 424.

29Ibid, hlm. 424-425

30Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon, Darul Fikr, 2006), Juz 10, hlm. 361.

(21)

lagi sesudahnya. Pakar hadis Ibn Hajar menyebutkan alasan ulama-ulama itu antara lain sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW yang bersabda tentang laliatul qadar yang menyatakan “Innaha Rufi’at” (sesungguhnya malam al-Qadar telah terangkat, dalam arti sudah tidak akan datang lagi). Pendapat ini tidak diterima kecuali jika yang dimaksud dengannya adalah hari pertama turunnya Al-Qur’an. Karena mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap tahun terjadi lailatul qadar, dan bahwa malam tersebut menjadi mulia bukan saja karena Al-Qur’an turun ketika itu. Tetapi malam itu sendiri memiliki kemuliaan, yang kemudian kemuliaannya bertambah dengan turunnya Al-Qur’an.

Quraish Shihab mengatakan seandainya kehadiran lailatul qadar hanya ketika turunnya Al-Qur’an pertama kali, tentulah Nabi SAW tidak akan menganjurkan umatnya untuk berusaha mendapatkannya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Bahkan dari Al-Qur’an ditemukan isyarat yang menunjukkan bahwa lailatul qadar datang secara berkesinambungan setiap tahun.

Isyarat tersebut antara lain dengan penggunaan bentuk kata kerja yang berbentuk masa kini dan akan datang (mudhari) pada kata: tanazzalul al-malaikatu (Q.S. Al- Qadr/ 97: 4) yang menunjukkan bahwa turunnya malaikat itu bersinambung secara terus-menerus.31

Hal yang sama sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz Muhammad As-Salam yakni para ulama bersepakat bahwa lailatul qadar terjadi pada malam bulan Ramadhan. Terus berlangsung pada setiap bulan Ramadhan untuk mashlahat umat Nabi Muhammad SAW, sampai terjadinya hari kiamat. Adapun tentang penentuan terjadinya, para ulama berbeda pendapat disebabkan beragamnya informasi hadis Rasulullah SAW. Serta pemahaman para sahabat tentang hal tersebut.32



























31M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, op.cit., hlm. 425.

32Abdul Aziz Muhammad As-Salam, Menuai Hikmah Ramadhan dan Keistimewaan Lailatul Qadar, op.cit., hlm. 249.

(22)

Artinya: dan apakah yang menjadikan engkau tahu apakah lailat al-Qadar? Lailat al-Qdar lebih baik dari seribu bulan. (Q.S. Al-Qadr/ 97: 2-3)

Quraish Shihab mengatakan ada empat pendapat ulama tentang makna al- Qadar pada ayat di atas.33 Pertama, penetapan. Malam al-Qadar adalah malam penetapan Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah:































Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati, dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan segala urusan bijaksana. (Q.S. Ad-Dukhan/ 44: 3-4)

Kedua, pengaturan. Yakni pada malam turunnya Al-Qur’an, Allah SWT mengatur khittah atau strategi bagi Nabi-Nya Muhammad SAW guna mengajak manusia kepada kebijakan.

Ketiga, kemuliaan. Bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al- Qur’an pada malam yang mulia. Malam tersebut menjadi mulia, karena kemuliaan Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mendapat kemulian dengan wahyu yang beliau terima. Ada juga yang memahami kemuliaan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah, dalam arti ibadah pada malam tersebut mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan pahala tersendiri, berbeda dengan malam-malam lain. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tadinya tidak memiliki kedudukan yang tinggi, akan mendapat kemuliaan, apabila pada malam itu mereka khusyu’ tunduk kepada Allah, menyadari dosa-dosanya serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Keempat, sempit. Yakni pada malam turunnya Al-Qur’an malaikat begitu banyak yang turun sehingga bumi menjadi penuh sesak bagaikan sempit.

Wahbah Zuhaily mengatakan hal yang serupa berkenaan tentang makna lailatul qadar yaitu:

33M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, op.cit., hlm. 426.

(23)

1. Lailatul qadar ialah malam permulaan diturunkannya Al-Qur’an yang agung di malam bulan Ramadhan yang berkah.

2. Lailatul qadar ialah malam yang mulia dan agung, malam keputusan dan takdir, Allah menghendaki keputusan dari segala perkara Allah, dari tahun ini hingga tahun yang akan datang. Keputusan Allah itu dari perkara mati, azal, rizki dan yang lainnya, dan Allah menyerahkan semua urusan itu kepada 4 malaikat, yaitu: Israfil, Mikail, Izrail, dan Jibril Alaihis Salam.

3. Beramal di malam lailatul qadar lebih baik daripada beramal pada 1000 bulan selain bulan Ramadhan, dan pada malam itu terdapat kebaikkan yang banyak yang tidak ditemukan pada 1000 malam yang lain.

4. Para malaikat turun dari tiap langit, dari Sidratil Muntaha, dan Jibril bertempat di tengah-tengah para malaikat sampai ke bumi, dan mengabulkan do’a para manusia sampai waktu terbitnya fajar.34

Quraish Shihab mengatakan malam tersebut adalah malam mulia lagi hebat. Kemuliaan dan kehebatan itu bukan saja dipahami dari kata al-Qadar, tetapi dari kandungan ayat ke-2 di atas, Wa Ma Adraka Ma Lailatul Qadr. Ungkapan wa ma adraka tidak digunakan Al-Qur’an kecuali menyangkut persoalan-persoalan besar dan hebat yang tidak mudah diketahui hakikatnya. Sehingga disimpulkan bahwa penggunaan ungkapan tersebut berkaitan dengan lailatul qadar dan menunjukkan pula kehebatan malam itu, serta hakikatnya tidak mudah untuk diungkap kecuali dengan bantuan Ilahi.

Kebaikkan lailatul qadar jika dikaitkan dengan turunnya Al-Qur’an sungguh sangat jelas. Karena satu malam di mana cahaya wahyu Ilahi menerangi alam raya, memberi petunjuk kebahagiaan umat manusia. Satu malam itu jauh lebih baik dari seribu bulan di mana kemanusiaan hidup dalam kegelapan syirik dan jahiliyah, sebagaimana yang dialami manusia sebelum hadir wahyu Ilahi. Di sini kata )فىأ( alf/seribu, tidak harus dipahami sebagai angka yang di atas 999 dan di bawah 1001, tetapi kata seribu berarti banyak, sama halnya dengan firman Allah:

34Wahbah Zuhaily, Tafsir Al-Munir, op.cit., hlm. 726.

(24)















Artinya: salah seorang di antara mereka sangat berkeinginan seandainya mereka diberi umur seribu tahun yakni hidup dalam waktu yang amat lama. (Q.S. Al- Baqarah/ 2: 96)35

Bila kebaikannya dipahami dalam kehadirannya setiap tahun kepada hamba-hamba Allah yang mempersiapkan diri untuk menyambutnya, maka makna lebih baik dari seribu bulan antara lain bahwa nilai pahala ibadah pada malam lailatul qadar melebihi nilai pahalanya dibandingkan dengan beribadah pada seribu bulan yang lain.

Quraish Shihab mengatakan mengenai lailatul qadar bahwa kelebihan itu adalah nilai pahalanya bukan kewajiban ibadahnya. Sehingga dengan demikian amat keliru mereka yang hanya ingin beribadah dan melaksanakan kewajiban agama pada malam lailatul qadar atau malam-malam Ramadhan dan tidak lagi melaksanakan kewajiban pada hari-hari lainnya. Dengan menganggap pelaksanaannya ketika itu sudah seimbang dengan pelaksanaan tuntunan agama seribu bulan lainnya.36

Pendapat lain mengatakan bahwa kemuliaan dan nilai seribu bulan itu dapat diperoleh seseorang sebagai hasil ibadah dan pendekatan kepada Allah selama bulan Ramadhan. Ibadah-ibadah yang dilakukannya secara tulus dan ikhlas itu akan dapat berbekas dalam jiwanya, sehinnga pada akhirnya ia mendapatkan kedamaian, ketenangan, sehingga mengubah secara total sikap hidupnya. Mungkin orang tersebut sebelum ini masih sering melakukan pelanggaran kecil atau besar. Tetapi sebagaimana diketahui, sering kali ada saat- saat tertentu di mana timbul kesadaran di dalam hati, kesadaran akan dosa dan kelemahan manusia di hadapan Allah. Sehingga mengantar seseorang untuk mendekat kepada-Nya, sambil menginsafi kesalahannya. Kesadaran itu bila dirasakan seseorang, maka itulah bukti bahwa ia telah mendapatkan lailatul qadar tersebut.

35M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasiaan Al-Qur’an, op.cit., 427.

36Ibid, hlm. 427-428.

(25)

Kesadaran ini memang dapat muncul kapan saja, tetapi pada malam- malam Ramadhan, khususnya pada akhir bulan Ramadhan, kesempatan untuk mendapatkannya sangat besar, bagi mereka yang mengasah dan mengasuh jiwanya sejak awal Ramadhan. Apalagi Allah sendiri telah menetapkan salah satu malam dalam bulan itu untuk tujuan tersebut.

Apabila kesadaran tersebut telah hadir dalam jiwa seseorang, maka pengaruh yang ditimbulkan dalam sikap dan pola hidupnya akan sangat besar.

Sehingga benar-benar dapat merupakan semacam peletakan batu pertama dari kebajikan untuk sepanjang hayatnya. Sekaligus ia merupakan malam penetapan bagi langkah-langkah hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Makna ini bertemu dengan makna lailatul qadar yang telah dikemukakan pada awal tadi, yakni bahwa malam tersebut adalah malam penetapan.37

Keterangan yang sama terdapat pada tafsir Al-Maraghi yakni malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Sebab pada malam itu merupakan awal terbitnya cahaya hidayah dan permulaan syariat baru yang diturunkan demi kemaslahatan umat manusia. Malam itu merupakan malam peletakan batu pertama bagi agama baru, yang merupakan penutup bagi seluruh agama samawy disetiap tempat dan zaman. Malam itu lebih baik dari seribu bulan yang dialami oleh umat manusia dalam keadaan tertatih-tatih dalam kegelapan kemusyrikan dan kesesatan keberhalaan. Mereka berada dalam keadaan kebingungan, tidak tahu arah dan tujuan, dan tidak ada batasan-batasan yang bisa menjadi pegangan mereka.38

































Artinya: turun malaikat-malaikat dan Ruh padanya dengan izin Tuhan mereka, untuk mengatur segala urusan. Salam ia sampai terbitnya fajar. (Q.S. Al-Qadr/ 97:

4-5)

Kata )هّضْذ tanazzalu terambil dari kata )هّضْرذ( tatanazzalu dengan dua ( huruf ta’ pada awalnya, lalu dihapus salah satunya untuk mengisyaratkan

37Ibid, hlm. 428.

38Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, op.cit., hlm. 361.

(26)

kemudahan dan kecepatan turunnya. Sekaligus mengisyaratkan ketersembunyian yakni kesamaran makna turun tersebut. Al-Biqa’i mengatakan bahwa kata yang digunakan ayat di atas mengandung makna berangsur dan dengan demikian turunnya malaikat tidak sekaligus tetapi berangsur-angsur silih berganti.

Sementara itu ulama enggan menjelaskan apa makna turunnya malaikat pada malam itu. Mereka berkata bahwa dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa para malaikat dan malaikat Jibril turun dari alam ruhani sehingga nampak oleh Nabi, terutama malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu. Mereka mengatakan bahwa kita tidak perlu menyelidiki bagaimana cara dan rahasianya, cukuplah kita beriman saja. Adapun yang dapat diketahui manusia tentang rahasia alam ini hanya sedikit sekali, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:















Artinya: dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Q.S. Al-Isra/

17: 85)39

Thabathaba’i mengatakan serupa berkenaan dengan surat al-Qadr ayat 4 yakni, kata )هّضْذ tanazzalu berasal dari kata )هّضْرذ( tatanazzalu, dan menganai ( makna ar-ruh thabathaba’i mengatakan hal tersebut termasuk sebuah urusan yang tidak dapat diketahui. Sebagaimana firman Allah:































Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Israa/ 17: 85)40

Berkenaan dengan pendapat di atas, hal yang sama terdapat pada tafsir Al- Maraghi yakni turunlah malaikat Jibril dari alam ruhani dan menampakkan diri dimata Rasulullah SAW untuk menyampaikan wahyu Ilahi kepada Nabi, dengan seizin tuhannya, dan setelah Allah mempersatukan jiwa Nabi untuk mengemban

39M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasiaan Al-Qur’an, op.cit., hlm. 429.

40Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan Fi Tafsiril Qur’an, (Lebanon: Muassasah Al-Alami Lil Matbhuati, 2006), Juz 20, hlm. 593.

(27)

risalah-Nya sebagai rahmat bagi umat manusia. Tentang turunnya malaikat ke bumi, merupakan rahasia Allah. Kita tidak berkewajiban menyelidiki dan mempersoalkannya. Kita hanya berkewajiban mengimani hal itu. Seluruh alam dengan pengetahuan dan ilmu yang mereka miliki, tidak ada artinya sama sekali dihadapan Allah. Sebagaimana ditegaskan oleh firman-Nya:















Artinya: dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Q.S. Al-Isra/

17: 85)41

Quraish Shihab menghadirkan penjelasan Rasyid Ridha yang mengutip pendapat gurunya Muhammad Abduh tentang malaikat yang menurutnya sejalan dengan pendapat Imam Ghazali sebagai berikut: “Dirasakan oleh mereka yang mengamati dirinya atau membanding-bandingkan pikiran atau kehendaknya yang mempunyai sisi. Dua sisi tersebut ialah baik dan buruk, dirasakan oleh mereka bahwa dalam batinnya terjadi pertentangan seakan-akan apa yang terlintas dalam pikiran atau kehendaknya itu sedang diajukan ke suatu sidang. Ini menerima dan itu menolak, ini berkata lakukan dan yang itu berkata jangan. Demikian halnya sehingga pada akhirnya salah satu pihak memperoleh kemenangan. Hal seperti itu sering terjadi dalam diri setiap manusia. Kita tidak mengetahui hakikat hal tersebut, tetapi tidak mustahil itulah yang dinamai oleh Allah dengan malaikat ataukah dinamai (oleh-Nya) penyebab yang menimbulkan dorongan dalam hati untuk melakukan kebajikan.

Jika pendapat di atas diterima maka akan semakin jelas arti turunnya malaikat yakni seorang yang mendapatkan lailatul qadar dan akan semakin kuat dorongan dalam jiwanya untuk melakukan kebijakan-kebijakan pada sisa hidupnya sehingga ia merasakan kedamaian yang abadi.42

41Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, op.cit., hlm. 362.

42M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, op.cit., hlm. 430.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan teori hermeneutika yang dilakukan oleh Quraish Shihab memunculkan makna bahwa ayat 33 surat Maryam, adalah dalil diperbolehkannya mengucapkan selamat

Sedangkan data primer dari Quraish Shihab adalah buku dengan judul Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal. dalam Islam; Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Operasi Plastik dengan Tujuan Kecantikan dalam al- Qur’a> n ( Analisis Penafsiran Surah al- Nisa>’ ayat 119 menurut M. Quraish Shihab). Penelitian ini berawal dari

Menurut Quraish Shihab bahwa Al- Qur’an tidak memilah -milah materi yang disajikan, khususnya bila diamati sistematika susunan ayat-ayat

Quraish Shihab dan al-Maraghi menafsirkan bahwa orang-orang yang lalai dalam merenungkan ayat-ayat Allah dan tidak menggunakan mata serta telinga untuk

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misba>h yaitu gabungan dari beberapa metode, seperti tahlili karena ia menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an,

Dari keterangan di atas yang dimaksud judul dalam skrpsi ini, “Akal Dan Wahyu Menurut Harun Nasution Dan Muhammad Quraish Shihab (Studi Perbandingan)” adalah suatu penelitian

Berangkat dari makna seperti term kafir secara bahasa Quraish Shihab menafsirkan term kafir yang ada dalam Alquran, jadi ia tidak memakai semua term kafir