KECENDRUNGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Oleh :
ARIF HADIANSYAH No. Mahasiswa : 07410303 Program stufi : Ilmu Hukum
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS HUKUM
YOGYAKARTA 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) sudah empat kali mengalami amandemen. Amandemen UUD 1945 menegaskan Negara Indonesia sebagai negara hukum.1 Negara hukum mengharuskan adanya pengakuan atau penegasan secara normatif dan empirik terhadap prinsip supremacy of law atau supremasi hukum,2 yang didalamnya menghendaki semua masalah haruslah dapat diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman dan peraturan tertinggi yang harus ditaati di dalam penyelenggaraan sebuah Negara.
Konsekuensi logis Negara yang berdasarkan hukum, maka tata kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegaranya harus berpedoman pada norma-norma hukum. Negara hukum memiliki karakteristik diantaranya adalah3: pertama, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum,
1 Lihat pasal 1ayat (3) UUD 1945
2 Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 154. Sebagai mahkluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama lainya seringkali tidak dapat menghindari adanya benturan kepentingan (conflict of interest) diantara mereka.
Konflik-konflik sedemikian tak ayal terkadang menyebabkan kerugian dan bahkan disertai dengan melakukan pelanggaran hak dan kewajiban. Ketika hal itu terjadi maka diperlukan sebuah instrument yang diberi nama hukum untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi, maka tidaklah heran muncul adagium “ubi societas ibi ius”
atau dimana ada masyarakat, maka disitu ada hukum.
3 Sri Wardah, Diktat kuliah Metode Penemuan Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2009, hlm. 2.
sosial, ekonomi dan kebudayaaan; kedua, peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi suatu kekuasaan ataupun kekuatan apapun; ketiga, legalitas dalam arti hukum dalam segala bidangnya.
Penegakkan hukum dalam Negara hukum, memerlukan institusi (dalam hal ini salah satunya ialah institusi kekuasaan kehakiman) yang bertugas mengawasi dan menegakkan berlakunya peraturan hukum seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 24, 24A, 24B, 24C, dan 25 hasil amandemen yang membahas tentang kekuasaan kehakiman. Dalam struktural kekuasaan kehakiman dikenal dua badan lembaga peradilan yaitu lembaga peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) keduanya sederajat dan sama tinggi kedudukannya.
Tugas pokok badan peradilan adalah menerapkan, menegakkan hukum dan keadilan. Dimana salah satu elemen penting di dalam lembaga peradilan ialah hakim yang memiliki kedudukan sangat sentral dalam rangka penegakan hukum yang berdimensi keadilan. Hak dan kewajiban hakim sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 5 ayat 1 tentang kekuasaan kehakiman, yakni wajib menerima, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Hakim didalam menjalankan tugas dan kewajibannya, diharapkan pula mampu menggali rasa keadilan yang tumbuh di dalam tengah-tengah
masyarakat, hal ini selaras dengan tujuan Negara yaitu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Akan tetapi dalam realita penegakan hukum, khususnya dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi (dalam lingkungan lembaga peradilan dibawah naungan MA)jika dilihat dari data putusan pengadilan negeri sejak tahun 2005-2009 masih jauh dari rasa keadilan yang diharapkan, pengadilan Umum pada tahun 2005 menjatuhkan vonis bebas kurang lebih sebanyak 22,22% dari sejumlah 243 (dua ratus empat puluh tiga) terdakwa korupsi; tahun 2006 meningkat menjadi 31,40% dari sejumlah 361 terdakwa; tahun 2007 meningkat menjadi 56, 84% dari sejumlah 373 terdakwa korupsi; tahun 2008 meningkat menjadi 62,38% dari sejumlah 444 terdakwa korupsi; tahun 2009 sedikit mengalami penurunan yaitu 59,26% dari sejumlah kasus 378 terdakwa kasus korupsi.4 Berdasarkan realitas empirik yang dipaparkan di atas, memunculkan pertanyaan-pertanyaan awal, misalnya: apa saja penyebab pengadilan umum banyak memberikan putusan bebas atau ringan dalam perkara korupsi? Adakah faktor-faktor baik internal maupun eksternal yang menjadi penyebab output dari pengadilan umum?
Menurut pendapat Syamsudin5, ada dua perspektif yang dapat dikemukakan untuk menanggapi realitas sosial di atas, pertama,
4 Baca hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang putusan- putusan pengadilan dalam perkara korupsi sejak tahun 2005-2009.
5 Syamsudin.M, Faktor-Faktor Sosiolegal Yang Menentukan dalam Penanganan Perkara Korupsi di Pengadilan, Jurnal Hukum No.3 Vol. 17 Juli 2010:
hlm. 408
perspektif internal hukum (pendekatan dogmatic/analitik) dan kedua, perspektif eksternal hukum (pendekatan sosio-legal)6. Dilihat dari perspektif internal hukum, memang tidak nampak adanya hal-hal yang penting untuk dipermasalahkan atas realitas empirik dari putusan hakim tersebut. Artinya hakim sah-sah saja dan tidak ada larangan untuk menjatuhkan vonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau menjatuhkan pemidanaan. Demikian pula hakim menjatuhkan sanksi ringan, sedang atau berat terhadap para terdakwa. Hal itu merupakan ranah kewenangan dan kebebasan hakim dalam memeriksa dan juga menjatuhkan hukuman. Singkatnya hakim tidak keliru dan masih dalam batas-batas koridor hukum yang benar. Dalam pendekatan ini yang ditekankan adalah bagaimana para fungsionaris hukum (dibaca: hakim) itu bekerja mengikuti kaidah-kaidah formal dan procedural yang telah dikemaskan dalam peraturan-peraturan yang berlaku. Jadi, jika hakim sudah bekerja sesuai dengan prosedur dan aturan serta tidak ada penyimpangan, maka tidak perlu ada hal-hal yang dipermasalahkan.7
Sementara itu, dari perspektif eksternal hukum (pendekatan sosio-legal) melihat tidak cukup hanya melihat bekerjanya hukum sebatas pada dipenuhinya prosedur formal semata. Pendekatan yang kedua ini lebih melihat permasalahan atau fakta-fakta sosial hukum dari optic yang lebih luas dan lazimnya memanfaatkan ilmu-ilmu lain
7 Ibid, faktor …, hlm 409
seperti sosiologi, antropologi, psikologi untuk dijadikan pendekatan dalam menjelaskan fenomena hukum yang dikaji. Dengan perkataan lain, pendekatan ini dapat memanfaatkan teori-teori ilmu (sosial) lain dalam mengungkap dan menganalisis fakta-fakta yang dikaji.8
Berdasarkan fakta dan uraian diatas, tampak adanya kesenjangan antara das sollen (sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 5 ayat 1 tentang kekuasaan kehakiman) dengan das sein (realita yang terjadi di lapangan seperti terdeskripsikan dalam data), oleh karena itu, penulis akan mencoba mengkaji dan meneliti tentang kecendrungan putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi di pengadilan negeri Yogyakarta dalam kurun waktu putusan yang dikelurkan dari tahun 2002 hingga 2010 kedalam sebuah penelitian dan penulisan skripsi.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah kecendrungan putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Yogyakarta?
2. Faktor-faktor apakah yang mendasarkan pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusan?
8 Ibid, hlm. 410
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kecendrungan putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi di pengadilan negeri Yogyakarta apakah telah sesuai dengan keadilan masyarakat umum atau tidak.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor majelis atau hakim dalam pertimbangannya memutus tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya sosiologi hukum
b. Diharapkan dapat menambah literaur dan bahan-bahan informasi ilmiah, mengingat fenomena hukum yang semakin berkembang sejalan perkembangan hukum masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti dengan pemikiran yang dinamis, guna mengembangkan penalaran.
Sehingga mengetahui kemampuan penulis dalam berusaha memecahkan suatu masalah dengan metode ilmiah, sehingga menghasilkan suatu penelitian yang bermanfaat.
b. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Untuk melatih penulisan hukum dalam mengungkapkan permasalahan secara sistematis, dan berusaha memecahkan masalah yang ada tersebut dengan metode ilmiah, menunjang pengembangan ilmu hukum yang pernah penulis terima selama kuliah.
E. Tinjauan Pustaka
Hukum bertujuan untuk menjaga keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan dalam masyarakat tidak terjadi kekacauan. Agar hukum itu berjalan dengan efektif, maka tidak hanya terbatas dengan teks aturan saja. Aturan tersebut harus berangkat dari dasar kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat.9 Pada dasarnya sebuah peraturan akan berjalan efektif apabila peraturan tersebut dirasakan penting oleh masyarakat, peraturan yang aspiratif akan lebih efektif dalam penerapannya daripada peraturan yang tidak aspiratif. Peraturan yang aspiratif merupakan peraturan yang dibuat berdasarkan aspirasi dan mencerminkan keinginan masyarakat. Dilihat dari sudut pandang sosiologi hukum, proses pembentukan Undang-undang yang telah dilakukan secara aspiratif, trasparan dan demokratis, maka pada
9 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Cet. 8, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Hlm. 40.
gilirannya diharapkan Undang-undang yang dihasilkannya akan diterima oleh masyarakat dengan penuh kesadaran.10
Selain itu ada faktor lain yang menunjang peraturan tersebut dapat berjalan secara efektif yakni faktor penegak hukum yang paling sentral dibanding dengan faktor-faktor yang lain. Hal itu disebabkan, oleh karena Undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan oleh masyarakat luas.11 Dengan adanya ketegasan dari penegak hukum atas setiap tindakan pelanggaran terhadap aturan tersebut, maka hukum tersebut akan berjalan secara efektif.
Untuk menjelaskan dan memahami penegakan hukum,12 termasuk proses peradilan dapat menggunakan dua perspektif yang berbeda yaitu perspektif yuridis normatif atau pendekatan doktrinal dan perspektif sosiologis atau pendekatan non-doktrinal. Perspektif normatif atau doktrinal melihat hukum dari dalam sistem hukum itu sendiri atau dalam istilah lawarence M. Friedman bahwa hukum oleh para sarjana hukum dilihat, digunakan dan menjadi ukuran terhadap perilaku.13
10 Saifudin, Proses pembentukan Undang-Undang, Studi Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan UU di Era Reformasi, Ringkasan Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Progaram Pasca Sarjana, Jakarta, 2006, hlm, 3.
11 Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terhadap Penegakan Hukum, Cet: 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 55.
12 Baca Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Sciene Perspective, Russell Sage foundation, New York, 1975, hlm, vii.
13 Porf. Amzulian Rifai, S.H., L.Lm.,P.hD … Loc.cit. hlm. 14
Penegakan hukum dipahami dan diyakini sebgai aktifitas menerapkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum positif (ius constitutum) terhadap suatu peristiwa konkrit, penegakan hukum bekerja seperti model mesin otomatis di mana pekerjaan menegakkan hukum menjadi aktifitas subsumsi otomat, hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti yang harus diterapkan pada peristiwa yang konkret, jelas dan pasti.14 Penegakan hukum dikonstruksikan sebagai hal yang rasional logis yang mengikuti kehadiran peraturan hukum.
Aspek-aspek moral, politik, budaya, lemabaga, masyarakat dan manusia sebagai pelaksana penegakan hukum bukanlah variabel yang diperhitungkan dalam peenegakan hukum, karena hukum (Undang- undang) memiliki logika dan cara kerjanya sendiri sesuai dengan logika sylogisme, yaitu premis mayor, premis minor dan konklusi.
Logika sylogisme dalam hukum positif mengharuskan adanya dokumen tertulis atau bukti-bukti tertulis untuk menyakini dan mendasari terjadinya proses atau transaksi hukum sebagaimana tuntutan prinsip rasionalitas pada hukum materiil dan hukum formil.15
Selain itu diharuskan pula ditempuhnya juga prosedur dan mekanisme dalam penegakannya. Tanpa itu penegakan hukum tidak bisa dijalankan, seperti itulah paradigma dan keyakinan hukum para
14 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah Press, Surakarta, 2004, hlm.173.
15 Amzulian Rifai, Suparman Marzuki, Andrey Sujatmoko, Wajah Hakim dalam Putusan Berdimensi Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta 2008,hlm.
16
penegak hukum di lembaga penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat) dalam menegakkan dan menerapkan hukum terhadap suatu kasus atau perkara yang sedang di proses dalam peradilan.
Keharusan adanya hukum positif yang sesuai, tepat, jelas dengan asas legalitas, serta tersedianya alat-alat bukti tertulis, prosedur dan mekanisme yang tetap dalam perwujudannya, seringkali diyakini menjadi tidak adil bagi pihak tertentu yang dirugikan atau pihak korban (dalam hukum publik) yang tidak memiliki cukup bukti.
Kasus-kasu tindak pidana korupsi misalnya, yang notabenya merupakan jenis perbuatan lama yang dirumuskan sebagai kejahatan oleh undang-undang, dipastikan akan mengahadapi kendala pada level hukum materiil, formil, prosedur, mekanisme dan kemampuan manusia pelaksana hukum tersebut. Bisa kemungkinan hukum materiil dan formil tidak cukup jelas atau tidak tepat dalam mengatur, prosedur dan mekanismenya berbelit, serta aparatur penegak hukumnya tidak terlatih atau terbiasa dengan cara berpikir sylogisme sehingga penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana yang dicita-citakan bangsa ini atau bahkan mengecewakan.
Fenomena penegakan hukum dalam kerangka perspektif normatif itu telah dikritik sebagai penegakan hukum yang buta atas realitas di mana hukum itu dibuat, hidup dan bekerja. Keadialan formal (formal justice) yang mengarah sepenuhnya kepada terlaksananya unsur materiil dari pelaksanaan hukum, tanpa menghiraukan adanya aspek-aspek sosial, moral, politik, cultural dan
manusia pelaksana hukum. Benar apa yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama bahwa penegakan hukum di Indonesia mengalami “moral miniaturization”16 atau pengerdilan moral suatu unkapan kritis dalam mengapresiasikan penegakan hukum yang menafikan aspek-aspek keadilan.17
Sebaliknya dengan pendekatan normatif adalah pendekatan sosiologis. Pendekatan ini memandang hukum dan penegakan hukum dari luar hukum karena hukum berada dan menjadi bagian dari sistem sosial dan sistem itulah yang memberi arti dan pengaruh terhadap hukum dan penegakan hukum. friedman mengatakan bahwa asumsi dasar yang mendasari pandangan sosiologi hukum adalah:
“the people who make, apply, or use the law are human beings.
Their behavior: yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies in the sosial sciences”18
Faktor manusia dalam perspektif sosiologi hukum sangat penting karena manusia sangat terlibat dalam penegakan hukum.
penegakan hukum bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia. Pendekatan hukum tidak dapat dilihat sebagai proses logis-linier, melainkan sesuatu yang kompleks.
Penegakan hukum bukan lagi berada di ruang hampa, tetapi berada dan menjadi bagian dari realitas sosial di mana hukum bukan sekadar
16 Lihat Francis Fukuyama, The Great Disruption: Hukum Nature and Reconstruction of Sosial Order, Profile Books, 1999,hlm.281-282.
17 Amzulian Rifai, Wajah … Loc.Cit.hlm. 17.
18 Friedman, loc ci.t
fenomena yuridis semata, tetapi juga fenomena sosial di mana hukum itu ditegakkan, dan bahkan terhadap kasus apa hukum tersebut diterapkan.
Hukum dan penegakan hukum dalam perspektif sosiologi hukum tidak bisa hanya dilihat sebagai lembaga otonom dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk di dalam masyarakat. Dalam bahasa Sinzheimer, hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup.19Bahkan hukum tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”20, dan hukum yang hidup kata Eugen Ehlirch dimaknai sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum.21
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, bahwasanya ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi atas penegakan hukum.
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi atas penegakan hukum adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri atau undang-undangnya
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum
19 Satjipto Rahardjo,”Hukum dalam kerangka ilmu-ilmu sosial dan budaya”, dalam Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum, Nmomor 1 tahun 1972, hlm. 23.
20 Edger Bodenheimer, Yurisprudence: The Philosophy and Method of The Law; Cambridge, Massachusetts, 1962, hlm.106
21 Ibid, hlm. 106
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasrkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup22
Penegakan hukum di ruang pengadilan dalam perspektif sosiologi hukum harus dilihat dalam konteks sosial yang luas, tidak saja faktor hukumnya, faktor aparatur penegak hukumnya, faktor cultural atau budaya masyarakat, sarana prasarana pendukung penegakan hukum itu, tetapi juga konteks politik (hukum) dimana dan kapan aturan hukum positif itu dibuat dan dilaksanakan. Dengan memadukan analisis dari perspektif normatif dan sosiologi hukum akan diperoleh gambaran yang komprehensif mengenai kompleksitas masalah seputar proses dan putusan hakim di ruang pengadilan, yang notabene adalah ruang “social”.23 Sehingga putusan yang dihasilkan memenuhi asas hukum yang ideal yakni asas kepastian hukum, asas kemanfaatan hukum dan asas keadilan hukum.
22 Soerjono Soekanto …, loc,cit. hlm. 5-6.
23 Amzulian Rifai, Wajah … Loc.Cit. hlm. 19.
F. Definisi operasional
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hal yang dimaksud dengan kecendrungan adalah kecondongan, mengarah, atau memihak.24
Kecendrungan putusan hakim terhadap tindak pidana korupsi di pengadilan negeri Yogyakarta adalah kecondongan putusan hakim terhadap perkara korupsi di pengadilan negeri Yogyakarta dalam kurun waktu tahun 2002 hingga 2010.
Putusan hakim adalah putusan penegak hukum, bahkan hukum itu sendiri, yang dapat menggambarkan banyak hal tentang dan mengenai dunia kehakiman dan kehukuman kita, bisa menggambarkan bagaimana kualitas intelektual hakim, keseriusan hakim, ketelitian hakim, dalam menyusun pertimbangan-pertimbangan hukum;
menggambarkan paradigma berfikir yang mereka anut;
menggambarkan apresiasi dan komitmen mereka terhadap arti penting penegakan hukum bagi rancang bangun kehidupan sosial di luar hukum.25
Selain itu, putusan hakim adalah putusan hukum yang memiliki implikasi yuridis; salah satunya dapat menjadi yurisprudensi. Jika putusan hakim itu bernilai tinggi, memiliki rasionalitas hukum yang mendalam, mencerminkan kepribadian hakim yang independen, kuat
24 http//www.KamusBesarBahasaIndonesia.org
25 Amzulian Rifa’I, Suparman Marzuki, Andrey Sujatmoko, Wajah Hakim Dalam Putusan (Studi Atas Putusan Berdimensi Hak Asasi Manusia), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008.
dan cerdas, maka tentu akan sangat kontributif bagi perkembangan hukum dan ilmu hukum.
Pengadilan (court) adalah a judicial body which hears and makes decisions on legal case. Definisi lain menyebutkan, bahwa pengadilan (court) is “any official tribunal (court) presided by a judge or judges in which legal issues and claims are heard and determined.”26
Definisi hakim juga memberikan nilai filosofis yang dapat kita kaji lebih mendalam. Hakim (judge) is “ a public official with authority to hear cases and pass sentences in a court of law” atau “a person whose opinion on a particular subject is usually reliable.”
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan tindak pidana yang tergolong perkembangannya mempunyai potensi tinggi untuk dijangkau kejahatan hukumnya. Hal itu terkait dengan sifat kejahatan korupsi bersifat tidak kasat mata dalam artian tidak jelas siapa saja yang menjadi korbannya begitu juga dengan pelakunya.
Kecendrungan putusan hakim dalam tindak pidana korupsi adalah suatu kesimpulan dari data putusan sejak tahun (2002) hingga (2010) yang diperoleh peneliti, putusan tersebut cenderung memberatkan atau meringankan terdakwa di dalam persidangan.
Untuk memudahkan memahami konsep-konsep tertentu yang digunakan riset ini, perlu diberi penjelasan sebagai berikut:
26 Setiap Negara memiliki struktur dan sistem pengadilan yang berbeda. Di Amerika Serikat pada dasarnya memiliki dua sistem: pengadilan federal dan pengadilan Negara bagian.
Pertama, hukum materiil adalah hukum positif atau undang- undang yang memuat perintah, larangan dan sanksi, seperti kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata).
Kedua, hukum formil adalah hukum positif atau undang- undang yang mengatur tentang cara menyelenggarakan hukum materiil atau dikenal dengan hukum acara, seperti kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), kitab undang-undang acara perdata (KUH- Perdata).
Ketiga, doktrin adalah sumber hukum yang bersumber dari pandangan para sarjana.
Keempat, putusan pengadilan yang dimaksud adalah semua putusan hakim pengadilan negeri Yogyakarta yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yakni putusan pidana korupsi.
G. Metode Penelitian
1. Objek penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah pengadilan negeri Yogyakarta yang berupa risalah putusan maupun dokumen-dokumen yang memuat hasil-hasil putusan hakim dalam persidangan tindak pidana korupsi mengenai sanksi tindak pidana korupsi dan hasil wawancara dengan para hakim dan petugas pengadilan negeri Yogyakarta.
2. Subjek Penelitian
Hakim-hakim pengadilan negeri Yogyakarta yang pernah ataupun yang telah pensiun menjabat hakim di pengadilan Yogyakarta.
3. Jenis Data atau Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data primer yang diperoleh dari lapangan
b. Data sekunder yang diperoleh dari dokumentasi, yang terdiri dari dokumen-dokumen tentang putusan pidana korupsi, hasil penelitian, studi pustaka dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh data primer, peneliti menggunakan instrumen pengumpulan data yaitu: observasi dan wawancara.
b. Untuk memperoleh data sekunder, peneliti akan melakukan studi pustaka. Bahan kepustakaan yang dikaji adalah bahan-bahan yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti.
5. Metode Pendekatan
Pada penelitian ini digunakan metode pendekatan yuridis- sosiologis. Artinya data akan dianalisis dengan menggunakan teori- teori sosiologi hukum untuk mendapatkan kesimpulan sistematis dan ilmiah.
6. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini ditinjau dari sifatnya adalah penelitian yuridis empiris yaitu penelitian yang bermaksud untuk memberikan data yang ada di lapangan penelitian seteliti mungkin tentang putusan hakim tindak pidana korupsi.
7. Tehnik Analisis Data
Tehnik memegang peranan penting dimana data yang sudah terkumpul dapat dipertanggung-jawabkan sehingga menghasilkan jawaban dari permasalahan.
Adapun tehnik analisis data yang digunakan adalah proses analisis interaktif, proses analisis dengan menggunakan 3 (tiga) komponen yang terdiri dari:
a. Reduksi data b. Sajian data
c. Kemudian penarikan kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus antara tahap-tahap tersebut.
Data yang terkumpul, kemudian direduksi yang berupa seleksi dan penyederhanaan data yang beriangsung terus menerus selama penelitian, dan kemudian diambil kesimpulan. Tahap-tahap ini tidak harus unit, misalnya diperoleh data tanpa harus direduksi sudah lengkap, data dapat Langsung disajikan.
Dan apabila sampai pada tahap display ditemukan kesulitan dalam menarik kesimpulan karena data kurang, atau kembali ke tahap
pengumpulan data. Jadi, antara tahap yang satu dengan yang lain tidak harus unit tetapi berhubungan terus-menerus dengan membentuk siklus.27
27 HB Sutopo, 1998, Metode Penelitain Kwantitatif, Surakarta, Pusat Penelitian UNS, hal. 8