• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILM-INDUCED TOURISM SEBAGAI MEDIA PROMOSI PARIWISATA (STUDI KASUS FENOMENA FILM-INDUCED TOURISM DI INDONESIA DAN MANCANEGARA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FILM-INDUCED TOURISM SEBAGAI MEDIA PROMOSI PARIWISATA (STUDI KASUS FENOMENA FILM-INDUCED TOURISM DI INDONESIA DAN MANCANEGARA)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

FILM-INDUCED TOURISM SEBAGAI MEDIA PROMOSI PARIWISATA

(STUDI KASUS FENOMENA FILM-INDUCED TOURISM DI INDONESIA DAN MANCANEGARA)

MAKALAH NON-SEMINAR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

INDIRA JULISHA 1206274834

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

DEPOK DESEMBER 2015

(2)
(3)
(4)
(5)

Film-induced Tourism Sebagai Media Promosi Pariwisata (Studi Kasus Fenomena Film-induced Tourism Di Indonesia dan

Mancanegara)

Indira Julisha dan Askariani Kartono

1. Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia 2. Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

email: indira.julisha@yahoo.com email: askariani28@gmail.com

Abstrak

Terdapat berbagai strategi promosi dan pemasaran yang dilakukan melalui film untuk menarik minat penonton terhadap suatu lokasi wisata. Salah satu yang menjadi orientasi dari strategi promosi adalah dengan memerhatikan 3 (tiga) faktor penarik film-induced tourism, yaitu 3P (Place, Personality, dan Performance) dalam film. Perfilman mancanegara telah mempertimbangkan ketiga aspek dengan baik, di mana pembuat film telah menggambarkan lokasi wisata secara maksimal ditambah dengan penggunaan off-locations yang mulai banyak digunakan oleh beberapa film, pembangunan karakterisasi atau penokohan yang kuat telah didukung oleh penggunaan nama-nama aktor dan aktris yang dikenal oleh masyarakat dunia, serta genre yang mampu mewujudkan film-induced tourism sangat bervariasi. Perfilman mancanegara mampu menarik calon wisatawan meskipun film-filmnya hanya menonjolkan satu atau dua faktor penarik saja. Berbeda dengan perfilman Indonesia, nampaknya para pembuat film masih mengandalkan aspek Place dengan menggambarkan seputar keindahan alam suatu lokasi saja, sementara popularitas para pemain film hanya dikenal oleh penonton dalam negeri dan genre yang mampu menarik minat wisatawan masih didominasi oleh film bergenre drama. Film-film Indonesia masih perlu meningkatkan aspek Performance dan Personality.

Kata kunci: Film-induced Tourism; 3 Faktor Penarik Film-induced Tourism.

Film-induced Tourism as a Tourism Promotion (Case Study: Film-induced Tourism in Indonesia and Foreign Countries)

Abstract

There are several promotional and marketing strategies that are implemented through a film in order to attract audiences to a tourist location. One of the orientations of the promotion strategy is to pay attention to the pull factors of film-induced tourism, known as 3P (Place, Personality and Performance). During this time, foreign movie industries have considered the use of these three aspects carefully, in which the filmmakers have succedeed in portraying specific locations (on-locations and off-locations), constructing powerful characters in movies which is supported by the use of the well-known actors and actresses world widely, and producing films with a lot of different genres. In contrast to Indonesian movie industry, it seems that the filmmakers still rely on the “Place” aspect by showing the natural beauty of certain places, while the popularity of the actors and actresses is only known by the domestic audience and the genre that attracts tourists is still dominated by drama movies. Indonesian films need to improve the two other aspects, Performance and Personality.

Keywords: Film-induced Tourism; 3 Main Factors of Film-induced Tourism.

(6)

PENDAHULUAN

Kondisi pariwisata Indonesia terus mengalami perkembangan yang bersifat positif.

Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka jumlah wisatawan mancanegara setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Februari 2015 mencapai 786,7 ribu kunjungan atau naik sebesar 11,95 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada Februari 2014 yang mencapai 702,7 ribu kunjungan. Begitu pula jika dilihat perbandingan antara angka wisatawan mancanegara pada Januari 2015 dengan Februari 2015, terdapat peningkatan jumlah wisatawan sebesar 8,80 persen. Secara kumulatif, sepanjang bulan Januari dan Februari tahun 2015, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1,51 juta kunjungan atau naik 3,71 persen dibandingkan dengan kunjungan wisatawan mancanegara pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang berjumlah 1,46 juta kunjungan (bps.go.id, diakses pada 13 Oktober 2015). Meskipun selalu mengalami peningkatan jumlah wisatawan, data kunjungan wisatawan mancanegara periode Januari- April 2015 belum mencapai target yang diharapkan, karena pertumbuhannya masih di bawah target sebesar 7-8 persen per bulan (Tambak, R., http://www.rmol.co, diakses pada 13 Oktober 2015). Secara global, berdasarkan Ranking Daya Saing Pariwisata Dunia menurut World Economic Forum (WEF), pariwisata Indonesia berada pada urutan 50 dari 141 negara dunia. Indonesia dikalahkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia yang berada pada posisi 25 dan Thailand yang berada posisi 35.

Pertumbuhan pariwisata Indonesia tidak terlepas dari strategi promosi atau pemasaran yang dilakukan oleh pemerintah. Berbagai macam strategi promosi telah dilakukan untuk mempromosikan lokasi-lokasi wisata yang ada di Indonesia, baik secara on air mau pun off air. Salah satu cara mempromosikan lokasi wisata yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan memanfaatkan media film, namun sayangnya cara ini masih belum populer di kalangan para pembuat film dan pemerintah dalam negeri, sehingga belum dilakukan usaha-usaha yang terencana untuk meningkatkan jumlah kunjungan ke berbagai lokasi wisata di Indonesia melalui media film. Padahal, media film dapat menarik para wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan mancanegara. Indonesia sendiri memiliki potensi yang sangat baik dalam memanfaatkan sektor perfilman sebagai media promosi lokasi wisata di Indonesia.

(7)

Saat ini sedang terjadi sebuah fenomena global yang disebut dengan film-induced tourism. Film-induced tourism merupakan sebuah fenomena yang terjadi seiring perkembangan industri hiburan dan media visual bersamaan dengan industri pariwisata.

Dengan kata lain, fenomena ini ditandai dengan adanya peningkatan jumlah pengunjung suatu lokasi atau objek wisata setelah lokasi tersebut dijadikan sebagai lokasi pengambilan gambar suatu film mau pun program televisi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Riley pada tahun 1998, ditemukan fakta bahwa efek film dengan konten pariwisata dapat memengaruhi jumlah kunjungan lokasi wisata yang digambarkan pada film dari tahun ke tahun, bahkan peningkatan kunjungan yang paling tinggi mencapai persentase 96% dari pertama kali sebuah film ditayangkan hingga 5 (lima) tahun ke depan. Peningkatan jumlah wisatawan bukanlah suatu efek yang bersifat jangka pendek, melainkan efek yang bersifat jangka panjang (Anul, K., 2013).

Alasan penonton merasa tertarik untuk mengunjungi sebuah lokasi yang digambarkan dalam film adalah karena pengalaman visual yang diterima oleh penonton dapat berubah menjadi sesuatu yang nyata ketika penonton memutuskan untuk mengunjungi lokasi yang digambarkan dalam film. Penonton, sebagai calon wisatawan dapat merasakan koneksi dan keintiman dari gambaran visual yang ada di dalam film yang ia tonton. Penonton akan ikut merasakan dan mengalami apa yang dialamai oleh tokoh-tokoh dalam film (Walaiporn, 2008).

Dalam industri perfilman mancanegara, fenomena film-induced tourism telah terjadi sejak lama. Banyak sekali lokasi wisata yang mengalami peningkatan jumlah kunjungan setelah lokasi tersebut dijadikan sebagai lokasi pengambilan gambar suatu film atau program drama televisi. Di Korea, misalnya, terdapat sebuah lokasi wisata yaitu Lotte World yang dijadikan set pengambilan gambar drama Korea ”Stairway to Heaven”. Adegan yang dilakukan oleh pemeran pria dan perempuan dalam drama tersebut adalah menaiki sebuah bianglala yang ada di Lotte World. Setelah ditayangkan, banyak turis domestik maupun mancanegara yang mengunjungi bianglala tersebut. Contoh negara Asia lainnya yang sudah mengalami fenomena serupa adalah Thailand, di mana terdapat peningkatan jumlah pengunjung usia muda sebesar 22% di negara tersebut setelah sebuah film Hollywood “The Beach” memilih Thailand sebagai lokasi pengambilan gambarnya. Film-film Hollywood lainnya yang telah memengaruhi jumlah kunjungan berbagai lokasi wisata di dunia antara lain Mission Impossible 2 yang berlokasi syuting di National Park di Sydney dengan jumlah peningkatan sebesar 200% pada tahun 2000, Troy yang berlokasi syuting di Canakkale,

(8)

Turkey dengan peningkatan jumlah kunjungan sebesar 73%, Harry Potter yang berlokasi syuting di beberapa lokasi berbeda di Inggris dengan peningkatan jumlah kunjungan 50%

atau lebih di setiap titik lokasinya, dan masih banyak lagi (Hudson dan Ritchie dalam Walaiporn, 2008). Dari sekian banyak judul film yang berhasil mendongkrak jumlah kunjungan suatu lokasi wisata kebanyakan merupakan film bergenre fantasi seperti The Lord of The Rings, Harry Potter, Star Wars, dan film bergenre romansa-fantasi seperti Twilight (Blaha, D., 2012).

Industri perfilman Indonesia telah membuktikan bahwa film-film Indonesia mampu menjadi media promosi berbagai lokasi wisata yang ada di Indonesia, khususnya wisatawan dalam negeri. Contohnya adalah melalui dua judul film buatan asli Indonesia, yaitu Laskar Pelangi (2008) dan 5 CM (2011). Laskar Pelangi telah meningkatkan jumlah kunjungan di Bangka Belitung dalam jangka waktu yang panjang. Hingga tahun 2015 ini pun jumlah kunjungan masih terus mengalami peningkatan, meskipun wisatawan yang melakukan kunjungan masih didominasi oleh wisatawan domestik. Begitu pula dengan film 5 CM, film ini mampu mendongkrak jumlah kunjungan ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah dua judul film yang menciptakan fenomena film- induced tourism di dalam negeri ini bukan merupakan suatu promosi atau pun pemasaran lokasi wisata yang dilakukan secara terencana atau disengaja.

Terdapat berbagai faktor penarik dan pendorong yang memiliki pengaruh besar kepada penonton sebelum akhirnya memutuskan untuk mengunjungi suatu lokasi dalam film yang ditontonnya. Faktor-faktor penarik dibagi ke dalam 3 (tiga) aspek, yaitu Place, Personality, dan Performane. Ketiga hal ini dapat saling bersinergi untuk menarik penonton untuk mengunjungi suatu lokasi penggambaran film, dapat pula bekerja secara terpisah.

Dalam suatu film bisa saja aspek Place dan Personality lebih ditonjolkan, Personality dan Performance lebih ditonjolkan, atau bahkan hanya satu aspek saja yang lebih ditonjolkan.

Contoh paling jelas untuk membuktikan pernyataan ini adalah film Field of Dreams dan Steel Magnolias. Kedua film ini tidak didukung oleh aspek Place yang kuat, tetapi kedua aspek lainnya yaitu Performance dan Personality lebih ditonjolkan, di mana jalan cerita dan aktor yang ada dalam film mampu menarik para penontonnya untuk melakukan kunjungan ke lokasi pengambilan gambar yang ada dalam kedua film ini. Selain faktor penarik, terdapat faktor pendorong yang datang dari dalam diri penonton, seperti keinginan individu untuk membuktikan kemampuan dirinya, misalnya (Macionis, 2004). Namun, faktor pendorong

(9)

tidak akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini, karena faktor pendorong bersifat sangat luas dan rumit.

Dengan data dan fakta yang ditemukan terkait fenomena film-induced tourism, Indonesia memiliki potensi untuk mendongkrak sektor pariwisatanya, mengingat Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari berpuluh-puluh ribu pulau yang sangat menarik untuk dijadikan latar pengambilan gambar dalam film-film, baik film-film Indonesia maupun film-film mancanegara. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membandingkan fenomena film-induced tourism di Indonesia dengan fenomena film-induced tourism di beberapa negara di dunia untuk melihat hal-hal atau pun aspek-aspek yang dapat dipelajari dan “ditiru” oleh Indonesia demi kemajuan industri pariwisata Indonesia.

(10)

PEMBAHASAN Faktor-Faktor Penarik dalam Film-Induced Tourism

Faktor-faktor penarik dalam film-induced tourism dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu Place, Personality, dan Performance. Place atau tempat mengacu pada segala atribut pada lokasi, pemandangan, landscapes, cuaca, asal usul budaya, interaksi sosial, serta aktivitas setempat. Personality atau personalitas mengacu pada pemain film, karakter yang dimainkan oleh pemain, dan selebriti atau orang terkenal yang bermain dalam film.

Sedangkan performance atau performa mengacu kepada plot cerita, tema cerita, serta genre film (Macionis, 2004).

Place mengacu kepada segala elemen visual yang menggambarkan keadaan sekitar lokasi penggambilan gambar, contohnya adalah keindahan alam sekitar. Tidak hanya pemandangan, tetapi segala atribut yang sifatnya unik dan menarik dapat menarik penonton untuk mengunjungi suatu lokasi yang digambarkan dalam film. Banyak pembuat film yang memperlihatkan keindahan alam suatu lokasi demi menarik perhatian khalayak. Namun, hal tersebut bukan menjadi satu-satunya hal yang menarik perhatian penonton. Pemanfaatan studio produksi atau yang dikenal dengan „off-locations‟ memberikan kesempatan bagi para penonton untuk mendapatkan pengalaman wisata melalui layar kaca. Melalui pemanfaatan

„off-locations‟ penonton dapat merasakan sensasi berada di luar kehidupan nyata dan mengalami sesuatu yang sifatnya asing dan unik (Beeton, 2005).

Personality adalah aspek dalam film yang mengacu kepada pemain film, karakter yang diperankan, serta penggunaan nama-nama orang terkenal dalam suatu film. Keinginan penonton untuk mengunjungi suatu lokasi dalam film dipengaruhi oleh endorsement dari para selebriti (Gjorgievski dan Trpkova, 2012). Kepopuleran seorang aktor dan aktris memang tidak menjadi jaminan sebuah film untuk sukses dan meledak di pasaran, namun penggunaan orang-orang terkenal dalam film maupun program televisi memiliki magnet yang menarik penonton untuk mengunjungi suatu lokasi yang digambarkan dalam film atau program televisi. Mengunjungi suatu lokasi yang pernah dikunjungi oleh para tokoh terkenal dalam film membuat penonton merasakan kedekatan dengan orang yang mereka kagumi, misalnya dengan cara menyentuh artifak di lokasi sekitar (Busby dan Klug, 2001). Hal ini telah dimanfaatkan oleh berbagai organisasi pemasaran tujuan wisata dengan cara menempatkan banyak sumber daya untuk memanfaatkan selebriti dalam rangka mempromosikan daerah yang ingin mereka promosikan (Macionis, 2004).

(11)

Performance mengacu pada jalan cerita, plot, tema film, dan genre film. Faktor tematik seperti storyline atau jalan cerita dapat menjadi faktor penarik utama dalam memengaruhi penonton untuk mengunjungi suatu lokasi yang ada dalam film. Penonton tidak hanya merasa tertarik dengan elemen visual yang ada dalam film seperti setting dan landscape keindahan suatu lokasi, tetapi mereka dapat merasa tertarik dengan cerita-cerita atau genre-genre tertentu, plot drama, tema, dan pengalaman-pengalaman para tokoh yang ada dalam film (Macionis, 2004). Beberapa penonton dapat merasakan jalinan hubungan yang kuat antara dirinya dengan aspek-aspek performance dalam film, di mana mereka merasa tertarik untuk menempatkan diri mereka ke dalam latar suatu cerita, dan pada akhirnya membuat mereka memutuskan untuk mengunjungi suatu lokasi dalam film (Riley dan Van Doren, 1992).

Film-Induced Tourism di Mancanegara Ditinjau dari 3P (Place, Personality, dan Performance)

Keberhasilan media film dalam mempromosikan suatu objek wisata dipengaruhi oleh faktor-faktor penarik fenomena film-induced tourism, yaitu Place, Personality, dan Performance. Pembuat film di berbagai negara yang telah bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti pemerintah telah mempertimbangkan ketiga aspek ini demi membuat khalayak merasa tertarik untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi tertentu yang digambarkan dalam film.

Aspek Place dalam film-film mancanegara yang telah berhasil meningkatkan jumlah kunjungan di lokasi-lokasi pengambilan gambarnya telah diperhatikan sebaik mungkin oleh para pembuat filmnya, terutama dalam film-film yang kekuatan utamanya terdapat pada aspek visual, sebut saja film-film Hollywood seperti Harry Potter dan The Lord Of The Rings. Dalam film The Lord of The Rings, misalnya, film ini memilih New Zealand sebagai latar belakang filmnya. Dalam film ini digambarkan pemandangan dan keindahan 150 lebih lokasi berbeda yang ada di New Zealand. Tongariro National Park yang dijadikan set The Land of Mordor dan The Putangirua Pinnacles yang dijadikan set The Paths of the Dead adalah dua contoh lokasi yang menggambarkan keindahan alam New Zealand. Tongariro National Park memiliki Ngauruhoe Mount yang keindahannya ditampilkan dalam film, di mana gunung ini memiliki puncak gunung berbentuk kerucut berusia 2000 tahun yang pada dasarnya terbentuk dari gundukan abu berukuran raksasa. The Putangirua Pinnacles merupakan sebuah taman nasional yang tidak berukuran terlalu besar. Lokasi ini memiliki

(12)

begitu banyak puncak bebatuan yang terbentuk dari erosi air. Kedua lokasi ini hanya segelintir lokasi di New Zealand yang keindahannya digambarkan melalui film The Lord of The Rings. Lokasi-lokasi ini memanjakan mata penonton dan membuat penonton merasakan pengalaman pergi ke suatu lokasi yang terlihat seperti ada di dunia dongeng yang penuh fantasi (Norah, L., & Turchik, J., http://www.findingtheuniverse.com, diakses pada 20 Oktober 2015).

Film lainnya yang menekankan aspek Place adalah film The Beach yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio. Film ini memperlihatkan keindahan Thailand yang memiliki sebuah pulau rahasia yang sangat indah dan memiliki air laut yang berwarna hijau tosca-kebiruan, di mana lokasi ini diceritakan hanya dapat dijangkau dengan menggunakan helikopter. Selain keindahan alam Thailand, kehidupan para masyarakat sekitar Thailand juga menjadi sorotan dalam film ini, di mana masyarakat Thailand terlihat sangat terbuka dalam menerima wisatawan mancanegara dengan menyediakan club-club, tempat minum bir, dan wisata malam lainnya yang dipenuhi oleh wisatawan mancanegara.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Beeton menyatakan bahwa banyak film mancanegara, khususnya film-film Hollywood yang memanfaatkan off-locations. Off- locations adalah lokasi-lokasi pengambilan gambar yang bukan merupakan lokasi asli, melainkan lokasi buatan seperti studio. Proses pengambilan gambar di studio membuat penggambaran kejadian seperti apa pun menjadi lebih mudah. Segala adegan dan kejadian yang terlihat mustahil untuk dilakukan pun dapat diwujudkan. Penonton pun dibuat ikut berimajinasi dan membayangkan dirinya berada di lokasi-lokasi tersebut.

Aspek personality memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menarik minat para penonton untuk mengunjungi suatu lokasi wisata. Inilah yang membuat film-film mancanegara, khususnya film-film Hollywood, memiliki magnet yang kuat dalam menarik penonton untuk mengunjungi suatu lokasi wisata yang pernah dikunjungi oleh para selebriti terkenal dalam film. Begitu banyak nama aktor dan aktris Hollywood yang terkenal di seluruh dunia yang membuat pengunjung lokasi wisata dari seluruh penjuru dunia berdatangan ke sebuah lokasi pengambilan gambar dalam film. Perasaan yang digambarkan oleh para selebriti diharapkan dapat tersampaikan dan melekat kepada sebuah brand atau merk tertentu, melalui kekuatan status para selebritis (Till dan Shimp dalam Macionis, 2004).

Selain popularitas para pemain dalam film, karakter juga berpengaruh kuat dalam menarik minat penonton. Sebut saja film-film seperti Braveheart, Never Say Never Again,

(13)

dan Golden Eye. Tokoh protagonis sekaligus tokoh pahlawan dalam film Braveheart, William Wallace yang diperankan oleh Mel Gibson, telah menciptakan popularitas yang bersifat positif di mata turis mancanegara terhadap negara Skotlandia. Never Say Never Again dan Golden Eye yang memilih Casino Monte Carlo di Monako sebagai salah satu lokasi pengambilan gambar telah meningkatkan jumlah kunjungan ke lokasi tersebut (Gjorgievski dan Trpkova, 2012). Hal ini tak lain disebabkan oleh karakter film yang begitu kuat dan dikagumi oleh banyak penonton, yaitu James Bond. Penulis berkesimpulan bahwa nama- nama terkenal dalam film memang dapat menarik minat penonton untuk mengunjungi suatu lokasi wisata, namun daya tarik dalam sebuah film akan menjadi lebih kuat lagi ketika karakter utama dalam sebuah film dibangun sedemikian rupa agar memiliki ciri khas yang melekat di benak para penonton.

Performance dalam film terdiri dari berbagai aspek, yakni alur cerita, jalan cerita, genre film, dan tema film. Seluruh aspek ini bersifat personal, karena setiap individu memiliki preferensi alur, jalan cerita, genre, dan tema film yang disukai. Setiap individu memiliki selera yang berbeda satu sama lain. Di sini penulis akan membahas mengenai genre film yang cenderung lebih populer dibandingkan dengan genre film lainnya dalam menarik penonton.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai genre film yang yang dianggap memiliki daya tarik lebih bagi penonton, penulis akan menjelaskan definisi genre film dan menyebutkan berbagai macam genre maupun subgenre yang disampaikan oleh beberapa tokoh. Genre adalah berbagai bentuk atau jenis, kategori, klasifikasi atau kelompok film yang memiliki persamaan dan digambarkan secara berulang, yang kemudian menjadi pola-pola, sintaksis, dan teknik film yang dikenal secara luas. Genre film ditentukan oleh berbagai aspek dalam film, mulai dari setting beserta properti, isi dan subjek terkait, tema film, mood film, periode, plot atau alur cerita, peristiwa-peristiwa naratif yang menjadi pusat dalam film, motif, gaya, struktur, situasi, ikon yang digambarkan berulang, karakterisasi pemain, dan bintang-bintang dalam film. Sebuah film dapat masuk ke dalam beberapa genre yang berbeda sekaligus (Dirks, T., http://www.filmsite.org, diakses pada 15 Oktober 2015).

Tim Dirks menyebutkan 11 (sebelas) genre film yang berlaku di seluruh dunia, yaitu action, adventure, comedy, crime and gangster, drama, epics or historical, horror, musicals or dance, science fiction, war, dan westerns (Dirks, T., http://www.filmsite.org, diakses pada 15 Oktober 2015). Sedangkan Thomas dan Vivian Sobchack membagi genre film menjadi 2

(14)

(dua) genre, yaitu komedi dan melodrama. Genre komedi dibagi menjadi beberapa subgenre, yaitu komedi slapstick, atau komedi romansa (termasuk „screwball comedy’ dan komedi musikal), biografi musikal, dan fairy tale. Sedangkan genre melodrama dibagi menjadi beberapa subgenre seperti film petualangan (termasuk film perang, film safari, dan film bencana), „the western’ atau film barat, „fantastic genres‟ (termasuk fantasi, horor, dan science fiction), dan „antisocial genres‟ (termasuk film kejahatan, seperti film gangster, film G-man, film detektif, film noir, dan film caper, serta film „weepies’ atau film perempuan) (Sobchack dan Sobchack, 1980).

Terdapat pandangan bahwa film drama dengan subgenre fantasi dianggap memiliki kecenderungan untuk menarik perhatian penonton dibandingkan dengan subgenre film lainnya, karena film tourists senang untuk mencari pengalaman yang bersifat fiktif atau fantastis di sebuah lokasi pengambilan gambar lewat film-film yang mereka tonton. Sebut saja film-film seperti The Lord of the Rings, Star Wars, Sound of Music, Harry Potter, dan Twilight. Film-film ini memiliki daya tarik yang lebih tinggi dalam menarik penonton untuk mengunjungi suatu lokasi pengambilan gambar. Sementara itu, film-film bergenre komedi dan action tidak terlalu menarik bagi para penonton (Blaha, D., 2012).

Penulis merasa tidak setuju dengan hal yang disampaikan oleh Doris Blaha, karena pada kenyataannya banyak sekali film di luar genre fantasi dan film di luar tema percintaan yang mampu mewujudkan fenomena film-induced tourism di mancanegara. Bagi penulis, hal ini membuat seluruh genre yang ada menjadi setara, di mana tidak ada genre yang

„mengungguli‟ genre lainnya. Beberapa contoh judul film di luar genre fantasi dan tema romansa adalah Never Say Never Again dan Golden Eye yang merupakan bagian dari film serial James Bond. Industri perfilman mancanegara, terlebih lagi Hollywood, „kaya‟ akan genre film yang mampu menarik para penonton untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi yang ada dalam film.

Penulis dapat melihat sebuah kecenderungan di mana film-film mancanegara yang telah berhasil mewujudkan fenomena film-induced tourism tidak harus menonjolkan ketiga aspek (Place, Personality, dan Performance) dalam porsi yang sama besar atau sama kuatnya. Industri film mancanegara tetap dapat menarik para penonton untuk melakukan kunjungan ke suatu lokasi hanya dengan menonjolkan 2 (dua) aspek atau bahkan hanya 1 (satu) aspek saja. Berdasarkan pengamatan penulis, satu atau dua aspek saja sudah mampu memengaruhi penonton, asalkan satu atau dua aspek tersebut benar-benar ditampilkan dengan

(15)

kuat. Contohnya adalah sebuah film tetap dapat menarik penonton ketika suatu lokasi digambarkan dengan indah dan didukung oleh para pemain film yang memikat, di sini aspek Performance (jalan cerita, genre, tema, dan alur) menjadi hal yang tidak terlalu penting. Atau mungkin sebuah film yang memiliki jalan cerita yang baik (emosional, mendebarkan, dan mengharukan) serta didukung oleh penggunaan nama-nama aktor dan aktris yang terkenal menjadikan aspek Place atau atribut-atribut bersifat fisik yang berkaitan dengan lokasi menjadi tidak terlalu penting.

Selain faktor 3P, keberhasilan fenomena film-induced tourism di mancanegara tidak terlepas dari perhatian besar yamg diberikan oleh pemerintah suatu negara dan pembuat filmnya sendiri. Di Inggris misalnya, Pemerintah Inggris dan pihak-pihak terkait perfilman dan pariwisata Inggris telah melakukan upaya untuk mengembangkan pariwisata dalam negeri dengan cara mengajak para pembuat film India (Bollywood) untuk melakukan proses pengambilan gambar di lokasi-lokasi yang ada di Inggris. Bollywood sendiri merupakan industri perfilman yang memproduksi film dengan jumlah paling besar di dunia, yaitu sebanyak 1.000 film per tahun, jauh mengalahkan Hollywood (Munawwaroh, http://www.tempo.co, 2012, diakses pada 27 Oktober 2015). Dengan jumlah penduduk terbanyak ke-2 di dunia, Pemerintah Inggris menyadari potensi para wisatawan dari India untuk melakukan kunjungan ke Inggris. Sejak tahun 2000, sudah banyak judul film Bollywood yang melakukan proses pengambilan gambar di Inggris. Hal ini pun menunjukkan peningkatan angka wisatawatan India ke Inggris yang meningkat tajam. (Olsberg-SPI, 2007).

Contoh lainnya adalah kerja sama dalam bentuk kampanye yang dilakukan oleh beberapa pihak sekaligus, yaitu Pemerintah Inggris dengan “Visit Britain”-nya, agensi pariwisata Prancis “Maison de la France”, Novotel, dan Eurostar yang memiliki tujuan untuk mempromosikan London, Paris, dan Edinburgh yang menjadi lokasi penggambilan gambar film The Da Vinci Code (2006). Visit Britain mengiklankan lokasi-lokasi kunci yang ada pada film The Da Vinci Code yang berlokasi syuting di kota London dan menyebarkan informasi ini ke 40 negara di dunia. Hal lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Inggris adalah pembuatan movie map atau peta yang menggambarkan jejak lokasi syuting film The Da Vinci Code di Inggris, sehingga wisatawan dapat mengunjungi lokasi-lokasi sesuai movie map yang dibuat. Novotel sebagai agen pariwisata juga membuat paket liburan “Da Vinci” di Kota London, di mana para wisatawan dapat melakukan kunjungan terencana sesuai dengan lokasi-lokasi yang ada di film. Sementara itu, Eurostar meluncurkan sebuah kereta “Da Vinci” dengan desain gambar Mona Lisa dan menawarkan paket “Da Vinci pilgrimages” atau

(16)

„ziarah‟ ke lokasi-lokasi pengambilan gambar film The Da Vinci Code yang ada di Kota London dan Paris (Olsberg-SPI, 2007).

Australia menjadi salah satu negara yang sudah memanfaatkan film sebagai media promosi pariwisata di negaranya. The Australian Tourism Commission (ATC) melakukan kerja sama dengan Disney dalam pembuatan film animasi Hollywood berjudul Finding Nemo yang menggambarkan kehidupan laut dan pesisir pantai Kota Sydney, Australia. Terdapat puluhan bahkan ratusan film Hollywood yang melakukan proses pengambilan gambar di Negeri Kangguru ini. Sebut saja Trilogi The Matrix (1999-2003), Mission: Impossible 2 (2000), Superman Returns (2006), The Day The Earth Stood Still (2008), dan The Great Gatsby (2013) yang berlokasi syuting di Kota Sydney, juga Ghost Rider (2007), Where The Wild Things Are (2009), dan Knowing (2009) yang berlokasi syuting di Kota Melbourne.

Film-film ini hanya segelintir judul film Hollywood terkenal yang melakukan proses pengambilan gambar di Australia (http://www.ranker.com, diakses pada 1 November 2015).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat sebuah media promosi lokasi wisata, yaitu movie map, yang membantu para wisatawan mengikuti jejak lokasi-lokasi yang dijadikan lokasi pengambilan gambar dengan mudah. Inggris, New Zealand, Korea Selatan, dan Amerika Serikat adalah contoh negara-negara yang telah memanfaatkan movie map.

Bahkan pemerintah Korea Selatan membuat sebuah situs khusus (www.visitkorea.or.kr) yang memberikan informasi secara lengkap kepada khalayak mengenai lokasi-lokasi pengambilan gambar di dalam berbagai film dan drama televisi yang ada di Korea Selatan. Movie map sendiri terbukti memiliki peran yang besar dalam mewujudkan keberhasilan fenomena film- induced tourism di berbagai negara di belahan dunia (Walaiporn, 2008).

Dapat disimpulkan bahwa banyak negara yang telah memanfaatkan potensi fenomena film-induced tourism untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Para pembuat film di berbagai negara yang telah memanfaatkan industri perfilman untuk meningkatkan jumlah wisatawan telah menaruh perhatian besar pada aspek Place, Personality, dan Performance. Ketiga aspek ini tidak selalu ditonjolkan secara merata, namun salah satu aspeknya harus benar-benar kuat dan memiliki kemampuan dalam menarik penonton untuk mengunjungi lokasi-lokasi tertentu.

Selain itu, keberhasilan film-induced tourism di berbagai negara di dunia didukung oleh pemerintah yang melakukan kerja sama dengan berbagai pihak lainnya, seperti pembuat film, agen transportasi, bahkan negara-negara lainnya (seperti yang dilakukan oleh pemerintah Inggris dan Prancis dalam mempromosikan kota London dan Paris melalui film The Da Vinci

(17)

Code). Selain bentuk kerja sama yang dilakukan oleh berbagai pihak, negara-negara yang menyadari kekuatan film dalam menarik para penonton untuk melakukan kunjungan ke suatu lokasi juga memanfaatkan new media (internet) sebagai alat promosi lokasi wisata.

Pembuatan movie map mengajak para calon wisatawan, terutama wisatawan usia muda untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi wisata yang ada dalam film.

Film-Induced Tourism di Indonesia Ditinjau dari 3P (Place, Personality dan Performance)

Film sebagai media promosi sebuah lokasi wisata merupakan hal yang masih sangat baru di Indonesia dan belum dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sudah ada beberapa film yang mendongkrak jumlah kunjungan beberapa lokasi wisata Indonesia, sebut saja film 5 CM dan Laskar Pelangi. Namun, kedua film ini bukan merupakan sebuah strategi promosi yang dilakukan secara sengaja, melainkan suatu fenomena yang terjadi secara tak terduga. Kedua judul film ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki potensi dalam meningkatkan jumlah wisatawan, terutama wisatawan lokal. Penulis akan menjelaskan faktor-faktor penarik yang memengaruhi penonton untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi dalam dua film ini.

Film 5 CM merupakan sebuah film bergenre drama yang menceritakan kisah persahabatan antara lima orang sahabat yang melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Film ini dimainkan oleh artis-artis muda Indonesia yang sedang naik daun, yaitu Herjunot Ali, Raline Shah, Pevita Pearce, Denny Sumargo, Fedi Nuril, dan Igor Saykoji. Semenjak dirilis pada akhir tahun 2012, terdapat jumlah peningkatan pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sepanjang tahun 2013, jumlah pengunjung mencapai 550.000 wisatawan, di mana 25.000 di antaranya merupakan wisatawan mancanegara (Hermawan, A., http://travel.kompas.com, diakses pada 15 Oktober 2015).

Sama dengan film 5 CM, film Laskar Pelangi juga mengangkat kisah drama persahabatan antara 10 anak usia belia yang hidup di Belitung. Film ini menceritakan kesepuluh anak yang berasal dari keluarga miskin yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah dengan penuh keterbatasan. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung pada kala itu (2008), Hotmaria Ida, film Laskar Pelangi telah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Belitung. Pada tahun 2007, jumlah kunjungan ke Belitung menurun dibandingkan dengan tahun 2006.

Namun, semenjak film Laskar Pelangi meledak di pasaran pada tahun 2008, jumlah angka kunjungan ke Belitung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 jumlah

(18)

kunjungan ke Belitung sebanyak 68.382, pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 62.419 kunjungan, pada tahun 2008 meningkat menjadi 79.080 kunjungan, pada tahun 2009 menjadi 94.438 kunjungan, pada tahun 2010 menjadi 136.723 kunjungan (BPS Prov Kep.

Babel 2011 dan RIPPDA Kep. Babel 2007-2013), dan pada tahun 2014 menjadi 199.823 kunjungan (Wahyu, http://belitung.tribunnews.com, diakses pada 10 November 2015). Data terbaru yaitu pada sepanjang tahun 2015 (Januari-September) jumlah wisatawan Belitung mencapai angka 250.000, di mana 20% di antaranya merupakan wisatawan mancanegara.

Angka ini berhasil mengalahkan jumlah penduduk asli Belitung yang berjumlah 180.000 orang (Purnama, H., www.venuemags.com, diakses pada 10 November 2015). Berdasarkan data yang ada, jumlah kunjungan ke Belitung didominasi oleh wisatawan dalam negeri, karena film Laskar Pelangi sendiri sangat meledak di pasaran film dalam negeri.

Film 5 CM dan Laskar Pelangi telah menonjolkan aspek Place, yaitu aspek-aspek seperti keindahan alam dan landscape pemandangan lokasi syuting yang diambil. Film 5 CM, misalnya, telah menggambarkan keindahan lokasi di sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seperti Ranu Kumbolo dan Puncak Mahameru. Tak hanya keindahan lokasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, film 5 CM juga menyertakan informasi dan pengetahuan mengenai bagaimana para pemain dalam film dapat mencapai lokasi wisata tersebut, seperti bagaimana mereka menaiki kereta selama hampir sehari penuh, pakaian para pemain yang menunjukkan bahwa cuaca di sekitar Taman Nasional tersebut cukup dingin, dan berbagai informasi lainnya. Film Laskar Pelangi juga telah berhasil menggambarkan keindahan lokasi di sekitar Belitung yang menjadi lokasi utama pengambilan gambar film, seperti Pulau Lengkuas yang merupakan pulau kecil dengan sususan batu granit rapi dan memiliki mercusuar peninggalan Belanda, Pantai Bukit Batu dengan beberapa batuan granit dengan ukuran yang berbeda-beda membuat pantai ini terlihat gagah, Batu Berlayar dengan sebuah formasi batu-batu granit raksasa di mana terdapat dua batu besar yang berdiri vertikal sehingga berbentuk ibarat layar dengan pulau pasir putih sebagai kapalnya, Pantai Tanjung Tinggi dengan hamparan pasir putih dan air laut yang berwarna hijau kebiruan serta hamparan bebatuan yang berada di sekitar pantai, dan berbagai lokasi indah lainnya (Sabri, I., http://fotowinara.com, diakses pada 10 November 2015). Selain pemandangan yang indah, interaksi masyarakat pedesaan sekitar juga menjadi sesuatu yang menjadi sorotan utama dalam film. Dialog dengan bahasa dan logat bahasa yang digunakan oleh para penduduk asli juga disampaikan dengan baik oleh para pemainnya, serta pakaian dan kostum para pemain

(19)

dalam film didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan atribut para penduduk asli sekitar Belitung.

Personality juga menjadi aspek penting yang memengaruhi jumlah peningkatan kunjungan wisatawan ke suatu lokasi. Personality mengacu pada pemain film, karakter tokoh, serta selebritis atau orang-orang terkenal yang menjadi pemain dalam suatu film. Film 5 CM menggandeng beberapa artis muda yang tengah naik daun kala itu, yaitu Pevita Pearce, Herjunot Ali, Fedi Nuril, Raline Shah, Igor Saykoji, dan Danny Sumargo. Tak dipungkiri bahwa pemilihan cast ini memiliki pengaruh yang besar dalam menarik minat para penonton untuk mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, khususnya para penonton usia remaja. Selain menggunakan cast yang populer, karakter para tokoh dalam film juga memiliki pengaruh yang cukup kuat. Ke-enam tokoh utama dalam film memiliki karakter yang berbeda-beda dan unik, seperti Zafran (Herjunot Ali) yang konyol dan gombal, Genta (Fedi Nuril) yang pembawaannya kalem, cool, dan memiliki imej pria cerdas, Dinda (Pevita Pearce) yang polos, Riani (Raline Shah) yang pembawaannya tenang, Arial (Danny Sumargo) yang tampan namun tidak berpengalaman dalam urusan percintaan, dan Ian (Saykoji) yang lucu, pemalas, dan bertubuh gempal. Berbeda dengan 5 CM, film Laskar Pelangi justru menggunakan para pemain utama anak-anak kecil yang tidak memiliki popularitas di tengah masyarakat. Kala itu, tokoh-tokoh utama anak kecil dalam film benar- benar diperankan oleh wajah-wajah baru di industri perfilman. Meskipun baru, tetapi karakter para tokoh dalam film tersampaikan dengan baik. Para pemain yang tidak terkenal ini justru menguatkan imej anak-anak seusia mereka yang polos dan suka bermimpi. Namun, tokoh- tokoh orang dewasa yang ada dalam film Laskar Pelangi dimainkan oleh para aktor dan aktris kawakan Indonesia, seperti Cut Mini, Ikranegara, Slamet Rahardjo, Tora Sudiro, Mathias Muchus, Rieke Dyah Pitaloka, Lukman Sardi, Ario Bayu, T. Rifnu Wikana, Alex Komang, Robby Tumewu, dan Jajang C. Noer. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan film dalam menarik para penonton untuk mengunjungi Belitung tidak terlepas dari faktor kepopuleran para pemeran dewasanya.

Apabila ditinjau dari aspek Performance, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jalan cerita, alur cerita, genre, dan tema film merupakan hal yang bersifat personal, di mana setiap individu memiliki preferensi dan seleranya masing-masing. Di sini penulis akan membahas mengenai genre dan tema film yang cenderung lebih menarik para wisatawan, terutama wisatawan dalam negeri, untuk melakukan kunjungan ke sebuah lokasi pengambilan gambar. Penulis melihat sebuah fakta menarik bahwa film Laskar Pelangi dan 5 CM memiliki

(20)

beberapa kesamaan; kedua film ini sama-sama bertemakan persahabatan dan termasuk ke dalam genre drama. Terdapat kecenderungan bahwa film bergenre drama dengan tema persahabatan lebih menarik bagi para penonton untuk melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi yang terdapat dalam film.

Perbedaan yang sangat jelas antara fenomena film-induced tourism di Indonesia dengan di mancanegara adalah genre film Indonesia kurang variatif dalam memajukan film- induced tourism, sementara di mancanegara genre yang memajukan film-induced tourism sangat beragam. Bukan berarti industri perfilman Indonesia „miskin‟ ide dalam membuat film-film bergenre di luar drama, karena pada kenyataannya industri perfilman Indonesia sudah mulai berani dalam mengembangkan film bergenre action, sebut saja The Raid dan 3 dan film bergenre fantasi seperti Tiger Boy. The Raid sendiri merupakan film yang sangat meledak di pasaran, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. The Raid sebenarnya sudah menonjolkan berbagai hal yang menjadi identitas Indonesia, seperti bahasa Indonesia, ilmu bela diri asli Indonesia yaitu silat, bahkan para aktor yang digunakan pun hampir semuanya adalah aktor Indonesia, namun hal ini masih terasa kurang karena atribut yang bersifat positif dari Indonesia kurang ditonjolkan, seperti keindahan alam Indonesia, sifat ramah tamah ciri khas orang Indonesia, dan sebagainya. Dalam contoh film Tiger Boy yang bergenre fantasi ini sebenarnya jika ditinjau dari aspek para pemainnya sudah cukup potensial dalam menarik minat penonton dalam negeri, karena aktor dan aktris yang bermain dalam film ini memiliki popularitas yang baik di masyarakat, sebut saja Steven William, namun terdapat kekurangan utama yang tedapat dalam film ini, yaitu jalan cerita yang imaginatif tidak didukung dengan aspek visual yang memadai. Efek visual yang digambarkan masih sangat terbatas dan terlihat tidak nyata. Selain itu, set pengambilan gambarnya sendiri tidak menarik karena bertempat di tengah perkampungan yang kurang mendukung jalan cerita.

Penulis menemukan sebuah perbedaan antara film-film Indonesia dengan film-film mancanegara. Untuk membuat para penonton menjadikan suatu lokasi sebagai preferensi wisata mereka, para pembuat film harus menyatukan ketiga aspek (Place, Personality, dan Performance) dengan baik, di mana ketiga aspek ini harus mendapatkan perhatian yang sama besarnya. Belum ada judul film buatan Indonesia yang mampu mewujudkan film-induced tourism hanya dengan menonjolkan satu atau dua aspek saja. Hal ini membuat elemen visual dalam film harus mendukung, karakterisasi dan pemain film harus ditentukan dengan baik, serta perlu dibangun jalan cerita yang baik.

(21)

Mengambil contoh dari film Tiger Boy, penggunaan aktor yang memiliki popularitas baik seperti Stevan Wiiliam membuktikan bahwa aspek Personality sudah dipertimbangkan dengan baik. Begitu pula dengan aspek Performance, film ini menjadi menarik karena film ini masuk ke dalam genre fantasi yang terbilang baru dalam industri perfilman Indonesia.

Akan tetapi, aspek Place yang tidak mendukung akan membuat lokasi-lokasi dalam film ini menjadi tidak menarik untuk dikunjungi. Berbeda dengan Laskar Pelangi dan 5 CM yang berhasil mewujudkan fenomena film-induced tourism, ketiga faktor penarik yakni Place, Personality, dan Performance sudah saling mendukung dan bersinergi dengan baik. Hal ini semakin menguatkan fakta bahwa para pembuat film Indonesia masih sangat bergantung kepada aspek Place dibandingkan dengan dua aspek lainnya.

Terdapat suatu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu terkait masalah perizinan lokasi syuting di Indonesia. Sistem perizinan dan birokrasi di Indonesia terbilang rumit. Beberapa judul film buatan sineas mancanegara adalah Java Heat (2013) yang memilih Yogyakarta sebagai lokasi pengambilan gambar. Sutradara film Java Heat, Conor Allyn menyatakan bahwa ia dan krunya sempat mengalami hambatan yang cukup menyulitkan ketika meminta izin untuk melakukan proses pengambilan gambar di Yogyakarta. Contoh lainnya adalah film The Philosophers (2012). Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh para pembuat filmnya ketika melakukan proses pengambilan gambar di Indonesia. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Mari Elka Pangestu, tidak menampik masih adanya kesulitan para pembuat film mancanegara dalam membuat film di Indonesia (Armadani, K., http://www.cnnindonesia.com, diakses pada 18 November 2015).

Keberhasilan promosi lokasi wisata Indonesia melalui film sangat bergantung kepada keberhasilan suatu film. Semakin meledak suatu film, maka kesempatan untuk menarik jumlah wisatawan akan semakin besar pula. Namun, yang perlu diingat adalah belum banyak film dalam negeri yang mampu menarik wisatawan mancanegara, karena film-film Indonesia sendiri belum dapat menembus pasar internasional mengingat masih terbatasnya promosi dan dana yang dimiliki oleh pembuat film. Oleh karena itu, untuk mengejar pasar wisatawan dalam negeri, pembuat film harus memerhatikan dengan baik segala faktor penarik yang dapat membuat penonton merasa tertarik untuk melakukan kunjungan ke sebuah lokasi wisata yang ada pada film. Sedangkan, untuk menarik wisatawan mancanegara, Indonesia harus menarik para pembuat film mancanegara untuk melakukan proses pengambilan gambar di Indonesia. Dibutuhkan peran aktif dan kerja sama dari pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut.

(22)

KESIMPULAN

Mengacu pada tiga faktor penarik yang memengaruhi penonton untuk melakukan kunjungan ke sebuah lokasi wisata, yaitu Place, Personality, dan Performance, film-film mancanegara telah mempertimbangkan penggunaan aspek-aspek ini secara baik. Film-film mancanegara kebanyakan sudah menggambarkan lokasi wisata secara maksimal ditambah dengan pemanfaatan off-locations yang sudah digunakan oleh beberapa judul film, penggunaan aktor dan aktris yang memiliki popularitas di mata dunia beserta karakter atau tokoh yang kuat, serta genre dan subgenre yang mampu mewujudkan film-induced tourism sangat bervariasi, mulai dari fantasi, romansa, action, dan lain-lain.

Sementara itu, di perfilman Indonesia, aspek Place sudah digambarkan dengan baik, meskipun masih ada beberapa film Indonesia yang masih buruk kualitasnya dari segi visual karena keterbatasan teknologi. Pemanfaatan nama-nama artis yang digunakan dalam film juga sudah baik, namun tentu saja dalam hal ini Indonesia belum dapat bersanding dengan industri perfilman mancanegara yang memiliki sederetan nama aktor dan aktris yang telah mendunia, sehingga dari segi aktor dan aktris yang digunakan dalam film Indonesia hanya mampu menarik minat penonton dalam negeri. Genre yang mendukung film-induced tourism dalam negeri adalah genre drama bertema persahabatan. Sebenarnya banyak genre lainnya di industri perfilman dalam negeri yang berpotensi dalam menarik minat wisatawan, namun genre-genre ini belum didukung oleh aspek visual yang memadai, atau kurang ditonjolkannya atribut kebudayaan Indonesia yang bersifat positif dalam film.

Hal lainnya yang penulis temukan adalah fakta terkait adanya beberapa judul film mancanegara yang mampu menarik minat penonton untuk mengunjungi suatu lokasi yang ada dalam film hanya dengan menonjolkan 1 (satu) atau 2 (dua) faktor penarik saja, sedangkan industri perfilman Indonesia belum sampai pada tahap seperti demikian. Jika dilihat dari film Laskar Pelangi dan 5 CM, ketiga faktor penarik yaitu Place, Personality, dan Performance sudah sama menonjolnya. Setiap elemen memperkuat elemen yang lainnya.

Dengan kata lain, untuk menarik minat penonton untuk mengunjungi suatu lokasi yang ada dalam film, film-film Indonesia belum mampu apabila hanya menonjolkan satu atau dua faktor penarik saja, melainkan harus memadukan ketiga faktor penarik yang ada semaksimal mungkin.

Pemerintah di berbagai negara sudah bekerja sama dengan berbagai pihak lain dalam memajukan industri pariwisata mereka, seperti bentuk kerja sama dengan para pembuat film,

(23)

perusahaan transportasi, bahkan antarpemerintah. Sementara di Indonesia, pemerintah kurang bekerja keras dalam membuat bentuk-bentuk kerja sama dengan berbagai pihak yang dapat mendukung industri pariwisata dalam negeri. Indonesia harus mencontoh negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Prancis dalam hal ini. Selain itu, Indonesia harus memanfaatkan media internet dengan maksimal, mengingat internet merupakan media yang dapat diakses oleh masyarakat luas, termasuk masyarakat dunia. Negara yang dapat dicontoh adalah New Zealand dan Prancis dengan pembuatan movie map-nya yang menarik banyak wisatawan mancanegara untuk melakukan kunjungan.

Terdapat permasalahan lain yang semakin mempersulit berkembangnya film-induced tourism untuk menarik para wisatawan mancanegara, yaitu terkait perizinan dan birokrasi yang rumit yang harus dihadapi oleh para pembuat film mancanegara. Hal ini dapat membuat para pembuat film mancanegara enggan untuk melakukan proses pengambilan gambar di Indonesia pada masa yang akan datang. Alangkah baiknya apabila pemerintah membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk para pembuat film mancanegara terkait masalah perizinan syuting. Pemerintah Indonesia juga harus lebih berinisiatif untuk mengajak para pembuat film dari luar negeri untuk melakukan syuting di Indonesia, seperti yang telah dilakukan Inggris terhadap industri Bollywood. Keterbukaan pemerintah terkait perizinan pengambilan gambar akan berdampak baik terhadap industri pariwisata dalam negeri.

(24)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Beeton, S. (2005). Film-induced Tourism: Aspects of Tourism. Clevedon, UK: Channel View Publications.

Sumarjan, N., Zahari, M. S. M., Radzi, S. M., et al. (2014). Hospitality and Tourism:

Synergizing Creativity and Innovation in Research. London: Taylor & Francis Group.

Sobchack, Thomas & Sobchack, V. C. (1980). An Introduction to Film. Boston, MA: Little, Brown & Co.

JURNAL

Anul, K. (2013) Film Induced Tourism in Finland: Its Current State and Opportunities, Helsinki: Haaga-Helia University of Applied Sciences, 2-8.

Blaha, D. (2012). Students’ Travel Behaviour and Film Induced Tourism: Do film sets and movie locations attract young travellers? Vienna: MODUL University Vienna, 7-9.

Busby, G. & Klug, J. (2001). Movie Induces Tourism: the Challenges of Measurement and other issues. Journal of Vacation Marketing, 7, 316-332.

Chandler, D. (1997). Introduction to Genre Theory, 11-12.

Gjorgievski, M. & Trpkova, S. M. (2012). Movie induced tourism: A new tourism phenomenon. UTMS Journal of Economics 3 (1), 97-104.

Macionis, N. (2004). Understanding the Film-Induced Tourist. In W. Frost, G. Croy and S.

Beeton (Eds.) International Tourism and Media Conference Proceedings, Melbourne:

Tourism Research Unit, Monash University, 86-97.

Οlsberg – SPI. (2007). Stately Attraction – How Film and Television Programmes Promote tourism in the UK. Final report to UK Film Council, Scottish Screen, EM Media, East Midlands Tourism, Screen East, South West Screen, Film London and Visit London.

Riley, R., Baker, D. & Van Doren, C.S. (1998). Movie Induced Tourism. Annals of Tourism Research, 25 (4), 919-935.

Vagionis, N. and Loumioti, M. (2011). Movies as a Tool of Modern Tourist Marketing.

Tourismos: An International Multidisciplinary Journal of Tourism. 6, 2, 353-362.

Walaiporn, R., (2008). Film-Induced Tourism: Inventing a Vacation to a Location, Bangkok:

Bangkok University, 1-10.

SITUS

Armadani, K. (2014). Film Sebagai 'Jembatan' Indonesia-Amerika Serikat. Diakses 18 November 2015 dari http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20140828111224-220- 1955/film-sebagai-jembatan-indonesia-amerika-serikat/.

(25)

Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2011 dan RIPPDA Kepulauan Bangka Belitung 2007-2013, Diakses 17 Oktober 2015 dari http://media.unpad.ac.id/thesis/170130/2009/170130090563_1_4497.pdf.

Badan Pusat Statistik (BPS) (1 April 2015). Diakses 15 Oktober 2015 dari http://bps.go.id/brs/view/1129.

Dirks, T. (n.d.). Film Genres: Origins and Types. Diakses 15 Oktober 2015 dari http://www.filmsite.org/filmgenres.html.

Famous Movies From Australia. Diakses 1 November 2015 dari http://www.ranker.com/list/movies-from-australia/reference.

Hermawan, A. (2015). 550.000 Wisatawan Kunjungi Bromo-Semeru. Diakses 15 Oktober

2015 dari

http://travel.kompas.com/read/2015/01/03/1148007/550.000.Wisatawan.Kunjungi.Bro mo-Semeru.

Munawwaroh. (2012). India Produksi 1.000 Film Tiap Tahun. Diakses 27 Oktober 2015 dari http://www.tempo.co/read/news/2012/12/09/111446843/India-Produksi-1000-Film- Tiap-Tahun.

Purnama, H. (2015). Lebih Banyak Turis Daripada Penduduk Belitung. Diakses 19 November 2015 dari http://www.venuemagz.com/artikel/feature/2015/10/lebih- banyak-turis-daripada-penduduk-belitung/.

Sabri, I. (2014). 8 Lokasi Wisata Di Negeri Laskar Pelangi. Diakses 10 November 2015 dari http://fotowinara.com/8-lokasi-wisata-di-negeri-laskar-pelangi/.

Tambak, R. (2015). Kunjungan Turis Mancanegara Ke Indonesia Capai Angka Tertinggi Di

April 2015. Diakses 13 Oktober 2015 dari

http://www.rmol.co/read/2015/06/02/204810/Kunjungan-Turis-Mancanegara-ke- Indonesia-Capai-Angka-Tertinggi-di-April-2015-).

Wahyu. (2015). 199 Ribu Wisatawan Kunjungi Negeri Laskar Pelangi Tahun 2014. Diakses 10 November 2015 dari http://belitung.tribunnews.com/2015/06/01/199-ribu- wisatawan-kunjungi-negeri-laskar-pelangi-tahun-2014.

World Economic Forum (WEF) (2015). Diakses 8 Oktober 2015 dari http://reports.weforum.org/travel-and-tourism-competitiveness-report-2015/index- results-the-travel-tourism-competitiveness-index-ranking-2015/.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan Ca polystyrene sulfonate yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronik hiperkalemia Rawat Inap di RSUD Kabupaten Sidoarjo terkait dosis, rute,

kemudian dari 17 variabel yang diproses dengan metode principal component analysis diperoleh 5 faktor yang memberi variasi terhadap loyalitas karyawan yaitu (1).Faktor

Dari hasil pengolahan data dapat diketahui yang menjadi motivasi siswa dalam pembelajaran seni tari pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Lubuk Basung Kabupaten

Pengujian ada tidaknya keseimbangan antar pasar pasar saham di tujuh negara asia dilakukan dengan cara membandingkan anatara nilai estimasi Trace Statistik dan

Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa, walaupun program “Bosan Jadi Pegawai” bisa mempengaruhi penontonnya dalam hal perspektif, sikap atau pandangan, ia belum

Nilai perolehan permainan antara merek laptop Asus dengan merek laptop Acer merupakan jumlah perolehan perhitungan nilai pay off antara merek Asus sebagai pemain baris

Untuk memproduksi 3 macam produk tersebut perusahaan menggunakan mesin yang sama, gedung pabrik yang sama, gudang bahan baku yang sama, sehingga biaya yang

Industri-industti farmaseutis juga sedang berusaha keras untuk mendapatkan sebatian- sebatian antibiotik bam yang dapat bertindak ke atas strain-strain yang rintang ini, di samping