15 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Mengumpulkan kajian-kajian penelitian terdauhulu menjadi syarat dalam penulisan skripsi. Penelitian ilmiah membutuhkan kajian-kajian terdahulu sebagai bahan perbandingan. Beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari tema utama dalam penelitian ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Zainuddin Syarif (2016) yang berjudul “Pergeseran Perilaku Politik Kyai dan Santri di Pamekasan Madura”.
Pendekatan penelitian ini menggunakan kualitatif yang lebih menekankan pada perspektif fenomenologi yaitu menekankan pada interpretasi dan analisis makna emic yang berupa ungkapan (emperis) yang ditemukan dilapangan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kyai mempertahankan otoritas kepemimpinannya dengan mentranformasi nilai-nilai agama dan lainnya. Agama dan politik tidak bisa dipisahkan dan santri menjadi basis massa kiai.
Edi Kusmayadi, dkk. (2016) MODEL KEPEMIMPINAN POLITIK KYAI:
Studi Peran Kyai Dalam Pergeseran Perilaku Politik Massa NU PKB dan PPP.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif.
Sararan penelitian massa NU atau kaum nahdiyin, pengurus partai PKB dan PPP, kader dan anggota partai PKB dan PPP Kota dan Kabupaten Tasikmalaya. Analisis data menggunakan analisis interaktif dari Mathew B Miles dan Michael Huberman sedangkan Validitas data yang digunakan trianggulasi data. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pergeseran perilaku politik dipengaruhi oleh kepemimpinan
16
tradisional kyai pada massa NU dan fatwa kyai sebagai pemimpin kharismatik dijadikan pedoman.
Ujang Mahadi. 2015. Komunikasi Politik Kyai pada Kampanye Pemilu.
Sumber data utama (informan penelitian) dalam penelitian ini adalah anggota DPRD Kota Bengkulu yang berlatar belakang Kyai atau Ustaz. Perilaku politik kyai yang terlibat langsung dalam pencalonan DPRD tidak mengobral janji saat pelaksanaan kampanye dan diharapkan membuat perpolitikan di Indonesia lebih bermoral. Kegiatan politiknya dilakukan dengan kejujuran, mengangkat isu keseimbangan pembangunan dan kerja-kerja yang dilakukan dengan membawa nilai-nilai islam yang berorientasi ibadah.
Hasan Ma’ali. 2015. Strategi Komunikasi Politik Kyai dalam Suksesi Pilpres 2014 (Studi di Desa Gadu Barat Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep Madura). Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis dengan subjek penelitian kyai, tokoh masyarakat, pemerintah lokal dan dan relawan pemenangan pemilu 2014 di desa Gadu Barat kecamatan Manding kabupaten Sumenep. Tekhnik analisis data menggunakan model interactive Miles dan Huberman sedangkan validitas data menggunakan trianggulasi data. Temuan dalam penelitian ini menjelaskan keterlibatan kiai dalam politik memberikan kontribusi dan mewarnai jalannya pesta politik tingkat daerah. Legitimasi kharismatik kiai menggerakkan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dengan simbol-simbol keagamaan, selain itu hubungan kiai dan masyarakat lokal sangat erat.
Nurlatipah Nasir. 2015. Kyai dan Islam dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat Kota Tasikmalaya. Kesimpulan dari hasil penelitian ini menjelaskan bahwa peran kyai sebagai pemimpin keagamaan yang juga berafiliasi
17
dengan partai politik, cenderung dapat menjaga stabilitas perolehan suara partai politik. Kyai dianggap mempunyai kharisma sehingga mempengaruhi perilaku memilih terutama kalangan santri. Keberadaan kyai dalam partai politik dianggap mampu menarik suara massa.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Nama dan Judul Temuan Penelitian Relevansi
Zainuddin Syarif. 2016 Pergeseran Perilaku Politik Kiai
dan Santri di Pamekasan Madura.
Kyai mempertahankan otoritas kepemimpinan nya dengan mentranfor masi nilai-nilai agama dan lainnya. Agama dan politik tidak bisa dipisahkan dan santri menjadi basis massa kyai.
Relevansi penelitian ini pada perilaku politik kiai yang terjadi di kabupaten Sumenep tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kabupaten
Pamekasan. Kiai
menggunakan santri sebagai basis politik karena mereka berpendapat bahwa politik tidak bisa dilepaskan dari agama dan kiai dianggap memiliki kapasitas untuk
menjadi pemimpin
pemerintahan.
Edi Kusmayadi, dkk. 2016.
MODEL KEPEMIMPINAN POLITIK KYAI: Studi Peran Kyai Dalam Pergeseran Perilaku Politik Massa NU PKB dan PPP
Pergeseran perilaku politik dipengaruhi oleh kepemimpi nan tradisional kyai pada massa NU. Fatwa kyai menjadi pedoman massa dalam bertindak dan memilih.
Perubahan perilaku politik di kabupaten Sumenep juga terjadi dikalang kyai. Fatwa yang disampaikan kyai diterima sebagai sebuah
perintah dan
diimplementasikan dalam penentuan pilihan saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Ujang Mahadi. 2015.
Komunikasi Politik Kyai pada Kampanye Pemilu
Perilaku politik kyai yang terlibat langsung dalam pencalonan DPRD tidak mengobral janji saat pelaksanaan kampanye dan diharapkan membuat perpolitikan di Indonesia lebih bermoral. Kegiatan politiknya dilakukan dengan kejujuran, mengangkat isu keseimbangan pembangunan dan kerja-kerja yang dilakukan dengan membawa nilai-nilai islam yang berorientasi ibadah.
Pelaksanaan kampanye dilakukan dengan membawa nilai-nilai agama dan kesetaraan pembangunan.
Janji-janji politik disampaikan dengan sewajarnya. Kiai menjalankan peran sebagai petugas partai dengan mengarahkan massa terhadap calon atau partai tertentu.
Hasan Ma’ali. 2015. Strategi Komunikasi Politik Kyai dalam Suksesi Pilpres 2014 (Studi di Desa Gadu Barat Kecamatan Ganding
“Keterlibatan kyai dalam politik memberikan kontribusi dan mewarnai jalannya pesta politik tingkat daerah.
Legitimasi kharismatik kyai
Kiai dan masyarakat memiliki hubungan yang erat dan menjadi panutan. Fatwa-fatwa yang disampaikan diterima sebagai suatu kebenaran dan
18 Kabupaten Sumenep
Madura)
menggerakkan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dengan simbol- simbol keagamaan, selain itu hubungan kiai dan masyarakat lokal sangat erat”.
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kemampuan kiai menggerakkan massa digunakan untuk mengarahkan massa dalam menuntukan pilihan dalam Pemilu, Pilpres, Pemilukada bahkan Pilkades.
Nurlatipah Nasir. 2015. Kyai dan Islam dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat Kota Tasikmalaya.
“Peran kyai sebagai pemimpin keagamaan yang juga berafiliasi dengan partai politik, cenderung dapat menjaga stabilitas perolehan suara partai politik. Kyai dianggap mempunyai kharisma sehingga mempengaruhi perilaku memilih terutama kalangan santri.
Kyai di Kabupaten Sumenep banyak tergabung dalam partai politik dan menduduki posisi strategis. Selain sebagai pemimpin keagamaan dan pondok pesantren mereka juga sebagai petugas partai.
Keberadaan kyai di partai politik mempengaruhi perilaku memilih santri dan massa.
2.2 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
2.2.1 Perilaku Politik
Perilaku politik adalah suatu kegiatan ataupun aktivitas yang berkenaan ataupun berhubungan dengan proses politik, baik dalam pembuatan keputusan politik sampai kepada pelaksanaan aktivitas politik secara periode (Surbakti, 1999:130). Dalam hal ini perilaku politik dipahami sebagai cara- cara yang digunakan dalam mencapai kekuasaan dan sesudahnya.
Perilaku politik dipengaruhi dua faktor yang berbeda. Pertama, faktor internal dari individu itu sendiri berupa ideologi, tingkat kecerdasan, dan kehendak diri. Kedua, Faktor eksternal seperti kehidupan beragama, sosial dan politik (lingkungan yang mengelilinginya). Menurut Fadillah (2003:200) perilaku politik seperti persepsi, sikap, orientasi, keyakinan dan tindakan- tindakan nyata berupa protes, lobi dan sebagainya bagian dari tanggapan internal.
19
Politic behaviour (Perilaku politik) adalah kegiatan yang dilakukan kelompok masyarakat atau individu dalam memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban sebagai insan politik (zoon politicon). Setiap individu diberikan hak dan kewajiban yang sama dalam berpolitik seperti, memilih pemimpin, bergabung dalam organisasi kemasyarakatan, mengkritiki kinerja pemerintahan dan berhak menjadi pimpinan politik.
Partisipasi politik adalah bentuk perilaku politik. Namun, perilaku politik tidak selalu partisipasi politik.
Partisipasi politik Menurut Herbert McClosky (dalam Fathurrohman dan Sobri, 2002:186) adalah kegiatan sukarela yang dilakukan warga negara, seperti dalam terlibat pemilihan pemimpin dan langsung atau tidak langsung ikut serta dalam pembentukan kebijakan. Ikut serta dalam perebutan kekuasaan atau menduduki jabatan administrative ataupolitik tingkatan tertinggi partisipasi politik sedangkan yang terendah memberikan hak suara dalam memilih penguasa. Dalam hal ini partisipasi politik dibagi dua yaitu partisipasi individu dan kelompok.
1) Norma-norma Perilaku politik
Norma dalam pandangan sosiologi berupa peraturan yang diterapkan di lingkungan sosial dan terdapat sangsi bagi pelanggar. Norma yang dimaksud berorientasi pada perilaku politik.
a) Budaya Politik
Menurut Niko Budi dan Rusadi Simantaputra dalam (Suparya Al- hakim, 2016 : 186)
20
“Budaya politik adalah tingkah laku, kepercayaan, perasaan yang memberi makna dan mengatur serta landasan tingkah laku dalam sistem politik. Sedangkan Rusadi Simantaputra menjelaskan bahwa budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan oriebtasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik”.
Budaya politik melihat tindakan individu dalam kelompok atau daerah dan perilaku non-aktual seperti, keyakinan, nilai-nilai dan simbol dimana sistem politik itu berlangsung. Setiap daerah memiliki budaya politik yang berbeda dengan daerah lainnya.
b) Agama
Agama dan politik tidak dapat dipisahkan, karena pragmatisme agama adalah salah satu ideologi politik. Hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan tuhannya diatur agama. Pemeluk agama akan merefleksikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dan individu tidak bisa lepas dari bayang-bayang agama. Selain itu agama mampu mengendalikan individu untuk tidak berperilaku menyimpang.
Menurut Suprayogo dan Tabrani (dalam Uswah, 2007:27) agama merupakan pondasi terbentuknya masyarakat kognitif. Terbentuknya komunitas atau kelompok yang diikat oleh keyakinan dan kebenaran hakiki yang sama bermula dari agama. Pada umumnya individu percaya bahwa agama bersifat holistic dan memberi panduan, nilai, moral dan etika perilaku dalam semua lini kehidupan.
c) Kebijakan
Kebijakan dapat diartikan sebagai landasan penyelesaian masalah-masalah dalam suatu daerah atau bahkan negara. Dalam hal ini kebijakan yang dimaksud berupa aturan-aturan pelaksanaan
21
pemilukada. Pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan akan diproses secara hukum dan mendapat sangsi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Tujuan dibuatnya kebijkan untuk meminimalisir tindakan- tindakan aktor politik yang dapat merugikan orang lain atau lawan politik baik berupa, kerugian materil dan non material. Sangsi bagi pelanggar dapat berupa sangsi administratif terberat pembatalan calon dari kepesertaan pemilukada bahkan terdapat sangsi pidana bagi pelanggar. Perilaku politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berjalan dengan baik. Perilaku politik yang menyimpang berpengaruh pada stabilitas politik dan sosial, apalagi terjadi terus menerus diwaktu yang cukup lama.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik.
a) Faktor Internal
Faktor internal adalah dorongan yang didasari atas keinginan pribadi individu untuk bertindak tanpa ada pengaruh dari luar. Individu pada model ini memiliki kemampuan untuk menganalisis fenomena- fenomena yang didukung oleh tingkat kecerdasan individu itu sendiri dan menjadi perbedaan dalam perilaku politik. dua hal yang tak terpisahkan dari faktor internal, antara lain ideologi dan kehendak diri (khasrat).
Ideologi individu terbentuk atas keadaan sosial politik lingkungannya serta didukung sumber pengetahuan yang didapat dari media, buku, kajian-kajian dan diskusi. Kemampuan dan kecakapan
22
yang dimiliki individu memunculkan gagasan dan keputusan politik yang kritis. Sedangkan kehendak dan pikiran pada hakekatnya adalah satu. Dengan kehendak manusia merealisasikan esensi diri sesuai dengan yang dikehandaki. Keyakinan individu akan kemampuannya dalam mempengaruhi perilaku dan keputusan politik.
b) Faktor Eksternal
Perilaku individu yang dipengaruhi lingkungan sosial, politik, kehidupan beragama dan lingkungan keluarga dimana individu itu tinggal. Faktor eksternal dapat dipengaruhi faktor internal, namun tidak sebaliknya. Ideologi dan kehendak diri seseorang bisa diadopsi kelompok masyarakat, kemudian menjadi tujuan bersama.
Karakter lingkungan politik, sistem politik dan ideologi yang dianut kelompok atau wilayah berimplementasi pada kehidupan perilaku individu yang berada didalamnya. Kemudian, jenis kultur politik, atau bentuk nilai dan keyakinan tergantung kegiatan politik yang mempengaruhinya. Keyakinan agama yang diimani oleh individu.
Tiga poin tersebut merupakan faktor eskternal dari perilaku politik individu maupun kelompok.
2.2.2 Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah)
Pilkada atau pemilukada bentuk dari sistem demokrasi, warga negara tingkat daerah bebas memilih pemimpin sendiri. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan mampu menciptakan pemimpin yang adil dan memberikan perhatian penuh bagi warga negara serta pemimpin bertanggung jawab. Pesta demokrasi tingkat daerah dilakukan selama 5 tahun atau 1
23
periode kepemimpinan, dengan sepasang calon terdiri dari kepala daerah (Bupati/Walikota) dan wakil kepala daerah (Wakil bupati dan wakil walikota).
“Pemilukada langsung merupakan tonggak demokrasi terpenting di daerah, tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilihannya yang lebih demokratis dan berbeda dengan sebelumnya tetapi merupakan ajang pembelajaran politik terbaik dan perwujudan dari kedaulatan rakyat. Melalui pilkada langsung rakyat semakin berdaulat, dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya dimana kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota DPRD. Sekarang seluruh rakyat yang mempunyai hak pilih dan dapat menggunakan hak suaranya secara langsung dan terbuka untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Inilah esensi dari demokrasi dimana kedaulatan ada sepenuhnya ada ditangan rakyat, sehingga berbagi distorsi demokrasi dapat ditekan seminimal mungkin” (Harahap 2005:122)
Berdasarkan definisi diatas pilkada langsung merupakan ajang pembelajaran politik masyarakat. Demokrasi telah kembali ke fitrah dan kedaulatan berada pada tangan rakyat. Daerah otonom mampu menciptakan pesta demokrasi sendiri dan esensi demokrasi begitu jelas terasa. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.
24
Mengenai sistematika pelaksanaan kampanye pemilihan kepada daerah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015 Pasal 65 ayat 1 sebagai berikut;
a) Pertemuan terbatas
b) Pertemuan tatap muka dan dialog
c) Debat publik/debat terbuka antarpasangan calon d) Penyebaran bahan kampanye kepada umum e) Pemasangan alat peraga
f) Iklan media massa cetak dan media massa elektronik;kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan perundang-undangan.
Aturan larangan-larangan dalam pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dijelaskan pada pasal 69 tahun 2015 nomor 8 sebagai berikut:
a) Mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik
c) Melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat
25
d) Menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik
e) Mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
f) Mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g) Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye;
h) Menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
i) Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan;
j) Melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
k) Melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
2.2.3 Kyai
Asal-usul istilah kyai dalam bahasa Jawa diperuntukkan untuk 3 gelar (Dhofier, 1982:55):
a. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi benda-benda yang dianggap keramat
b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren serta mengajar kitab kitab
26
klasik kepada santrinya. Selain gelar kyai, ia juga disebut sebagai seorang alim (orang yang memiliki keahlian dalam memahami ilmu agama Islam).
Kyai memang dengan gelar bagi orang alim atau ulama yang mengajarkan ajaran agama Islam kepada khalayak ramai. Di Jawa, sebutan kyai sudah menjadi simbol kesucian dari seseorang yang dianggap memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Dalam tradisi pesantren, gelar kyai biasa disematkan kepada para ulama dari kelompok Islam tradisional yang mengajarkan sistem pendidikan dengan cara sorogan atau wetonan.
Simbol suci bagi seorang yang dianggap alim merupakan representasi dari wakil Tuhan yang diutus untuk memberikan siraman ruhani atau pencerahan bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Pengaruh figur kyai dalam dunia pesantren secara tidak langsung telah menempatkan sosok alim ini berada di tingkatan elite dalam struktur sosial.
Sebagai bagian dari kaum elite, sosok kyai seolah tidak bisa tersentuh oleh kalangan kelas bawah atau masyarakat awam yang tidak memiliki strata social setara dengan kyai. Ada anggapan bahwa sebuah pesantren diibaratkan sebagai kerajaan kecil yang menempatkan kyai sebagai sosok penguasa dan pemimpin tertinggi dalam mengendalikan segenap kebijakan yang berkaitan dengan masa depan pesantren. Sebagai sosok penguasa yang tidak tersentuh oleh kalangan kelas bawah, kyai pada gilirannya akan senantiasa selalu dihormati oleh masyarakat, terutama oleh kalangan santri sendiri.
Kedudukan kyai memang tinggi di hadapan semua elemen pesantren, termasuk santri sendiri. Gelar orang alim dalam bidang agama Islam, sesungguhnya merupakan gelar yang sakral dalam tradisi dan kultur
27
pesantren. Tanpa figur kyai, sebuah lembaga pesantren tidak mungkin bisa bertahan dan berkembang dalam mengarungi percaturan sistem pendidikan Islam. Figur kyai boleh dibilang sebagai tokoh sentral yang memegang kekuasaan mutlak tanpa bisa diganggu gugat. Ketokohan kyai dalam dunia pesantren sangatlah beralasan karena ia menempati posisi strategis untuk membina moralitas dan akhlak santri agar menjadi generasi muslim yang berkualitas dan berdaya saing.
Keberadaan kyai dalam tradisi pesantren tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena kyai merupakan figur utama dalam menjalankan segala aktivitas keagamaan yang berkaitan dengan langsung dengan masa depan pesantren.
Sebagai figur utama dalam dunia pesantren, posisi kyai dominan dan memegang estafet kedaulatan dalam kehidupan santri. Gelar kyai merupakan gelar kehormatan pemberian masyarakat sekitar kepada orang alim dalam bidang agama islam.
Horikoshi (dalam Nasir, 2015:29-30) menyatakan bahwa kyai merupakan pemimpin keagamaan yang berkharisma didukung dengan kemampuan membaca pemikiran pengikut dan fasih dalam bidang pengetahuan agama islam. Karekteristik yang melekat pada sifat kyai yaitu, berani, terang-terangan dan memiliki keunggulan dalam bersikap dibandingkan ulama yang berprinsip ijtihad. Kedudukan kyai di masyarakat tidak bersifat statis, namun akan berubah sesuai tingkat konsisten yang ditonjolkan dalam bidang yang ditekuni.
Ciri-ciri utama seorang kyai digambarkan oleh KH. Abdurrahman Wahid adalah watak kharismatik yang dimiliki. Watak kharismatik didapat
28
berdasarkan tingkat keilmuan dan keahlian dalam memberikan solusi atas permasalahan pengikutnya. Figur seorang kyai mampu mengayomi dan melindungi masyarakat, berjuang menyampaikan kebenaran dan melawan kemungkaran. “Posisi kyai selain mengajarkan ilmu agama juga mewakili sistem-sitem sosial, mengembangkan organisasi pondok-pesantren, manejer konflik, mengarahkan visi dan menciptakan perubahan (Agent of change)”
(Purwanto dan Muhammad, 2015:235).
Santri mengidentifikasi kyai sebagai figur yang penuh charisma dan wakil atau pengganti orang-tua (inloco parentis). Kyai adalah model (uswah) dari sikap dan tingkah-laku santri. Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah laku kyai. Santri juga dapat mengidentifikasi kyai sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu.
Gelar kyai, semakin membudaya di Indonesia yang sangat diidentikkan dengan agama Islam. Di tengah perkembangan Indonesia, pada umumnya dijumpai beberapa gelar atau sebutan yang diperuntukan bagi ulama, misalnya: di daerah Jawa Barat (sunda) orang menyebutnya “ajengan”, di wilayah Sumatera Barat disebut “buya”, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan “tengku”, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama “tofanrita”, di daerah Madura disebut dengan “nun” atau “bindereh” yang disingkat
“Ra”, dan di Lombok atau seputar wilayah Nusa Tenggara orang memanggilnya dengan “tuanguru”.
29
Ada tiga konsep yang menonjol tentang kategori Kyai. Pertama, Kyai diartikan sebagai tokoh atau figur pimpinan pondok pesantren. Sebagai pimpinan pondok pesantren, tentunya Kyai mempunyai kapabilitas dalam mengelolah pendidikan agama dan menduduki posisi sentral dalam mengendalikan pondok pesantren.
Kedua, Kyai diartikan sebagai tokoh msyarakat yang juga mempunyai pengetahuan keagamaan. Dalam artian kyai tidak harus menjadi pimpinan pesantren akan tetapi mempunyai kedekatan khusus dengan kyai pondok pesantren dan keduanya sering melakukan pertemuan. Kebanyakan dari mereka alumni pondok pesantren dan keluarga kyai.
Ketiga, Kyai diartikan sebagai guru mengaji atau pimpinan ritual dilanggar atau di mushollah. Kyai langgar umumnya hanya mengajar mengaji dan memimpin sholat. Patut dikemukakan bahwa tidak semua guru ngaji di langgar kemudian disebut Kyai. Begitu pula perannya di masyarakat tidak signifikan karena masih ketergantungan dengan kyai pesantren yang berada ditingkatan tertinggi.
Otoritas moral dan keagamaan Ulama’ secara subtansi ditopang fungsi sosialnya sebagai pelindung masyarakat yang mempunyai wewenang untuk memobilisasi warga dalam membuat keputusan atas nama masyarakat. Oleh karna itu Ulama’ mendapatkan predikat “sesepuh” masyarakat. Atas dasar predikat ini Ulama’ mendapatkan kepatuhan tradisional dari masyarakat desa.
Sedangkan Kiai dikenal sebagai sosok pemuka agama yang memiliki otoritas kharismatik ditengah kehidupan masyarakat. Maka dari itu, Kyai disebut figur tauladan (uswatun hasanah) dalam lingkungan masyarakatnya, dan
30
mendapat tempat sebagai penasehat, guru (ustazd), konsultan kehidupan bagi masyarakat baik bidang rohani maupun bidang yang lain. Selain itu Kyai juga dianggap sebagai pemimpin politik dan penggerakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Kyai tidak hanya sebagai pemuka atau pemimpin agama, tapi selain itu juga sebagai pemimpin sosial dalam konteks yang lebih luas.
2.2.4 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini pertukaran sosial Peter M Blau dengan pendekatan behaviorisme. “Behavioral memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi didalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor. Akibat-akibat tingkahlaku diperlakukan sebagai variabel independen” (Ritzer, 2014:73).
Behavioral memerhatikan efek-efek perilaku seseorang aktor terhadap lingkungan dan dampaknya terhadap perilaku kebelakangan aktor itu.
Keadaan masa sekarang konsekuensi perilaku tertentu dimasa lampau. Pada giliranya perilaku yang berlangsung dilingkungan tertentu akan bereaksi dengan berbagai cara sebagai respon atas perilaku tersebut (Ritzer, 2012:707).
Teori pertukaran sosial dijelaskan dalam dalam buku karya Peter M Blau yang berjudul “Exchange dan Power Social Life” bahwa struktur sosial yang tumbuh diluar pertukaran dengan memperhitungkan tatanan (order), legitimasi, oposisi dan kuasa dari pandangan individualistik (Wirawan, 2012:182). Peter M Blau memusatkan perhatian pada proses pertukaran, yang dalam pandangannya, mengarahkan banyak perilaku manusia dan
31
menggaris bawahi hubungan-hubungan diantara individu dan juga diantara kelompok (Ritzer, 2012:726). Penggabungan tingkah laku individu ke tingkat masyarakat, kelompok dan negara bagian dari usaha mengembangkan teori pertukaran sosial Peter M Blau. Pertukaran sosial terbatas untuk menghasilkan imbalan dan akan berhenti jika pelaku tidak menerima imbalan yang sepadan.
Ketika interaksi sosial tidak mendapat penghargaan yang sebanding, ada 4 alternatif solusi. (1) memaksa orang lain untuk membantunya (2) menemukan sumber lain untuk memperoleh yang dibutuhkan (3) berusaha berhasil tanpa hal yang dibutuhkan dari orang lain (4) menempatkan diri dibawah orang lain, memberikan “kredit yang generalisasi” didalam hubungan mereka (Ritzer, 2012:727).
1) Gagasan Utama Teori Pertukaran Peter M Blau
a) Pertukaran Mikro ke Makro
Pada level individual, konsep perubahan sosial Blau terbatas pada tindakan-tindakan sementara, tergantung pada reaksi-reaksi orang lain yang memberi penghargaan dan tindakan berhenti saat reaksi yang diharapkan tidak datang. Penghargaan tidak selalu dapat dari pihak lain secara setara didalam pertukaran dan memunculkan perbedaan kekuasaan (Ritzer, 2012:727). “Kekuasaan lahir dari situasi ketika individu tergantung pada sesuatu yang diberikan oleh individu lain, dan nilai sesuatu itu menjadi lebih tinggi dari nilai pertukaran yang dia tawarkan. Kekuasaan semakin besar ketika individu atau kelompok penyedia sesuatu berhasil memonopolinya, sehingga nilai seuatu itu
32
menjadi sangat tinggi bagi individu atau kelompok lainnya” (Wardana, 2014:5).
Kekuasan akan mendapat pengakuan jika pertukaran sosial menguntungkan semua pihak di dalam kelompok dan pengakuan tersebut akan dilegitimasi. Ketika kekuasaan gagal menciptakan pertukaran sosial yang saling menguntungkan maka akan melahirkan pihak penentang (oposisi) (Wardana, 2014:6).
Peter M Blau memerhatikan, bahwa kita tidak dapat menganalisis proses interaksi sosial terlepas dari struktur sosial yang mengeliliginya.
Struktur sosial muncul dari interaksi sosial, struktur sosial mempunyai suatu eksistensi terpisah yang memengaruhi proses interaksi (Ritzer, 2012:728). Sederhananya norma didalam struktur sosial dapat mempengaruhi hubungan antara individu dan kelompok.
Kelompok sosial menjadi awal terjadinya interaksi sosial.
Individu akan tertarik pada suatu kelompok ketika merasa mendapatkan penghargaan lebih banyak daripada kelompok lain. Ketertarikan membuat individu memberikan penghargaan kepada anggota kelompok agar diterima. Usaha anggota baru dalam kelompok untuk menciptakan kepaduan secara umum akan menciptakan diferensiasi sosial karena banyak yang berusaha mengesankan satu sama lain dengan memberikan penghargaan (Ritzer, 2012:728).
b) Norma dan Nilai
Konsensus nilai (norma dan nilai) yang ada dalam masyarakat adalah mekanisme yang menengahi struktur sosial yang kompleks.
33
Norma-norma sosial Blau menyatakan bahwa mereka menggantikan pertukaran tidak langsung menjadi langsung. Adaptasi anggota dapat menjaga stabilitas kelompok dan kolektevitas terlibat dalam suatu hubungan pertukaran dengan individu.
“ Blau (dalam Ritzer, 2012:731) menjelaskan, umumnya disepakati bahwa nilai-nilai dan norma-norma membantu sebagai media kehidupan sosial dan menengahi hubungan-hubungan untuk transaksi-transaksi sosial.
Mereka memungkinkan pertukaran sosial langsung, dan mereka mengatur proses-proses integrasi sosial dan diferensiasi didalam struktur sosial yang kompleks dan juga perkembangan oraganisasi sosial dan reorganisasi didalamnya.”
Konsep norma menurut Blau bergerak menuju level pertukaran diantara individu dan kolektivitas, tetapi konsep nilai-nilai menggerakkan dia ke level masyarakat berskala besar dan kepada analisis hubungan dikalangan kolektevitas (Ritzer, 2012:732). Blau mengatakan:
“ Nilai-nilai bersama dari berbagai tipe dapat dipahami sebagai media transaksi-transaksi sosial yang memperluas kompas interaksi sosial dan struktur relasi sosial melalui ruang dan waktu sosial. Konsensus mengenai nilai-nilai sosial berfungsi sebagai basis untuk memperluas jangkauan transaksi sosial melampaui batas-batas kontak sosial langsung dan untuk mengekalkan struktur-struktur sosial melampaui masa hidup manusia. Standar-standar nilai dapat dianggap sebagai media kehidupan sosial didalam dua arti dari istilah itu; konteks nilai adalah medium yang mencetak bentuk hubungan-hubungan sosial; dan nilai-nilai umum adalah mata rantai-mata rantai yang menghubungkan asosiasi-asosiasi dan transaksi-transaksi sosial pada suatu skala yang luas (Blau, 1964:263-364 (dalam Ritzer, 2012:732))
34
Nilai mampu memersatukan anggota kelompok ketika memiliki satu pemikiran patriotisme dan nasionalisme. Solidaritas dan integrasi merupakan nilai Partikularistik (Ritzer, 2012:732). Pertukaran sosial adalah faktor pendorong terjadinya integrasi dengan membangun kepercayaan, perbedaan dan mendorong terciptanya nilai-nilai kolektif. Integrasi menjadi sarana berlangsungnya interaksi sosial antar individu yang menjadi dasar terciptanya pertukaran sosial (Wardana, 2014:3)
Peter M Blau menegaskan pada masyarakat yang beragam pertukaran tidak terjadi secara langsung melainkan berputar pada sistem sehingga pelaku mendapatkan imbalan sebanding. Individu harus mengikuti dan menjaga norma dan nilai yang disetujui dimasyarakat agar mendapat imbalan sehingga interaksi sosial terus berlangsung (Wardana,2014:4).
2) Proposisi Pertukaran Sosial
Proposisi itu saling berkaitan dan harus diperlakukan sebagai satu perangkat. Masing-masing proposisi mempunyai penjelasan untuk menjelaskan keseluruhan perilaku maka 4 proposisi berikut harus dipertimbangkan.
(1) Transaksi-transaksi pertukaran pribadi diantara orang-orang yang mengharapkan penghargaan (reward). Interaksi sosial terjadi untuk mengesankan para anggota kelompok agar bisa diterima.
35
(2) Diferensiasi status dan kekuasaan tidak akan terelakkan akibat terjadinya persaingan mendapatkan penghargaan atau ganjaran.
(3) Legitimasi dan organisasi yang tidak menguntungkan semua pihak maka melahirkan penentang (oposisi).
(4) Perlawanan dan perubahan. Ketika pemimpin dan organisasi tidak menjamin terjadinya pertukaran sosial yang menguntungkan maka akan terjadi perlawanan untuk melakukan perubahan.
3) Pro dan Kontra Pertukaran Sosial
Pernyataan Peter M Blau yang hanya memperluas teori pertukaran dari level individu ke level masyarakat, secara tidak langsung memutar balikkan teori pertukaran itu sendiri. Dalam usahanya memperluas teori perubahan Blau hanya mampu merubah ke level makro. Teori pertukaran sosial perlu disempurnakan oleh orientasi-orientasi teoritis lain yang terutama berfokus pada struktur- struktur makro (Ritzer, 2012:733).
Tokoh yang tertarik dengan toeri pertukaran sosial diantaranya Richard Emerson dengan menerbitkan esai-esai. Molm dan cook (dalam Ritzer, 2012:733) Melihat 3 faktor pendorong dalam karya Emerson. Pertama, ketertarikan Emerson pada teori pertukaran sebagai kerangka kerja sesuai dengan minatnya pada ketergatungan-kekuasaan.
Kedua, Emerson merasa bahwa dapat menggunakan behaviorisme sebagai dasar teori pertukaran. Ketiga, Emerson membahas struktur sosial dan perubahan sosial menggunakan relasi-relasi dan jaringan-
36
jaringan yang membangun dengan level analisis yang berbeda berbeda degan Blau yang membutuhkan bantuan penjelasan dari fenomena normatif.
Karya Emersen dianggap sebagai tahap baru perkembangan teori pertukaran sosial. Tiga asumsi inti teori pertukaran menurut Richard Emirson (dalam Ritzer, 2012: 737).
(1) Individu bertindak “secara rasional” karena menganggap peristiwa itu bermanfaat.
(2) Pada akhirnya individu akan jenuh dengan peristiwa “behavioral”
dan menjadi kurang bermanfaat.
(3) Keuntungan-keuntungan yang diperoleh individu dari proses pertukaran sosial.