• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasilan yang memenuhi kriteria tertentu (kontinuitas usaha, menyediakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasilan yang memenuhi kriteria tertentu (kontinuitas usaha, menyediakan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perusahaan

2.1.1 Pengertian dan Tujuan Perusahaan

Secara yuridis perusahaan adalah suatu perbuatan, kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh seseorang ataupun badan hukum dalam rangka memperoleh penghasilan yang memenuhi kriteria tertentu (kontinuitas usaha, menyediakan barang atau jasa, dan bertujuan memperoleh keuntungan). Perusahaan adalah suatu unit kegiatan produksi yang mengolah sumber ekonomi menjadi barang & jasa yang memberikan input yang berbeda dengan reward yang berbeda.

Pendekatan holistik menganggap perusahaan sebagai satu unit decision making yang diwakili oleh manajer diktator tunggal untuk mencapi tujuan tertentu.

Tujuan dari perusahaan adalah mencapai profit ekonomi yg maksimal (selisih maksimal total pendapatan dengan total biaya ekonomi). Tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan laba dan mensejahterakan pemilik perusahaan (Suwardjono, 2002).

2.1.2 Jenis Perusahaan

Menurut Suwardjono (2002) berdasarkan karakteristik kegiatan produksi dan produk yang dihasilkan, perusahaan dapat digolongkan menjadi 3 jenis yaitu :

(2)

1. Perusahaan Jasa

Yaitu perusahaan yang bergerak dibidang penyediaan berbagai pelayanan yang memberi kemudahan, kenyamanan, atau kenikmatan kepada masyarakat yang memerlukan. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi, hiburan / rekreasi, transportasi, persewaan, profesi, pelatihan dan keterampilan, keuangan dan pendanaan.

2. Perusahaan Dagang

Yaitu perusahaan yang membeli barang atau produk dan menjual kembali produk tersebut tanpa mengubah / mengolah sifat dan manfaat produk yang bersangkutan.

3. Perusahaan Pemanufakturan

Yaitu perusahaan yang mengolah bahan baku menjadi produk yang sifatnya sama sekali berbeda dengan bahan mentahnya / mengubah manfaat produk.

2.1.3 Bentuk Perusahaan

Perusahaan dapat diklasifikasikan atas dasar karakteristik yuridis perusahaan yang disebut bentuk perusahaan dalam hukum dagang yang diacu oleh yang menjalankan usaha.

1. Bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHS adalah perseroan atau persekutuan perdata.

2. Bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHD adalah perseroan firma, perseroan komanditer dan perseroan terbatas.

(3)

3. Bentuk perusahaan yang diatur dalam KUHD (diatur dalam peraturan-perturan khusus) adalah koperasi, BUMN, perusahaan daerah, kerjasama koperasi (KSO), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

2.2 Nilai Perusahaan (Firm value)

Nilai perusahaan memiliki beberapa defenisi. Defenisi mengenai nilai perusahaan tersebut antara lain:

1. Navissi dan Naiker (2006) menyimpulkan bahwa nilai perusahaan merupakan fungsi dari distribusi dengan proporsi tertentu atas kepemilikan oleh insiders dan outsiders.

2. Nilai Perusahaan merupakan present value of future net cash flow (nilai sekarang dari aliran kas bersih masa depan). Dimana present value adalah nilai dari sebuah jumlah yang diharapkan di masa mendatang, yang didiskonto kembali ke saat ini dengan suku bunga tertentu.

3. Nilai perusahaan didefinisikan sebagai penjumlahan nilai dari hutang dan ekuitas perusahaan.

4. Nilai perusahaan (value of firm) menjelaskan bahwa masing-masing tahap siklus hidup perusahaan berhubungan dengan besarnya laba dan arus kas yang dihasilkan perusahaan. Hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Value of Firm = Value of Assets in Place + Value of Growth Opportunities

Persamaan diatas memiliki arti bahwa nilai perusahaan (value of firm) terdiri dari dua komponen, yaitu aktiva (assets in place) dan kesempatan untuk tumbuh (growth opportunities), dengan proporsi yang berbeda tergantung padatahap siklus hidup

(4)

perusahaan. Sebagi contoh, perusahaan pada tahap start up memiliki sedikit aktiva (assets in place), sehingga nilai perusahaan sebagian besar diukur dari nilai kesempatan untuk tumbuh (growth opportunities). Sedangkan untuk perusahaan yang berada pada tahap maturity kesempatan untuk tumbuh (growth opportunities) menjadi berkurang, dan nilai perusahaan sebagian besar ditentukan oleh aktiva yang dimiliki (assets in place).

Menurut Burgstahler dan Dichev (1997), nilai perusahaan tersebut (value of firm) berkaitan erat dengan model yang secara umum menyatakan bahwa nilai pasar ekuitas (market value equity) suatu perusahaan pada satu tahun tertentu merupakan fungsi linear dari recognize net assets, yang merupakan nilai buku ekuitas (book value equity) dan unrecognized net assets perusahaan pada tahun tersebut.

Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai nilai perusahaan adalah dengan menggunakan Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh Profesor James Tobin (1967). Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental. Jika rasio-q di atas satu, ini menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi, hal ini akan merangsang investasi baru. Jika rasio-q di bawah satu, investasi dalam aktiva tidaklah menarik.

Jadi rasio-q merupakan ukuran yang lebih teliti tentang seberapa efektif manajemen memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomis dalam kekuasaannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Copeland (2002), Lindenberg dan Ross (1981) yang dikutip oleh Darmawati (2004), menunjukkan bagaimana rasio-q dapat diterapkan

(5)

pada masing-masing perusahaan. Mereka menemukan bahwa beberapa perusahaan dapat mempertahankan rasio-q yang lebih besar dari satu. Teori ekonomi mengatakan bahwa rasio-q yang lebih besar dari satu akan menarik arus sumber daya dan kompetisi baru sampai rasio-q mendekati satu. Seringkali sukar untuk menentukan apakah rasio-q yang tinggi mencerminkan superioritas manajemen atau keuntungan dari dimilikinya hak paten.

Nilai perusahaan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan Tobin’s Q:

Dimana:

Q = Nilai perusahaan

MVE = Nilai pasar ekuitas (Equity Market Value) D = Nilai buku dari total hutang

BVE = Nilai buku dari ekuitas (Equity Book Value)

Market Value Equity (MVE) diperoleh dari hasil perkalian harga saham dan penutupan (closing price) akhir tahun dengan jumlah saham yang beredar pada akhir tahun. BVE diperoleh dari selisih total asset perusahaan dengan total kewajibannya.

2.3 Pengertian Saham

Hartono (2003: 67) mendefinisikan saham adalah hak kepemilikan yang dikeluarkan oleh perusahaan yang diserahkan kepada pihak-pihak yang menyetor

MVE + D Q ________________

BVE + D

(6)

modal, sedangkan menurut Sumantoro 1990) dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003) saham adalah sebagai penyertaan modal dasar suatu perseroan terbatas, sebagai tanda bukti penyetoran tersebut dikeluarkan surat saham atau surat kolektif kepada pemegang saham. Dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa saham adalah tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan usaha dalam suatu perusahaan.

2.4 Laporan Keuangan

2.4.1 Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan merupakan informasi gambaran dari kondisi keuangan sebuah perusahaan yang diharapkan dapat memberikan bantuan kepada pemakai laporan, baik pihak manajemen maupun pihak luar perusahaan, untuk membuat keputusan yang bersifat ekonomi. Laporan keuangan merupakan laporan yang terstuktur mengenai posisi laporan keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan perusahaan.

Laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Bagi para analis, laporan keuangan merupakan media yang paling penting untuk menilai prestasi dan kondisi ekonomi suatu perusahaan serta menjadi bahan sarana informasi bagi analis dalam pengambilan keputusan.

2.4.2 Tujuan Laporan Keuangan

Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004) tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta

(7)

perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Tujuan laporan menurut Accounting Principle Board (APB) statement No.4 digolongkan menjadi tiga yaitu:

1. Tujuan khusus yaitu untuk menyajikan laporan posisi keuangan, hasil usaha dan perubahan keuangan lainnya secara wajar dan sesuai dengan GAAP.

2. Tujuan umum. Pertama, memberi informasi mengenai aktiva, kewajiban dan modal perusahaan, dan perubahan aktiva neto suatu perusahaan. Kedua, membantu pemakai laporan keuangan dalam menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba dan perubahan aktiva dan kewajiban dalam menaksir laba. Ketiga, memberikan informasi laporan keuangan yang relevan serta kebijakan-kebijakan akuntansi yang dianut perusahaan.

3. Tujuan Kualitatif, yang terdiri dari Relevansi, Understanbility, Verifability, Neutrality, Timeliness, Comparability, Completeness.

2.4.3 Pemakai Laporan Keuangan

Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proporsi posisi keuangan maupun yang perkembangan suatu perusahaan adalah (PSAK NO. 1):

1. Investor

Penanam modal berisiko dan penasehat berkepentingan dengan risiko yang melekat serta hasil pengembangan dari investasi yang mereka lakukan. Informasi digunakan untuk menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasi tersebut. Bagi pemegang saham, informasi digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan membayar dividen.

(8)

2. Karyawan

Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili tertarik dengan informasi yang digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun, dan kesempatan kerja.

3. Pemberi pinjaman

Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang digunakan untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.

4. Pemasok dan Kreditur Usaha Lainnya

Pemasok dan kreditur usaha lainnya menggunakan informasi keuangan untuk memutuskan apakah jumlah yang terutang akan dibayar pada saat jatuh tempo.

Kreditur usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan.

5. Pelanggan

Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama jika mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan.

6. Pemerintah

Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan aktivitas perusahaan. Informasi menetapkan kebijakan pajak, dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.

(9)

7. Masyarakat

Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangakaian aktivitasnya.

2.5 Agency Theory (Teori Keagenan)

Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976 (Horne dan Wachowicz, 1998), manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Para pemegang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang kepada agen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil manajemen.

Teori keagenan didasarkan pada 3 asumsi, yaitu: asumsi sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi. Asumsi manusia menekankan bahwa manusia mempunyai sifat mementingkan diri sendiri, mempunyai keterbatasan rasional, dan tidak menyukai resiko. Asumsi keorganisasian menekankan adanya konflik antar organisasi, efesiensi sebagai kriteria efektifitas dan adanya asimetri

(10)

informasi antara principal dan agent. Asumsi informasi menekankan bahwa informasi sebagai barang komoditi yang harus diperjualbelikan (Einsenhard, 1989).

Pada kenyataannya, manajer memiliki tujuan pribadi yang menyangkut kesejahteraannya, keamanan kerja dan benefit lainnya. Akibatnya, manajer enggan melakukan kegiatan yang beresiko tinggi jika hal tersebut membahayakan kepentingan pribadinya. Perbedaan tujuan inilah yang menyebabkan konflik yang disebut sebagai agency conflict, bahwa manajer akan mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan perusahaan secara keseluruhan. Perbedaan kepentingan antara pemilik, karyawan dan manajer suatu perusahaan sering menimbulkan konflik antar kelompok atau sering juga disebut sebagai agency conflict.

Konflik keagenan yang terjadi dalam perusahaan pada hubungan antara: (1) pemegang saham dan manajer, (2) manajer dan kreditor, (3) manajer, pemegang saham dan kreditor (Brigham, Gapenski, 1999).

Mekanisme pengurangan masalah keagenan ini dilakukan dengan cara:

1. Menggunakan free cash flow untuk membayar deviden kas sehingga menghindari alokasi pada tindakan yang tidak menguntungkan (Jensen, 1986).

2. Meningkatkan deviden untuk memperkuat posisi perusahaan dalam mencari tambahan dana dari pasar modal. Perusahaan diawasi oleh tim pengawas pasar modal atau kreditor sehingga manajer termotivasi mempertahankan atau meningkatkan kinerja (Crutchley dan Hansen, 1989).

3. Meningkatkan deviden untuk memuaskan sebagian stakeholder yang menyukai deviden besar atau penganut the bird in the hand theory (Brigham, Gapenski, 1999).

(11)

Peningkatan deviden menyebabkan perusahaan memiliki sumber internal dalam jumlah sedikit sehingga manajer memilih melakukan diversifikasi pada kesempatan investasi yang lebih menguntungkan (Jansen, 1986).

2.6 Laba

Menurut SFAC No 5 yang dimaksud dengan laba adalah kenaikan ekuitas atau aktiva netto perusahaan yang disebabkan adanya aktivitas operasi maupun aktivitas non operasional perusahaan. Dalam SFAC dinyatakan bahwa laba terdiri dari Revenue, Expense, gain & loses. Perbedaannya dengan laba bersih adalah bahwa laba bersih merupakan laba ditambah dengan pengaruh kumulatif perubahan metode akuntansi tahun lalu. Dalam akuntansi, laba akuntansi adalah perbedaan antara pendapatan yang dapat direalisasi yang diharapkan dari transaksi dalam suatu periode dengan biaya yang layak dibebankan.

Dalam menentukan laba akuntansi menggunakan dasar accruals, yaitu bahwa pendapatan (biaya) diakui pada terjadinya bukan pada saat penerimaan (pengeluaran). Dasar ini mewajibkan perusahaan untuk mengakui pendapatan (biaya) yang sudah menjadi hal (kewajiban) perusahaan pada periode sekarang meskipun transaksi kasnya baru terjadi pada periode berikutnya dan menunda pengakuan pendapatan (biaya) yang belum menjadi hak (kewajiban) sampai periode berikutnya meskipun transaksi kasnya sudah terjadi pada periode sekarang.

(12)

2.7 Earning Management (Manajemen Laba) 2.7.1 Defenisi dan Motivasi Earning Management

Secara umum pengertian manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam laporan keuangan serta mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000).

Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa manajemen laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa manajemen laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan. Investor mungkin tdak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Ashari dkk, 1994) dalam Assih (2004).

Widyaningdyah (2003) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:

definisi sempit dan definisi luas.

1. Definisi Sempit

Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan earnings.

(13)

2. Definisi Luas

Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.

Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.

Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (opportunistic earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.

Defenisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper (1989) dalam Sutrisno (2002) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari operasi tersebut).

Menurut Assih dan Gudono (2000) mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.

(14)

Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka tanpa rekayasa (Setiawan dan Na’im, 2000).

Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa manajemen laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa manajemen laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan. Investor mungkin tidak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Assih, 2004).

2.7.2 Faktor-Faktor Pendorong Earning Management

Dalam Positif Accounting Theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu : 1. Bonus Plan Hypothesis

Manajemen akan memilih metoda akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metoda akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.

2. Debt Cost Hypothesis

Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metoda akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba

(15)

(Sweeney, 1994). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.

3. Political Cost Hypotesis

Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.

Scott (2000) mengemukakan motivasi terjadinya manajemen laba : a. Bonus Purposes

Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985).

b. Political Motivations

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

c. Taxation Motivations

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

(16)

d. Pergantian CEO

CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan laba agar tidak diberhentikan.

e. Initial Public Offering (IPO)

Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

f. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor

Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut mempunyai kinerja yang baik.

2.7.3 Peluang Earning Management Melakukan Rekayasa Keuangan

Peluang dan kesempatan bagi manajemen untuk melakukan manajemen laba timbul karena :

1. Kelemahan yang inheren dalam akuntansi itu sendiri. Worthly (1984) dalam penelitian Setiawati (2000) mengungkapkan fleksibilitas dalam menghitung angka laba disebabkan oleh :

a. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda.

b. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam menyusun estimasi.

(17)

2. Informasi asimetris antara manajer dengan pihak luar (Healy dan Palepu, Eisenhardt, dalam Setiawati. 2000). Manajer relatif memiliki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pihak luar termasuk investor.

2.7.4 Teknik Earning Management

Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu :

1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi akitva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.

2. Mengubah metode akuntansi

Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh : merubah depresiasi aktiva tetap, dari metoda depresiasi angka tahun ke metoda depresiasi garis lurus.

3. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Metode ini disebut juga sebagai metode manipulasi operasional. Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.

(18)

2.7.5 Kondisi untuk Praktik Earning Management

Trueman dan Titman (1988) berpendapat bahwa hanya manajer yang dapat mengobservasi laba ekonomi perusahaan untuk setiap perioda. Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari laba yang dilaporkan oleh perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer.

Dalam menyiapkan laporan mungkin manajer dapat memindah antar perioda, pada saat sebagian laba ekonomi diketahui sebagai laba akuntansi dalam laporan keuangan. Perpindahan tersebut dapat dicapai, sebagai contoh: melalui pengakuan biaya pensiun, penyesuaian penaksiran umur ekonomis perusahaan, dan penyesuaian penghapusan piutang. Jika manajer tidak dapat memindah laba antar perioda maka laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan sama dengan laba ekonomi perusahaan pada setiap perioda. Fleksibilitas untuk menunda laba antar perioda hanya tersedia bagi beberapa perusahaan, dan hanya manajer yang mengetahui apakah mereka mempunyai fleksibilitas tersebut atau tidak.

Richardson (1998) menunjukkan bukti hubungan antara ketidakseimbangan informasi akan mempengaruhi tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Hasil penelitian Richardson menunjukkan adanya hubungan yang positif signifikan antara ukuran ketidakseimbangan informasi (bid-ask spreads dan analyst’ forecast disperson) dan manajemen laba setelah mengendalikan faktor lain yang dapat mempengaruhi manajemen laba, seperti variabilitas aliran kas, ukuran, risiko, dan pengungkapan keuangan perusahaan.

(19)

2.7.6 Pola Earning Management

Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dapat dilakukan dengan cara : 1. Taking a Bath

Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang.

2. Income Minimization

Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.

3. Income Maximization

Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.

4. Income Smoothing

Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

2.8 Corporate Governance

2.8.1 Pengertian Corporate Governance

Tata kelola perusahaan (corporate governance) adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan,

(20)

pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.

Defenisi Corporate Governance dalam Surat Keputusan Menteri BUMN No Kep-177/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk dapat meningkatkan keberhasilan suatu usaha, dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan atau meningkatkan nilai dari suatu perusahaan (firm value) dalam jangka waktu yang panjang dengan memperhatikan kepentingan kegiatan perusahaan (stakeholders) yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan, moral dan etika (Peraturan BAPEPAM, 2006 dalam OECD, 2004).

Good corporate governance (GCG) menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Corporate governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Penerapan GCG mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu diterapkannya GCG oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Penerapan GCG juga diharapkan dapat menunjang upaya pemerintah dalam menegakkan good corporate governance pada umumnya di

(21)

Indonesia. Saat ini Pemerintah sedang berupaya untuk menerapkan good corporate governance dalam birokrasinya dalam rangka menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa.

Secara prinsip, corporate governance dalam arti sempit meliputi dua aspek, yaitu aspek governance structure atau board sturcture dan aspek governance process atau governance mechanism. Governance sturcture membicarakan struktur hubungan pertanggungjawaban dan pembagian peran di antara berbagai organ utama perusahaan yaitu pemegang sahan, komisaris, dan direksi, sedangkan governance process membicarakan mekanisme kerja dan interaksi intelektual di antara organ-organ tersebut. Struktur corporate governance suatu korporasi akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama teori korporasi yang dianut, budaya, dan sistem hukum yang berlaku (Antonius dan Zaini, 2004).

Corporate governance diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang diinvestasikan, dan yakin bahwa manajer tidak akan menggelapkan atau tidak menginvestasikan dana ke proyek-proyek yang tidak menguntungkan dan berkaitan dengan bagaimana investor mengontrol para manajer. Corporate governance meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksinya (dewan direksi dan dewan komisaris), para pemegang saham dan stakeholders lainnya (OECD, 1999).

Corporate governance juga merupakan suatu sarana yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana pencapaian sasaran dan sarana menentukan teknik monitoring kerja. Corporate governance

(22)

harus memberikan insentif yang tepat bagi dewan direksi dan manajemen dalam rangka mencapai sasaran, harus dapat memfasilitasi monitoring yang efektif dan mendorong penggunaan sumber daya yang efektif (Beranda, 2007).

2.8.2 Prinsip-prinsip Corporate Governance

Setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip corporate governance yang diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Prinsip- prinsip corporate governance diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan (KNKG, 2004). Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1. Transparency (Transparansi)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Accountability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terstruktur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan. Akuntabilitas

(23)

merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga kesinambungan usaha dapat terpelihara dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4. Independency (Independensi)

Untuk melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5. Fairness (Kewajaran/Keadilan)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran.

Pada April 1998, OECD (Organization of Economic Corporation and Development) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bila diperlukan (Herwidayatno, 2000). Prinsip-

(24)

prinsip corporate governance yang dikembangkan OECD meliputi 5 hal sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham

Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-hak pemegang saham, yaitu hak untuk (1) menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (2) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), (5) memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta (6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan.

2. Persamaan perlakuan terhadap semua pemegang saham

Kerangka corporate governance harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing.

Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu kelas, melarang praktik-praktik insider trading atau self dealing, dan mengharuskan anggota komisaris untuk melakukan kerterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).

3. Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan

Kerangka corporate governance harus memberikan pengakuan terhadap hak- hak stakeholders, seperti ditentukan dalam undang-undang, dan mendorong

(25)

kerjasama yang aktif antara perusahaan dengan para stakeholders tersebut dalam rangka menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan usaha.

4. Keterbukaan dan Transparansi

Kerangka corporate governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keadaan keuangan, kinerja perusahan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaa. Di samping itu, informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit, dan disajikan dengan standar yang berkualitas tinggi. Manajemen juga diharuskan meminta auditor eksternal melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan.

5. Akuntabilitas dewan komisaris (board of directors)

Kerangka corporate governance harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris, dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. Prinsip ini juga memuat kewenangan- kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris berserta kewajiban-kewajiban profesionalnya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.

2.8.3 Tujuan Corporate Governance

FCGI menjelaskan bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Secara lebih rinci, terminologi Corporate Governance dapat digunakan untuk

(26)

menjelaskan perilaku dari Dewan Direksi, Dewan Komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan, dan pemegang saham.

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) menyatakan corporate governance diperlukan dalam rangka:

1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran.

2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.

3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

(27)

2.9 Pengembangan Hipotesis

2.9.1 Hubungan Earning Management dan Nilai Perusahaan

Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibanding pemilik (pemegang saham) sehingga menimbulkan asimetri informasi. Manajer diwajibkan memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan merupakan cerminan nilai perusahaan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi pengguna ekternal perusahaan karena kelompok itu berada dalam kondisi yang paling tidak tinggi tingkat kepastiannya.( Ali, 2002)

Asimetri antara manajemen dan pemilik memberikan kesempatan pada manajer untuk melakukan manajemen laba (Earnings Management) guna meningkatkan nilai perusahaan pada saat tertentu sehingga dapat menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai nilai perusahaan sebenarnya.

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis pertama penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

Hipotesis 1 : Earnings management berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

2.9.2 Hubungan Earning Management, Nilai Perusahaan dan Praktik Good Corporate Governance

Dengan alasan meningkatkan nilai perusahaan, manajemen melakukan tindakan oportunis dengan melakukan Earnings Management. Dengan adanya praktik Corporate Governance di perusahaan, tindakan Earnings Management bisa

(28)

dibatasi karena adanya mekanisme pengendalian dalam perusahaan tersebut.

Praktek Corporate Governance dapat diproksi dengan Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness.

1. Transparency (Transparansi)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.

Komponen yang digunakan dalam pengukuran transparency yaitu; kelengkapan laporan keuangan, ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan dan kelengkapan laporan non keuangan.

2. Accountability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terstruktur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Komponen pengukuran accountability yaitu; komite audit yang lengkap sesuai, perusahaan mengumumkan laporan komite audit dalam laporan tahunan, dan komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya dalam 3 bulan.

(29)

3. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga kesinambungan usaha dapat terpelihara dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Komponen pengukuran responsibility yaitu; kepedulian perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya meliputi empat tema, yaitu produk dan konsumen, kemasyarakatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan.

4. Independency (Independensi)

Untuk melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Komponen pengukuran independency yaitu;

adanya komite independen.

5. Fairness (Kewajaran/Keadilan)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran. Komponen pengukuran fairness didasarkan pada lima pendapat yang dapat diberikan oleh auditor independen atas laporan keuangan yang diaudit.

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis kedua penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

Hipotesis 2: Praktik corporate governance yang diproksi dengan transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness memperlemah pengaruh earnings management terhadap nilai perusahaan.

(30)

2.9.3 Hubungan Earning Management dan Reaksi Investor

Adanya praktek manajemen laba dalam penyajian laporan keuangan menyebabkan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Melalui manajemen laba, manajer dapat mengatur angka-angka laba yang dilaporkan agar sesuai kepentingan pribadinya maupun perusahaan. Hal ini dapat menyesatkan investor dalam mengestimai return yang diinginkan.

Sebuah pasar yang efisien akan tercermin dari cepatnya investor bereaksi terhadap masuknya informasi baru, yang mana bila pelaku pasar (investor) menganggap informasi tersebut sebagai informasi yang baik (god news), akan ada reaksi investor yang tercermin melalui peningkatan harga saham maupun volume perdagangan saham.

Indikator reaksi pasar salah satunya adalah volume perdagangan. Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan volume perdagangan sebagai proksi dari reaksi pasar. Zuhroh dan Sukmawati (2003) menemukan bukti bahwa pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public berpengaruh terhadap volume perdagangan, terdapat perbedaan volume perdagangan antara perusahaan yang melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial dan yang tidak mengungkapkannya.

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

Hipotesis 3: Earnings management berpengaruh terhadap reaksi investor.

(31)

2.9.4 Hubungan Earning Management, Reaksi Investor dan Praktik Good Corporate Governance

Pada subbab sebelumnya telah diuraikan hubungan antara earning management. Dengan adanya praktik Corporate Governance di perusahaan, tindakan Earnings Management bisa dibatasi karena adanya mekanisme pengendalian dalam perusahaan tersebut sehingga para pemangku kepentingan bisa mengambil keputusan dengan lebih baik. Jika investor sampai mengetahui bahwa informasi yang disajikan oleh manajemen tidak benar, harga saham yang overvalued bisa menjadi undervalued. Harga saham yang lebih rendah dari harga yang sesungguhnya akan merugikan manajemen untuk memperoleh tambahan dana dari pasar modal (Setiawati dan Na’im. 2000).

Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis keempat penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

Hipotesis 4: Praktik corporate governance yang diproksi dengan transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness memperlemah pengaruh earnings management terhadap reaksi investor.

2.10 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas hasil dari penelitian terdahulu antara lain:

Siallagan dan Machfoedz (2006) meneliti apakah kualitas laba yang diproksi dengan discretionary accruals berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diproksi dengan Tobin’s Q. Hasilnya menyimpulkan bahwa bahwa kualitas laba

(32)

berhubungan dengan secara positif terhadap nilai perusahaan. Mereka juga meneliti apakah corporate governance yang diproksi dengan komite audit berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasil yang mereka simpulkan adalah bahwa corporate governance berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Disimpulkan juga bahwa kepemilikan manajerial, proporsi jumlah anggot dewan komisaris dan keberadaan komite audit berpengaruh secara positif terhadap kualitas laba.

Penelitian yang dilakukan oleh Alexakis et al. (2006) terhadap perusahaan- perusahaan yang listing di pasar modal Yunani menunjukkan bahwa, perusahaan- perusahaan yang melaksakan corporate governance secara baik mengalami peningkatan rata-rata return saham, dan mengalami penurunan risiko yang signifikan, sehingga meningkatkan corporate value (nilai perusahaan).

Penelitian yang dilakukan Watfield et al., 1995, Gabrielsen, et al, 1997, Wedari 2004, Midiastuty dan Machfoedz, 2003 menyimpulkan bahwa praktik Corporate Governance memiliki hubungan yang signifikan terhadap Earnings Management. Sedangkan menurut Siregar dan Bachtiar (2004), Darmawati (2003), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktik Corporate Governance terhadap Earnings Manajement. Brown dan Caylor (2004) menunjukkan bahwa penerapan good corporate governance secara signifikan dapat meningkatkan return on equity, net profit margin dan nilai perusahaan yang diproksi dengan Tobin's Q.

Binter dan Dolan (1996) melakukan penelitian antara manajemen laba sebagai proksi kualitas laba dan nilai perusahaan dengan menggunakan variabel leverage dan firm size. Ditemukan bukti bahwa baik dengan menggunakan laba bersih atau ordinary income yang digunakan sebagai sasaran manajemen laba,

(33)

leverage merupakan determinan negatif yang signifikan secara statistik. Sedangkan firm size berhubungan secara negatif namun secara statistik tidak signifikan.

Suranta dan Mardiastuti (2004) melakukan penelitian tentang hubungan income smoothing, Tobin’s Q, agency problems dan kinerja perusahaan. Hasilnya menyatakan adanya indikasi bahwa income smoothing dan nilai perusahaan ditentukan secara simultan. Hasil lainnya menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan publik untuk perusahaan yang memiliki ukuran perusahaan yang lebih kecil cenderung memotivasi manajemen perusahaan melakukan praktik income smoothing, dan kepemilikan publik pada perusahaan besar dengan jumlah yang lebih banyak justru menurunkan nilai perusahaan.

Di Indonesia telah dilakukan penelitian mengenai bagaimana pengaruh tindakan perataan laba terhadap reaksi pasar, namun masih terdapat pertentangan hasil penelitian. Hasil penelitian (Assih dan Gudono, 2000; Salno dan Baridwan, 2002; Nasir, Arifin dan Susanti, 2002; Latrini, 2003 dalam Dessy, hal 13; 2002) menunjukkan bahwa reaksi pasar atas pengumuman laba berbeda bagi perusahaan yang melakukan perataan laba dan perusahaan yang tidak melakukan perataan laba.

Sementara penelitian Latrini (2003), Salno dan Baridwan (2000) dalam Dessy (hal 13; 2004), menemukan bahwa tidak ada perbedaan reaksi pasar terhadap tindakan perataan laba.

Bertentangan dengan penelitian Assih dan Gudono (2000) dan Nasir, Arifin, Susanti (2002) dalam Dessy (hal 26; 2004), pada hasil penelitian Salno dan Baridwan (2000) dalam Dessy (hal 26; 2004) di temukan bahwa tidak terdapat perbedaan return dan resiko antara perusahaan perata laba dan perusahaan bukam

(34)

perata laba. Penelitian Latrini (2003) dalam Dessy (hal 26; 2004) juga menemukan tidak ditemukan adanya perbedaan reaksi pasar yang signifikan antara perusahaan parata laba dan perusahaan bukan perata laba. Hasil pengujian yang tidak konsisten ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi pasar modal Indoensia belum konsisten (Imam Subekti, 2005).

Peneliti sebelumnya (Vinola Herawaty, 2008) memperoleh kesimpulan bahwa variabel Corporate Governance yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan bervariasi tergantung model regresinya. Untuk model regresi yang menggunakan moderating variabel, Komisaris Independen dan Kepemilikan Institusional mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan, sedangkan model regresi tanpa moderating variable, Kualitas Audit dan Kepemilikan Manajerial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Nilai Perusahaan. Kepemilikan Manajerial akan menurunkan Nilai Perusahaan sedangkan Kualitas Audit akan meningkatkan Nilai Perusahaan. Ukuran perusahaan juga berpengaruh terhadap Nilai Perusahaan di setiap model regresi yang dilakukan.

Artinya semakin besar perusahaan semakin besar Nilai Perusahaan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Vinola Herawaty, 2008) yaitu; proksi dari praktik corporate governance yang digunakan. Proksi praktik atas corporate governanace yang digunakan peneliti sebelumnya adalah komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan instutisional dan kualitas audit. Sedangkan dalam penelitian ini, proksi atas praktik corporate governance yang digunakan yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness.

(35)

2.11 Hipotesis

Hipotesis 1 : Earnings management berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

Hipotesis 2 : Praktik corporate governance yang diproksi dengan transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness memperlemah pengaruh earnings management terhadap nilai perusahaan.

Hipotesis 3 : Earnings management berpengaruh terhadap reaksi investor.

Hipotesis 4 : Praktik corporate governance yang diproksi dengan transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness memperlemah pengaruh earnings management terhadap reaksi investor.

Referensi

Dokumen terkait

Alasan peneliti mengkaji nilai budaya pada tari Jepin Tali Bui karena melihat dari makna tari Jepin Tali Bui yang terkandung nilai budi luhur dan dalam sebuah tarian

Kriptografi harus diperbarui untuk meningkatkan keamanan. Beberapa kriptografi ada yang sudah berhasil diserang salah satunya DES maka dari itu perlu dibuat algoritma

4 Ibid., Hlm.5.. janda, saudara laki-laki dalam kalabah, saudara perempuan dalam kalalah, serta saudara laki-laki dan perempuan dalam kalalah. Dzul Qarabat, adalah ahli waris

Satu ladle car untuk mengangkut keluar melting scrap dari furnace sedangkan ladle car yang kedua untuk memasukkan melting scrap pada unit LRF yang akan mengalami

Algoritma PACO dan modifikasinya akan dibandingkan dengan algortima scatter search dengan menggunakan 10,15, 20, job dan 10, 15, 20 mesin sedangkan 30, 50 job dengan mesin yang

Berikut panduan dan penjelasan dalam pelaksanaan survei pemetaan derajat kesehatan masyarakat di Propinsi Sumatera Barat bagi mahasiswa peserta Kuliah Kerja

(3) Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan untuk menghasilkan Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan Standar Profesi

Remaja yang memilih website memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong sedang, sedangkan remaja yang berminat dan sering mengakses majalah memiliki