• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Remaja"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa.

Menurut Desmita (2005) masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Remaja dalam bahasa inggris disebut "teenager" yakni manusia usia 13-19 tahun, merupakan usia perkembangan untuk menjadi dewasa. Masa remaja merupakan saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh.

Pardede (2002) mendefinisikan remaja dengan batasan usia yaitu 10-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan karena usia 10 tahun merupakan usia dimana remaja putri mengalami perubahan dalam tubuhnya, tetapi perubahan yang terjadi bisa berbeda-beda pada setiap remaja putri.

Soetjiningsih (2007) menyatakan bahwa dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual semua remaja akan melewati tahapan, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13 tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun.

Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche).

Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada saat menstruasi atau haid (Briawan 2008).

Wiknjosastro (1999) mengatakan bahwa remaja putri akan mengalami perubahan fisik dengan pesat yang merupakan pertanda biologis dari kematangan seksualitas. Perubahan ini terjadi pada satu masa yang disebut masa pubertas yaitu masa transisi antara kanak-kanak menuju masa reproduksi.

Asupan zat gizi mempengaruhi kematangan seksual pada remaja. Remaja yang mendapat menstruasi pertama lebih dini, cenderung lebih berat dan lebih tinggi

(2)

dibandingkan dengan remaja yang belum mendapat menstruasi pada usia yang sama. Sebaliknya pada remaja yang menstruasi terlambat, beratnya lebih ringan daripada yang sudah menstruasi pada usia yang sama, walaupun tinggi badan (TB) nya sama.

Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh kembang, kurangnya asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan tulang tidak proporsional), kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh kembang seperti zinc, sering sakit-sakitan. Dari beberapa masalah gizi remaja putri tersebut diperlukan upaya peningkatan status gizinya karena remaja putri membutuhkan zat gizi untuk tumbuh kembang yang optimal dan remaja putri perlu suplementasi gizi guna meningkatkan status gizi dan kesehatannya (Pardede 2002 ).

Pada masa remaja kebutuhan kalori semakin meningkat karena pertumbuhan anak remaja sangat pesat serta perubahan menjadi pubertas dan aktivitas. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang cepat baik tinggi maupun berat badan sehingga kebutuhan gizi pun meningkat. Oleh karena itu, bila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhannya. Pada remaja, juga terjadi menarche (awal menstruasi) yang berarti mulai terjadi pembuangan Fe (Khumaidi 1997).

Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut kemudian memasuki perkawinan, remaja akan hamil dengan status gizi yang rendah karena membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan dirinya sendiri dan bayi yang dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa remaja tidak saja dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sekolah dan teman -teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu, pengaruh lain bisa berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik media cetak maupun media elektronik (Supariasa 2001).

(3)

Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini dikarenakan kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi. Menurut Yatim (2003), anemia dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel, perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang. Menurut Rasmaliah (2004), kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah daripada normal merupakan akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Anemia gizi terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :

a. Anemia hipokromik mikrositis, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi .

b. Anemia megaloblastik, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan asam folat dan vitamin B12.

Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang terjadi bila tubuh kehilangan banyak darah (baik karena perdarahan luka maupun menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001).

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan besi yang berbentuk feritin dan hemosiderin menurun dan absorbsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkuangnya zat besi dalam plasma.

Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah (eritropoesis) di dalam susmsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic) dan eritrosit mengecil (mycrocytic) dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998).

Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap seperti dikemukakan Sutaryo (2004), pertama terjadi penurunan simpanan

(4)

cadangan zat besi karena berbagai hal. Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal.

Pada tahap kedua cadangan zat besi sudah kosong dan semakin parah, besi dalam serum turun, total iron-binding capacity (TIBC) meningkat, hematokrit masih baik. Tahap ketiga ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun, TIBC meningkat, hemoglobin dan hematokrit menurun, juga disertai gejala klinis anemia.

Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman 2004).

Kecukupan zat gizi terutama Fe (besi) pada setiap individu berbeda-beda, kecukupan zat besi dikelompokkan berdasarkan umur, sesuai dengan Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1 Kecukupan Zat Besi Untuk Indonesia

Kelompok Umur Kecukupan Zat Besi (mg/hari)

Bayi (0-6 bulan) 0.5

Anak (1-3 tahun) 8.0

Anak (4-6 tahun) 9.0

Remaja (7-9 tahun) 10.0

Remaja laki-laki (10-12 tahun) 13.0

Remaja perempuan (10-12 tahun) 20.0

Remaja laki-laki (13-15 tahun) 19.0

Remaja perempuan (13-15 tahun) 26.0

Remaja laki-laki (16-18 tahun) 15.0

Remaja perempuan (16-18 tahun) 26.0

Dewasa laki-laki (19 tahun ke atas) 13.0 Dewasa perempuan (19 tahun ke atas) 26.0

Ibu hamil trimester 1 +0

Ibu hamil trimester 2 +9.0

Ibu hamil trimester 3 +13.0

Ibu menyusui +6.0

Sumber: Djoko Kartono dan Moesjianti Soekatri dalam Soekirman et al ( 2004).

Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya gabung) kuat dengan O2 dan dengan oksigen tersebut membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah, maka oksigen bisa dibawa dari paru- paru ke jaringan tubuh (Roosita, Uripi dan Nasoetion 2006). Ganong (2001)

(5)

mengatakan bahwa hemoglobin adalah molekul globuler yang dibentuk dari empat subunit. Tiap-tiap subunit mengandung hem yang bergabung dengan polipeptida. Hem adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi.

Polipeptida secara keseluruhan dinyatakan sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Terdapat dua pasang polipeptida pada tiap-tiap molekul hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipeptida pada tiap-tiap molekul hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipetida dan 2 mengandung polipetida lain. Menurut (Brody 1994), hemoglobin memiliki berat molekul 64500 dan tersusun atas empat sub unit. Dua sub unit disebut α-globin, dan dua lainnya disebut β-globin. Masing-masing sub unit mengandung sebuah grup heme yang dapat mengikat sebuah molekul oksigen. Atom besi yang terdapat dalam kelompok heme tersebut harus dalam bentuk fero untuk mengikat oksigen. Kadar hemoglobin (Hb) ± 15 g % (gram per dl darah).

Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah kedalam jaringan dalam tubuh. ion besi dalam bentuk Fe+2 dalam hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 gram oksigen. Kadar hemoglobin normal dalam darah untuk wanita usia subur adalah 12 g%. Cara penentuan kadar kadar hemoglobin yang dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin (Sediaoetama 2000). Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) adalah sebagai berikut :

Tabel 2 Batas Normal Kadar Hemoglobin (Hb)

Kelompok Kadar Hb ( g% )

Anak balita 11 g%

Anak usia sekolah 12 g%

Wanita dewasa 12 g%

Laki-laki dewasa 13 g%

Ibu hamil 11 g%

Ibu menyusui 12 g%

Sumber : WHO (2001) Gejala Anemia

Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan, sering mengeluh pusing, mata berkunang – kunang, kelopak mata pucat, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai, memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang

(6)

tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat.

Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004).

Yatim (2003) mengatakan bahwa gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.

Faktor Risiko Anemia

Banyak faktor yang ikut mempengaruhi kejadian anemia, antara lain pengetahuan tentang gizi yang kurang, konsumsi zat gizi yang kurang dari kebutuhan, dan penyakit infeksi. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa sepertiga dari remaja putri di Indonesia menderita anemia. Remaja putri secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap bulan. Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarkan sejumlah zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat besi untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin memiliki tubuh ideal. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih tinggi (Depkes 1998).

Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Cadangan besi dalam tubuh wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa bertambah hingga 1 mg. Penyebab anemia bermacam – macam, Affandi (1990) menyatakan bahwa menstruasi merupakan salah satu penyebab anemia.

(7)

Menstruasi merupakan suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari permukaan laut. Faktor yang penting lainnya adalah faktor sosial misalnya status perkawinan dan lamanya menstruasi ibu.

Anemia juga disebabkan karena perdarahan hebat, akut (mendadak), kecelakaan, pembedahan, persalinan, pecah pembuluh darah, kronik (menahun), perdarahan hidung, wasir (hemoroid), ulkus peptikum, kanker atau polip di saluran pencernaan, tumor ginjal atau kandung kemih dan perdarahan menstruasi yang sangat banyak (Depkes RI 2001). Kekurangan asupan bahan makanan yang mengandung zat besi menyebabkan anemia gizi besi, gangguan sumsum tulang mengakibatkan anemia aplastik. Pembentukan hemoglobin yang tidak normal sehingga pada thalasemia mengakibatkan masa hidup sel darah merah pendek hingga menyebabkan anemia.

Menurut Depkes (2003), penyebab anemia umumnya terjadi karena perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau gangguan penyerapan zat gizi oleh usus juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kekurangan darah. Adapun tiga kemungkinan dasar penyebab anemia adalah penghancuran sel darah merah yang berlebihan, kehilangan darah dan produksi sel darah merah yang tidak optimal.

Zat Besi (Fe)

Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Pengelolaan besi dalam tubuh sangat efisien, kurang lebih 90% di daur ulang dan digunakan kembali setiap harinya. Sisanya dieksresi, terutama lewat empedu. Konsumsi besi dalam makanan digunakan untuk mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Masukan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui tinja, air kencing dan kulit. Kehilangan basal ini kira-kira 14µg per kilogram berat badan per hari atau hampir sama dengan 0,9 mg zat besi pada laki-laki dewasa dan 0,8 mg bagi wanita dewasa, wanita usia subur, dan kehilangan zat besi melalui darah haid (Anderson 2000).

Absorbsi zat besi banyak terjadi di usus halus dengan bantuan transferin.

Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk

(8)

mengangkut besi lain. Sebagian besar transferin darah membawa besi ke sumsum tulang untuk digunakan membuat Hb, sebagai bagian sel darah merah.

Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Almastier 2004).

Bakta et al (2009) mengatakan bahwa, tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus kedalam tubuh diperlukan absorbsi besi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi kedalam tiga fase :

Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum

Fase mucosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses aktif

Fase corporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.

Sumber utama dari besi adalah hati, sumber yang lain diantaranya tiram, seafood, ginjal, jantung, daging, ayam dan ikan. Kacang-kacangan dan sayuran merupakan sumber zat besi dari pangan nabati. Makanan lain yang mengandung zat besi adalah kuning telur, buah-buahan kering, tepung dan sereal. Susu dan hasil olahnya sama sekali tidak mengandung zat besi dan kandungan besi dalam jagung juga sangat sedikit (Anderson 2000).

Palupi et al (2010) menyatakan bahwa kebutuhan zat besi remaja putri dengan kisaran usia 15-25 tahun, menurut Angka Kecukupan Gizi orang Indonesia (AKG 2005) adalah 26 mg. Untuk memelihara keseimbangan hemoglobin dalam darah terdapat feritin dan hemosiderin sebagai tempat penyimpanan zat besi. Apabila konsumsi zat besi dari bahan pangan tidak cukup, maka zat besi dari feritin dan hemosiderin dimobilisasi untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan normal. Feritin dan hemosiderin banyak ditemukan dalam organ hati, limfa dan sumsum tulang belakang.

Winarno (2002) mengatakan bahwa besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk yaitu : besi heme, terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya tinggi, tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi. Bentuk kedua yaitu besi non-heme, berasal dari tumbuh- tumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Fungsi zat besi bagi tubuh

(9)

antara lain : untuk metabolisme energi, kemampuan belajar, system kekebalan serta pelarut obat-obatan. Adapun kandungan zat besi yang terkandung di dalam beberapa bahan makanan antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 3 Kandungan zat besi dalam bahan makanan

Sumber : Winarno (2002)

WHO tahun 2000 menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus dikonsumsi sebaiknya berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh serta jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu kita. Jumlah besi yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg perhari. Untuk wanita masih ditambah 1,5 mg hilang karena menstruasi (Winarno 2002).

Remaja membutuhkan zat besi untuk menambah massa sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh. Remaja mempunyai resiko untuk mengalami defisiensi zat besi. Faktor yang sama penting dengan kandungan total zat besi di dalam makanan adalah persediaan zat besi yang dimakan, yaitu daya serapnya.

Berapa banyak zat besi yang secara efektif diserap oleh tubuh sangat bervariasi, tergantung banyak faktor diantaranya dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk kimianya, penyantapan bersama dengan faktor yang mempertinggi atau menghambat penyerapannya dan status zat besi individu (DeMaeyer 1995).

Menurut Siswono (2001), zat besi dapat dibagi menjadi dua jenis, jika ditinjau berdasarkan mekanisme penyerapannya. Dua jenis zat besi tersebut, yaitu :

1. Heme Iron :

Heme iron merupakan zat besi yang terdapat di dalam hemoglobin dan myoglobin. Sumber dari Heme Iron adalah daging-dagingan. Heme Iron diserap sebagai iron phorpyrin complex yang dipecah oleh enzim heme oxygenase di dalam sel mukosa usus. Senyawa ini akan meninggalkan sel mukosa dalam bentuk kimia yang sama dengan non heme iron. Kandungan heme di dalam heme iron dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan pada suhu tinggi dan

Bahan Makanan Zat besi (mg/100g)

Hati 6.0 – 14.0

Daging sapi 2.0 – 4.3

Telur ayam 2.0 – 3.0

Kacang-kacangan 1.9 – 14.0

Tepung gandum 1.5 – 7.0

Ikan 0.5 – 1.0

Beras 0.5 – 0.8

Umbi-umbian 0.3 – 2.0

Buah-buahan 0.2 – 4.0

Susu sapi 0.1 – 0.4

(10)

waktu yang lama sehingga berpengaruh terhadap bioavailabilitas heme iron.

Bioavailabilitas heme iron tidak dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan.

2. Non Heme Iron :

Senyawa ini secara alami terdapat di dalam daging, serealia, sayur dan buah- buahan. Bioavailabilitas non heme iron dipengaruhi oleh keberadaan senyawa inhibitor (phythate, tannin, dll). Penyerapan non heme iron akan semakin meningkat ketika kebutuhan tubuh akan zat besi juga semakin meningkat. Jika suplai zat besi dari makanan telah habis terserap maka proses penyerapan zat besi akan berhenti .

Kehilangan besi dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, lewat pendarahan, melalui feses, keringat serta pengelupasan kulit dan rambut. Besi yang keluar lewat feses adalah besi yang tidak dapat diserap dari asupan makanan dan hampir tiadak ada besi yang terbuang lewat urin. Rata-rata kehilangan besi tiap harinya adalah sekitar 1% pada laki-laki dewasa atau kurang 1% pada wanita yang sudah tidak menstruasi. Sedang rata-rata kehilangan besi pada wanita yang menstruasi sekitar 0.5 mg per hari (Anderson 2000).

Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat banyak didalam makanan, banyak penduduk dunia mengalami kekurangan zat besi, termasuk di Indonesia. Kekurangan zat besi berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan system kekebalan (Almatsier 2004).

Depkes (2003) mengatakan bahwa fungsi zat besi adalah sebagai pigmen pengangkut oksigen dalam darah. Sementara oksigen diperlukan untuk fungsi normal seluruh sel tubuh. Apabila darah kekurangan oksigen maka fungsi sel-sel di seluruh tubuh bisa terganggu.

Selain itu, zat besi menurut Almatsier (2004) mempunyai fungsi diantaranya adalah :

1. Metabolisme energi. Didalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah – langkah akhir metabolisme energi. Protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksgen, sehingga membentuk air.

Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. Sebagian besar besi berada di dalam hemoglobin, yaitu molekul protein mengandung besi dari sel darah merah dan

(11)

mioglobin dalam otot. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru – paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru – paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Menurunnya produktivitas kerja pada kekurangan besi disebabkan oleh dua hal yaitu berkurangnya enzim – enzim mengandung besi dan besi sebagai kofaktor enzim – enzim yang terlibat dalam metabolisme energi, kedua menurunnya hemoglobin darah. Akibatnya, metabolisme energi di dalam otot terganggu dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan rasa lelah.

2. Kemampuan belajar. Penelitian – penelitian di Indonesia oleh Soemantri (1985) dan Almatsier (1989) menunjukan peningkatan prestasi belajar pada anak – anak sekolah dasar bila diberikan suplemen besi. Beberapa bagian otak mempunyai kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang pada masa pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (pengantar saraf). Akibatnya, kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh terganggu.

3. Sistem kekebalan. Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.

Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel – sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonokleotida yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi.

4. Pelarut obat – obatan. Obat – obatan tidak larut air oleh enzim mengandung besi dapat dilarutkan hingga dapat dikeluarkan oleh tubuh (Almatsier 2004).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah

(12)

pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1988)

Menurut Suandi (2004), untuk pertumbuhan normal, tubuh memerlukan gizi yang memadai, kecukupan energi, protein, lemak dan suplai semua nutrient esensial yang menjadi basis pertumbuhan. Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Path (2004) mengatakan bahwa, agar menarche tidak menimbulkan keluhan-keluhan, sebaiknya remaja wanita mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, sehingga status gizinya baik.

Status gizi dikatakan baik apabila nutrisi yang diperlukan baik protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin maupun air digunakan oleh tubuh sesuai kebutuhan.

Tekanan fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja.

Remaja putra memiliki kebiasaan makan yang lebih baik daripada remaja putri.

Remaja putra cenderung memiliki nafsu makan besar dan kemampuan untuk mengkonsumsi pangan dalam jumlah besar sehingga kebutuhan akan zat gizi dapat terpenuhi. Kebiasaan makan yang buruk pada remaja putri dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas yang sedikit disebut sebagai faktor fisiologis dan tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja putri untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja putri sering mengalami kurang gizi (Arisman 2004).

Menurut survey yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali dengan jajanan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, pastry, serta permen. Sedangkan golongan sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C tidak popular atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat gizi lainnya. Selain itu, hasil survei menunjukan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan minum susu.

Jelliffe and Jelliffe (1989) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang mempengaruhi penggunaan makanan dalam tubuh, termasuk pencernaan dan absorpsi (bioavailabilitas). Pertama, campuran makanan dalam usus yang mungkin meningkatkan atau menghambat absorpsi. Kedua, dapat juga berhubungan dengan tahap kehidupan secara fisiologis. Sebagai contoh, ketika

(13)

hamil, berbagai zat gzi, diabsorpsi lebih baik. Ketiga, genetik mempengaruhi penggunaan makanan dan zat gzi secara individual. Beberapa faktor genetik dimana batas penggunaan makanan oleh tubuh telah diketahui, seperti laktose intolerance pada masa kanak-kanak biasanya nampak pengurangan produksi laktase pada usus secara genetik.

Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almastier 2004).

Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu : vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain : makanan yang mengandung tanin, fitat dan kalsium (Monsen et al 1978).

Konsumsi pangan dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya anemia.

Pangan yang dikonsumsi bila termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi dan mampu memberikan kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia.

Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et al (1978) mengatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong penyerapan Fe.

Estimasi zat besi bagi perempuan di indonesia yang tersedia sekitar 3% jika

(14)

vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg, 5% jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar 25-75 mg dan 8% jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar >75 mg.

Anemia gizi dapat disebabkan oleh konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing tambang memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah tertentu terutama daerah pedesaan. Anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor–

faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor tersebut saling berkaitan (Husaini 1989).

Yatim (2003) mengatakan bahwa sebagian besar anemia disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, terutama besi, vitamin B12 dan asam folat. Sebab yang lain adalah karena adanya pendarahan, kelainan genetik, penyakit kronis atau keracunan obat. Anemia karena tidak terpenuhinya asupan dari besi, protein dan beberapa vitamin (B12, asam folat, piridoksin dan asam askorbat), tembaga dan mineral yang lain disebut nutritional anemias. Defisiensi besi, atau kekurangan zat besi, dapat menjadi salah satu penyebab paling sering terjadi anemia.

Bioavailabilitas Besi

Kualitas zat besi dalam makanan atau dinamakan juga ketersediaan biologi zat besi (bioavailabilitas) harus diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001), bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi bervariasi dapat berkisar antara 1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan. Latunde & Nale (1986) mengatakan bahwa Bioavailabilitas zat besi didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan proses absorpsi zat besi dalam usus halus sehingga istilah bioavailibilitas zat besi dapat disamakan dengan absorpsi dalam usus.

Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non heme. Kecepatan penyerapan zat besi heme oleh tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi non heme, oleh karena itu bentuk non heme menyumbang kebutuhan zat besi tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak.

(15)

Absorbsi besi sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari bervariasi antara 5-10%. Untuk masyarakat yang banyak mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari hewani seperti di negara Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya absorbsi zat besi dari makanan yang di konsumsinya dapat berkisar antara 10- 20% sedangkan di negara-negara berkembang hanya berkisar antara 5-10% ( Almatsier 2004 ). Beberapa jenis bahan makanan memiliki persentase penyerapan zat besi yang berbeda. Winarno (2002) menyatakan bahwa beras memiliki persen penyerapan sebesar 1%, kedelai 6%, jagung 3%, ikan 11%, dan hati 13%.

Monsen et al (1978) mengatakan bahwa, estimasi zat besi yang tersedia dibagi menjadi tiga kategori yaitu dikatakan availabilitas rendah (low availability) jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg maka availability zat besinya sebesar 3%, dikatakan availabilitas sedang (medium availability) jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar 25-75 mg maka availability zat besinya sebesar 5%

sedangkan dikatakan availabilitas tinggi (high availability) bila vitamin C yang dikonsumsi > 75 mg maka availability zat besinya sebesar 8%.

Terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh yang berhubungan dengan ketersediaan zat besi secara biologis (Palupi et al 2010). Menurut Latunde & Neale (1986), faktor yang mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor endogen yaitu : kebutuhan tubuh, dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, yaitu : kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal dari bahan makanan.

Almatsier (2004) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam askorbat, konsumsi makanan sumber heme dan asam organik. Konsumsi pangan sumber besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat

(16)

mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali.

Pendorong Penyerapan Fe

Pangan yang dikonsumsi oleh setiap individu memiliki kandungan gizi yang berbeda, begitupun dengan vitamin dan mineral yang terdapat dalam pangan tersebut. Dalam proses absorpsinya, zat besi dipengaruhi oleh faktor pendorong penyerapan zat besi, faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi adalah asam askorbat dan suatu senyawa yang belum teridentifikasi namun terdapat di dalam daging, ikan dan unggas. Selain itu asam-asam organik juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya adalah: asam malat, sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Sebagai bahan pereduksi, asam askorbat akan melindungi zat besi dari pembentukan feri-hidroksida yang bersifat tidak larut. Selain itu juga dapat membentuk kelat Fe-askorbat yang bersifat tetap larut meskipun terjadi peningkatan pH dalam sistem pencernaan usus halus (Palupi et al 2010).

Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat penyerapan zat besi hanya terjadi apabila dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan. Pemberian asam askorbat 4-6 jam setelah mengonsumsi bahan pangan tidak akan berpengaruh terhadap penyerapan zat besi. Sebaliknya, asam askorbat yang dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan akan meningkatkan penyerapan sebesar 3-6 kali. Asam askorbat yang telah teroksidasi hampir tidak berpengaruh dalam memperkuat penyerapan zat besi. Selain itu, terdapat faktor dalam daging, ikan dan unggas (meat fish poultry (MFP) factor) yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi (Palupi et al 2010). Meat faktor berperan dalam meningkatkan penyerapan zat besi bentuk heme maupun non heme (Muchtadi et al 1992). Hal tersebut diduga karena faktor MFP akan bereaksi dengan senyawa-senyawa yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti fitat dan ion-ion hidroksil (Palupi et al 2010).

Faktor yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi : 1. Daging, ayam, ikan, dan makanan laut.

Daging-dagingan merupakan salah satu sumber zat besi (jenis heme iron dan non heme iron). Disamping itu, daging-dagingan juga dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh ketika dikonsumsi bersamaan dengan

(17)

makanan yang mengandung senyawa inhibitor bagi zat besi. Mekanisme dari peningkatan penyerapan zat besi karena daging-dagingan ini belum dapat diketahui secara pasti.

2. Asam askorbat (sayur dan buah)

Asam askorbat dapat mereduksi ferri (Fe3+) menjadi zat besi dalam bentuk ferro (Fe2+) sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus.

Selain itu asam askorbat dapat mencegah terjadinya pengendapan senyawa ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di dalam usus, 25-75 mg asam askorbat yang pertama kali dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap penyerapan zat besi (non heme iron).

3. Makanan terfermentasi

Makanan terfermentasi dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam tubuh, tetapi mekanismenya belum dapat diketahui secara pasti.

Faktor lain yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan besi. WHO (2001) mengatakan bahwa faktor yang menjadi pendorong penyerapan zat besi antara lain :

- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan dan sea food - Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan - Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap

Sumber zat besi yang baik adalah makanan hewani seperti : daging, ayam, ikan dan sumber lainnya seperti : telur, serealia tumbuk, kacang- kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan yang kaya akan vitamin C (Almatsier 2004).

Penghambat Penyerapan Fe

Senyawa-senyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan zat besi antara lain: tanin, fitat, polifenol, oksalat dan serat pangan. Tanin yang banyak terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak larut. Fitat pada kulit serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi. Penghilangan fitat dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga 3 kali (Palupi et al 2010).

(18)

Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi dengan beberapa mineral lainnya. Menurut Yuanita (2008) bahwa diet tinggi serat pangan memberi efek fisilogis yang positif, namun juga menyebabkan ketidaktersediaan mineral Fe terutama disebabkan karena kemampuan serat pangan mengikat Fe. Afinitas pengikatan Fe dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain komponen bahan pangan, proses pengolahan dan pH medium.

Pengikatan mineral oleh serat pangan dapat terjadi melalui beberapa pola interaksi yaitu adsorpsi permukaan, pertukaran kation dan pembentukan senyawa kompleks. Meskipun demikian, efek serat pangan terhadap penyerapan zat besi masih relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Palupi et al 2010).

Menurut WHO (2001) faktor penghambat penyerapan zat besi antara lain : - Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan - Makanan dengan kandungan inositol tinggi

- Makanan yang mengandung tannin seperti ; teh, kopi, dan coklat.

- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu.

Asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi (Almatsier 2004). Siswono (2001) mengatakan bahwa faktor lain yang menghambat penyerapan zat besi antara lain :

1. Phythate (inositol-hexa-phosphate)

Phythate secara alami terdapat dalam lapisan aleuron serealia, kacang- kacangan, beans, dan legum. Senyawa ini merupakan inhibitor bagi penyerapan zat besi. Phythate akan mengikat zat besi (non heme iron) dengan perbandingan 0.6 : 2.17 (Fe : Phythate)

2. Senyawa phenol

Senyawa phenol biasa terdapat di dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran) sebagai sistem pertahanan diri tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga membentuk chelat, sehingga dapat mengurangi bioavailabilitas zat besi. Asam chlorogenat (kopi) dan asam gallat merupakan contoh senyawa phenol yang dapat mengikat zat besi.

Oregano (rempah-rempah), yang digunakan dalam pembuatan pizza, dapat menurunkan penyerapan zat besi sebanyak dua kali lipat.

(19)

Status Gizi

Menurut Supariasa (2001) Status gizi merupakan suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang dinilai melalui proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data individu. Data tersebut bersifat obyektif dan subyektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data obyektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Penilaian status gizi dilakukan sebagai indikator untuk menentukan status gizi seseorang. Ada dua metode yang data dilakukan yaitu secara langsung dan tidak langsung. Metoda secara lagsung diantaranya dengan pengukuran antropometri, biokimia, biofisik dan klinik. Sedangkan tidak langsung diantaranya adalah mengukur konsumsi makan, ekologi, berdasar pada lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, dan vital statistik.

Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja lemak tubuh cenderung meningkat dan protein otot menurun. Berat badan menjadi pilihan utama karena :

mudah memperlihatkan perubahan dalam waktu singkat karena perubahan- perubahan konsumsi makanan dan kesehatan.

memberikan gambaran status gizi sekarang dan jika dilakukan secara periodic memberikan gambaran yang berkaitan dengan pertumbuhan.

merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan.

ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.

Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Tinggi badan merupakan ukuran antropometri kedua yang terpenting (Supariasa 2001).

Pengukuran IMT merupakan salah satu metoda pengukuran antropometri yang dapat dipakai dalam menentukan status gizi. IMT direkomendasikan sebagai indikator yang baik untuk memantau status gizi, baik yang kekurangan berat badan maupun yang kelebihan berat badan.

Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

(20)

Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U

Variabel Kategori

-3 ≤ z ≤ -2 Kurus

-2 ≤ z ≤ +1 Normal

+1 ≤ z ≤ +2 Gemuk

z > +2 Obese

Sumber : WHO (2007)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara oleh peneliti bahwa produktivitas bukan hanya dilihat dari aspek ratio input dan output berkas tetapi dilihat dari kedisiplinan para

Tabel 4 menunjukkan bahwa antara tahun dasar sampai tahun 2025 diasumsikan intensitas energi per rumah tangga meningkat, kemudian meningkat lagi tetapi dengan laju

semua penyebab yang berhubungan dengan suatu permasalahan, khususnya dalam hal ini adalah permasalahan yang dihadapi oleh UMKM di Kabupaten Nunukan., maka kendala yang dihadapi

[r]

Selain pengaruh dari setiap item pada masing- masing variabel, penyebab variabel kebutuhan prestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi secara parsial tidak

Untuk Kesaksian sebagai 'Stroke Survivor', Pelayanan dan Hobi ( Menulis dan Filateli

Tujuan Jepang melakukan tanam paksa atau Romusha yaitu, untuk persiapan perang Asia Timur Raya serta memenuhi kebutuhan tentara jepang, untuk lebih jelasnya lagi akan di bahas

Sistem koordinat yang dipakai oleh input adalah sistem koordinat layar komputer bukan sistem koordinat cartesius yang digunakan oleh Unistoke Kanji, sehingga untuk