• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI KEMAMPUAN JAMUR KERATINOLITIK YANG DIISOLASI DARI TANAH PETERNAKAN AYAM DAN KAMBING DALAM MENDEGRADASI LIMBAH BULU AYAM SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UJI KEMAMPUAN JAMUR KERATINOLITIK YANG DIISOLASI DARI TANAH PETERNAKAN AYAM DAN KAMBING DALAM MENDEGRADASI LIMBAH BULU AYAM SKRIPSI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KEMAMPUAN JAMUR KERATINOLITIK YANG DIISOLASI DARI TANAH PETERNAKAN AYAM DAN KAMBING DALAM MENDEGRADASI LIMBAH BULU AYAM

SKRIPSI

RANDI ARITONANG 140805028

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)

UJI KEMAMPUAN JAMUR KERATINOLITIK YANG DIISOLASI DARI TANAH PETERNAKAN AYAM DAN KAMBING DALAM MENDEGRADASI LIMBAH BULU AYAM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RANDI ARITONANG 140805028

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(3)

PERNYATAAN ORISINILITAS

UJI KEMAMPUAN JAMUR KERATINOLITIK YANG DIISOLASI DARI TANAH PETERNAKAN AYAM DAN KAMBING DALAM MENDEGRADASI LIMBAH BULU AYAM

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2020

Randi Aritonang NIM. 140805028

(4)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Uji Kemampuan Jamur Keratinolitik yang Diisolasi dari Tanah Peternakan Ayam dan Kambing dalam Mendegradasi Limbah Bulu Ayam

Kategori : Skripsi

Nama : Randi Aritonang

Nomor Induk Mahasiswa : 140805028

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Fakulltas : MIPA – Universitas Sumatera Utara

Disetujui di

Medan, Januari 2020

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Saleha Hannum, M.Si NIP. 197108312000122001

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc NIP. 196404091994031003

(5)

UJI KEMAMPUAN JAMUR KERATINOLITIK YANG DIISOLASI DARI TANAH PETERNAKAN AYAM DAN KAMBING DALAM

MENDEGRADASI LIMBAH BULU AYAM

ABSTRAK

Upaya untuk mendapatkan isolat jamur potensial dalam mendegradasi limbah bulu ayam telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menguji potensi jamur keratinolitik yang diisolasi dari tanah di sekitar peternakan ayam dan kambing dalam mendegradasi limbah bulu ayam. Jamur keratinolitik diisolasi dari tanah peternakan ayam dan peternakan kambing yang berada di Desa Bangun Sari, Kecamatan Serbajadi dan Desa Tanjung Putus Dusun II, Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai. Jamur keratinolitik diujikan aktivitas proteolitiknya pada media Skim Milk Agar. Uji kemampuan jamur keratinolitik dalam mendegradasi limbah bulu ayam menggunakan media Feather Meal Broth yang diinkubasi selama 10 hari.

Empat puluh enam isolat yang diperoleh dikarakterisasi berdasarkan warna koloni jamur. Delapan isolat jamur dengan kode isolat A2, A7, A12, A18, A29, A31, K1, dan K2 memiliki kemampuan dalam mendegradasi bulu ayam dengan perubahan berat bulu ayam 100%. Identifikasi jamur menggunakan ITS menunjukkan isolat K2 memiliki nilai kemiripan 98,22% dengan Microascus chartarus strain CBS 294.52 dan isolat A18 memiliki nilai kemiripan 100% dengan Penicillium citrinum strain 5110033.

Kata kunci: Degradasi, Identifikasi ITS, Jamur keratinolitk, Limbah bulu ayam

(6)

ASSAY OF KERATINOLYTIC FUNGI ISOLATED FROM CHICKEN AND GOAT LIVESTOCK SOIL TO DEGRADE

CHICKEN FEATHER WASTE ABSTRACT

An effort to get fungal isolate which are potential to degrade chicken feather has been conducted. This study aimed to identify and determine the potency of keratinolytic fungi isolated from chicken and goat livestock soil to degrade chicken feather waste. Keratinolytic fungi were isolated from chicken and goat livestock soil located in Desa Bangun Sari, Serbajadi District and Dusun II Desa Tanjung Putus, Pegajahan District, Serdang Bedagai. Keratinolytic fungi were tested for their proteolitic activity on skim milk agar. Keratinolytic activity was assayed using Feather Meal Broth medium incubated for 10 days. Forty-six isolates were characterized based on their morphology characteristic including colony shape and color the fungal colonies. Eight isolates encoded as A2, A7, A12, A18, A29, A31, K1, and K2 showed to have selectively high keratinolytic activities by totally reducing of chicken feather weight. Fungal identification based on their ITS rDNA region showed that K2 and A18 isolate was closely related to Microascus chartarus strain CBS 294.52 and Penicillium citrinum strain 5110033, with similarity of 98.22% and 100%, respectively.

Keywords: Chicken feather waste, Degrade , ITS identification, Keratinolitic fungi

(7)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Kemampuan Jamur Keratinolitik yang Diisolasi dari Tanah Peternakan Ayam dan Kambing dalam Mendegradasi Limbah Bulu Ayam”.

Saya mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya yang sudah berada disurga Switanto Aritonang (+) dan Rosinta Manurung (+), Oppung doli Bilson Aritonang (+) dan Oppung boru Dumaria Sitompul tercinta yang telah membesarkan saya dengan kasih dan sayang sehingga saya bisa menjadi seperti saat ini, I love you 3000 Oppung. Begitu juga buat seluruh keluarga Aritonang yang selalu memberi dukungan dan doa selama ini kepada saya. Terima kasih juga buat Kemristekdikti karena melalui program beasiswa Bidik Misi, saya bisa kuliah di USU dan memperoleh gelar S.Si, sebuah gelar yang tidak pernah saya mimpikan sebelumnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, waktu, dan perhatian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc.

dan Ibu Dr. Masitta Tanjung, M.Si. selaku anggota penguji I dan II yang telah banyak memberikan waktu, kritik dan saran demi penyelesaian dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat-Nya atas segala kebaikan dan kemurahan hati Bapak dan Ibu.Terima kasih kepada Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si. selaku dosen penasehat akademik. Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku Ketua program studi Biologi dan Bapak Riyanto Sinaga, M.Si selaku Sekretaris program studi Biologi, serta Bapak dan Ibu Dosen, serta Staf lainnya Program Studi Biologi FMIPA USU.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang kakak asuhku tercinta (bg Aditiya Bungsu, bg Samuel Alfredo, dan kak Listoana Banjarnahor) serta kakak asuh 2012 lainnya kk Nolo, kak Yola, kk Rita, bg David, bg Agustono, kak Melda, bg Agung, kk Zuzu serta kakak abg lainnya yang telah memberikan motivasi belajar dan kehidupan selama di biologi. Bg Aan, bg Reza, bg Jendri terima kasih sudah memberikan waktunya dikala ada kesulitan saat penelitian di laboratorium.

(8)

Abg kakak S2 Biologi (bg Lukas , bg Faisal, bg Yusfi, kak Renta, kak Suryani, Kak Anisa, Kak Ayu, kak Adel, kak Febri, kak Irma, kak Tika dll) terima kasih buat canda tawa, diskusi, perhatiannya juga selama ini karena sudah dianggap sebagai keluarga di laboratorium mikrobiologi. Terima kasih juga buat keluarga asisten mikrobiologi bg Jo, kak Ira, kak Vina, Irfan, Ruth, Jema, Marvelyn, Betri, Novita, Wita, Jetor, Ando, Anna, Cege, Edy, Diki, dan Nusaibah yang sudah beberapa tahun ini menjadi tempat berbagi ilmu dan keluh kesah, terima kasih buah moment2 canda tawa, marah2nya dan diskusi yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih solid satu sama yang lain.

Terima kasih juga kepada teman-teman GENOM angkatan 2014 khususnya Listra, Aris, Taupik, Bagus, Dita, Dhai, Dini, Evi, Kurnia, Dodoy, Maura, Rahmi, Mey, Indah, Natalia, Metti, Corry, Dina, Winda, Muha, Rince, Aisah, Mumut dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan, arahan serta kenangan masa perkuliahan yang tidak terlupakan. Adek asuh 2016 (Cege, Edy, Diki, Ibu Vini, Fanny, Rika Aurora, Ilmal, Silvia, Pegi, Siti, Cindy, Melati, Pretty, Gideon, Santi, Emilya, Elya, Mustika dan lainnya yang tidak bisa dituliskan satu persatu. Teman2 (Hema, Merika, Rasmindo, Herman, Hendika, Evitasari dll) dan guru2 SMA N 1 Dolok Masihul, Serdang Bedagai, terima kasih buat motivasinya yang menyakinkan saya untuk mencoba SNMPTN. Luar biasa memang support kalian semua.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil penelitian ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan hasil penelitian ini. Demikian yang dapat penulis sampaikan, atas perhatian dan saran yang telah diberikan penulis ucapkan banyak terima kasih.

Medan, Januari 2020

Randi Aritonang

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN SKRIPSI i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

PENGHARGAAN iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Hipotesis 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keratin 4

2.2 Limbah Bulu Ayam 4

2.3 Degradasi Keratin 6

2.4 Mikroorganisme Keratinolitk 7

2.5 Identifikasi Jamur Keratinolitik 8 BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 9

3.2 Preparasi Bulu Ayam 9

3.3 Isolasi Jamur Keratinolitik 9

3.4 Pengukuran Diameter Zona Bening Hasil Degradasi Isolat Jamur

10 3.5 Pengukuran Potensi Jamur Keratinolitik 10

3.6 Identifikasi Jamur Keratinolitk 11

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Jamur 13

4.2 Pengukuran Zona Bening Isolat Jamur 16

4.3 Pengukuran Potensi Jamur Keratinolitik 19

4.4 Karakterisasi Secara Morfologi dan Identifikasi Molekuler Isolat Jamur Keratinolitik Menggunakan Primer ITS1 dan ITS4

24

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 29

5.2 Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 34

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

2.1 Tabel Kandungan Asam Amino Pada Bulu Ayam 6 4.1 Karakterisasi Koloni Isolat Jamur Keratinolitik 15 4.2 Zona Bening Isolat Jamur Keratinolitik dari Tanah

Peternakan Ayam dan Kambing 17

4.3 Berat Akhir Bulu Ayam setelah Masa Inkubasi 10

hari 21

4.4 Jumlah Asam Amino yang Dilepaskan 23

4.5 Hasil Identifikasi Isolat Berdasarkan Gen

Penyandi ITS 26

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

4.1 Hasil Isolasi Jamur Pada Media SMA 13

4.2 Beberapa Isolat yang Diperoleh 16

4.3 Diameter Zona Bening Isolat Jamur 18

4.4 Hasil Uji Biodegradasi Limbah Bulu Ayam Setelah Masa Inkubasi 10 Hari

20 4.5 Morfologi Makroskopis dan Mikroskopis Isolat

Jamur A18

24 4.6 Morfologi Makroskopis dan Mikroskopis Isolat

Jamur K2

25

4.7 Elektrogram DNA Genom Hasil Isolasi 25

4.8 Elektrogram Hasil Amplifikasi Isolat Jamur K2 dan A18

26 4.9 Pohon Filogenetik Isolat Jamur A18 dan K2 27

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1. Alur Kerja Penelitian 34

2. Komposisi Media 35

3. Profil Fasta Text Hasil Sequensing ITS Isolat Jamur Keratinolitik

36

4. Kurva Standart Tirosin 37

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mikrooganisme keratinolitik merupakan kelompok mikroorganisme yang mampu menghasilkan enzim spesifik berupa keratinase. Keanekaragaman dari kelompok mikroorganisme keratinolitik telah banyak dilaporkan dan dipelajari dalam kemampuannya menghasilkan keratinase. Keratinase diketahui dapat diproduksi dari 3 kelompok mikroorganisme yaitu, bakteri, jamur dan kelompok Aktinomycetes (Brandelli et al., 2010). Penelitian uji kemampuan mikroorganisme kerationolitik akhir-akhir ini banyak diminati untuk mencari sumber isolat potensial dalam mendegradasi limbah keratin khususnya bulu ayam.

Bungsu (2018) berhasil mengisolasi 19 isolat bakteri keratinolitik dari 3 lokasi yang berbeda yakni kulit ular, tanah di sekitar rumah penyamakan kulit hewan dan limbah penangkaran ular. Dua isolat yang paling potensial dalam mendegradasi limbah bulu ayam diidentifikasi berdasarkan gen 16s rRNA bakteri yaitu Enterobacter tobaci strain YIM Hb-3 dan Aeromonas media strain RM. Uji degradasi limbah bulu ayam dengan menggunakan jamur juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Kumar dan Kushwaha (2014), telah berhasil mendegradasi limbah bulu ayam dengan menggunakan jamur yang diisolasi dari berbagai tanah dengan metode umpan rambut (hair baiting method). Berbagai jenis jamur telah diketahui mampu memproduksi enzim hidrolitik untuk mendegradasi bulu unggas dan memiliki aktivitas keratinolitik adalah Acremonium strictum, Chrysosporium indicum, C. tropicum, Penicillium griseofulvum, Malbranchea sp., Myceliophthora fergussi, Aspergillus sp. dan Gymnoascus intermedius.

Permasalahan dalam pemanfaatan limbah bulu ayam disebabkan oleh adanya keratin. Keratin merupakan protein fibrous yang kaya sulfur dan banyak terdapat pada rambut, kuku dan semua produk epidermal (Haurowitz, 1984). Keratin tersusun atas 14% ikatan disulfida sehingga menjadi sangat stabil, kaku, dan tidak dapat dicerna dengan baik oleh enzim proteolitik seperti tripsin, pepsin, dan papain yang terdapat dalam organ pencernaan (Brandelli, 2008; Mazotto et al., 2011). Puastuti

(14)

2

(2007) meskipun material keratin tidak larut dan sulit didegradasi, keratin dapat didegradasi oleh keratinase dari mikroorganisme yang hidup di alam.

Jamur yang menghasilkan keratinase telah menarik perhatian para ahli bioteknologi lingkungan karena jamur dapat tumbuh pada substrat biaya rendah dan mengeluarkan sejumlah besar enzim ke dalam medium kultur yang dapat mempermudah proses pengolahan limbah (Anbu et al., 2005; Friedrich et al., 2005).

Biodegradasi keratin oleh mikroorganisme yang memiliki aktivitas keratinolitik merupakan metode alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai limbah keratin dari bulu ayam. Aplikasi keratinase tidak hanya terbatas untuk mengatasi limbah bulu ayam, namun enzim ini juga dipakai pada industri tekstil, pakan ternak, farmasi kosmetik, dan industri kulit (Panuju, 2003)

Jamur keratinolitik telah banyak dilaporkan mampu mendegradasi limbah bulu ayam, namun eksplorasi jamur keratinolitik masih sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan sumber isolat potensial lainnya seperti tanah di sekitar kandang ayam dan kandang kambing. Kedua sumber isolat tersebut diduga terdapat sumber isolat jamur keratinolitik yang sangat potensial dalam mendegradasi limbah bulu ayam karena bulu ayam dan rambut kambing yang tersusun dari keratin berjatuhan atau rontok ke tanah di sekitar kandang ayam dan kambing.

Mikroorganisme seperti jamur yang berada di sekitar tanah peternakan diasumsikan mampu menguraikan keratin karena menghasilkan keratinase. Sinoy et al., (2011) menyatakan bahwa keratinase akan dihasilkan jika terdapat subtrat keratin di lingkungannya. Garg et al., (1985) memaparkan dalam penelitiannya bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan jamur keratinolitik di lingkungan misalnya tercemarnya tanah karena adanya limbah keratin. Jamur keratinolitik biasanya ditemukan dalam berbagai jenis ekologi pada lingkungan seperti taman bermain, pusat rekreasi, peternakan unggas, kandang sapi/domba, kandang kuda, kebun binatang, dan berbagai tempat lainnya yang terdapat aktivitas manusia dan hewan.

1.2 Permasalahan

Keratin yang terdapat pada bulu ayam sulit didegradasi karena memiliki ikatan disulfida, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik pada struktur keratin yang

(15)

3

menyebabkan keratin sangat kaku dan stabil. Sulitnya degradasi bulu ayam di lingkungan menjadi faktor utama untuk mencari alternatif degradasinya seperti eksplorasi jamur keratinolitik.

1.3 Hipotesis

a. Terdapat berbagai jenis jamur keratinolitk dari tanah di sekitar kandang ayam dan kambing

b. Jamur yang hidup di sekitar tanah peternakan ayam dan kambing menghasilkan keratinase untuk mendegradasi keratin.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi jamur keratinolitik yang diisolasi dari tanah di sekitar peternakan ayam dan kambing serta mengidentifikasi jamur keratinolitik yang berpotensi dalam mendegradasi limbah bulu ayam.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat jamur keratinolitik yang berpotensi dalam mendegradasi limbah bulu ayam sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan.

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keratin

Keratin adalah suatu kelompok protein yang sangat khusus diproduksi sel epitel tertentu dari hewan bertulang belakang menjadi lapisan tanduk kulit luar serta epidermal tambahan seperti rambut, kuku dan bulu ayam. Secara umum keratin serupa dengan komponen protein lainnya. Bahan yang mengandung keratin melimpah di alam tetapi memiliki kegunaan yang terbatas karena tidak larut dan tahan terhadap degradasi oleh enzim proteolitik (Kim dan Patterson, 2000).

Bulu ayam mengandung protein keratin dengan struktur α-helik. Material lain yang kaya protein α-keratin adalah rambut, wool, sayap, kuku, cakar, duri, sisik, tanduk, kulit penyu, dan lapisan kulit sebelah luar, sedangkan material yang kaya dengan protein β-keratin adalah sutra, bulu, dan jaring laba-laba (Lehninger, 1982).

Berdasarkan tingkat kemudahan hidrolisis, keratin digolongkan menjadi soft keratin dan hard keratin. Kuku, sisik, bulu, atau wol lebih mudah dihidrolisis dibandingkan dengan rambut manusia, kemudahan tersebut berkaitan dengan kandungan sisteinnya (Kunert, 2000). Kandungan sistein pada protein keratin berkisar 14% dengan disulfida sebagai jembatan antar molekul (West dan Todd, 1961).

2.2 Limbah Bulu Ayam

Bulu ayam merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari industri rumah pemotongan ayam (RPA). Peningkatan industri peternakan ayam turut menaikkan usaha pemotongan ayam yang berdampak pada peningkatan limbah industri (Mulia et al., 2015). Limbah bulu ayam yang tidak dimanfaatkan dan dibuang begitu saja di lingkungan sekitar RPA dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. Dampak lainnya akan menjadi tempat bersarangnya penyakit dan biasanya sangat mengganggu kesehatan manusia (Periasamy dan Subash, 2004). Usaha yang ada saat ini sebagai upaya penanganan terhadap limbah bulu ayam hanya berupa pembuangan langsung ke lingkungan, pemendaman, land fiiling atau pembakaran. Upaya penanganan tersebut akan menyebabkan timbulnya masalah baru berupa harus adanya

(17)

5

pengontrolan emisi dan pembuangan abu. Jika hal ini terus dibiarkan dan terus bertambah seiring waktu tanpa adanya pengelolaan yang baik maka akan menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan yang semakin luas (Joshi et al., 2007).

Menurut Savitha et al., (2007), bulu ayam mengandung 90% protein dengan komponen beta-keratin, fibrous dan struktur protein yang kokoh dari ikatan disulfida.

Komponen tersebut sangat sulit terdegradasi di lingkungan, sementara limbah bulu ayam sangat banyak diproduksi oleh industri peternakan ayam. Limbah ini terus meningkat seiring peningkatan populasi ayam. Pencemaran lingkungan akibat limbah bulu ayam dapat diatasi melalui bantuan mikroorganisme sebagai dekomposer atau sebagai pengurai di lingkungan. Penggunaan mikroorganisme dalam mendegradasi limbah bulu ayam merupakan upaya menjaga stabilitas lingkungan dari pencemaran.

Bulu ayam berpotensi sebagai pakan ternak karena produksinya berlimpah yang memiliki kandungan protein yang sangat tinggi sekitar 76% sampai 87%

(Papadopaulus et al., 1985). Perlakuan secara fisik meliputi perlakuan hidrotermal dengan pengaturan suhu dan tekanan yang sangat tinggi sedangkan perlakuan kimia dapat dilakukan dengan penambahan senyawa kimia yakni dengan penambahan asam kuat berupa HCl dan basa kuat berupa NaOH pada konsentrasi yang sangat tinggi (Chai dan Zheng, 2009). Proses ini selain membutuhkan energi membutuhkan energi yang cukup besar, juga dapat merusak sejumlah asam amino yang terkandung didalamnya (Panuju, 2003).

Perlakuan dengan menggunakan mikrooorganisme keratinolitik dengan memanfaatkan keratinase untuk mendegradasi keratin telah dilakukan oleh Williams et al., (1991). Berdasarkan data yang diperoleh dari aktivitas jamur Cuninghamella spp. mampu menguraikan bulu ayam yang sudah dihaluskan berupa tepung bulu ayam dengan cara difermentasi selama 11 hari sehingga konsumsi nitrogen meningkat sebesar 49,19%. Setyabudy (2015), melakukan penelitian aktivitas A.

niger pada tepung bulu ayam menggunakan Solid State Fermentation (SSF). Hasil penelitian yang diperoleh bahwa A. niger mampu meningkatkan kadar protein substrat keratin tepung bulu ayam (TBA-2) sebesar 79,6% setelah perlakuan fermentasi secara SFF. Aspergillus niger memiliki waktu produksi enzim yang optimum pada proses fermentasi (SFF) selama 6 hari yaitu dengan pelepasan kadar

(18)

6

tirosin sebesar 156,125 µg/ml dan aktivitas enzim sebesar 11,97 mU/ml Berikut merupakan tabel kandungan asam amino yang terdapat pada bulu ayam.

Tabel 2.1 Kandungan Asam Amino Pada Bulu Ayam

Asam Amino Jumlah Kandungan Nutrisi (%)

Saravanan (2012) Gupta et al., (2012)

Arginin 4,30 6,57

Asam aspartate 6,00 4,76

Glutamin 7,62 9,18

Glisin - 7,57

Theronin 4,00 4,11

Serin 16,00 13,57

Tirosin 1,00 1,85

Leusin 2,62 7,48

Isoleusin 3,32 4,93

Valin 1,61 7,24

Sistein 8,85 2,11

Alanin 3,44 3,66

Fenilalanin 0,86 4,11

Metionin 1,02 0,025

Prolin 12,0 1,01

Asparagin 4,00 -

Histidin - 0,016

2.3 Degradasi Keratin

Keratin dapat dirombak dengan kelompok protease. Keratinase termasuk kelompok protease yang dapat menghidrolisis keratin dengan memecah ikatan sistin disulfida pada keratin, sehingga memainkan peranan penting dalam perombakan keratin menjadi protein sederhana (Sun dan Lee, 2001). Bagi mikroorganisme keratinolitik, keratin yang mengandung banyak asam amino sistein dimanfaatkan sebagai sumber sulfur, karbon, dan nitrogen. Kadar sistin dalam rambut atau bulu beberapa spesies mahluk hidup di alam sangat bervariasi dan kadar sistin tersebut menentukan tingkat kesulitan degradasi rambut/bulu oleh mikroba (Kunert, 2000).

Banyaknya ikatan disulfida pada struktur keratin tampaknya menstimulasi sel untuk mensekresikan enzim disulfida reduktase sebagai proses awal membuka struktur keratin. Terbukanya struktur keratin menyebabkan keratinase lebih mudah mengakses peptida target pada molekul keratin dan menyempurnakan proses degradasi sehingga nutrisi keratin dapat dimanfaatkan oleh sel. Kandungan sistein pada keratin berkisar antara 11-20% dan tidak dimiliki oleh jenis protein lainnya.

Jembatan sistein adalah struktur penting keratin dan merupakan penghambat kerja enzim proteolitik dalam memecah keratin. Berdasarkan strukturnya, maka proses

(19)

7

degradasi keratin memerlukan keratinase dan disulfida reduktase atau senyawa perekduksi. Keratinase akan memotong ikatan peptida keratin sedangkan disulfida reduktase atau senyawa pereduksi akan menguraikan ikatan disulfida pada residu sistein (Rahayu, 2010).

Menurut Kunert (2000), degradasi keratin pada jamur diduga merupakan hasil kerja tiga faktor yaitu “deaminasi” (menghasilkan lingkungan alkali yang dibutuhkan untuk pengembangan substrat, sulphitolysis, dan aksi proteolitik);

“sulphitolysis” (denaturasi substrat dengan memutus jembatan disulfida) dan

“proteolisis” (pemotongan substrat yang telah terdenaturasi menjadi produk terlarut).

Deaminasi dianggap sebagai tahapan terpenting dalam proses degradasi keratin oleh mikroorganisme keratinolitk sehingga menyebabkan peningkatan pH (Kunert, 2000;

Kaul dan Sumbali, 1997).

2.4 Mikroorganisme Keratinolitik

Mikroorganisme keratinolitik adalah mikroba penghasil keratinase, protease spesifik yang mampu mendegradasi substrat yang mengandung keratin (Onifade et al., 1998). Keratin yang mengandung banyak asam amino sistin dimanfaatkan oleh mikroorganisme keratinolitik sebagai sumber sulfur, karbon, dan nitrogen. Kelebihan sulfur akan dikurangi dengan cara dioksidasi menjadi sulfat inorganik dan disekresikan ke dalam medium pertumbuhan. Melalui cara tersebut sebanyak lebih dari 90% sulfur organik diubah menjadi sulfat (Kunert, 2000).

Beberapa mikroorganisme keratinolitk yang telah dilaporkan menghasilkan keratinase yang tergolong dalam kelompok bakteri yakni Enterobacter tabaci strain YIM Hb-3 dan Aeromonas media strain RM (Bungsu, 2018), Stenotrophomonas sp.

(Yamamura et al., 2002), Bacillus licheniformis (Ichida, 2001), A. hydrophila, Serratia marcescens (Bach et al., 2011) dan beberapa dari kelompok jamur yang diisolasi dari tanah meliputi Acremonium spp., C. indicum, C. keratinophilum, C.

tropicum, C. pannicola, C. spp., Culvularia sp., Engiodontium album, Fusarium spp., Malbranchia spp., M. gypseum, Paecilomyces lilacinus, Sepedonium spp., Trichophyton ajelloi, T. terrestre, Ulocladium spp. (Kachuei et al., 2012).

(20)

8

2.5 Identifikasi Jamur Keratinolitik

Identifikasi jamur dilakukan oleh para peneliti berdasarkan morfologi dan fisiologi jamur tersebut. Tingkat keakuratan identifikasi tersebut rendah karena beberapa jamur dalam satu genus yang berasal dari pohon yang berbeda dapat diduga sebagai satu spesies karena kemiripan morfologi dan fiosiologi. Identikasi secara molekuler perlu dilakukan untuk tingkat keakuratan yang lebih tinggi. Salah satu metode yang digunakan adalah metode berbasis Polimerase Chain Reaction (PCR).

Metode PCR merupakan metode untuk mengamplifikasi DNA (Deoxyribonucleic Acid) secara in vitro untuk mensintesis asam nukleat dengan menggunakan utas ganda DNA sebagai template. Metode ini terbukti cepat, akurat efisien dibandingkan dengan metode konvensional. Penelitian ini menggunakan amplifikasi dengan metode PCR pada ITS rDNA karena daerah ITS (Internal Transcribe Spacer) ini mempunyai variasi yang tinggi antar spesies dalam satu genus (White, 1990).

DNA ribosom (rDNA) merupakan daerah DNA inti yang menyandikan DNA ribosom. Ribosom merupakan makromolekul intra sel yang menghasilkan protein atau rantai-rantai polipeptida. Ribosom sendiri terdiri dari protein dan rRNA. DNA ribosom dan pemisahnya terdapat dalam suatu kluster gen (biasanya 8-12 kb) yang berulang beberapa kali (Miclos et al., 2003)

Daerah DNA pengkode yang sangat terkonservasi (18S, 28S rDNA) merupakan daerah evolusi utama yang sering digunakan sebagai pembanding tingkat spesies dan genus terkait. Setiap unit rDNA dalam satu rangakaian kromosom memiliki daerah pengkode yaitu 18S, 5,8S, dan 28S yang mengapit ITS1 dan ITS2 (Soltis et al., 1998). Pada bagian antara daerah 18S dan daerah 5,8S terdapat beberapa ratus pasang basa DNA yang disebut ITS1 dan diantara daerah 5,8S dengan 28S terdapat daerah ITS2. Daerah ITS mempunyai kelebihan dibandingkan dengan daerah molekuler target lain, diantaranya yaitu memiliki tingkat sensitifitas tinggi karena mempunyai sekitar 100 ulangan dalam genom. Daerah ITS juga memiliki laju evolusi yang tinggi dan terdapat pada semua gen rDNA eukariot (Jorgensen et al., 1987).

(21)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2019 di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Lokasi pengambilan tanah peternakan ayam berada di Desa Bangun Sari, Kecamatan Serbajadi dan tanah peternakan kambing yang diperoleh dari Desa Tanjung Putus Dusun II, Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai

3.2 Preparasi Bulu Ayam

Limbah bulu ayam broiler diambil dari tempat pemotongan ayam yang ada di pasar. Bulu ayam dibersihkan dengan menggunakan air dan direndam dengan deterjen selama 30 menit. Bulu ayam dicuci kembali dengan menggunakan air. Bulu ayam dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kondisi bulu ayam kering. Bulu ayam dikeringkan kembali dengan menggunakan oven pada suhu 60 0C selama 24 jam (Mini et al., 2015) yang telah dimodifikasi.

3.3 Isolasi Jamur Keratinolitik

Sampel diambil dari tanah di sekitar peternakan kandang ayam di Desa Bangun Sari, Kecamatan Serbajadi dan tanah di sekitar peternakan kandang kambing yang diperoleh dari desa Tanjung Putus Dusun II, Kecamatan Pegajahan, Serdang Bedagai. Isolasi jamur dilakukan dengan menggunakan media Skim Milk Agar (SMA) (Widhyastuti dan Dewi, 2001). Sampel yang telah diambil selanjutnya dilakukan pengenceran berseri dengan menggunakan larutan fisiologis (NaCl 0,9%) hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 10-6. Hasil pengenceran selanjutnya diisolai dengan menggunakan metode cawan sebar, yakni dengan menginokulasikan 0,1 mL larutan dari masing-masing seri pengenceran tersebut. Hasil isolasi kemudian diinkubasi selama 3 hari pada suhu ambien, lalu diamati zona bening yang terbentuk

(22)

10

di sekitar koloni. Jamur yang menghasilkan zona bening di sekitar koloni dimurnikan dengan menggunakan media SMA.

3.4 Pengukuran Diameter Zona Bening Hasil Degradasi oleh Isolat Jamur Keseluruhan biakan murni isolat jamur akan diukur kemampuan aktivitas proteolitiknya. Isolat jamur dipotong dengan menggunakan cork borer, selanjutnya diinokulasikan pada media SMA dan diinkubasi selama 6 hari. Pengukuran diameter zona bening dan diameter koloni jamur akan dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-6 dengan menggunakan jangka sorong.

3.5 Pengukuran Potensi Jamur Keratinolitik

Pengukuran potensi isolat jamur keratinolitik dalam mendegradasi limbah bulu ayam dilakukan dengan menggunakan metode Matikevičienė et al., (2009) yang telah dimodifikasi (Lampiran 2). Media Feather Meal Broth (FMB) dimasukkan sebanyak 100 mL ke dalam erlenmeyer yang telah berisi limbah bulu ayam (remiges dan retrices) sebanyak 0,5 gram untuk selanjutnya disterilisasikan. Keseluruhan isolat jamur yang menunjukkan adanya aktivitas proteolitik diuji kemampuannya dalam mendegradasi limbah bulu ayam. Isolat jamur dipotong dengan menggunakan cork borer nomor 4 diinokulasikan pada media FMB yang telah disterilkan sebelumnya.

Erlenmeyer yang telah berisi media FMB, limbah bulu ayam, serta 5 potongan jamur diinkubasi selama 10 hari pada suhu ambien ± 28 0C dalam kondisi digoncang 120 rpm dengan menggunakan orbital shaker. Setelah 10 hari inkubasi, setiap perlakuan dengan jamur akan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.42 sedangkan media cair selanjutnya disentrifugasi untuk memisahkan antara sisa limbah bulu ayam (pelet) dan fase cair (supernatan) dari kultur pertumbuhan. Limbah bulu ayam hasil degradasi akan dipisahkan dengan hifa jamur, dikeringkan pada suhu 80 0C sampai beratnya kostan (± 48 jam) untuk mengetahui penurunan berat kering limbah bulu ayam. Bulu ayam yang sudah terdegradasi dengan sempurna atau tidak ditemukan sisa bulu ayam maka berat akhir akan dinyatakan nol.

(23)

11

Fase cair (supernatan) hasil penyaringan akan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan pindahkan ke tabung sentrifugasi yang baru dan ditambahkan trichloroacetic acid (TCA) 0,1 M. Perbandingan supernatan dan TCA 0,1 M yaitu 2:1. Campuran tersebut akan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diukur pada panjang gelombang 280 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui kadar asam amino hasil degradasi limbah bulu ayam yang dapat larut dalam media cair tersebut. Kurva standart tirosin (Lampiran 4) akan digunakan untuk mengetahui jumlah asam amino yang dihasilkan dalam uji degradasi limbah bulu ayam (Permatasari, 2015) yang telah dimodifikasi.

 Penurunan Berat Bulu Ayam = Berat Kering Awal−Berat Kering Akhir

Berat Kering Awal x 100%

3.6 Identifikasi Jamur Keratinolitik

Identifikasi jamur keratinolitik dilakukan secara makroskopis, mikroskopis dan molekuler. Identifikasi secara makroskopis dilakukan dengan melihat karakteristik morfologi seperti warna miselium sedangkan pengamatan secara mikroskopis meliputi bentuk hifa dan konidia/spora.

Identifikasi jamur secara molekuler dengan cara menumbuhkan jamur keratinolitik pada media PDA dan diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu 29 0C.

Miselium jamur dipanen sebanyak 40 gram dan dipindahkan ke 600 µL Nucleic Lisis Solution. Sampel digerus dan DNA diekstraksi dengan Mini Kit Promega (Sesuai Protocol Promega). Miselium jamur dihomogenkan dengan cara inkubasi selama 15 menit 60 0C dengan menggunakan Thermomixer dan didinginkan sampai suhu ruang 29 – 30 0C. Protein Presipitation Solution ditambahkan sebanyak 200 µL, divorteks selama 5 detik dan disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 13.000 xg.

Supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru yang berisi 600 µL isopropanol, kemudian dihomogenkan dan disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 13.000 xg. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung yang berisi 600 µL etanol 70% dan disentrifugasi kembali (2 menit, 13.000 xg). Supernatan dibuang dan endapan yang terbentuk dikeringanginkan. DNA Rehydration Solution ditambahkan sebanyak 50

(24)

12

µL ke dalam tabung yang terdapat endapan dan divorteks selama 5 detik. RNAse solution ditambahkan sebanyak 0,5 µL dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37

0C. DNA disimpan pada freezer untuk digunakan selanjutnya. Kualitas dan jumlah kosentrasi DNA ditentukan dengan Nanophotometer pada nilai absorbansi 260/280 nm dan hasil isolasi DNA dianalisis secara elektroforesis pada 80 volt selama 1 jam dengan menggunakan media gel agarosa 1% dengan buffer TAE 1X dan diwarnai dengan 1 μL ethidium bromide.

Amplifikasi DNA daerah ITS rDNA menggunakan penelitian dari Fu et al., (2012) yang telah dimodifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan menggunakan primer ITS1 (TCCGTAGGTGAACCTGCGG), primer ITS4 (TCCTCCGCTTATTGATAT- GC). Komposisi PCR berjumlah 60 μL yang terdiri dari 30 μL GoTaq, 18 μL Nuclease Free Water, 3 μL primer ITS 1 (pmol/ μL), 3 μL primer ITS 4 (pmol/μL), 6 μL DNA template. Bahan campuran reaksi PCR dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 0,2 mL. Mesin PCR diprogram dan dijalankan pada kondisi pradenaturasi 95 oC selama 5 menit, 35 siklus proses amplifikasi dilakukan untuk memperbanyak pita DNA amplicon dengan kondisi denaturasi 95 oC selama 1 menit, anneling 55 oC selama 35 detik, elongasi 72 oC selama 30 detik dan dilanjutkan dengan final extention 72 oC selama 7 menit. Sampel DNA hasil amplifikasi kemudian divisualisasikan melalui proses elektroforesis.

Gel eletroforesis disiapkan dengan menggunakan 1% agarosa (1 gram agarosa dalam 100 mL TAE 1X). Larutan tersebut dipanaskan dan distirer, setelah larut kemudian didinginkan untuk selanjutnya ditambahkan 1 μL ethidium bromide sambil dihomogenkan. Larutan tersebut kemudian dituang pada cetakan gel dan dibiarkan hingga memadat. Wadah yang berisi gel yang telah memadat ditambahkan larutan TAE 1X hingg a gel terendam. Marker atau penanda molekul DNA 100 kb dan sampel DNA dimasukkan pada setiap sumur gel. Elektroforesis dilakukan pada kondisi 80 volt selama 1 jam, selanjutnya dideteksi dengan UV transluminator.

DNA hasil amplifikasi tersebut selanjutnya dimurnikan dan disekuens secara komersilal untuk mengetahui urutan basa DNA. Data sekuens tersebut dibandingkan dengan data di GeneBank pada database The National Center for Biotechnology Information (NCBI), menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST).

(25)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Jamur Keratinolitik dari Tanah Peternakan Ayam dan Kambing Hasil isolasi jamur pada media SMA (Gambar 4.1) diperoleh sebanyak 46 isolat, 26 isolat berasal dari tanah di sekitar kandang ayam dan 20 isolat berasal dari tanah di sekitar kandang kambing. Keseluruhan isolat yang diperoleh dipilih berdasarkan karakteristik morfologi koloni yang bervariasi seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.

Gambar 4.1 Hasil Isolasi Jamur Pada Media Skim Milk Agar Hari ke-4 (A) Sebagai Kontrol Berupa Media Skim Milk Agar dan (B) Hasil Isolasi Jamur dari Tanah Peternakan Kambing (C) Hasil Isolasi Jamur dari Tanah Peternakan Ayam; (a) Isolat Jamur Dan (b) Zona Bening

Berdasarkan Gambar 4.1 A menunjukkan perlakuan kontrol tanpa pemberian suspensi pengenceran tanah peternakan ayam dan kambing. Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya koloni jamur yang tumbuh pada perlakuan kontrol. Isolat jamur (Gambar 4.1 B dan C) mulai menunjukkan adanya pertumbuhan pada media SMA setelah masa inkubasi 3 sampai 4 hari yang disertai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni jamur. Zona bening yang yang terbentuk di sekitar koloni jamur karena isolat jamur menghasilkan protease sehingga dapat menguraikan kasein yang terdapat pada media SMA. Adanya kemampuan isolat jamur menghasilkan protease karena jamur yang diisolasi dari tanah di sekitar kandang ayam dan kambing sudah beradaptasi dengan lingkungan yang tinggi kandungan keratinnya.

Bulu ayam dan rambut kambing yang berserakan di sekitar tanah akan menginduksi jamur untuk mengeluarkan keratinase untuk menguraikan keratin

A C

A B C

b a

(26)

14

menjadi molekul yang lebih sederhana seperti asam-asam amino sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Oleh karena itu, isolat jamur yang menghasilkan zona bening diasumsikan memiliki aktivitas keratinolitik yang dapat berpotensi dalam mendegradasi limbah bulu ayam.

Setyabudi (2015) melaporkan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan jamur pada medium dengan penambahan kasein merupakan salah satu indikator adanya sifat keratinolitik. A. niger mendegradasi substrat keratin dengan melepaskan asam amino aromatik berupa tirosin ke lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fardiaz (1992) menggunakan susu skim sebagai substrat pertumbuhan jamur. Susu skim mengandung kasein sebagai protein susu yang terhidrolisis oleh mikroorganisme proteolitik menjadi peptida dan asam amino yang larut sehingga koloni jamur dikelilingi oleh zona bening. Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni jamur merupakan tanda hilangnya partikel kasein di media SMA. Susanti (2003) menyatakan bahwa hidrolisis kasein yang terdapat pada susu skim akan memperlihatkan aktivitas hidrolitik protease. Protease akan menguraikan kasein melalui pemutusan ikatan peptida CO-NH dengan masuknya air pada molekul. Reaksi penguraian tersebut akan melepaskan asam amino. Poernomo dan Purwanto (2003) menyatakan bahwa adanya enzim ekstraseluler akan menghidrolisis protein pada media SMA menjadi asam amino sehingga dapat digunakan secara langsung oleh sel sebagai sumber nutrisi. Hal ini dilakukan karena sel tidak mampu memanfaatkan protein yang bersifat makromolekul secara langsung untuk ditransfer ke dalam sel.

Keseluruhan isolat jamur yang menghasilkan zona bening pada media SMA akan dikarakterisasi berdasarkan warna koloni jamur. Perbedaan karakteristik morfologi koloni yang dihasilkan dari masing-masing isolat jamur diasumsikan sebagai jenis jamur yang berbeda. Isolat jamur yang disajikan pada Tabel 4.1 telah dikarakterisasi berdasarkan warna koloni jamur yang diamati dari warna koloni tampak atas dan warna koloni tampak bawah.

Penelitian yang dilakukan oleh Harefa (2011), berhasil mengisolasi 9 isolat jamur dari tempat pembuangan akhir (TPA) Namo Bintang, Medan. Isolat jamur yang berhasil dimurnikan memiliki karakteristik morfologi koloni yang bervariasi meliputi warna (surface dan reverce), tekstur dan tepi koloni. isolat jamur dengan

(27)

15

kode isolat RH 04 memiliki warna koloni jamur tampak atas dan bawah putih susu, RH 05 memiliki warna tampak atas hijau dengan sekelilingnya putih dan tampak bawah putih kekuningan.

Tabel 4.1 Karakterisasi Koloni Isolat Jamur Keratinolitik dari Tanah Peternakan Ayam dan Kambing

Kode Isolat

Warna Koloni Jamur Kode Isolat

Warna Koloni Jamur Tampak Atas Tampak Bawah Tampak Atas Tampak Bawah

A1 Hijau Toska Merah A29 Putih Putih

kekuningan

A2 Abu -abu Tua Hitam A30 Putih Putih

A3 Putih kehijauan Putih kekuningan A31 Putih Putih gading

A5 Putih Kuning Muda K1 Abu-abu Hitam

A7 Coklat Kekuningan Kuning Tua K2 Hitam Hitam

A8 Coklat muda Kuning K3 Abu-Abu tua Kuning

A9 Putih Orange K4 Hijau lumut Putih

kekuningan A10 Abu-abu Putih Kekuningan K5 Coklat Muda Coklat muda A11 Hijau Lumut tua Putih kekuningan K6 Abu-abu Hitam A12 Ungu Muda Putih gading K7 Putih Gading Putih

kekuningan A13 Putih Merah Muda Orange tua K8 Coklat Kehitaman Hitam

A15 Putih Putih kekuningan K9 Putih Putih Gading

A16 Hijau Lumut Putih kekuningan K10 Putih Kecoklatan Coklat Tua

A17 Abu-abu Hitam K11 Abu-abu tua Hitam

A18 Hijau tua Kuning K13 Coklat Muda Coklat Tua

A19 Hijau Lumut Putih Kecoklatan K15 Orange Putih Orange Putih

A20 Coklat muda Orange K16 Hijau Tua Kuning

A22 Hijau tua Coklat muda K17 Abu-abu Hitam

A23 Orange dan Putih Orange tua K18 Hijau Keabuan Putih kekuningan

A24 Putih Putih K19 Putih kekuningan Kuning Muda

A25 Putih Putih K21 Putih Putih gading

A26 Abu-abu Abu-abu

Kehijauan K23 Abu-abu Hitam

A28 Hijau Keabuan Putih kekuniingan K24 Hitam Hitam Keterangan: A= isolat jamur dari tanah peternakan ayam

K= isolat jamur dari tanah peternakan kambing

Isolat jamur dari tanah peternakan ayam berhasil diperoleh sebanyak 26 isolat yaitu A1, A2, A3, A5, A7, A8, A9, A10 dan selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Pengamatan secara makroskopik isolat jamur A1 memiliki warna tampak atas hijau toska dan tampak bawah merah, isolat jamur A2 memiliki warna tampak atas abu- abu tua dan tampak bawah putih kekuningan. Isolat jamur dari tanah peternakan kambing berhasil diperoleh sebanyak 20 isolat yaitu K1, K2, K3, K4, K5, K6, K7, K8, K9, K10 dan selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.1. Pengamatan secara makroskopik isolat jamur K1 memiliki warna tampak atas Abu-abu dan tampak

(28)

16

bawah hitam, isolat jamur K2 memiliki warna tampak atas hitam dan tampak bawah hitam. Keseluruhan data mengenai karakteristik morfologi isolat jamur dapat dilihat pada Tabel 4.1

Di bawah ini (Gambar 4.2) merupakan beberapa contoh penampakan visual karakteristik morfologi koloni jamur pada hari ke-7 yang diperoleh dari tahapan isolasi yang berasal dari 2 lokasi yang berbeda yaitu tanah di sekitar peternakan ayam dan tanah di sekitar peternakan kambing.

Gambar 4.2 Beberapa isolat yang diperoleh dengan masa inkubasi 7 hari seperti (A) A8; (B) A15; (C) A23; (D) K21; (E) K2 dan (F) A18

4.2 Pengukuran Zona Bening Isolat Jamur

Aktivitas proteolitik isolat jamur diukur secara kuantitatif (Tabel 4.2) dan kualitatif (Gambar 4.3) berdasarkan zona bening yang dihasilkan pada media SMA.

Pengukuran secara kuantitatif diamater zona bening semua isolat terpilih menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Adanya perbedaan diameter zona bening mengindikasikan potensi dari semua isolat jamur dalam menghasilkan protease khususnya keratinase juga berbeda-beda. Zona bening masing-masing jamur diukur pada hari ke-3 dan hari ke-6. Keseluruhan data hasil pengukuran zona bening jamur disajikan pada Tabel 4.2

A C

D E F

B

E F

(29)

17

Tabel 4.2 Zona Bening Isolat Jamur Keratinolitik dari Tanah Peternakan Ayam dan Kambing

Kode Isolat

Diameter Zona Bening (mm)

Diameter Isolat

Jamur (mm) Kode Isolat

Diameter Zona Bening (mm)

Diameter Isolat Jamur (mm) hari

ke-3

hari ke-6

hari ke-3

hari ke-6

hari ke-3

hari ke-6

hari ke-3

hari ke-6 A1 27,6 50,95 27,6 50,95 A29 26,7 48,95 24,6 48,95 A2 20,6 30,7 13,95 20,2 A30 34,95 55,4 32,55 51,8

A3 32,75 47 23,3 37 A31 19,8 32,75 11,7 16,9

A5 9,9 25,3 9,9 23,2 K1 29,95 34,25 15,2 22

A7 27,65 46,05 22,9 42,9 K2 26,55 40,1 15,8 26,6 A8 28,65 46,9 26,8 45,8 K3 30,15 47,8 20,15 32,8 A9 46,5 81,65 46,5 81,65 K4 35,4 64,3 34,3 62,8

A10 21,6 36,1 18,95 32,3 K5 22,55 36 13 18

A11 38,4 33,4 55,8 48,25 K6 28,9 42,45 13 20

A12 24,9 35,9 16,75 29,1 K7 41,6 81,3 41,6 81,3

A13 43,7 86,1 43,7 82 K8 25 35,3 13,6 21,5

A15 19,2 35,1 19,2 35,1 K9 36,2 51,5 16,1 28,9

A16 38,35 57,9 31,1 54 K10 25,45 29,9 12,85 26,6

A17 23 39,6 17,55 26 K11 18,1 29,3 16,1 26,9

A18 30,4 48 20,7 32 K13 71 90 65,1 90

A19 16,25 27,25 13,15 23,55 K15 18,1 27,8 16,75 27

A20 23,35 36 19,4 34 K16 32,45 48,65 20,3 33,8

A22 31,5 44,15 25,8 39,95 K17 23,5 36,2 13,9 21,3 A23 40,15 79,75 40,15 79,75 K18 27,85 44,8 17,2 27,9 A24 26,5 50,55 26,5 48,6 K19 45,7 85,3 45,7 85,3 A25 20,15 36,65 16,1 27,65 K21 40,4 71,45 38,5 69,6 A26 29,35 45,75 20,05 32,6 K23 30,65 43,85 19,05 28,35 A28 29 43,4 21,45 29,4 K24 13,1 30,7 11,45 27,6

Isolat K13 memiliki diameter aktivitas proteolitik paling tinggi dari semua isolat jamur yang diujikan pada media SMA. Diameter zona bening yang mampu dihasilkan pada hari ke-3 sebesar 71 mm dan pada hari ke-6 sebesar 90 mm. Isolat lainnya yang memiliki diameter zona bening yang tinggi yaitu isolat A9. Pengamatan hari ke-3, isolat A9 menghasilkan zona bening sebesar 46,5 mm dan pada hari ke-6 sebesar 81,65 mm. Kemampuan isolat jamur dengan diameter paling rendah yaitu isolat A5 menghasilkan zona bening yang paling rendah sebesar 9,9 mm pada hari ke-3 sedangkan pada hari ke-6 sebesar 25,3 mm.

Adanya peningkatan diameter zona bening isolat jamur setelah masa inkubasi hari ke-3 dan hari ke-6 disebabkan karena masing-masing isolat menghasilkan protease yang berbeda-beda untuk menguraikan media SMA. Penguraian subtrat oleh jamur akan menyebabkan pertumbuhan diameter koloni jamur yang disertai dengan zona bening. Pengamatan diameter isolat jamur hanya dilakukan selama masa

(30)

18

inkubasi 6 hari karena ada beberapa isolat jamur yang sudah memenuhi keseluruhan diameter cawan petri. Berikut beberapa aktivitas proteolitik isolat jamur dengan zona bening yang dihasilkan secara kualitatif pada media SMA yang dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Diameter Zona Bening Isolat jamur (a) K2 (Hari ke 3); (b) A18 (Hari ke 3); (c) A13 (Hari ke 3); (d) K2 (Hari ke 6); (e) A18 (Hari ke 6); (f) A13 (Hari ke 6)

Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat diameter zona bening secara kualitataif dari beberapa isolat jamur yang diujikan pada media SMA. Terurainya media SMA diketahui setelah terbentuk zona bening di sekitar koloni jamur yang diikubasi selama 6 hari. Pengamatan diameter zona bening hari ke-3 dan hari ke-6 dilakukan untuk mengetahui perbedaan diameter zona bening dari masing-masing isolat jamur.

Data yang diperoleh dari 46 isolat jamur pada pengamatan hari ke-6 sekitar 15,21%

jamur menghasilkan zona bening dengan diameter 20 mm sampai 30 mm, 30,43%

jamur dengan diameter 31 mm sampai 40 mm, 30,43% jamur dengan diameter 41 mm sampai 50 mm, 6,52% jamur dengan diameter 51 mm sampai 60 mm, 2,17%

jamur dengan diameter 60 mm sampai 70 mm, 4,43% jamur dengan diameter 71 mm sampai 80 mm, 10,86% jamur dengan diameter 81 mm sampai 90 mm.

a b c

f a

d e

b

(31)

19

Awasthi and Kushwaha (2011) melakukan uji skrining jamur pada media SMA yang diisolasi dari tanah di Kampur, India untuk mengetahui aktivitas keratinolitik secara kuantitatif dari masing-masing isolat jamur. Sebanyak 101 isolat jamur berhasil diujikan dan telah terbukti menghasilkan zona bening dengan masa inkubasi selama 8 hari. Data yang diperoleh sekitar 23,76% jamur menghasilkan zona bening dengan diameter 21 sampai 28 mm, 58,41% dengan diameter 11 sampai 20 mm, 17,82% dengan diameter 2 sampai 10 mm. Berikut merupakan beberapa jamur yang telah berhasil diujikan seperti Acremonium brunnescen MTCC 10376, Chrysosporium indicum MTCC 10377, Alternaria alternata NFCCI 1878, Cladosporium chlorocephalum GPCK 3069, Fusarium culmorum GPCK 3204 dan lain-lain.

Kumar and Kushwaha (2014) berhasil menguji 73 spesies jamur pada media SMA dengan masa inkubasi 3 hari, 6 hari, 9 hari dan 12 hari. Sebanyak 52% jamur yang diujikan tumbuh dan menghasilkan zona bening pada media SMA. Beberapa jamur yang telah diujikan dan diameter zona bening yang dihasilkan seperti Chrysosporium indicum sebesar 7 mm, Microsporum gypseum sebesar 7 mm, Acremonium strictum sebesar 8 mm dan lain-lain. Kumar et al., (2017) melaporkan dalam penelitiannya telah mengisolasi 5 jamur dengan metode umpan rambut (hair baiting method). Keseluruhan isolat telah diujikan pada media SMA dan menghasilkan diameter zona bening yang bervariasi yaitu C. tropicum sebesar 7 mm, Malbranchea sp sebesar 2 mm, Aphanoascus fulvescens sebesar 1 mm, C.

keratinophilum sebesar 1 mm dan Fusarium oxysporum tidak menghasilkan zona bening.

4.3 Pengukuran Potensi Jamur Keratinolitik

Pengujian secara kualitatif dan kuantitatif 46 isolat jamur telah dilakukan pada media SMA. Keseluruhan isolat akan diujikan pada tahapan uji degradasi limbah bulu ayam menggunakan media FMB (Gambar 4.4). Tahapan uji degradasi limbah bulu ayam menggunakan semua isolat. Menurut Suhartono (1992) aktivitas proteolitik yang ditandai dengan terbentuknya zona bening pada media padat tidak akan selalu berkorelasi dengan tingginya kemampuan menghasilkan protease pada media cair secara kuantitatif.

(32)

20

Gambar 4.4 Hasil Uji Biodegradasi Limbah Bulu Ayam Setelah Masa Inkubasi 10 Hari (a) Kontrol dan (b) Perlakuan dengan Isolat A29; (c) Perlakuan dengan Isolat K18; (d) Perlakuan dengan A18 (e) Perlakuan dengan Isolat A12; (f) Perlakuan dengan Isolat K2

Uji kemampuan degradasi limbah bulu ayam menggunakan isolat jamur dilakukan pada media FMB (Gambar 4.4) selama masa inkubasi 10 hari. Perlakuan kontrol tidak mengalami perubahan secara fisik dikarenakan kondisi bulu ayam yang terlihat masih utuh. Perlakuan isolat jamur terhadap bulu ayam menyebabkan adanya kolonisasi miselium jamur pada bulu ayam tersebut. Terurainya bulu ayam menjadi molekul yang lebih sederhana berupa asam-asam amino diasumsikan adanya enzim khusus yang disekresikan oleh jamur berupa keratinse ke media FMB sehingga dapat mendegradasi limbah bulu ayam. Hasil uji degradasi dari keseluruhan isolat jamur menunjukkan kemampuan yang bervariasi antar isolat yang berbeda (Tabel 4.3).

Isolat jamur yang pada media FMB dishaker/digoncang yang bertujuan supaya isolat jamur lebih mudah mengkolonisasi subtrat (bulu ayam) sehingga proses degradasi berlangsung dengan cepat. Menurut Bockle dan Muller (1997); Onifade et al., (1998) menyatakan bahwa melekatnya sel/kolonisasi pada substrat merupakan hal yang penting dalam proses degradasi bulu ayam.

a

d e

b c

d f

(33)

21

Tabel 4.3 Berat Akhir Bulu Ayam setelah Masa Inkubasi 10 hari

Kode Isolat

Berat Bulu Akhir (g)

% Perubahan

Berat Kode Isolat

Berat Bulu Akhir (g)

% Perubahan Berat

Rerata Rerata Rerata Rerata

Kontrol 0,4759 4,82 A30 0,0231 95,38

A1 0,1280 74,40 A31 0 100

A2 0 100 K1 0 100

A3 0,0366 92,68 K2 0 100

A5 0,4428 11,44 K3 0,3585 28,3

A7 0 100 K4 0,0430 91,4

A8 0,2711 45,78 K5 0,0334 93,32

A9 0,0128 97,44 K6 0,0436 91,28

A10 0,0128 97,44 K7 0,0354 92,92

A11 0,0027 99,46 K8 0,4648 7,04

A12 0 100 K9 0,2929 41,42

A13 0,0158 96,84 K10 0,0159 96,82

A15 0,2569 48,62 K11 0,0051 98,98

A16 0,0055 98,90 K13 0,3217 35,66

A17 0,0498 90,04 K15 0,0323 93,54

A18 0 100 K16 0,0029 99,42

A19 0,0255 94,90 K17 0,3524 29,52

A20 0,0121 97,58 K18 0,0022 99,56

A22 0,0428 91,44 K19 0,0011 99,78

A23 0,0121 97,58 K21 0,2124 57,52

A24 0,0304 93,92 K23 0,0503 89,94

A25 0,3952 20,96 K24 0,0229 95,42

A26 0,2454 50,92 A30 0,0231 95,38

A28 0,1920 61,6 A31 0 100

A29 0 100

Keseluruhan isolat jamur yang diujikan mempunyai kemampuan dalam mendegradasi limbah bulu ayam. Hal ini dapat dilihat dari data persentase perubahan berat bulu ayam bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Delapan isolat jamur dengan kode isolat A2, A7, A12, A18, A29, A31, K1, dan K2 memiliki kemampuan dalam mendegradasi bulu ayam dengan perubahan berat bulu ayam 100%.

Penelitian yang dilakukan oleh Calin et al., (2017), mengujikan beberapa jamur seperti Trichophyton sp., Fusarium sp. strain 1A, Trichoderma sp., Cladosporium sp., Microsporum sp., Fusarium sp., Phytophthora sp., dan Chrysosporium sp. untuk mengetahui potensi jamur tersebut dalam mendegradasi rambut kuda. Uji degradasi dilakukan selama masa inkubasi 21 hari dengan kondisi digoncang. Pemisahan miselium jamur dengan rambut kuda dilakukan dengan cara dicuci sehingga didapatkan sisa hasil uji degradasi dan selanjutnya dikeringkan pada

(34)

22

suhu 60 0C selama 48 jam. Perlakuan Fusarium sp. strain 1A mampu mendegradasi rambut kuda dengan perubahan berat akhir 71,10%.

Uji degradasi limbah bulu ayam menggunakan bakteri telah berhasil dilakukan. Bungsu (2018), berhasil mengujikan 2 bakteri keratinolitik terhadap limbah bulu ayam dengan hasil persentase penurunan berat bulu ayam 43% dan 37%

setelah masa inkubasi 10 hari pada kondisi digoncang pada kecepatan 120 rpm.

Larasati (2015), berhasil mengujikan 2 bakteri keratinolitik yang mampu mendegradasi limbah bulu ayam mencapai 62,5% dan 56,9%. Pengujian bakteri keratinolitik dalam mendegradsi limbah bulu ayam dilakukan selama masa inkubasi 25 hari pada suhu 30 0C

Biodegradasi limbah bulu ayam dengan menggunakan jamur seperti Aspergillus niger (Setyabudi, 2015); A. sctritum, C. indicum, C. tropicum (Kumar dan Kuswaha, 2014) yang memiliki aktivitas keratinolitik merupakan metode alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai limbah keratin dari bulu ayam. Struktur protein keratin dapat didegradasi oleh keratinase yang dihasilkan oleh mikroorganisme. (Panuju, 2003).

Keratinase mempunyai kemampuan sangat baik dalam menurunkan kadar keratin melalui perombakan sturktur jaringan kimia dinding sel, pemotongan ikatan hidrogen dan ikatan disulfida penyusun keratin (Rodriguez et al., 2009). Banyaknya ikatan disulfida pada struktrur keratin akan menstimulasi sel untuk mensekresikan enzim disulfida reduktase sebagai proses awal membukanya struktur keratin.

Terbukanya struktur keratin menyebabkan keratinase lebih mudah mengakses peptida target pada molekul keratin dan menyempurnakan proses degradasi sehingga nutrisi keratin dapat dimanfaatkan oleh sel (Rahayu, 2010).

Degradasi limbah bulu ayam pada media FMB menghasilkan asam-asam amino yang terdapat pada sisa media cair (filtrat). Penambahan TCA 0,1 M pada media cair berfungsi untuk mengendapkan protein sehingga hanya ada asam amino yang larut dalam sisa media. Menurut Novo (1981), laju pembentukan peptida dan asam amino tersebut dapat dijadikan aktivitas katalisis protease. Penambahan TCA berguna untuk memisahkan produk yang mengandung peptida dan asam amino, sedangkan protein yang tidak terhidrolisis akan mengendap. Penambahan TCA

Gambar

Gambar 4.1  Hasil Isolasi Jamur Pada Media Skim Milk Agar Hari ke-4 (A) Sebagai  Kontrol  Berupa  Media  Skim  Milk  Agar  dan  (B)  Hasil  Isolasi  Jamur  dari  Tanah  Peternakan  Kambing  (C)  Hasil  Isolasi  Jamur  dari  Tanah  Peternakan Ayam; (a) Isol
Tabel  4.1  Karakterisasi  Koloni  Isolat  Jamur  Keratinolitik  dari  Tanah  Peternakan  Ayam dan Kambing
Gambar 4.2 Beberapa isolat yang diperoleh dengan masa inkubasi 7 hari seperti (A)  A8; (B) A15; (C) A23; (D) K21; (E) K2 dan (F) A18
Tabel 4.2 Zona Bening Isolat Jamur Keratinolitik dari Tanah Peternakan Ayam  dan  Kambing  Kode  Isolat  Diameter Zona Bening (mm)  Diameter Isolat Jamur (mm)  Kode  Isolat  Diameter Zona Bening (mm)  Diameter Isolat Jamur (mm)  hari  ke-3  hari  ke-6  har
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui kekuatan tarik dan kekuatan sobek kertas seni yang terbuat dari limbah bulu ayam dan limbah kulit kacang tanah dengan penambahan CaO serta pewarna alami dari

Hasil dari penelitian terdapat perbedaan kualitas kompos berbahan dasar 5 kg limbah baglog jamur tiram + 2 kg kotoran ayam memberikan hasil terbaik untuk

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian pakan limbah baglog jamur tiram putih, kotoran ayam, dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan dan