T E S I S
Oleh
NURJAMA’YAH BR. KETAREN
067004011/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI SUMBER
PROTEIN AYAM PEDAGING DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
T E S I S
Oleh
NURJAMA‘YAH BR. KETAREN
067004011/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI SUMBER
PROTEIN AYAM PEDAGING DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NURJAMA‘YAH BR. KETAREN
067004011/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMANFAATAN LIMBAH BULU AYAM SEBAGAI SUMBER PROTEIN AYAM PEDAGING DALAM
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Nama Mahasiswa : Nurjama’yah Br. Ketaren
Nomor Pokok : 067004011
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing :
( Prof. Dr. Basuki Wirjosentoro, MS ) Ketua
( Dr. Zulfikar Siregar, MP) ( Dr. Ir. Hasanuddin, MS) Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada,
Tanggal 14 Agustus 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Basuki Wirjosentoro, MS Anggota : 1. Dr. Zulfikar Siregar, MP
ABSTRAK
Pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai sumber protein ayam pedaging diyakini mampu meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam dan menciptakan suatu industri peternakan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan limbah bulu ayam melibatkan peran mikroorganisme berupa jamur melalui proses fermentasi. Jamur dalam proses fermentasi berperan merombak komponen kompleks dalam tepung bulu ayam menjadi komponen yang lebih sederhana dan siap diserap oleh tubuh.
Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan isolat jamur kandang ayam dalam meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan ayam dalam upaya meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pengujian fermentasi menentukan dosis inokulum jamur terbaik yang dapat meningkatkan kandungan protein yang tertinggi. Pada fase pertama ini penelitian menggunakan rancangan acak lengkap non faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, perlakuan terdiri dari R0 (kontrol/tepung bulu tanpa fermentasi), R1 (dosis inokulum jamur 1%), R2 (dosis inokulum jamur 2%) dan R3 (dosis inokulum jamur 3%). Pengujian tahap kedua pengujian biologis untuk menentukan pengaruh penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam. Pada fase kedua penelitian menggunakan rancangan acak lengkap non faktorial dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, yang terdiri dari 5 ekor ayam perplot dengan level penggunaan ransum yaitu T0 (ransum kontrol), T1 (tepung bulu 2,5%), T2 (tepung bulu 5%), T3 (tepung bulu 7,5%) dan T4 (tepung bulu 10%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan inokulum jamur sampai 3% dalam proses fermentasi memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap peningkatan kandungan protein tepung bulu ayam. Perbedaan ditunjukkan dengan peningkatan kandungan protein yang lebih tinggi dari T0 (tanpa fermentasi) dan T1 (dosis inokulum 1%) serta T2 (dosis inokum 2%).
Pada pengujian tahap kedua menunjukkan bahwa penggunaan tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur Penicillium sp sampai level 5% dalam ransum, menunjukkan konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum sangat berbeda nyata dengan kontrol (tanpa tepung bulu ayam).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dosis inokulum jamur yang dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan protein tepung bulu ayam adalah pada dosis 3%, sedangkan tepung bulu ayam fermentasi dengan inokulum jamur
Penicillium sp yang dapat digunakan dalam ransum sebesar 5%.
ABSTRACT
The uses of chicken feather waste to become as source of protein for broiler hopefully may minimize the rate of pollution impact by the chicken feather it self and lead a poultry farm with a friendly environment. In exploiting the chicken feather waste involved the role of micro-organism with fungus through a fermented process, where the fungus in its fermented process playing its role to reform the component complete in powder product into a more simple component and existed to absorb by a living chicken.
The objective of this study is to examine the existence of an isolate fungus as waste in the chicken pen in increasing absorbed in chicken feather powder and lead a good influence to the growing of chicken in order to minimize the pollution impacted by chicken feather waste for the environment. This study was conducted in two stages. The first phase is fermentation test, to determine the most valuable fungus inoculum dosage able to increase the content in greatest protein. On this first phase, the study adopted a non-factorial complete random design with 4 treatments and 3 repetitions. The treatment consist of R0 (control/feather powder unfermented), R1 (fungus inoculum dosage of 1%), R2 (fungus inoculum dosage of 2%) and R3 (innoculum fungus dosage of 3%). In the second phase test is about biological item to determine the influence uses of chicken feather powder in ransom for the growth of poultry. On the second phase, the test adopted a non-factorial complete random design with a 5 treatments and 4 repetitions comprising 5 per plot chicken with a level ransom uses of T0 (control ransom), T1 (feather powder 2.5%), T2 (feather powder 5%), T3 (feather powder 7.5%) and T4 (feather powder 10%).
The result of study showed that uses of fungus inoculum through 3% in its fermented process show an influence in a different significant to improve the protein content in chicken feather powder. The difference can be seen with improving content of protein higher than T0 (unfermented) and T1 (inoculum dosage 1%) and T2 (inoculum dosage 2%).
On the second phase test showed that the uses of fermented chicken feather powder with isolate fungus Penicillium sp up to 5% level in ransom, indicate ransom consumption, elevated weight of poultry and conversion of ransom is very significant with the control (without any chicken feather powder).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” disusun dalam rangka penulisan tesis untuk memperoleh gelar Magíster Sains dalam Program Magíster Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaannya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (PSL) Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, para Pembimbing, Prof. Dr. Basuki Wirjosentoro, MS, Dr. Zulfikar Siregar, MP, Dr. Ir.Hasanuddin, MS yang telah banyak memberi bimbingan dan pengarahan kepada penulis dan kepada penguji Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc serta Dr. Dwi Suryanto, MS yang telah banyak memberikan pengarahan dan saran kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Kepada semua rekan- rekan PSL 2006, fungsional laboratorium HPT serta laboratorium Produksi Ternak yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini, semoga amal kebaikannya dibalas oleh Allah SWT.
Dengan segala kerendahan hati, akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibunda tercinta Rabumah Sagala yang telah mencurahkan kasih sayang, dukungan dan doanya kepada penulis. Serta kepada kakak dan abang yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 juli 1975 di Pancur Batu, anak ketujuh dari
tujuh bersaudara, putri dari pasangan Amat Ketaren (almarhum) dan Rabumah
Sagala.
Pendidikan Sekolah Dasar tahun 1982-1988 di SD Negeri 101818 Pancur
Batu, Sekolah Menengah Pertama tahun 1988-1991 di SMP Negeri-2 Pancur Batu,
Sekolah Menengah Atas tahun 1991-1994 di SMA Negeri I Pancur Batu. Pada tahun
1994, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara pada Fakultas
Pertanian Jurusan Peternakan dan meraih gelar Sarjana Peternakan tahun 1999.
Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai tenaga pengajar pada Universitas
Al-Azhar Medan dan pada tahun 2006 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan
Strata 2 di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi
DAFTAR ISI
1.5 Hipótesis Penelitian... 9
1.6 Manfaat Penelitian ... 9
II.TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1 Dampak Pencemaran Limbah Bulu Ayam di Lingkungan ... 10
2.2 Potensi Limbah Bulu Ayam ... 12
2.3 Keratin (Protein Fibrous) ... 14
2.4 Peran Mikroba Sebagai Pendegradasi Limbah di Lingkungan ... 17
2.5 Pengolahan Limbah Bulu Ayam ... 18
2.5.1 Perlakuan Fisik... 18
2.5.2 Perlakuan Biologis ... 19
2.6 Proses Fermentasi dengan Médium Padat... 20
2.7 Kapang (Jamur) Sebagai Inokulum Fermentasi ... 20
2.8 Kebutuhan Zat-zat Makanan Ayam Pedaging... 22
2.8.1 Karbohidrat ... 23
2.9 Standart Produksi Ayam Pedaging... 26
2.9.1 Konsumsi Ransum... 26
2.9.3 Konversi Ransum ... 28
2.10 Kecernaan Ransum... 29
2.11 Income Over Feed Cost (IOFC) ... 30
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 31
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 38
3.4.1 Isolasi Tanah Kandang Ayam ... 38
3.4.2 Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth) ... 39
3.4.3 Pelaksanaan Fermentasi ... 40
a. Penghitungan Jumlah Total Mikroba ... 40
b. Fermentasi ... 40
c.Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Setelah Fermentasi ... 41
d. Analisis Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi ... 41`
3.4.4 Pengujian Isolat Jamur ... 42
3.4.5 Penggunaan Tepung Bulu Ayam Sebagai Ransum Ayam Pedaging... 43
100 Ekor ... 43
4.3 Hasil Uji Biologis PenggunaanTepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Beberapa Isolat Jamur ... 49
4.3.1 Pengaruh Penggunaan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam ... 49
4.3.2 Koefisien Daya Cerna Protein Ransum Hasil Fermentasi dengan Beberapa Isolat Jamur ... 52
4.4 Hasil Analisis Persentase Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi ... 53
4.5 Hasil Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi Dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 55
4.6 Hasil Uji Biologis PenggunaanTepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicllium sp ... 57
4.6.1 Pengaruh Penggunaan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillium spTerhadap Pertumbuhan Ayam dan Income Over Feed Cost (IOFC)... 57
4.6.2 Koefisien Daya Cerna Protein Ransum Penambahan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 61
4.7 Income Over Feed Cost (IOFC) ... 62
4.8 Dampak Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam Fermentasi Sebagai Sumber Protein Ayam Pedaging Terhadap Pengelolaan Lingkungan ... 63
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 67
1. Kesimpulan... 67
2. Saran ... 68
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Komposisi Nutrien Hidrolisat Bulu Ayam ... 13
2. Perbandingan Komposisi Kandungan Asam Amino Antara Tepung
Bulu Ayam, Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai... 14
3. Konsumsi Ransum Ayam Pedaging dan Berat Badan (Umur 1-6 Minggu) 27
4. Jumlah Total Mikroba Inokulum Fermentasi ... 48
5. Hasil Uji Biologis Penggunaan Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan
Beberapa Isolat Jamur Terhadap Pertumbuhan Ayam... 50
6. Koefisien Daya Cerna Protein Ransum Penambahan Tepung Bulu Ayam
Fermentasi dengan Beberapa Isolat Jamur ... 52
7. Persentase Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi ... 54
8. Hasil Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi
Dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 55 9. Penggunaan Tepung Bulu Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillum sp
dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging dan Income Over Feed Cost (IOF)... ... ... 58 10. Hasil Uji Kecernaan Protein Ransum Penambahan Tepung Bulu Ayam
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ………. 8
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Proses Pengolahan Limbah Bulu Ayam... 75
2. Gambar Isolat Jamur Helicomyces sp, Trichoderma sp dan Penicillium sp Hasil Isolasi... 76
3. Gambar Isolat Jamur Perbesaran 400x... 77
4. Komposisi Zat Nutrisi Bahan Ransum ... 78
5. Susunan Ransum Ayam Pedaging Fase Starter (0-4 Minggu) ... 78
6. Susunan Ransum Ayam Pedaging Fase Finisher (5-6 Minggu) ... 79
7. Konsumsi Ransum Mingguan ... 79
8. Pertambahan Berat Badan Mingguan... 83
9. Konversi Ransum Mingguan ... 87
10. Pendapatan (Income Over Feed Cost/IOFC) ... 91
11. Hasil Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Fermentasi dengan Isolat Jamur Penicillium sp ... 94
12. Gambar Ayam Pedaging Hasil Penelitian Selama 6 Minggu ... 95
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap makanan bergizi semakin
meningkat. Bahan makanan yang berasal dari hewan memiliki banyak keunggulan
dibanding bahan makanan yang berasal dari tumbuhan, karena mengandung asam
amino yang lebih lengkap dan lebih mudah diserap oleh tubuh. Kebutuhan terhadap
bahan makanan yang berasal dari hewan atau protein hewani mencapai 15
kg/kapita/tahun dan kebutuhan tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk.
Populasi ternak dari tahun ke tahun terus meningkat namun belum dapat
mengimbangi permintaan kebutuhan konsumsi daging terutama yang dihasilkan oleh
ternak penghasil daging. Sementara bila dilihat dari potensi lokal dan sumberdaya
alam yang ada maka pertumbuhan populasi ternak masih dapat ditingkatkan. Dimana
sasaran populasi ternak ayam pedaging di propinsi Sumatera Utara untuk tahun 2007
sebanyak 58.212.381 ekor dengan sasaran produksi daging sebanyak 52.530 ton
(Siregar, 2004).
Peningkatan usaha peternakan ayam menimbulkan peningkatan limbah bulu
ayam yang dihasilkan dari industri rumah potong ayam dan dari tempat pemotongan
ayam lainnya. Pada industri rumah potong ayam, limbah bulu ayam merupakan suatu
hal yang perlu penanganan khusus karena menimbulkan dampak yang sangat besar
kebijakan pemerintah dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup, seperti yang
terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dijelaskan bahwa Pengelolaan Lingkungan
Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasaan,
dan pengendalian lingkungan hidup. Pelestarian fungsi lingkungan hidup tidak
terlepas dari pemanfaatan limbah peternakan dengan prinsip zero waste yaitu mengurangi atau meminimalisasi pencemaran lingkungan dengan cara pemanfaatan
limbah.
Masalah limbah tak dapat lepas dari adanya aktifitas industri, termasuk
industri ternak ayam pedaging. Semakin meningkat sektor industri maka taraf hidup
masyarakat meningkat pula. Namun perlu dipikirkan efek samping yang ditimbulkan
berupa limbah, yang merupakan hasil samping dari suatu usaha atau kegiatan.
Dampak yang ditimbulkan dari limbah bulu ayam begitu besar terutama bagi
kesehatan masyarakat, karena limbah bulu ayam yang berserakan di lingkungan
rumah potong ayam, menimbulkan bau yang tidak sedap dan merupakan sumber
penyebaran penyakit. Selain itu juga menimbulkan dampak penurunan kualitas tanah
karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan atau proses dekomposernya
memakan waktu cukup lama. Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk
meminimalisasi dampak limbah bulu ayam di lingkungan yaitu dengan metode
Dalam upaya meningkatkan industri peternakan dan tetap menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup, maka perlu adanya penanganan terhadap dampak limbah
bulu ayam. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu memanfaatkan limbah
bulu ayam sebagai ransum tambahan sumber protein bagi ayam pedaging. Disamping
itu dalam industri peternakan ransum merupakan hal yang sangat penting karena
menyerap 60-80% dari biaya produksi (Anggorodi, 1995). Upaya untuk menekan
biaya ransum adalah dengan memanfaatkan limbah bulu ayam sebagai sumber bahan
ransum non konvensional. Bahan ransum non konvensional tersebut mempunyai nilai
ekonomis rendah, tidak bersaing dengan manusia dan tersedia secara terus- menerus.
Bulu ayam merupakan limbah yang masih punya potensi untuk dimanfaatkan,
karena masih memiliki kandungan nutrisi protein yang sangat tinggi. Bulu ayam
mempunyai kandungan protein kasar sebesar 80-91% dari bahan kering, melebihi
kandungan protein kasar bungkil kedelai (42,5%) dan tepung ikan (66,2%) (Adiati
dan Puastuti, 2004 ).
Permasalahan dalam pemanfaatan limbah bulu ayam, karena adanya
kandungan keratin. Keratin merupakan protein fibrous yang kaya sulfur dan banyak
terdapat pada rambut, kuku dan semua produk epidermal (Haurowitz, 1984).
Kecernaan yang rendah karena tepung bulu ayam mengandung ikatan sistin disulfida,
ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik molekul keratin (Williams et al., 1991). Keratin tidak larut dengan pemanasan alkali dan tidak larut oleh kelenjar saluran
pencernaan atau pankreas (Underhill, 1952). Dalam pemanfaatan limbah bulu ayam
Bahan makanan sumber protein harus mengandung asam amino yang lengkap
terdiri dari metionin, arginin, treonin, triptofan, histidin, isoleusin, lisin, valin dan
fenilalanin. Jika suatu bahan ransum kekurangan salah satu unsur tersebut, maka
harus dilengkapi oleh bahan ransum yang lain (Widodo, 2002). Adapun penggunaan
tepung ikan dalam ransum adalah sebesar 10% (Rasyaf, 1996).
Penggunaan limbah sebagai bahan pakan ternak harus melalui penanganan
dan pengolahan lebih lanjut atau perlu adanya sentuhan teknologi untuk
meningkatkan nilai gizi dari bahan ransum tersebut, karena memiliki kecernaan yang
rendah (Zamora et al., 1989). Dalam penelitian ini pengolahan limbah bulu ayam dilakukan dengan menggunakan teknologi fermentasi. Fermentasi merupakan salah
satu cara pengolahan dengan melibatkan mikroba (jamur atau bakteri) baik yang
ditambahkan dari luar ataupun secara spontan sudah terdapat di dalam bahan baku
tersebut. Fermentasi bertujuan untuk meningkatkan kecernaan suatu bahan pakan
(Winarno, et al., 1980).
Fermentasi yang dilakukan dalam penelitian menggunakan isolat jamur yang
berasal dari tanah kandang ayam, Hadi dan Muhsin, (2002) melakukan isolasi jamur
keratinofilik dari beberapa habitat yang berbeda diperoleh beberapa spesies jamur
dermatofit dan non dermatofit yang diisolasi dari tanah lumpur limbah pembuangan
kotoran. Jamur dermatofit yang diperoleh yaitu Mycrosporium dan Trichophyton
Mikroba (jamur) punya peran yang sangat besar sebagai pendegradasi limbah
yang ada di lingkungan melalui proses penguraian (dekomposer). Dalam penelitian
ini isolat jamur dari tanah kandang ayam diuji kemampuannya untuk mendegradasi
keratin yang terdapat pada tepung bulu ayam melalui proses fermentasi. Jamur yang
diperoleh dari isolasi tanah kandang ayam merupakan jamur non dermatofit dan
jamur dermatofit yaitu jamur penyebab penyakit kulit atau pendegradasi keratin pada
jaringan kulit dan juga sebagai pengurai di lingkungan (Clement et al, 2006).
Penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan prinsip zero waste yaitu meminimalisasi limbah atau meminimalisai dampak pencemaran lingkungan akibat
limbah bulu ayam dengan cara pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai bahan baku
ransum non konvensional sumber protein. Hal tersebut dilaksanakan untuk menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangka pengelolaan lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, maka cukup alasan untuk mengadakan kajian
tentang Pemanfaatan Limbah Bulu Ayam Sebagai Sumber Protein Bagi Ayam
Pedaging Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jamur sebagai inokulum fermentasi
diinokulasi dari tanah di sekitar kandang ayam, dimana terdapat bulu ayam yang
sudah membusuk dan sudah terlihat tumbuh jamur pada bulu ayam tersebut. Tanah
ini diperoleh dari kandang ayam di daerah Karya Jasa gang Horas No. 50, Simpang
Pos, Medan. Dari isolasi tanah tersebut diperoleh jamur kemudian diuji
kemampuannya dalam mendegradasi keratin pada tepung bulu ayam dengan tehnik
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana kemampuan isolat jamur tanah kandang ayam dalam meningkatkan
kecernaan tepung bulu ayam.
1.2.2 Bagaimana pengaruh tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur
dari tanah kandang ayam terhadap pertumbuhan ayam.
1.2.3 Bagaimana menghasilkan suatu metode untuk meminimalisasi dampak
pencemaran limbah bulu ayam dalam rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1.3 Kerangka Pemikiran
Industri peternakan ayam terdiri dari industri pemotongan ayam dan usaha
pemeliharaan ayam. Bulu ayam merupakan limbah dari usaha pemotongan ayam.
Limbah ini terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi ayam dan
menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Pencemaran yang ditimbulkan dari
limbah bulu ayam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan hidup, yaitu
penurunan kualitas udara dari bau yang dikeluarkan dan merupakan sumber
penyebaran penyakit. Selain itu juga menimbulkan penurunan kualitas tanah dimana
limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan atau proses penguraian
(dekomposer) dari limbah bulu ayam memakan waktu cukup lama karena adanya
seiring peningkatan industri rumah potong ayam dan kebutuhan masyarakat akan
protein hewan.
Disisi lain tepung bulu ayam terproses atau hidrolisat bulu ayam memiliki
kandungan protein yang tinggi lebih tinggi dari tepung ikan dan bungkil kedelai.
Dalam upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai Undang- Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
maka perlu dilakukan penanganan dampak limbah bulu ayam sebagai upaya
meminimalisasi dampak pencemaran limbah dengan memanfaatkannya sebagai bahan
ransum non konvensional sumber protein ayam pedaging, karena limbah bulu ayam
punya potensi yang sangat baik dari segi kuntitas dan kualitas.
Kelemahan dari limbah bulu ayam yaitu adanya keratin (protein fibrous) yang
sulit dicerna dan rendahnya kandungan asam amino lisin, metionin, histidin dan
triptophan. Oleh sebab itu dilakukan metode atau cara pemanfaatan limbah bulu
ayam, untuk meminimalisasi dampak pencemaran lingkungan dengan cara
fermentasi.
Kebijakan dan perlakuan teknis yang dilakukan untuk meminimalisasi
dampak pencemaran limbah bulu ayam merupakan aplikasi dari Pengelolaan
Lingkungan Hidup dalam menciptakan industri peternakan yang ramah lingkungan
dan menghasilkan bahan ransum tambahan non konvensional sumber protein dan
dapat dimanfaatkan kembali oleh industri peternakan khususnya usaha pemeliharaan
Secara jelas diagram alir kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Untuk mengetahui kemampuan isolat jamur tanah kandang ayam dalam
meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam.
1.4.2 Untuk mengetahui pengaruh tepung bulu ayam yang difermentasi dengan
isolat jamur dari tanah kandang ayam terhadap pertumbuhan ayam.
1.4.3 Untuk mendapatkan suatu metode meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam dalam rangka Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1.5 Hipotesis Penelitian
1.5.1 Isolat jamur dari tanah kandang ayam dapat meningkatkan kecernaan tepung
bulu ayam.
1.5.2 Tepung bulu ayam yang difermentasi dengan isolat jamur dari tanah kandang
ayam berpengaruh terhadap pertumbuhan ayam.
1.5.3 Pemanfaatan limbah bulu ayam sebagai sumber protein ayam pedaging dapat
meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Menciptakan suatu industri peternakan yang ramah lingkungan dalam rangka
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1.6.2 Menghasilkan bahan ransum non konvensional sumber protein bagi industri
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dampak Pencemaran Limbah Bulu Ayam di Lingkungan
Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuknya
atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukannya.” Kegiatan manusia berupa adanya industri peternakan ayam
khususnya rumah potong ayam, menghasilkan limbah berupa bulu ayam yang
menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan. Pencemaran ini terus
meningkat seiring dengan peningkatan industri peternakan ayam. Oleh sebab itu perlu
adanya upaya meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam di lingkungan
agar tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri peternakan ayam yaitu rumah
potong ayam berupa terganggunya sanitasi lingkungan akibat limbah bulu ayam yang
menimbulkan bau tidak sedap dan merupakan sumber penyebaran penyakit sebagai
dampak penurunan kualitas udara. Bulu ayam yang diproduksi dalam jumlah besar
merupakan produk limbah sisa industri peternakan khususnya rumah potong ayam.
Berjuta ton produk bulu ayam dunia diperhitungkan menghasilkan limbah bulu ayam
yang mengandung keratin. Bulu ayam merupakan sisa kegiatan atau limbah yang
Produk akhir ini biasanya sangat mengganggu kesehatan manusia (Periasamy and
Subash, 2004). Selain itu limbah bulu ayam juga menimbulkan dampak penurunan
kualitas tanah karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan akibat
adanya keratin atau protein fibrous berupa serat. Oleh sebab itu limbah bulu ayam
resisten terhadap perombakan atau degradasi dan merupakan masalah yang serius di
lingkungan (Savitha et al., 2007).
Pencemaran lingkungan merupakan suatu permasalahan yang sangat global
sehingga menuntut suatu sistem pengelolaan limbah secara efektif dan efesien dalam
waktu cepat. Hal ini sebagai aplikasi dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
dengan cara meminimalisasi dampak pencemaran limbah bulu ayam yang terjadi di
lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi dampak
pencemaran limbah bulu ayam adalah dengan prinsip zero waste yaitu meminimalisasi limbah bulu ayam dengan memanfaatkannya sebagai bahan baku
ransum non konvensional sumber protein bagi ayam pedaging. Pengelolaan
lingkungan bertujuan agar limbah bulu ayam yang dihasilkan dari suatu kegiatan
industri peternakan ayam menghasilkan dampak pencemaran seminimal mungkin
atau menjadikan limbah tersebut tidak berbahaya lagi bagi kesehatan dan lingkungan.
Sehingga tidak menimbulkan penurunan kualitas udara dan tanah atau setidaknya
dampak pencemaran tersebut dapat diminimalisasi (Budiyanto, 2004).
Menurut Diwyanto, (2004), industri perunggasan Indonesia masih tetap
mempunyai prospek yang baik jika didukung oleh inovasi teknologi yang baik
teknologi ransum yang perlu dikembangkan adalah dengan memanfaatkan sumber
bahan ransum non konvensional. Bahan ransum non konvensional dapat diperoleh
dengan cara pemanfaatan limbah. Pemanfaatan limbah merupakan suatu usaha untuk
meminimalisasi dampak limbah terutama yang berasal dari industri peternakan ayam,
disamping itu limbah bulu ayam masih memiliki kandungan protein yang sangat
tinggi.
2.2 Potensi Limbah Bulu Ayam
Limbah merupakan hasil samping dari suatu kegiatan industri, dalam hal ini
bulu ayam merupakan hasil ikutan usaha pemotongan ayam. Bulu ayam merupakan
salah satu hasil samping ternak ayam (petelur, pedaging dan buras) dari rumah potong
dan tempat pemotongan ayam lainnya. Populasi ayam di Indonesia tahun 1999
sebesar 726,10 juta ekor (Statistik Peternakan, 1999), sedangkan untuk tahun 2003
populasi ayam pedaging meningkat sebesar 917.707.000 ekor (Mathius et al, 2003). Peningkatan populasi ayam ini akan menimbulkan peningkatan limbah bulu ayam,
dan jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan.
Pencemaran merupakan suatu kondisi yang tidak nyaman ditimbulkan dari
suatu limbah. Limbah bulu ayam menimbulkan bau yang tidak sedap dan merupakan
sumber penyebaran penyakit. Hal ini merupakan permasalahan lingkungan yang perlu
segera ditangani, seiring dengan peningkatan populasi ayam. Berat bulu ayam
Siregar (2003), berat bulu ayam 4% dari berat tubuh total. Populasi ayam di Indonesia
tahun 1999 sebesar 726,10 juta ekor (Statistik Peternakan, 1999). Dari populasi
726,10 juta ekor berdasarkan data statistik di atas, dengan bobot badan rata-rata 1,2
kg, maka akan diperoleh limbah bulu ayam sebesar 34.853 ton. Limbah ini terus
meningkat seiring dengan peningkatan populasi ayam dan kebutuhan masyarakat
akan protein hewan. Jika limbah yang terus bertambah ini tidak dikelola dengan baik
maka akan menimbulkan dampak pencemaran yang sangat besar terhadap lingkungan
khususnya lingkungan rumah potong ayam.
Bulu ayam diproses terlebih dahulu sehingga dinamakan tepung bulu
terhidrolisis atau terproses. Tepung bulu memiliki kandungan leusin dan isoleusin
yang baik, tetapi miskin akan metionin dan triptopan. Tepung bulu terproses dapat
digunakan untuk pakan ayam perdaging (Rasyaf, 1994). Penggunaan tepung bulu
dengan pengolahan, bagi ayam pedaging masih berbeda-beda yaitu 2,5% (Morris and
Balloun, 1973), 5% (Williams et al., 1991) dan 6% (Cabel et al.,1988; Kamal, 1985). Tepung bulu ayam kaya akan leusin, isoleusin dan valin yang berturut-turut
adalah 4,88, 3,12 dan 4,44% (Siregar, 2003). Komposisi nutrien hidrolisat bulu ayam
disajikan pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Komposisi Nutrien Hidrolisat Bulu Ayam
Nutrien Kandungan Nutrien
Disamping itu kandungan protein tepung bulu ayam lebih tinggi daripada
tepung ikan dan bungkil kedelai. Perbandingan komposisi kandungan asam amino
tepung bulu ayam, tepung ikan dan bungkil kedelai dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Perbandingan Komposisi Kandungan Asam Amino Antara Tepung Bulu Ayam, Tepung ikan dan Bungkil Kedelai
Asam amino ( %) Tepung Bulu Ayam Tepung Ikan Bungkil Kedelai
Arginin
Sumber: National Research Council (1994).
2.3 Keratin (Protein Fibrous)
Keratin adalah suatu kelompok protein yang sangat khusus memproduksi sel
epitel tertentu dari hewan bertulang belakang dan lapisan tanduk kulit luar serta
epidermal tambahan seperti rambut, kuku dan bulu ayam. Sedangkan keratinase
adalah spesifik protease hidrolisis keratin yang terdapat pada bulu ayam, wool dan
rambut. Keratin serupa dengan komponen protein lainnya secara umum dan tidak
tampak jelas perbedaan substratnya. Keratin dapat didegradasi oleh mikroba dari
mikroorganisme termofilik yaitu mikroba yang dapat tumbuh pada suhu 50- 650C
(Zerdani et al., 2004).
Keratin atau serat terdiri dari komponen ikatan sistin disulfida, ikatan
hidrogen dan interaksi hidrofobik molekul keratin (Williams et al., 1991). Ikatan sistin disulfida atau ikatan silang terbentuk antara asam amino sistin yang
mengandung gugus –SH. Jika dua unit sistin berikatan, maka terbentuklah sebuah
jembatan disulfida _S-S- melalui oksidasi gugus-gugus -SH. Protein serat terbentuk
dari molekul yang rapat dan teratur berupa ikatan silang antara rantai-rantai asam
amino yang berdekatan sehingga molekul air sukar menerobos struktur ini, oleh
karena itu protein serat tidak larut di dalam air (hidrofobik). Logam berat dapat
merusak ikatan disulfida karena afinitasnya yang tinggi dan kemampuannya untuk
menarik sulfur sehingga mengakibatkan denaturasi protein. Pembentukan ikatan
silang sistin disulfida atau ikatan peptida kompleks terjadi karena proses hidolisis
yang tidak sempurna, hal ini dapat diatasi dengan melakukan proses hidolisis ulang
melalui fermentasi (Gaman and Sherrington, 1992). Selain itu ikatan keratin dapat
diputuskan dengan bantuan enzim-enzim proteolitik. Secara jelas
NH CHR CO NH CH CO NH CHR CO
CH2
S
S
CH2
OC CHR NH OC CH NH OC CHR NH
Gambar 2. Struktur Kimia Keratin
Sumber: Haurowitz (1984).
Menurut Savitha et al., (2007), bulu ayam mengandung 90% protein dengan komponen beta-keratin, fibrous dan struktur protein yang kokoh dari disulfida.
Komponen tersebut sangat sulit terdegradasi di lingkungan, sementara limbah bulu
ayam sangat banyak diproduksi oleh industri peternakan ayam. Limbah ini terus
meningkat seiring peningkatan populasi ayam. Pencemaran lingkungan akibat limbah
bulu ayam hanya dapat diatasi melalui bantuan mikroorganisme sebagai dekomposer
atau pengurai di lingkungan. Penggunaan mikroorganisme dalam mendegradasi
limbah bulu ayam merupakan upaya menjaga stabilitas lingkungan dari pencemaran.
Bulu ayam mempunyai kelemahan untuk dicerna dengan baik karena
mengandung keratin, oleh sebab itu dalam pemanfaatannya perlu dilakukan hidrolisis
atau pemasakan pada temperatur yang cukup tinggi yaitu sampai titik didih 1300C
selama 30 menit (Murtidjo, 1987), karena dengan pengolahan tersebut ikatan keratin,
berupa ikatan sistin disulfida dapat diputuskan atau pecah menjadi
oleh Arifin, (2004), menunjukkan bahwa dengan metode pengukusan pada suhu
118oC selama 30 menit dan 60 menit menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
peningkatan konsumsi nitrogen dan energi pada anak ayam.
Williams et al., (1991) telah memperkenalkan teknologi pengolahan tepung bulu ayam secara enzimatis mempergunakan enzim dari jamur Cuninghamella spp yang difermentasi selama 11 hari menunjukkan hasil pemecahan ikatan keratin dalam
tepung bulu ayam sehingga retensi nitrogen atau konsumsi nitrogen meningkat
sebesar 49,19%.
2.4 Peran Mikroba Sebagai Pendegradasi Limbah di Lingkungan
Mikroorganisme merupakan makhluk hidup yang sangat kecil, diantaranya
terdiri dari bakteri dan jamur serta merupakan sumberdaya alam yang memiliki
peranan sangat penting sebagai pendegradasi limbah yang ada di lingkungan.
Degradasi merupakan proses perombakan za-zat yang ada di lingkungan dengan
bantuan pengurai berupa mikroba. Mikroorganisme juga berperan dalam menjaga
stabilitas lingkungan dari pencemaran. Untuk memperoleh mikroorganisme yang
sesuai diperlukan isolasi mikroba dari lingkungan. Lingkungan yang paling umum
digunakan sebagai isolasi yaitu dari tempat produksi atau pada tempat dimana produk
limbah dihasilkan. Pada umumnya isolat diperoleh dari lingkungan yang mendekati
atau pada substrat tempat tumbuhnya. Sumber isolat umumnya berasal dari tanah,
karena tanah mengandung berbagai unsur hara yang sangat kompleks sehingga
Isolat jamur sebagai hasil isolasi yang diperoleh dari tanah berupa biakan
campuran yang terdiri dari bermacam jamur. Isolat yang diperoleh kemudian
dimurnikan dengan cara ditumbuhkan pada media pertumbuhan. Kemurnian jamur
ditunjukkan oleh keseragaman koloni jamur, sedangkan kultur campuran ditunjukkan
dengan adanya gumpalan pada titik inokulum. Kultur campuran ditandai dengan
perbedaan miselium, spora dan warna hifa. Setelah diperoleh biakan murni kemudian
diidentifikasi lalu dilakukan pengujian terhadap produk yang diinginkan (Suhartini et al., 2006).
2.5 Pengolahan Limbah Bulu Ayam 2.5.1 Perlakuan Fisik
Perlakuan fisik dengan penggilingan merupakan suatu proses perombakan
bentuk fisik bahan ransum menjadi partikel-partikel yang lebih halus sehingga mudah
dikonsumsi oleh ayam. Bentuk fisik bahan ransum akan mempengaruhi tingkat
kesukaan makan (palatibilitas) ayam. Tepung bulu ayam sebelum difermentasi harus
dioutoklaf supaya steril atau bebas dari mikroorganisme lainnya. Penggilingan
dilakukan untuk memperkecil partikel bahan ransum sehingga bahan baku ransum
yang dihasilkan halus, semakin halus suatu bahan baku ransum maka semakin mudah
2.5.2 Perlakuan Biologis
Perlakuan biologis dengan fermentasi menggunakan mikroba berupa bakteri
atau jamur dapat meningkatkan kecernaan suatu bahan ransum, karena dalam
fermentasi terjadi suatu proses perombakan atau perubahan kimia dari senyawa
organik (karbohidrat, lemak, protein dan bahan organik lainnya) kompleks, baik
dalam keadaan ada udara (aerob) maupun tanpa udara (anaerob) melalui bantuan
enzim yang berasal dari mikroba menjadi komponen yang lebih sederhana dan
memiliki tingkat kecernaan yang lebih tinggi (Tjitjah, 1997).
Fermentasi merupakan aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan
baku menjadi produk yang bernilai lebih tinggi seperti protein. Protein mikroba ini
dikenal dengan nama protein sel tunggal. Protein sel tunggal adalah istilah yang
digunakan untuk protein kasar atau murni yang berasal dari mikroorganisme seperti
jamur (Nurhayani et al., 2000).
Fermentasi mempunyai nilai gizi lebih baik dari asalnya karena
mikroorganisme bersifat katabolik atau memecah komponen yang kompleks menjadi
lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Winarno et al., 1980). Fermentasi dapat dilakukan dengan metode kultur permukaan dan kultur terendam sub merged. Kultur
permukaan yang menggunakan substrat padat atau semi padat banyak digunakan
untuk memproduksi berbagai jenis asam organik dan enzim yang dihasilkan oleh
2.6 Proses Fermentasi dengan Medium Padat
Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua yaitu
fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat
adalah merupakan proses fermentasi dimana medium yang digunakan tidak larut
tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi
medium cair adalah proses substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair.
Fermentasi medium padat dilakukan karena medium yang digunakan untuk
fermentasi adalah dalam bentuk padat yaitu tepung bulu ayam yang sudah digiling
dan dioutoklaf. Keuntungan penggunaan fermentasi medium padat antara lain: tidak
memerlukan tambahan lain kecuali air yang berperan untuk memacu pertumbuhan
jamur, persiapan yang dilakukan terhadap inokulum jamur relatif lebih sederhana
cukup dibiakkan dalam medium cair dan siap untuk diaplikasikan ke medium
fermentasi, menghasilkan produk dengan tingkat kepekatan tinggi, kontrol terhadap
kontaminan lebih mudah, kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh
alamiah, memiliki tingkat produktifitas yang tinggi, aerasi optimum dan tidak
memerlukan kontrol pH maupun suhu (Hardjo et al., 1989).
2.7 Kapang (Jamur) Sebagai Inokulum Fermentasi
Penggunaan kapang (jamur) sebagai inokulum atau starter fermentasi sudah
banyak dilakukan karena pertumbuhannya relatif mudah dan cepat, dan kadar asam
nukleat rendah (Schellart, 1975). Pertumbuhannya mudah dilihat karena
jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang
dan kapang ini terdiri dari suatu tallus bercabang yang disebut hifa, dimana miselium
merupakan massa hifa (Fardiaz, 1989).
Jamur yang digunakan dalam fermentasi diperoleh dari isolasi tanah kandang
ayam. Isolasi jamur dilakukan sebanyak dua kali, setelah dilakukan identifikasi
melalui pengamatan mikroskop dengan perbesaran 400x diperoleh isolat jamur
Helicomyces sp.
Klasifikasi isolat jamur Helicomyces sp menurut Barnett and Hanter, (1972) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Eumycophyta
Klas : Deutromycetes
Ordo : Monilliales Famili : Monilliaceae Genus : Helicomyces
Species : Helicomyces sp
Jamur ini memiliki ciri-ciri konidiofor berbentuk hialin sederhana, pendek, bersepta,
konidia kurus seperti kawat pijar, ketat bergulung dan merupakan saprofit pada
pembusukan kayu (Barnett and Hunter, 1972). Disamping itu jamur ini berfungsi
sebagai pengurai (dekomposer) di lingkungan (Clement et al., 2006). Jamur
penyakit kulit (dermatofit) dan mampu mendegradasi keratin (Dwidjosaputro, 1984).
2.8 Kebutuhan Zat-zat Makanan Ayam Pedaging
Menurut Rasyaf (1997) ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk
memenuhi kebutuhan zat-zat nutrisi yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat
berarti zat makanan tidak berlebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan harus
mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Tujuan pemeliharaan yaitu untuk memproduksi daging sebanyak mungkin
dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (adlibitum). Ayam
pedaging selama pemeliharaannya mempunyai dua macam pakan yaitu starter (0-4
minggu) dan pedaging finisher umur 5 minggu hingga panen (Kartadisastra, 1999).
Supaya jaringan daging tumbuh lebih cepat, zat makanan berupa protein dan energi
harus diberikan secara maksimal. Sehingga tercapai keseimbangan antara protein dan
energi yang dapat menghasilkan daging yang baik dalam waktu singkat (Widodo,
2002).
Menurut Winarno (1992), laju pertumbuhan merupakan fungsi dari tingkat
nutrisi. Semakin baik tingkat nutrisi yang diberikan maka laju pertumbuhan semakin
baik. Efisiensi terhadap pemberian ransum akan berpengaruh nyata terhadap
pertambahan keuntungan. Untuk itu hendaknya ransum yang digunakan mengandung
susunan zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, yakni kandungan energi
yang tinggi, kualitas protein baik, kandungan asam amino essensial serta mineral dan
2.8.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan struktur kimiawi kompleks terdiri dari pati, selulosa,
pentosan, beberapa gula dan bentuk lain. Fungsi karbohidrat bagi ternak unggas
sebagi sumber energi dan panas serta disimpan sebagai lemak bila berlebih. Butiran
dan hasil ikutannya merupakan sumber utama karbohidrat dalam ransum unggas.
Karbohidrat sebagai penyumbang energi yang terbesar dalam ransum unggas
(Anggorodi, 1995).
Energi metabolis adalah energi kotor dari pakan yang dapat digunakan oleh
tubuh. Pada unggas energi metabolis diperoleh dari penggunaan energi kotor pakan
dengan energi ekskreta. Energi ekskreta berasal dari campuran energi feses dan urine.
Energi urine adalah energi kotor dari urine yang berasal dari zat-zat makanan yang
telah diabsorpsi tetapi tidak mengalami oksidasi sempurna (Widodo, 2002).
Energi metabolisme penting diketahui dalam ransum, sebab bila ransum
mengandung energi yang rendah, unggas akan mengkonsumsi makanan lebih banyak.
Dan bila kandungan energi tinggi unggas akan mengkonsumsi pakan lebih sedikit.
Ayam akan berhenti makan kalau kebutuhan energinya sudah terpenuhi. Oleh karena
itu ransum yang nilai energinya tinggi, maka kandungan proteinnya pun harus
ditingkatkan. Dengan kata lain kandungan energi dan protein harus seimbang
2.8.2 Protein
Ciri khusus protein adalah adanya kandungan nitrogen. Protein merupakan
gabungan asam amino melalui ikatan peptida, yaitu suatu ikatan antara gugus amino
(NH2) dari suatu asam amino dengan gugus karboksil dari asam amino lain dengan
membebaskan satu molekul air ( H2O).
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena
zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan
pengatur dalam tubuh. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan
dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S
dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).
2.8.3 Serat Kasar
Serat kasar sangat penting diketahui dalam penyusunan bahan pakan unggas.
Serat kasar berfungsi merangsang gerak peristaltik pada saluran pencernaan, sebagai
media mikroba pada usus buntu untuk menghasilkan vitamin K dan B12, serta untuk
memberi rasa kenyang. Penggunaan maksimum dalam ransum ayam pedaging tidak
lebih dari 5%. Jika persentase serat kasar berlebih dalam ransum maka akan
menghambat penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh ayam (Kartadisastra, 1994).
2.8.4 Lemak
Lemak adalah kelompok senyawa heterogen yang masih berkaitan dengan
gliserol dan kolesterol. Asam lemak tidak jenuh mengandung jumlah atom hidrogen
kurang dari dua kali atom karbon, serta satu atau lebih pasangan atom karbon yang
berdekatan dihubungkan dengan ikatan rangkap. Sedangkan asam lemak jenuh
mempunyai atom hidrogen dua kali jumlah atom sebenarnya dan tiap molekul
mengandung dua atom oksigen (Widodo, 2002).
2.8.5 Vitamin
Vitamin adalah zat katalisator essensial yang tidak dapat disintesis tubuh
dalam proses metabolisme sehingga harus ada dalam ransum. Vitamin bagi unggas
diperlukan untuk pertumbuhan, kesehatan, reproduksi dan kelangsungan hidup
(Anggorodi, 1995).
Vitamin sangat diperlukan untuk reaksi-reaksi spesifik dalam sel tubuh
unggas. Vitamin berperan sebagai koenzim atau katalisator hayati yaitu sebagai
mediator dalam sintesis atau degradasi suatu zat tanpa ikut menyusun zat yang
disintesis. Apabila vitamin tidak terdapat dalam ransum maka akan mengakibatkan
defesiensi yang khas dan hanya dapat disembuhkan dengan pemberian vitamin itu
sendiri (Widodo, 2002).
2.8.6 Mineral
Mineral merupakan komponen anorganik yang diperlukan oleh tubuh unggas
membantu fungsi metabolis dalam tubuh unggas. Unggas jika kekurangan mineral
akan menunjukkan gejala defisiensi mineral.
Menurut Widodo (2002), mineral secara umum berperan memelihara kondisi
normal tubuh, keseimbangan asam dan basa tubuh, disamping itu memelihara tekanan
osmotik cairan tubuh, menjaga kepekaan otot dan syaraf, mengatur transportasi zat
makanan dalam sel, mengatur permeabilitas membran sel, dan mengatur metabolisme
Kebutuhan ternak akan mineral tidak dapat dipisahkan dari kepentingan
produksi antara lain terdiri dari perbaikan dan pertumbuhan jaringan seperti gigi dan
tulang. Komposisi mineral dari tulang segar terdiri dari kalsium 36%, fosfor 17% dan
magnesium 0,8%. Juga untuk perbaikan dan pertumbuhan bulu, tanduk, kuku,
jaringan lunak dan sel darah.
2.9 Standart Produksi Ayam Pedaging 2.9.1 Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah nutrisi yang ada di
dalam pakan tersebut yang telah tersusun dari berbagai bahan pakan untuk memenuhi
kebutuhan ternak tersebut. Secara biologis ayam mengkonsumsi makanan untuk
kepentingan hidupnya, kebutuhan energi untuk fungsi-fungsi tubuh dan
memperlancar reaksi sintesis dari tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa ternak ayam
mengkonsumsi makanannya terutama untuk pertumbuhan. Ransum dikatakan baik
bila dikonsumsi secara normal dan dapat mensuplai zat-zat makanan yang diperlukan
Konsumsi ransum diukur dalam waktu satu minggu. Konsumsi ransum
komulatif adalah konsumsi ransum yang dihabiskan minggu lalu ditambahkan dengan
konsumsi ransum yang dihabiskan pada minggu ini (Parakasi, 1983).
Untuk mengetahui keserasian standart ayam pedaging pada umur 6 minggu
dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Konsumsi Ransum Ayam Pedaging dan Berat Badan (Umur 1 – 6
Menurut Anggorodi, (1990) pertumbuhan murni adalah pertambahan dalam
bentuk dan bobot jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua
jaringan tubuh yang lainnya kecuali jaringan lemak. Pertumbuhan terjadi secara
perlahan kemudian berlangsung lebih cepat, secara perlahan lagi tumbuh dan
akhirnya berhenti sama sekali, pertumbuhan biasa digambarkan seperti kurva
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu standart produksi bagi ayam
pedaging. Pertambahan bobot badan adalah selisih bobot badan akhir dan bobot
badan awal dibagi dengan lama penelitian. Pengukuran berat badan dilakukan dalam
kurun waktu satu minggu sehingga untuk mendapatkan berat badan harian, bobot
badan dibagi tujuh. Pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi oleh konsumsi
ransum, kesehatan ayam, suhu lingkungan dan strain ayam pedaging (Rasyaf, 1995).
Pertambahan bobot badan ayam (strain) akan menentukan jumlah konsumsi
pakan. Semakin besar bobot badan ayam semakin banyak jumlah konsumsi pakan. Di
samping itu strain, jenis dan tipe ayam juga menentukan (Kartadisastra, 1994).
2.9.3 Konversi Ransum
Konversi ransum (Feed Convertion Ratio) adalah perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam waktu satu minggu dengan pertambahan berat badan
yang dicapai pada minggu tersebut. Bila ratio kecil berarti pertambahan berat badan
baik dan penggunaan ransum efesien. Hal ini dipengaruhi oleh besar dan bangsa
ayam, tahap produksi, kadar energi dalam ransum dan temperatur lingkungan
(Rasyaf, 1997).
Menurut Tillman et al., (1991), pemanfaatan energi metabolisme untuk pertumbuhan sedikit lebih efesien dibanding untuk penggemukan. Oleh sebab itu
konversi pakan akan lebih baik pada hewan yang sedang tumbuh dibanding hewan
Pertumbuhan yang cepat mempunyai makna bahwa pertumbuhan ayam
diusahakan sesuai dengan ambang batas genetisnya, sedangkan segi bisnis berarti
waktu jual lebih cepat tercapai. Konversi ransum inilah yang sebaiknya digunakan
sebagai pegangan berproduksi karena sekaligus melibatkan berat badan dan konsumsi
ransum (Rasyaf, 1996).
2.10 Kecernaan Ransum
Kecernaan ransum atau koefisien cerna suatu ransum didasarkan pada asumsi
bahwa zat gizi yang tidak terdapat dalam feses adalah habis untuk dicerna dan diserap
oleh tubuh. Sebagian dari bahan makanan yang terdapat dalam feses adalah enzim
yang disekresikan ke dalam saluran pencernaan yang tidak diserap kembali oleh
tubuh, dan juga berupa hasil kikisan sel-sel dari dinding pencernaan. Daya cerna
suatu bahan makanan dipengaruhi oleh beberapa ransum diantaranya yaitu kandungan
serat kasar dalam ransum, dimana jika ransum mengandung serat kasar yang lebih
dari 5 maka daya cerna ransum akan rendah karena unggas tidak mampu mencerna
makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi. Selain itu daya cerna
dipengaruhi oleh keseimbangan kandungan zat gizi antara bahan-bahan penyusun
ransum, semakin seimbang kandungan zat gizi dalam ransum maka daya cerna akan
semakin tinggi. Daya cerna juga dipengaruhi oleh bentuk fisik ransum, semakin kecil
ukuran ransum maka makin mudah untuk dicerna dalam saluran pencernaan (Tillman
2.11. Income Over Feed Cost (IOFC)
Income Over Feed Cost merupakan analisis pendapatan atau keuntungan terhadap penggunaan suatu ransum. Pendapatan atau keuntungan diperoleh dari
perkalian antara hasil produksi peternakan yang dihitung dalam kilogram berat badan
hidup dengan harga jual, sedangkan biaya ransum merupakan total konsumsi dikali
harga ransum dalam menghasilkan kilogram berat badan ternak tersebut
(Prawirakusumo, 1990).
Keuntungan atau pendapatan dari setiap usaha yang dilaksanakan merupakan
salah satu sasaran utama dalam berusaha, sehingga jika merencanakan suatu usaha
yang sederhana sekalipun seorang pengusaha atau peternak berharap akan
mendapatkan keuntungan. Usaha pemanfaatan limbah bukan hanya memberikan
keuntungan dari segi ekonomi tetapi juga memberikan manfaat dalam penanganan
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman,
Laboratorium Nutrisi Ternak dan Kandang Ternak Departemen Peternakan
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Waktu Penelitian dimulai dengan pembuatan isolat jamur pada bulan Juli
2007 di Laboratorium Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan sebagai penelitian awal, kemudian pelaksanaan penelitian
dimulai pada bulan Januari sampai April 2008.
3.2 Bahan dan Alat
3. 2.1 Bahan dan Alat Untuk Pembuatan Isolat Jamur a. Bahan
Tanah dari limbah kandang ayam sebanyak 20 gram.
Potato Dextrose Agar (PDA) dengan komposisi 39 gram medium PDA
(Oxoid) dalam 1 liter air suling (aquadest). b. Alat
Timbangan elektrik untuk menimbang sampel tanah bahan isolasi.
Mikropipet untuk mengukur suspensi tanah yang ingin dipindahkan antar tabung reaksi.
Beaker glass sebagai tempat suspensi tanah.
Shaker untuk mengguncang sampel tanah dengan agudest sehingga terbentuk suspensi tanah.
3.2.2 Bahan dan Alat Untuk Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth)
a. Bahan
Isolat jamur yang sudah murni.
Kentang yang sudah bersih dan dipotong-potong sebanyak 250 gram.
Air suling (aquadest) steril sebanyak 1 liter.
Dextrose sebanyak 20 gram.
b. Alat
Panci sebagai tempat memasak kentang.
Saringan untuk menyaring filtrat kentang.
outoklaf untuk mensterilkan Potato Dextrose Broth (PDB).
Shaker untuk mengguncang suspensi jamur sampai terjadi perubahan kekeruhan.
3.2.3 Bahan dan Alat Untuk Penghitungan Jumlah Total Mikroba
a. Bahan
Aguadest yang sudah disterilkan.
b. Alat
Mikroskop elektrik perbesaran 400x.
Hemositometer untuk menghitung jumlah total mikroba.
3.2.4 Bahan dan Alat Untuk Fermentasi a. Bahan
Tepung bulu ayam yang sudah siap digiling dan dioutoklaf.
Inokulum jamur sebagai starter fermentasi.
Aquadest yang sudah disterilkan.
b. Alat
Timbangan elektrikuntuk menimbang banyak jamur yang digunakan
sebagai starter fermentasi.
Kantung plastik sebagaiwadah fermentasi tepung bulu ayam.
3.2.5 Bahan dan Alat Untuk Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam a. Bahan
Tepung bulu ayamhasil fermentasi.
Asam sulfat.
Aquadest 100 ml.
NaOH 35% sebanyak 5 ml.
b. Alat
Labu Kjeldahl sebagai tempat destilasi.
Erlenmeyer sebagai tempat campuran NaOH dan asam borat
(H3BO33%).
Alat titrasi untuk mentitrasi hasil destilasi.
3.2.6 Bahan dan Alat Untuk Uji Biologis a. Bahan
Tepung Bulu Ayam hasil fermentasi.
Ayam pedaging umur 4 minggu sebanyak 15 ekor untuk isolat jamur.
Anak ayam umur 1 hari (DOC) strain 707 sebanyak 100 ekor untuk
pengujian biologis terhadap penggunaan isolat terbaik.
Bungkil kelapa, dedak jagung, bungkil kedelai, tepung ikan, kapur, dan
minyak nabati untuk bahan baku ransum yang lain sebagai campuran
tepung bulu ayam fermentasi.
Vitamin dan obat-obatan.
Rodalon dan formalin untuk sterilisasi kandang.
b. Alat
Tempat pakan dan tempat minum.
Lampu 40 watt sebanyak 20 buah untuk penerangan.
3.3 Rancangan Metode Penelitian
Pengujian yang digunakan dalam penelitian ini ada dua tahap yaitu pada
pengujian tahap pertama (I) dilakukan sebagai pengujian kandungan protein tepung
bulu ayam hasil fermentasi. Pada pengujian ini target yang ingin dicapai adalah
menentukan dosis inokulum jamur terbaik yang dapat menghasilkan kandungan
protein tepung bulu ayam tertinggi setelah fermentasi. Rancangan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non Faktorial dengan 4 perlakuan dan 3
ulangan. Fermentasi dilakukan selama 11 hari (Williams et al., 1991). Model matematik yang digunakan:
Yij = µ + i + i = 1,2,3,…p j = 1,2,3…n
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j
µ = Nilai tengah umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i
ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j
( Sastrosupadi, 1995).
Masing-masing Perlakuan terdiri dari:
T1 = Tepung Bulu ayam tanpa perlakuan (kontrol)
T2 = Tepung Bulu ayam ditambah inokulum jamur 1%
T3 = Tepung Bulu ayam ditambah inokulum jamur 2%
Tepung bulu ayam yang memiliki kandungan protein tertinggi setelah
fermentasi pada pengujian tahap pertama digunakan sebagai bahan baku ransum
ayam pedaging pada pengujian tahap kedua (II) atau uji biologis.
Pengujian tahap kedua (II) atau uji biologis (tepung bulu fermentasi sebagai
bahan baku ransum ayam pedaging umur 0-6 minggu), rancangan yang digunakan
dalam pengujian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non Faktorial dengan 5
perlakuan dan 4 ulangan. Jumlah plot 20 dan setiap plot (kandang ukuran 1 meter x 1
meter x 0,5 meter) diisi dengan 5 ekor ayam. Kepadatan kandang dengan 5 ekor ayam
untuk mencegah sifat kanibalisme (saling makan antar ayam). Penentuan ulangan pada pengujian biologis dengan Rumus: t (n-1) > 15
Dimana: t = Perlakuan
15 = Ketetapan
Model matematik yang digunakan:
Yij = µ + i + ij
i = 1,2,3,…p
j = 1,2,3…n
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i
ij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke- j
Masing- masing perlakuan terdiri dari:
T1 = Ransum tanpa tepung Bulu Ayam ( 0%) + 10% tepung ikan (kontrol)
T2 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 2,5 %
T3 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 5 %
T4 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 7,5%
T5 = Ransum dengan Tepung Bulu Ayam 10%
Parameter yang diukur terdiri dari:
1. Konsumsi ransum yaitu jumlah ransum yang diberikan selama satu minggu
ditimbang kemudian dikurangi dengan sisa ransum.
2. Pertambahan berat badan yaitu berat badan pada akhir minggu dikurangkan
dengan berat badan pada awal minggu.
3. Konversi ransum yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi dalam waktu satu minggu
dibagi dengan pertambahan berat badan pada minggu tersebut.
4. Kecernaan ransum yaitu kandungan zat gizi ransum dikurangkan dengan
kandungan zat gizi dalam feses dibagi kandungan zat gizi ransum dikali seratus
persen.
5. Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan (berat badan akhir ternak dikali harga ternak dalam satu kilogram) dikurangkan dengan biaya ransum (total
konsumsi dikali harga ransum).
Pada tahap ini target yang ingin dicapai adalah ransum dengan tingkat
konversi paling rendah yang berarti dapat mencapai tingkat pertambahan berat badan
memiliki kandungan gizi yang optimal dan efesien untuk pertumbuhan ayam serta
memberikan nilai keuntungan penggunaan ransum (IOFC) yang lebih tinggi.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Isolasi Tanah Kandang Ayam
Isolasi tanah dari kandang ayam dilakukan untuk mendapatkan jamur yang dapat
mendegradasi keratin pada tepung bulu ayam. Isolasi tanah dilakukan sebanyak dua
kali. Jamur yang digunakan dalam fermentasi diperoleh dari isolasi tanah berasal dari
kandang ayam. Isolasi dilakukan dengan mencampur tanah sebanyak 20 gram dalam
air suling 200 ml, kemudian digoncang dengan shaker lebih kurang 10 menit. Suspensi partikel tanah sebanyak 1 ml tersebut dilarutkan dalam 9 ml air suling yang
sudah steril, kemudian digoncang sampai homogen sehingga diperoleh pengenceran
10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2 dengan cara mengambil 1 ml suspensi
partikel tanah pada pangenceran 10-1 dilarutkan pada 9 ml air suling yang sudah steril
sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Pada pengenceran 10-5, 10-6 dan 10-7, masing -
masing diambil sebanyak 0,1 ml disebarkan dengan hockey stick pada media PDA
(Potato Dextrose Agar) dengan komposisi 39 gram PDA (Potato Dextrose Agar) (Oxoid) dalam 1 liter air suling kemudian diinkubasi lebih kurang 1 minggu pada
suhu 270C (suhu ruang) untuk pertumbuhan jamur (Cappuccino and Sherman, 1996).
Pemurnian jamur dilakukan dengan mengambil 1 choock borrer biakan jamur
kemudian diinokulasi pada media PDA, diinkubasi kembali pada suhu ruang (270C).
pemurnian isolat jamur dilakukan sebanyak tiga sampai empat kali. Setelah diperoleh
jamur yang murni baru dilakukan pembiakan jamur dengan pemindahan jamur pada
media PDA (Potato Dextrose Agar) (Lay, 1994). Pada isolasi pertama (I) dari hasil identifikasi dengan pengamatan mikroskop perbesaran 400x diperoleh isolat jamur
Helicomyces sp.
3.4.2 Pembiakan Jamur Pada Media Cair (Potato Dextrose Broth)
Kentang sebanyak 250 gram yang sudah bersih dan dipotong-potong
kemudian direbus selama 20 menit kemudian disaring sampai dihasilkan filtrat
sebanyak 1 liter dengan penambahan air suling (air aquadest) yang steril. Larutan
filtrat ditambahkan dengan 20 gram dextrose, kemudian larutan filtrat tersebut dituang ke 5 erlenmeyer dengan masing-masing erlenmeyer berisi 200 ml air filtrat
dextrose, setelah itu diautoklaf pada suhu 1210C tekanan 15 psi (pounds per square inch) selama 15 menit. Kemudian dimasukkan pada erlenmeyer, jamur sebanyak 5
chooch borrer atau menurut Lay, (1994) sebanyak 106 spora/ml, kemudian digoncang pada shaker dengan kecepatan 60 rpm (rotation pert minute) selama 2 minggu (Atlas, 1997). Pengguncangan bertujuan untuk menciptakan oksigen sehingga
memancing spora dari jamur tersebut keluar. Pengguncangan dilakukan sampai
3.4.3 Pelaksanaan Fermentasi
a. Penghitungan Jumlah Total Mikroba
Jumlah total mikroba (jamur) sebagai inokulum fermentasi dihitung dengan
alat Hemositometer. Dari pengenceran inokulum jamur 10-1 kemudian diteteskan sebanyak satu tetes inokulum jamur, setelah slide penutup ditutupkan. Individu sel
dalam suatu kelompok sel dihitung. Sel spora jamur yang dihitung yaitu pada sel
yang terletak di atas dan kiri menyentuh garis tengah pada tepi bujur sangkar.
Penghitungan jumlah mikroba (jamur) berdasarkan rumus:
Jumlah sel per ml sampel = N x 5 x 10 x 1.000
Dimana, N = Jumlah spora jamur dalam kotak besar
5 = Jumlah kotak besar
10 = Faktor perkalian
1.000 = Faktor pengali dalam satuan mililiter (Raul and Jaime, 1986).
b. Fermentasi
Tepung bulu ayam sebagai medium fermentasi harus mengandung kadar air
minimal 30% untuk memudahkan pertumbuhan jamur. Tepung bulu ayam dalam
kondisi kering tetap mengandung air sebanyak 10%, jadi dilakukan penambahan air
sebanyak minimal 20% dari berat kering tepung bulu ayam dicampur dengan
inokulum jamur 1% (v/w), 2% (v/w), dan 3% (v/w) dari berat kering bahan.
pada tepung bulu ayam sebanyak 20 gram yang sudah ditempatkan pada wadah
plastik yang kedap udara sehingga terjadi proses fermentasi.
c. Analisis Kandungan Protein Tepung Bulu Ayam Setelah Fermentasi
Analisis protein dilakukan dengan Metode Kjeldahl, dengan melakukan proses destruksi yaitu Tepung Bulu ayam ditimbang sebanyak 0,1 gram ditambah
selenium sebanyak 0,1 gram sebagai katalis ditambah dengan asam sulfat, kemudian
dibakar sampai putih diruang asam. Proses destilasi dengan menampung hasil
destilasi pada labu kjeldahl lalu ditambah aquadest 100 ml ditambah NaOH 35% lebih kurang 5 ml kemudian ditampung pada erlenmeyer yang berisi asam borat
(H3BO3 3%) sebanyak 5 ml kemudian ditambah aquadest 30 ml. Hasil destilasi
ditampung kira- kira sampai 150 ml kemudian dititrasi dengan HCl.
Rumus perhitungan kadar protein yang diperoleh :
% N = N. HCl X 14 X 100 Berat Sampel X 1000
% Protein = % N X 6,25 (Konversi dari kadar air)
Dimana, N = Kadar Nitrogen
14 = Ketetapan (Suhardi et al ., 1984).
d. Analisis Kehilangan Berat Kering Tepung Bulu Ayam Fermentasi
Cawan porselin dioven pada suhu 1050C selama 1 jam, kemudian didinginkan
ditimbang dan dicatat berat cawan kosong. Sampel ditimbang sebanyak 2,001g
dengan 2 kali ulangan, kemudian timbang cawan tambah sampel dan dioven kembali
pada suhu 1050C selama 8 jam. Kemudian sampel tersebut dikeluarkan dan
didinginkan dalam desikator selama 1 jam, setelah itu ditimbang dan dicatat beratnya.
Penimbangan dilakukan setiap 1 jam sekali dan dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil
penimbangan dijumlahkan kemudian dibagi tiga, hasil yang diperoleh merupakan
berat cawan tambah sampel oven. Dari perhitungan ini diperoleh kadar air yang
hilang dari sampel dengan rumus:
BC – BC + S. Oven x 100
S
Dimana: BC = Berat Cawan
S = Sampel
Berat kering = 100 – kadar air
Kehilangan persentase berat kering tepung bulu ayam =
Berat kering sebelum fermentasi – Berat kering setelah fermentasi x 100%
Berat kering sebelum fermentasi
Sumber: Abdul dan Ibrahim, (1993).
3.4.4 Pengujian Isolat Jamur
Isolat jamur yang diperoleh dari hasil isolasi digunakan sebagai inokulum
fermentasi. Tepung bulu ayam yang difermentasi dengan berbagai isolat jamur