PERSPEKTIF PENGELOLAAN LINGKUNGAN KAWASAN PESISIR KOTA TERNATE DITINJAU DARI SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT
Arman Drakel
Staf Pengajar Faperta UMMU-Ternate, e-mail: -
ABSTRAK
Pengelolaan lingkungan Sumberdaya pesisir yang ada di Kota Ternate selalu berhubungan langsung dengan manusia atau mahluk hidup lain yang ada diwilayah pesisir. Sebab interaksi manusia dalam lingkungan sumberdaya pesisir dari berbagai aspek pemanfaatan semberdaya ekonomi untuk kelangsungan hidup secara tidak langsung mempengaruhi kualitas lingkungan dikawasan pesisir.
Karena pengelolaan sumberdaya pesisir dengan karasteristik ekologi yang memiliki, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada akan mempengaruhi kelangsungan hidup keanekaragaman jenis yang ada. Pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan pelestarian lingkungan dilakukan secara terpadu dan berkesenambungan, akan mengurangi resiko ekologi antar kepentingan sosial ekonomi manusia maupun mahluk hidup lainnya. Sebab aspek kepentingan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan karasteristik wilayah yang ada tetap berlangsung, akan menguras keanekaragaman sumberdaya yang ada, baik aspek ekologi, ekosistem, dan social budaya dan ekonomi masyarakat.
Kata Kunci: Lingkungan Pesisir, Sumberdaya Sosial ekonomi, masyarakat, Arman
I. PENDAHULUAN
Perencanaan lingkungan di Kota Ternate dengan karasteristik pengelolaan kawasan pesisir merupakan suatu proses atau upaya mengendalikan kegiatan ekonomi, yang secara tidak langsung dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat bik sekarang dan di masa mendatang. Karena fungsi perencanaan pengelolaan ini harus didasarkan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2003, tentang otonomi Daerah serta Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 temtang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana kebijakan Pemrintah Daerah dalam pengelolaan lingkungan harus dilihat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya yang ada di wilayah, khususnya lingkungan kawasan pesisir. Sebab kaitan dengan perspektif kepentingan kawasan pesisir sebagai sumber konflik dan arah datangnya ancaman harus dapat diminimalisasi dengan aspek kepentingan masyarakat dalam memanfaatkan sumbedaya lingkungan yang ada, (Siregar, 1996).
Peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilihat dengan lihat dengan aspek
peruntukan dan kesesuaian sumberdaya ekonomi dikawasan pesisir. Kondisi wilayah Kota Ternate dengan memanfatkan sumbedaya pesisir untuk pengembangan struktur Kota kearah laut akan menguras sumbedaya ekonomi pesisir dan meningkatnya kerusakan ekologi sebagai produktifitas biologic dan sekaligus sebagai filter“Parabolic domain”Karena mengandung produktifitas yang paling tinggi namun rentan mendapat tekanan dari darat maupun laut, Guekorget and Perhuisot, 1992).
Dengan sifat karastristiknya, wilayah
pesisir yang ada di Kota Ternate dengan
keragaman persepsi masyarakat dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilandasi
dengan kebutuhan dan dilihat dari kearifan
budaya masyarakat setempat. Jika didalam
perencanaan pengelolaan kawasan pesisir tidak
melihat dari aspek ini, akan menjadi tantangan
bagi para perencana (Pemerintah Kota Ternate)
dan pengambil keputusan dalam menyusun
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Sebab
pada umumnya dinamika masyarakat pesisir
yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam sudah banyak ditemukan antara satu
wilayah dengan wilayah di Indonesia. Sebagai
47
contoh pemanfaatan sumberdaya hutan bakau dikawasan pesisir untuk pertambakan udang di Pantai Utara Kota Indramayu dan Kota Cirebon.
Dalam hubungannya dengan batasan wilayah pesisir dengan berbagai sumberdaya wilayah pesisir dan tingkat pemanfaatannya yang berhubungan dengan tipologi masyarakat di wilayah pesisir, permasalahannya terletak pada kondisi sosial budaya dan ekonomi dalam pengembangan wilayah pesisir.
II. PENGELOLAAN LINGKUNGAN SUMBERDAYA PESISIR
Salah satu tantangan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di Kota Ternate adalah belum imlementasikan penataan ruang kawasan, terutama kawasan pesisir berdasarkan peruntukan sumberdaya alam yang ada. Untuk menentukan penataan ruang yang sinergi dengan struktur pengembangan Kota kearah pesisir baik utara maupun selatan perlu dilakukan secara terintegrasi untuk memperoleh batasan yang tepat dan dapat diterima berbagai pihak yang terkait.
Dan membutuhkan suatu perencanaan pengelolaan kawasan pesisir dengan kekuatan hukum yang mengatur batas wilayah pesisir dengan berbagai aspek peruntukan fungsi dan pelestariannya. Pengelolaan kawasan pesisir yang mengandung sumberdaya alam sesuai dengan daya dukung lingkungan ekologi. Kawasan pesisir dengan ekologi yang stabil diperkirakan akan menghadapi berbagai masalah yaitu (1) karasteristik topgrafi pesisir dengan fungsi ekologisnya bersifat dinamis, dan (2) ekologi pada umumnya tidak berimpit dengan batas-batas wilayah peruntukan (Prof. Dr. Andri Indrawan, IPB, 2000)
Dengan mengguuakan batasan wilayah peruntukan tersebut, keberadaan wilayah pesisir Kota Ternate terdapat karasteristik ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau buatan (man made) (Prof.Dr. Rochmin Dahuri, Prof.Dr.
Yakup Rais, 2001). Wilayah pesisir Kota Ternate yang selamanya berada dibawah permukaan air, mencakup ekosistem litoral (seperti pantai berpasir, berlumpur atau berbatu, dan terumbu karang), hutan mangrove, rawa asin, payau atau tawar, dan rawa bertanah gambut. Kondisi wilayah pesisir pada umumnya merupakan ekosistem yang mengemban berbagai fungsi ekologik dengan sifat keragaman yang ada.
Beberapa ekosistem ini terdiri atas berbagai komponen yang saling berkaitan, menjadikannya suatu sistem yang majemuk (kompleks) dan rentan terhadap perubahan. Dalam kaitan ini perlukan analisa dan evaluasi ketegangan (stress)
atau gangguan terhadap wilayah pesisir perlu dilakukan untuk menjamin terlaksananya proses- proses ekologis dan eksistensi ekosistem wilayah pesisir yang mengalami ancaman, akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat ekonomis
III. SUMBERDAYA ALAM DAN PEMANFAATANYA
Wilayah Kota Ternate tidak memiliki sumberdaya alam yang tidak pulih (tambang emas, batubara, minyak bumi dan bahan minral lainnya). Tapi secara spesifik wilayah Kota Ternate terdap sumberdaya alam yang pulih, namun terjadi ekploitasi sumberdaya alam ini, terutama sumberdaya tanah, pasir, hutan pesisir, batu batuan, terumbu karang dan keanekaragaman jenis baik flora dan fauna yang ada di wilayah pesisir. Dan menjadikan wilayah pesisir Kota Ternate sebagai wilayah terkaya dengan sumberdaya alam yang pulih. Kaitan dengan sumberdaya alam tersebut, dapat dirumuskan sumberdaya perikanan, pertanian, hutan pesisir, tipologi masyarakat pesisir, antara lain sebagai berikut:
3.1. Sumberdaya Perikanan (Batas Koreksi ) Kondisi sumberdaya perairan di wilayah pesisir Kota Ternate dapat dibagi menjadi dua yaitu : (1) Sumberdaya perikanan darat (air tawar) yang terletak dikawasan selatan kota meliputi budidaya perikanan di danau ngade, tambak ikan dan budidaya perikanan lainnya.
Potensi sumberdaya merupakan yang sebagian kecil dalam pengelolaannya sumberdaya perikanan untuk memenuhi kebutuhan hewani masyarakat Kota Ternate. Sebab ketergantungan manusia terutama yang mendiami kawasan pesisir tidak terlepas dari pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tetapi kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan darat (budidaya ikan air tawar) belum memberikan kontrubusi yang maksimal, akibat dari sumberdaya perikanan tersebut belum ada penataan kawasan peruntukan dan daya dukung sarana pengelolaan budidaya belum maksimal.
Dan bahkan kebutuhan protein hewani dari ikan
air tawar untuk masyarakat masih minim,
sehingga diperlukan suatu perencana kebijakan
pengelolaan sumberdaya perikanan untuk
memmenuhi tingkat konsumsi ikan air tawar di
Kota Ternate dari sekarang maupun yang akan
datang. Disamping itu sumberdaya danau tolire
kecil dengan kondisi lingkungan dikawasan
48
pesisir mengalami kerusakan, akibat dari tekanan ekonomi masyarakat disekitarnya dengan pengambilan pasir dan terjadi abrasi dari gelombang pasang air laut, mengakibatkan intrusi air laut dan menimbulkan pendangkalan dasar danau dari sedimen. Kerusakan lingkungan danau tolire yang terletak diwilayah kecamatan Pulau Ternate, bila ditelaah sepuluh decade terakhir ini Pemerintah Kota Ternate sebagai perencana pengelolaan lingkungan dikawasan pesisir tidak memiliki kemauan dan bahkan tidak perduli terhadap kerusakan lingkungan danau tolire yang mengalami tekanan melebihi ambang batas kerusakan. Faktor lain adalah topografi dan kondisi lahan dengan sumberdaya air tawar untuk bididaya ikan tidak sama dengan lain yang memiliki sumberdaya air didarat. (2) Kondisi pengelolaan sumberdya perikanan laut pada dawarsa terakhir ini terus berkembang dengan kegiatan budidaya bahari (mariculture), seperti budidaya ikan kerapu. Kegiatan perikanan rakyat di Kota Ternate dilakukan di perairan bahari dengan sarana penagkapan yang ada.
Kemampuan petani nelayan dalam penangkapan ikan tidak hanya di wilayah Kota Ternate, tetapi ada petani nelayan dari wilayah lain yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Propinsi Maluku Utara. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut memerlukan perangkat sarana penangkapan untuk menjamin hasil penangkapan, Karena biaya penangkapan (Cost Production) satu kali produksi sangat besar dari harga jual ikan setiap waktu mengalami fluktuasi harga di tingkat pasar. Karena harga ikan di pasar perikanan yang ada diselatan, tengah dan utara Kota Ternate selalu ditentukan diikuti mekanisme pasar. Sumberdaya pesisir dengan kondisi hutan mangrove yang tumbuh dengan berbagai species.
Selain sebagai hutan pesisir, hutan mangrove juga sebagai estetika lingkungan pesisir, penahan ombak dan angin terdapat berbagai satwa liar dan peruntukan fungsi lain sebagai bahan bangunan, bahan bakar. sedangkan perairan yang berada di dalam kawasan hutan itu mendukung potensi perikanan dengan berbagai fungsi ekologik yang penting untuk daur kehidupan.
Demikian halnya perairan pesisir rnerupakan daerah penangkapan (fishing ground) bagi perikanan rakyat (artisanal fisheries) produksi perikanan laut mencapai 90 % (Soegiarto 1996). Dalam kurun waktu tersebut, hasil perikanan laut meningkat dan sekitar 970 ribu ton menjadi sekitar 2.400 ribu ton (Direktorat Jenderal Perikanan 1999). Kenaikan produksi itu di satu sisi disebabkan karena
“modernisasi” armada perikanan, di sisi lain akibat penemuan dan pemanfaatan potensi sumberdaya “baru”. Pengembangan daerah penangkapan perikanan rakyat merupakan ciri sebagian besar armada perikanan yang berada di wilayah pesisir. Daerah penangkapan armada itu, pada umumnya adala perairan estuaria, perairan pasang surut (tidal swamps), dan daerah literal yang berada di wilayah pesisir di bagian “dalam”
Kepulauan Indonesia.
Terumbu karang (coral reefs) pada umumnya merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang penting, tidak saja sebagai habitat berbagai jenis ikan komoditi ekspor, baik ikan konsumsi maupun ikan hias, tetapi juga sebagai obyek pariwisata (wisata bahari). Selain terumbu karang, di wilayah pesisir ditemukan berbagai obyek wisata lainnya, yang memiliki nilai sejarah, budaya, agama, dan estetika. Potensi- potensi ini, apabila dikonservasi merupakau aset yang tidak ternilai, dan pada saatnya potensi tersebut akan merupakan salah satu tumpuan penghasilan masyarakat pesisir.
Selain itu beberapa daerah pesisir di pulau Bali dan Nusa Tenggara Barat, dilakukan kegiatan budidaya air payau. Usaha itu menarik perhatian pihak swasta, karena hasil usaha budidaya air payau sangat menguntungkan dan udang merupakan salah satu komoditi ekspor non migas (Direktorat Jenderal Perikanan 1999).
Keberhasilan pengembangan budidaya air payau dapat dilihat dan peningkatan peran produksi udang dari tambak terhadap produksi udang.
Pada tahun 1997, produksi udang dari tambak hanya mencakup sekitar 31%. Keadaan sebaliknya terlihat pada tahun 1998, dimana produksi udang tambak mencakup 60% dari produksi udang penaeid nasional (Bailey 1998;
Muluk 1999). Perkembangan peran produksi tambak tidak saja disebabkan pelarangan operasi pukat harimau, tetapi juga karena penguasaan teknologi produksi masal benih udang (benur) dan pakan, serta konversi hutan bakau menjadi tambak. Selanjutnya, kecenderungan memperluas areal tambak didorong oleh keinginan politik pemerintah untuk mengupayakan diversifikasi komoditi ekspor (Muluk 1994).
3.2. Sumberdaya Pertanian
Kegiatan pengembangan sumberdaya
lahan diwilayah pesisir ditemukan berbagai
sistem buatan, antara lain sistem tambak yang
berada lebih ke arah laut uutuk menunjang
kehidupan masyarakat pesisir. Pengembangan
sistem buatan itu terdiri dari sistem produksi
49
tanaman pangan dan sistem produksi perkebunan.
Di daerah yang masih dipengaruhi air tawar, walaupun hanya dalam musim hujan, dapat dikembangkan persawahan pasang surut yang memanfaatkan energi arus pasang untuk pengairan. Karenanya, sistem ini ditemukan di sepanjang sungai sejauh mana pengaruh pasang masih berpengaruh. Saluran drainasi sederhana yang pada umumnya kecil, digunakan untuk mengairi lahan persawahan tersebut. Peluang musim tanam per tahun dipengaruhi oleh letak sawah terhadap sungai dan besarnya debit air tawar sungai itu. Diperkirakan hanya 25% dari areal sawah pasang surut dapat di tanaman dua kali dalam satu tahun (Knox dan Miyabara 1996).
Derngan cara bercocok tanam yang diterapkan di wilayah pesisir merupakan adaptasi terhadap keadaan setempat. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi cara bercocok tanam itu adalah besarnya fluktuasi pasang surut, besarnya debit air sungai dan intrusi air laut.
Selanjutnya, pembenihan dilakukan di tanggul sungai agar terjamin pasokan air tawar, dan juga untuk mencegah gangguan dari tikus atau hama lainnya.
Selain sistem persawahan pasang surut, juga ditemukan kebun kelapa dan berbagai jenis tanaman buah-buahan antara lain pisang, dan jambu, dan secara sporadis juga sayur-sayuran.
Sistem pertanian di wilayah pesisir umumnya bersifat subsistem.
3.3. Sumberdaya Hutan Pesisir
Potensi sumberdaya hutan yang ditemukan di wilayah pesisir terdiri dari vegetasi mangrove yang pada tahun 1996 diperkirakan mencakup areal sekitar 4 juta hektar, dan sekitar 60%
potensi itu merupakan hutan mangrove (Naamin dm Hardjamulia 1995). Usaha perlindungan potensi hutan bakau untuk mempertahankan fungsi ekologik yang majemuk telah banyak diupayakan (Koesoebiono, Collier, dan Burbridge 1994). Dengan demikian konversi hutan mangrove menjadi pertambakan udang terjadi secara pesat (seperti yang terjadi di Lampung, Sumatera Selatan, Samatera Utara, Aceh, Kalimantan Barat, Selatan dan Timur, dan Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan) (Muluk 1994). Bahkan areal tambak yang ditemukan di beberapa propinsi telah melampaui potensi areal mangrove yang diperkirakan oleh Naamin dan Hardjamulia (1995).
3.4. Tipologi Masyarakat Pesisir
Dalam kenyataannya faktor pembedaan kebutuhan masyarakat atau pemukiman sukar dilaksanakan, karena sifat masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian yang saling tumpang tindih. Klasifikasi masyarakat dapat dilakukan berdasarkan mata pencarian utamanya atau berdasarkan sifat masyarakat yang bermukim dikawasan pesisir. Dengan kombinasi kriteria itu, masyarakat wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam (a) masyarakat nelayan, (b) masyarakat petani dan nelayan, (c)
masyarakat petani, (d) masyarakat pengumpul atau penjarah (collector, forager), (e) masyarakat perkotaan dan perindustrian, dan (f) masyarakat tidak menetap/sementara atau pengembara (migratory). Berikut ini dikemukakan kombinasi kriteria sebagai berikut :
3.4.1. Masyarakat Nelayan
Pemukiman dan masyarakat nelayan/
perikanan merupakan pemukiman dan masyarakat yang dominan di wilayah pesisir.
Mata pencaharian ini umumnya bersifat musiman, sekalipun merupakan mata pencaharian utama. Pada musim baratan misalnya, nelayan sepanjang pantai utara Jawa terhambat melaut.
Tidak saja akibat cuaca yang buruk dan gelombaug yaug relatif lebih besar, akan tetapi juga karena hasil tangkapan yang tidak memadai.
Pada umumnya, masyarakat nelayan ini bersifat tradisional yang mengoperasikan alat tangkap yang sederhana, tanpa atau dengau motor. Karenanya, wilayah operasi mereka terbatas di sekitar perairan pesisir.
Kampung nelayan bervariasi ukurannya.
Nelayan tradisional umumnya menempati pemukiman yang relatif kecil, terpencar-pencar, dan sulit dijangkau melalui jalan darat. Tidak jarang perkampungan nelayan ini terletak di pulau-pulau atau daerah estuaria yang hanya dapat dicapai dengan menggunakan perahu.
3.4.2. Masyarakat Petani dan Nelayan
Masyarakat nelayan dengan mata
pencaharian kedua bertani merupakan hal yang
umum. Kegiatan pertanian biasanya dilakukan
pada saat tidak melaut (pada musim paceklik),
dan bahkan ada yang menjadi buruh petik di
perkebunan kopi (di daerah pegunungan), atau
karena “kewajiban” sosial masyarakat itu. Pada
musim panen padi misalnya, tidak jaraug
masyarakat petani sawah mendapat bantuan dari
masyarakat nelayan dengan imbalan sebagian
dari hasil panen. Selain itu, tidak jarang sebagian
dari masyarakat nelayan terlibat dalam kegiatan
pertanian lainnya seperti di kebun kelapa, bertani
50
sayuran, atau menjadi buruh kasar di kota/industri.
3.4.3. Masyarakat Petani
Perkampungan masyarakat pertanian wilayah pesisir terletak lebih jauh ke arah darat bila dibandingkan dengan perkampungan nelayan. Tergolong ke dalam kategori ini adalah masyarakat wilayah pesisir yang terlibat dalam kegiatan budidaya kelapa, padi, ikan dan/atau udang. Selain itu, ke dalam kelompok ini juga termasuk masyarakat yang menghasilkan garam (rakyat) pada musim kemarau, dan selama musim hujan tambak garam itu digunakan untuk memelihara ikan/udang. Mata pencaharian tambahan dari masyarakat petani di wilayah pesisir ini umumnya dari eksploitasi sumberdaya alam lainnya, seperti menangkap ikan di sungai dan/atau rawa, serta mengumpul bahan makanan atau hangunan dari hutan mangrove. Pemukiman masyarakat ini biasanya berkelompok, dan letaknya yang terpisah dari pusat kegiatan bertani (ladang, sawah, tambak atau kebun kelapa), dan ummnya memiliki kebun pekarangan.
3.4.5. Masyarakat Pengumpul atau Penjarah Pada dasarnya, masyarakat yang bermata pencaharian utama sebagai pengumpul tidak ditemukan di wilayah pesisir. Pekerjaan ini umumnya merupakan mata pencaharian tidak tetap atau pelengkap masyarakat nelayan dan petani. Pada musim paceklik, baik bagi nelayan maupun petani, umumnya mereka mengembara di hutan bakau dan rawa, mengumpulkan bahan pangan atau bangunan. Diantara masyarakat pesisir ini, tidak jarang ditemukan pedagang hasil hutan, benih ikan atau udang bahan bakar (kayu atau arang), dan bahan bangunan. Namun, mata pencaharian itu sangat dipengaruhi musim.
3.4.6. Masyarakat Perkotaan/Perindustrian Perkembangan masyarakat kota, biasanya terkait dengan pengembangan wilayah pesisir, seperti pembangunan kawasan pelabuhan, industri, pariwisata dan fasilitas peuunjang lainnya, seperti pemukiman jalan raya, air minum, listrik dan lain sebagainya. Selain kota- kota pelabuhan, di wilayah pesisir ini juga berkembangan kota-kota industri dan dapat disertai oleh perkembangan pusat-pusat administrasi dan ekonomi lainnya, serta pusat- pusat pemukiman. Perkembangan wilayah perkotaan dan industri di wilayah pesisir terjadi sangat pesat.
3.4.7. Masyarakat Pengembara
Masyarakat pengembara tidak memiliki pemukiman yang tetap. Mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menangkap
ikan. Bila hasil penangkapan di satu daerah menurun, mereka pindah ke daerah lainnya.
Tidak jarang mereka menebas hutan untuk bertani, akan tetapi tidak pernah menetap di satu daerah untuk waktu yang lama.
IV. PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR DAN DAMPAKNYA
Konsepsi dalam pengembangan lingkungan hidup, terutama diwilayah pesisir dilakukan secara terpadu. Strategi pengelolaan lingkungan pesisir merupakan usaha untuk mempertahankan dan menciptakan lingkungan yang berkualitas dengan cara meningkatkan daya dukung wilayahh pesisir melalui kebijakan yang didasari oleh kondisi masing-masing kawasan dengan pengembangan yang dilakukan secara terpadu dan sektoral, ( Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2001). Adanya sumberdaya kawasan pesisir terutama perkembangan penduduk, pengembangan wilayah di bagian hilir/darat dan juga pengembangan di wilayah pesisir sendiri akan berdampak kepada wilayah seluruh ekosistem pesisir. Dampak perkembangan dan berbagai kegiatan itu dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap masyarakat pesisir. Penilaian dampak ini dapat dimulai dari penilaian kemungkinan pemanfaatan wilayah pesisir. Pada umumnya, sumberdaya alam wilayah pesisir kurang termanfaatkan (under-utilized). Hal itu disebabkan karena hambatan kondisi alam wilayah itu, seperti jalan dan sarana transportasi (aksesibilitas), ketersediaan tenaga kerja, dan sebagainya.
Kondisi ini belum termasuk pengembangan tambak berpola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di Propinsi Lampung (Kepala Dinas Perikanan Propinsi Lampung, kompri.
2001), Sumatera Utara dan Kalimantan Barat
(Direktur Bina Program, Direktorat Jenderal
Perikanan, kompri. 2002). “Peledakan” luas
tambak udang dalam dua dasawarsa terakhir ini
sebagai akibat keinginan politik pemerintah
dalam diversivikasi komoditi ekspor, sebagian
merupakan konversi hutan mangrove, dan
sebagian lagi merupakan transformasi tambak
ikau atau garam, dan lahan marjinal lainnya,
sepeni lahan berpasir, lahan pasang surut (tidal
mudflats).
51
V. PENGALIHAN HAK USAHA DAN AKSESSIBILITAS SUMBERDAYA
Keberadaan lahan pesisir merupakan tanah negara dan penggunaan oleh masyarakat pesisir diatur oleh adat/tradisi yang berlaku. Luas lahan garapan setiap keluarga biasanya sangat sempit.
Bagi masyarakat nelayan sumberdaya lahan dan perairan dipandang sebagai “milik bersama”
(communal atau common property), dan seperti halnya dengan lahan pertanian, pemanfataannya diatur oleh adat. Dalam hal ini, seseorang dapat menempati, menguasai, atau menggarap sebidang lahan yang tidak ditempati, dikuasai atau digarap orang lain dengan seisin kepala adat setempat.
Perbedaan persepsi antara masyarakat pesisir yang secara turun-temurun aktif memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir, dan pemerintah yang menguasai lahan itu sering terjadi. Pada umumnya, perbedaan persepsi ini merupakan pangkal pertikaian kepentingan antara masyarakat di satu pihak, dan di pihak lain, pemerintah atau swasta (investor) yang secara hukurn mendapat izin untuk memanfaatkannya.
Masyarakat pesisir, menganggap dirirya sebagai
“pemilik” yang sah atas lahan dan perairan yang telah ditempati dan diusahakan mereka secara turun-temurun. Akan tetapi, pemerintah di pihak lain, tidak mengakui hak itu, dan akibatnya pemerintah dapat memberikan hak usaha atas lahan/perairan kepada swasta (investor).
Pengalihan hak usaha kepada masyarakat luar merupakan salah satu ketegangan (stress) dan merupakan dampak negatif pembangunan yang dapat dialami masyarakat pesisir.
Secara sederhana, mekanisme timbulnya kctegangan adalah akibat peningkatan jumlah penduduk yang selanjutnya mengakibatkan meningkatnya permintaan bnahan pangan, dan pada gilirannya menuntut perluasan areal produksi bahan pangan atau penerapan teknologi budidaya/bercocok tanam yang hemat lahan.
Fenomena itu jelas terliliat pada dua produk pertanian, yaitu padi dan udang. Dalam upaya berswasembada bahan pangan, pada tahun 70-an terjadi desakan untuk meningkatkan produksi padi, melalui pemanfaatan daerah pasang surut di wilayah pesisir. Walaupun pada saat itu masih terdapat pihak yang kurang menyetujui kajian ini tapi secara kenyataan ribuan hektar lahan pesisir berhutan mangrove di Sumatera dan Kalimantan telah dikonversi menjadi daerah pemukiman transmigran dan pesawahan pasang surut (Koesoebiono, Collier dan Burbridge 1995;
Hanson dan Koesoebiono 1996). Dalam jangka pendek, upaya itu tidak sia-sia, akan tetapi
keberlanjutan usaha itu sangat diragukan dan perlu ditinjau kembali (Knox dan Miyabara 1994), baik dari aspek teknis, ekonomi, maupuu sosial. Hal yang serupa terulang kemhali pada tahun 90-an, dimana permintaan pasar internasional akan udang makin meningkat.
Bahkan komoditi udang “dinobatkan” sebagai komoditi primadona abad ini, dan tercatat sebagai salah satu komoditi ekspor Indonesia peringkat atas (Direktorat Jenderal Perikanan 1997, dan 2000), dan juga telah mengangkat Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia (Rosenberry 1991). Ketegangan yang dialami masyarakat pesisir bukan saja akibat “hilangnya” penguasaan lahan yang
“diperolehnya” secara turun-temurun, tetapi juga kehilangan akses terhadap lahan-lahan yang biasanya dijarahi untuk mendapat bahan pangan, hewan buruan atau bahan bangunan.
Kegiatan perikanan rakyat yang masih dilakukan dengan cara-cara tradisional menggunakan peralatan dan kadangkala dengan perahu yang sederhana, hanya mampu beroperasi di sepanjang pesisir. Usaha perikanan rakyai ini, yang merupakan ciri sebagian besar dari usaha perikanan di Indonesia, bersifat subsisten yang hasil tangkapannya hanya sebatas mencukupi keperluan sehari-hari. Ketegangan yang dialami masyarakat nelayan adalah akibat tangkap lebih (over-fishing) yang timbul akibat penambahan atau modernisasi kapal/perahu dan alat tangkap.
Sebagai contoh adalah introduksi pukat harimau (trawl) dan motonsasi dalam rangka modernisasi armada perikanan rakyat. Upaya ini memang telah mengarahkan dan meningkatkan peranan perikanan Indonesia di pasar internasional (hasil tangkapan utamanya adalah udang). Akan tetapi, karena jalur operasi kapal trawl ini bertumpang tindih dengan yang digunakan nelayan tradisional, kegiatan kapal trawl tersebut ditentang oleh para nelayan tradisional.
VI. KESENJANGAN ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT
Perbedaan adat-istiadat dan strata sosial
masyarakat penghuni wilayah pesisir sangat
beragam, dan merupakan salah satu sumber
pertikaian/ketegangan (stress). Kesenjangan
ekonomi dan sosial yang dengan mudah terlihat
dari perbedaan kesempatan bersekolah, berusaha,
atau dari status sosial anggota masyarakat
merupakan sumber ketegangan yang melekat
(inherent) pada masyarakat pesisir. Sebagai
contoh, anggota masyarakat dengan kedudukan
sosial yang “lebih tinggi” memiliki aksesibilitas
52
yang lebih besar terhadap pendidikan (ilmu dan pengetahuan), modal (kredibilitas tinggi), teknologi (bermodal untuk menerapkan teknologi yang mutakhir), dan juga politik (umumnya menjadi pemuka masyarakat). Kelompok masyarakat ini juga merupakan kelompok dengan mobilitas tinggi, dan tidak jarang mereka membawa dan menerapkan temuan baru yang dipeolehnya dari kunjungannya ke lain daerah.
Karenanya, mereka juga sering dikenal sebagai
“inovator” untuk daerahnya. Selanjutnya, selain keberuntungan ini mereka dapat pula menikmati berbagai kegiatan (proyek) pemerintah.
Kesempatan yang diperoleh kelompok “tingkat atas” mempertebal keirian sosial dari masyarakat yang tidak memiliki peluang ini. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk memperkecil kesenjangan sosial dan mengikis keirian sosial tersebut, misalnya melalui program pengentasan kemiskinan, Inpres Desa Tertinggal, tetapi perbedaan persepsi diantara para pelaksana kegiatan ini dan lemahnya koordinasi di lapangan, hasil kegiatan ini belum memadai.
Kondisi sosial masyarakat yang saling berinteraksi kepentingan maupun kebutuhan pada strata sosial ekonomi tidak dapat dihindari antara hubungan masyarakat kota dan pedesaan maupun bencana alam dan dampak kegiatan masyarakat sebagai berikut :
6.1. Hubungan Masyarakat Kota dan Pedesaan
Masyarakat pedesaan pada umumnya dikendalikan masyarakat kota. Pasar dan harga produk yang dihasilkan masyarakat pedesaan, umumnya ditentukan oleh permintaan masyarakat kota. Keadaan semacam ini dapat dan telah berubah dengan menciptakan lapangan kerja dan usaha baru di daerah pedesaan.
Kesempatan kerja yang tercipta dengan introduksi industri rumah tangga dan pembentukan kelompok usaha misalnya, dapat menyebabkan diversifikasi dalam struktur tenaga kerja dan ekonomi pedesaan. Selanjutnya, peningkatan kesempatan kerja dan usaha di daerah pedesaan, akan meningkatkan interaksi antar masyarakat kota dan pedesaan. Namun interaksi ini juga menimbulkan tekanan ekonomi dan sosial baru, antara lain disebabkan karena perbedaan pendapatan, kesejahteraan, serta perbedaan persepsi tentang teknologi tepat guna, modernisasi, dan pembangunan.
Akibat lain yang mungkin timbul, adalah peningkatan interaksi antara masyarakat kota, bahkan mancanegara, dan pedesaan misalnya
melalui kegiatan pariwisata di wilayah pesisir.
Adopsi tata cara hidup, kegiatan ekonomi, dan nilai dan norma sosial baru dapat menimbulkan ketegangan sosial. Cagar budaya (cultural shock) semacam ini dapat dipandang sebagai salah satu sisi negatif dari pembangunan wilayah pesisir melalui kegiatan itu. Keadaan semacam ini dapat dikurangi akibatnya apabila dalam tahap perencana telah difikirkan kemungkinan timbulnya kejadian tersebut. Aspek-aspek sosial.
ironisnya, baru dipertimbangkan setelah dampak negatif itu terjadi.
6.2. Bencana Alam dan Dampak Kegiatan Manusia
Salah satu kerusakan yang terjadi dan tidak bisa dihindari adalah factor bencana alam di wilayah pesisir antara lain banjir sebagai fenomena dan sering mengikuti pola tertentu.
Karena sifatnya yang terpola, masyarakat pesisir mengadopsi pola ini dalam kehidupan sehari- hari. Pengetahuan ini menentukan pola kegiatan usaha tani dan perikanan mereka. Selain banjir, yang bersifat musiman, terjadi pula ketegangan- ketegangan lain yang timbul akibat kegiatan manusia, seperti perusakan habitat dan pencemaran. Ketegangan ini makin meningkat intensitasnya dengan meningkatnya kegiatan di bagian hulu dan juga di wilayah pesisir itu sendiri. Konservasi sumberdaya alam, penerapan cara bercocok tanam, dan eksploitasi sumberdaya perikanan yang benar perlu dipertimbangkan dalam tahap perencanaan demi keberlanjutan usaha di wilayah pesisir.
Selain pengaruh hulu ke hilir, seperti pencemaran misalnya, dapat pula terjadi pengaruh yang sebaliknya, seperti intrusi air laut atau garam (salt intrusion), dan abrasi pantai.
Perusakan terumbu karang,
penggalian/penambangan bijih besi atau timah, di satu sisi menunjang pembangunan ekonomi, tetapi di sisi lain merusak habitat wilayah pesisir yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat pesisir.
VII. Penutup
Pengelolaan lingkungan sumberdaya
pesisir sebagai bagian integral aspek ekonomi
dan sosial masyarakat yang berhubungan dengan
aspek ekologi wilayah. Kondisi dari keragaman
fisik wilayah ini terjadi akibat dari interaksi
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
terhadap sumberdaya wilayah pesisir. Dengan
latar belakang budaya dan sosial yang berbeda,
telah memaafaatkan atau menikmati kekayaan
53