Air Mata Sekartaji Karya : Pandan Raditya A.S
Bocor! Suara yang bersumber dari ruang tamu utama di pendopo rumah, merayap pelan ke celah-celah dinding bambu kuning yang menjadi penyekat antarruang. Semula lamat-lamat lalu berhembus bersama angin menuju bilik kamar yang berjarak sekitar dua meter dari ruang utama pendopo rumah. Di kamar itu, sungguh, aku sangat leluasa melihat dan mendengar bagaimana lelaki tambun berkumis tebal klimis itu menyebut namaku.
Seketika tubuhku gemetar. Dalam dadaku terasa ada sentakan keras menghujam, tatkala aku melihat ekspresi tengik dari mulut dan matanya, saat mengeja namaku dengan gaya vokal sensual yang dipaksakan, “Se-kar-ta-ji.” Alisnya meninggi. Matanya memburu. Di detik yang sama, ia julurkan telapak tangannya sambil berdiri, seakan memaksa bapak untuk mengamini keinginannya.
Bapak bergeming di kursi. Masih dari celah lubang dinding bambu. Aku melihat bapak seperti tersandra. Mulutnya terkunci. Anehnya, sorot mata itu masih menyala tajam.
Aku hafal betul bahasa mata bapak. Pandang mata yang masih mengisyaratkan perlawanan.
Senjata pamungkas kala terdesak. Ya, senjata itu yang sering dibanggakannya. Bak jurus serangan tanpa bayangan. Begitulah bapak. Ia begitu gandrung dengan penokohan Raja Kediri dalam kisah Wayang Beber Pacitan. Peristiwa dalam jagong siji gulungan beber pertama itu memang benar melekat dalam hidupnya. Kala dengan teguh Sang Prabu menolak halus Raja Kelono dari kerajaan Seberang yang ingin paksa putrinya, Dewi Sekartaji, sebagai istrinya. Ya, aku benar-benar paham kisah yang ada dalam beberan pertama di jagong siji pada cerita Wayang Beber Pacitan Lakon Jaka Kembang Kuning itu. Mungkin, sebab itu kenapa bapak bersikap geming menghadapi tamunya yang menurutku sudah berperilku arogan.
Lelaki itu, kini kembali duduk sambil mengangkat kaki kanannya, lalu meletakkan pada punggung lutut kiri. Mulutnya menghembuskan asap tebal dari rokok keretek yang terjepit diantara sela jari tangan kirinya, ke arah wajah bapak. Sementara matanya melotot liar menuntut jawaban. Seketika suasana cekam yang dahsyat mengungkung pendopo rumah.
Senyap. Rasanya aku tak sanggup berdiam diri melihat bapak yang seakan tak berdaya.
Hampir saja aku beranjak. Tapi sebelum itu, tiba-tiba melintas bayang seram tentang peristiwa yang mungkin terjadi setelah ini. Perasaanku campur aduk. Air mataku meleleh tak terbendung, melepuh di pelupuk mata.
“Pak, hati-hatilah! Tolong pikirkan lagi strateginya. Sebab sosok Bapak, tetap bukan Raja Kediri, dan yang bapak hadapi juga bukan sosok Raja Kelono yang hanya ingin memperistri Dewi Sekartaji karena memang jatuh hati. Aku sangat meyakini, kalau lelaki yang menjadi tamu Bapak itu, lebih licik dari Raja Kelono itu sendiri,” lanturku berusaha menenangkan gejolak batin.
Di pendopo yang sama, ingatanku melayang pada masa kebelakang, mengenai alasan bapak memberiku nama Sekartaji. Waktu itu, ia juga duduk persis dikursi yang saat ini ia tempati. Begitu tenang, bersahaja dan meyakinkan. Katanya, bapak ingin, aku seperti putri mahkota Kediri yang berani bersikap. Mampu mengembara jauh, mencari jawaban untuk pilihannya. Menolak paksaan atas pernikahannya dengan Raja Sebrang. Akulah Sekartajimu itu pak. Apapun keputusan bapak pada keinginan lelaki itu, aku ini tetap Sekartaji yang mampu memilih mimpinya sendiri.
“Ya, saya yakin Bapak ini orang yang bijak. Sifat yang selaras dengan jabatan sebagai tokoh dan tetua desa ini. Keputusan Bapak tentulah akan dihormati,” katanya mendesak halus.
“Sabar dan tenangkan diri Anda, Tuan Kelana. Kami butuh bicara. Sebab Sekartaji juga perlu tahu persoalan ini,” jawab bapak. Ada yang ambang dalam suaranya.
“Saya bukan orang yang mudah memberi rasa percaya. Sekali lagi, saya harap keputusan yang Bapak ambil jangan sampai mengecewakan saya. Seperti yang kita tahu, artefak wayang beber adalah pusaka berharga yang selama ini telah diyakini oleh seluruh warga desa dan pewaris keturunan sebagai pedoman kehidupan desa. Kunci kemakmuran desa. Benda itu sekarang dalam kuasa saya, dan Bapak tahu saya bisa melakukan apa saja terhadap benda itu,” tambahnya dengan intonasi yang meninggi. Dadaku berdebar kencang, Udara kamar, tempat aku berdiam diri terasa panas.
Tuan Kelana. Mendengar bapak menyebut nama lelaki itu, aku merasa ada yang bergerak dalam batin dan jiwaku. Nama Kelana, mengingatkan aku pada kisah gaya negosiasi Raja Kelono yang penuh intimidasi pada Raja Kediri, menyangkut keputusan untuk menjadikan Dewi Sekartaji sebagai permaisuri. Kelana dan Kelono, di benakku saat ini adalah dua sosok yang sama; keserakahan yang tergambar pada sorot matanya dan senyum licik diantara dua pipi gempalnya yang turun. Segala bayang hitam cepat berkelebat. Gelisah, kini serupa raksasa yang menarik habis rasa tenang dan kekuatan dalam diriku.
“Saya akan kembali dalam beberapa waktu setelah ini. Tepatilah janji itu.” Aku membelalak menyaksikan tangan bapak dan Tuan Kelana saling menjabat. Pemandangan itu seperti kembali mengail-ngail pengalaman batin pada kisah beberan pertama Wayang Beber Pacitan di jagong loro. Perlawanan Dewi Sekartaji. Pada detik berikutnya. Aku jatuh bersimpuh di balik pintu kamar. Jiwaku seolah melayang pada laku Dewi Sekartaji. Pikiranku beringsut pada adegan jabat tangan yang kurasa akan memaksaku agar mau mengorbankan apa-apa yang menjadi mimpiku. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi.
***
Sekali lagi, kutarik nafas panjang. Pertama kali pandangku menyapu ruang pendopo.
Kudapati bapak sedang berdiri seraya menerawang jauh keluar. Menembus pilar-pilar pendopo rumah. Rasa enggan masih bergelayut dalam hatiku, juga langkahku, ketika aku berjalan mendekati bapak.
“Sekar datang Pak.”
Pria paruh baya itu membalik tubuhnya dan mengalihkan fokus perhatiannya padaku.
Lantas, ia memandangku dengan tatap yang tak bisa kuartikan. Sebuah senyuman ia pulas pada wajah yang telah digurat keriput usia.
“Kamu tentu sudah paham mengapa Bapak memintamu kemar. Bapak yakin kamu sudah banyak mendengar pembincangan Bapak dengan Tuan Kelana kemarin.” Sejenak, kupalingkan wajah. Mencari kekuatan di setiap sisi diriku. Soal keberadaanku dalam bilik tentu itu sudah disadari dan diktahui bapak. Ia paham betul sikapku. Tapi kali ini aku harus Siap menghadapi segala yang tak bisa kuduga.
“Apa arti jabat tangan Bapak dengan orang itu tadi siang?” tanyaku dengan nada dingin.
“Sekar, perlu kamu tahu. Artefak wayang beber peninggalan leluhur kita ada dalam kuasanya.”
“Bukankah sudah berkali-kali keberadaan artefak itu kita bahas Pak. Mengertilah,”
ucapku penuh pinta. Berharap semoga bapak tak benar-benar menutup pintu hati untuk setidaknya mendengarkan pilihanku.
“Artefak itu warisan leluhur yang berharga Sekar. Kamu sudah paham betul soal itu.”
“Lebih berharga dari desa kita? Lebih berharga dari nilai-nilai pusaka yang selama ini kita pegang teguh?.” Parau pada suaraku sempurna terdengar.
“Tuan Kelana menawarkanmu sebuah posisi di kantor besarnya. Kesempatan yang selalu diimpikan banyak orang. Bukalah matamu soal itu!” Nada bicara bapak meninggi.
Senyuman saat menyambutku beberapa saat lalu kini sirna. Berganti dengan sebuah pandangan tajam.
“Kantor besar yang Bapak bicarakan adalah bentuk keserakahan dari manusia sepertinya. Tidakkah bapak ingat, telah ia habiskan hutan di barat desa untuk sebuah pabrik.
Sementara warga terus mengeluh sebab pengairan ladang dan air minum kini tidak lagi jernih. Berbulan-bulan, Sekar berjuang mencari cara untuk mempertahankan lingkungan desa kita. Buat apa Pak, memiliki warisan leluhur kalau nilai-nilainya tidak ada di hati kita?
Artefak boleh hilang, boleh habis dimakan zaman. Tapi nilai-nilai pusaka wayang beber itulah yang harus bertahan dalam diri kita Pak. Kita mestinya kukuh memilih yang baik, seperti yang dilakonkan Sekar Taji dan Jaka Kembang Kuning. Bukankah sebab itu, Bapak menamaiku persis seperti nama putri mahkota Kediri. Maka bukan saja namaku, tapi hati dan jiwaku juga harus sepertinya Pak.” Suaraku kian bergetar. Aku tak percaya telah berdebat dengan laki-laki yang begitu kuhormati dan kucintai.
Bapak masih diam. Nyenyat sesaat seolah memberi sekat di antara kami. Tiba-tiba saja aku dan bapak seperti dua orang asing yang tak saling bicara. Berikutnya, bapak mengambil dua langkah ke arahku, lalu memegang bahuku kuat-kuat. Perihal sikap bapak itu, kembali menyeret ingatanku pada kisah dan nasib tokoh Sekartaji dalam lakon wayang beber.,
“Kita ini pewaris yang sah dari artefak wayang beber itu Nduk. Sudah jadi kewajiban untuk menjaganya tetap ada pada kita. Ini juga bukti bahwa kita mempertahankan hasil budaya leluhur itu. Mempertahankan pedoman hidup dan kunci kemakmuran desa. Ini bukti bahwa kita tidak mengecewakan pendahulu yang membawa artefak tersebut dengan 24 jagong dalam enam gulungan pada Wayang Beber Pacitan itu, Nduk. Artefak itu harus bisa kembali ke tangan kita,” ujar bapak, berusaha keras untuk meyakinkanku.
“Inilah yang membedakan peristiwa pada masa Sekartaji dalam cerita Wayang Beber Pacitan, dengan Sekartaji yang kualami saat ini Pak. Pusaka tak hanya benda. Sejatinya pusaka itu juga ada dalam setiap jiwa kita yang memegang teguh nilai-nilainya. Kemakmuran
desa, bukan saja terletak pada ada, dan tidak adanya, wujud pusaka Pak. Tapi dari jiwa dan tindakan kita yang sudah sublim dengan makna dalam cerita di setiap jagong wayang itu Pak.
Tuan Kelana yang keji itu bisa saja merusak wujud pusakanya. Tapi dia tidak akan mampu meruntuhkan semangat kita untuk mempertahankan desa ini dan menolak bangunan- bangunan betonnya yang merusak area lahan produktif pertanian itu. Percayalah pada Sekar Pak.”
Aku dan bapak saling beradu pandang. Mencari jawaban pada manik mata atas masing-masing tanya dalam benak kami. Pelan, tapi pasti. Kuraih tangan bapak, memindahkannya dari bahuku ke genggaman.
“Sudah Pak. Sekar sudah memilih. Sekar memilih mengatakan tidak,”
ucapku yakin. Lantas aku berlalu. Mengambil langkah ke arah kamar. Untuk yang kedua kali air mataku tumpah dalam persoalan yang sama. Tak lagi aku menoleh pada bapak yang juga tidak menghentikanku. Kali ini, seperti Dewi Sekartaji, aku akan bergelut dengan pengembaraanku sendiri. Mencari jawaban untuk pilihanku sendiri.
***
Sinar keemasan matahari tempias pada semesta. Menciumi pucuk daun dan rerumputan. Memeluk udara yang semalam dirajai dingin. Tak kusia-siakan nikmat alam pagi itu, dengan memandang jauh ke arah ladang-ladang subur, aliran sungai, hingga ke pegunungan hijau di seberang. “Andai suluk Bapak yang ngangeni itu melantun ditempat seperti ini,” lamunku, “Wong kang moco layang tanpa sastro maniro urip waspodo…” Baris pertama suluk itu mengalir, pandang mataku mendapati wajah bapak membayang, bersama suara berat khasnya saat melantunkan suluk Wayang Beber.
Aku masih berdiri di samping jendela ruang tengah. Terus memandang datar alam raya dari desa seorang sahabat yang telah menampungku untuk tinggal sementara. Desa yang telah terselamatkan dari beton-beton milik orang semacam Tuan Kelana. Entahlah, tiba-tiba pola tanam teras siring yang telah dikembangkan oleh Maya dan Jaka sahabatnya, justru memantik kembali amarahku pada Tuan Kelana.Sosok yang akan memanfaatkan kelemahan bapak soal keberadaan artefak wayang beber. Sejenak wajah itu muncul di benakku.
Mengingatnya, berhasil membuat tubuhku merinding.
“Tidak Pak. Desa kita tidak boleh menjadi korban selanjutnya dari orang-orang rakus seperti Tuan Kelana. Memang waktu yang bapak janjikan pada Tuan Kelana sudah akan tiba.
Sekar janji, Pak, kita akan hadapi bersama,” lamunku penuh harap.
“Senin longkang tinggal hitungan jari, Sekar. Saatnya kau membebaskan beban berat yang menimpa bapakmu.” Suara Maya membuyarkan lamunku. Dari belakang tangannya menepuk pundakku seolah memberi semangat.
“Belum selesai pencarianku untuk mengatasi permasalahan artefak pusaka itu May.”
Aku berbalik. Mengalihkan tatapan pada sawah yang kini telah ramai oleh para petani.
Sementara di timur, para anak tengah saling ciprat dengan air sungai.
“Aku sudah berbicara dengan Jaka. Katanya, dia siap berjuang bersamamu. Dia telah menyiapkan segala gagasan program dalam mengembangkan desa menjadi makmur tanpa beton. Seperti desa ini.” jelas Maya, sambil menepuk-nepuk bahuku. Sungguh, penjelasan Maya yang tiba-tiba itu sempat mengejutkanku.
“Diam-diam ia telah memperhatikanmu. Ia begitu peduli saat aku ceritakan tentang niatmu untuk menjadikan lahan desa pertanian yang produktif, di pasar desa tempo hari,”
tambahnya. Mataku membelalak. Tanpa kusadari, lengkung senyum paling tenang tersembul di wajahku. Kalimat Maya barusan membuatku semakin yakin, kalau aku akan mampu menjadi seperti Dewi Sekartaji. Demi desa, dan kehormatan bapak.
Belum selesai aku menikmati rasa senang itu, tiba-tiba terlihat Jaka dengan kamera melingkar di lehernya sudah berdiri dihadapanku. Pandang kami beradu. Kemudian ia melempar senyum manis, sambil mengepalkan tanganya ke atas. Berkelebat kembali imajiku tentang jagong songo yang mengisahkan peristiwa pertemuan Dewi Sekartaji dan Panji Asmoro Bangun di pasar..
“Apakah ini berarti aku mengalami alur nasib yang sama dengan Dewi Sekartaji?
Bukankah dalam jagong itu, pernah dituturkan oleh Bapak, bahwa pertemuan Dewi Sekartaji dan Panji Asmoro Bangun, alias Joko Kembang Kuning adalah tanda awal kemenangan,”
kenangku.
“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Sekar,” Jaka menepuk halus pundaku.
“Memang, sungguh berat ketika harus berseberangan dengan bapak sendiri. Apalagi meninggalkannya seorang diri. Aku merasakan itu,” terang Jaka yang memercik rasa
penasaran. Kemudian, seolah mampu membaca rasa penasaranku, Maya menyambung kalimat Jaka.
“Jaka dilupakan oleh bapaknya dan dianggap musuh keluarga ketika ia menentang keras pekerjaan bapaknya.” Penjelasan Maya mulai mengerucut pada simpulanku tentang konflik yang menghinggapi Jaka.
“Baik, semua penyelesaian untuk masalahmu ada di sini,” tiba-tiba saja Jaka mengalihkan pembahasan tentang masalahnya. Ia menunjuk gambar besar yang telah ia gelar di meja ruangan tengah tersebut, “elektrolisa. Kau lihat dua tangki besar itu? Alat itu berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh. Kemudian, air itu akan mengalir masuk dalam pipa besar yang terdapat saringan benda kasar yang bisa jadi terbawa oleh air hujan.
Ikutlah denganku untuk melihat yang asli.”
Jaka berdiri. Lalu mengajakku melihat sebuah alat elektrolisa air yang berdiri kokoh di halaman belakang. Ada sebuah talang besar, pam air yang tersambung pada pipa-pipa panjang, sebuah sumur resapan, juga beberapa keran air. Jaka menjelaskan bahwa air hujan yang jatuh akan ditampung oleh talang-talang yang terhubung pada dua jenis tangki penyaring. Penyaring debu kasar dan debu halus. Setelah air tersaring dan besih dari debu yang terbawa di udara, kemudian air akan dialirkan ke arah sumur resapan. Pipa-pipa dari sumur resapan nantinya akan membawa air naik ketika keran dibuka. Setelahnya, warga dapat bebas memanfaatkan air bersih itu. Untuk minum, pengairan, dan banyak hal lainnya.
Jaka benar-benar berhasil memberi warna kehidupan yang lebih cerah bagi desa ini. Ia mengakhiri penjelasan dengan sebuah senyum tulus padaku.
***
Senin Longkang. Hari penting yang disepakati oleh bapak dan Tuan Kelana sudah jatuh tempo. Terlihat bapak duduk berhadapan lurus dengan Tuan Kelana. Aku dan Maya ada disamping kanan dan kiri Bapak. Sementara Jaka tampak rileks mengatur layar LCD-nya, sambil sesekali arah pandangnya tertuju pada wajah Tuan Kelana.
“Sebagai penguat jawaban Bapak, film dokumentasi telah siap di putar,” ucap Jaka pada bapakku, sambil mengulang kembali cara curi pandangnya pada Tuan Kelana., Tentu, film yang ia maksudkan adalah film dokumentasi perwajahan desa yang terkemas dalam bentuk fragmen dengan latar kawasan desa tempat tinggal Maya.
“Sebentar anak muda. Kalau boleh tahu apa itu berarti akan ada film personal profil dari Sekartaji?” sindir Tuan Kelana merespon lontaran Jaka. Emosiku terusik. Kulayangkan tatap jijik pada Tuan Kelana. Namun api yang lahir dalam dadaku berhasil diredam Jaka. Ia memberi isyarat dengan senyum tenang padaku.
“Tapi mohon maaf, sebelum film itu ditayangkan, biarkan bapak dari Sekartaji ini memberikan janji keputusannya pada saya,” tegas Tuan Kelana menagih janji. Tak dinyana, sebelum Bapak memberikan jawaban, tiba-tiba Jaka sudah menyahut lebih dulu. Jawaban yang mampu mengejutkan semuanya. Tak dinyana pula, tiba-tiba bermunculan puluhan warga gabungan dari dua desa--warga desaku dan warga desa Maya. Sambil meneriakkan yel-yel penolakan terhadap proyek Tuan Kelana. Saat itu pula, Maya berbisik padaku kalau semua itu sudah dalam rencana matang Jaka. Sososk Panji Asmoro Bangun, seolah lekat terpatri pada dirinya.
“Maaf Tuan Kelana, kalau Anda ingin lebih cepat tahu bagaimana jawaban Bapak Sekartaji, maka inilah jawabannya.” Dilepasnya kaca mata hitam merek ray band yang sejak tadi melekat di kedua bola matanya. Lalu dengan tenang ia putar film dokumenter yang pernah menjadi pukulan berat bagi Tuan Kelana pada tahun sebelum ini.
“Tataplah wajah ini. Lihatlah bekas luka di atas pelipis mata kiri ini,” ucap Jaka sambil berjalan mendekat ke arah Tuan Kelana.
“Jaka…Kau…Bukankah kau Jaka, anakku,” jawab Tuan Kelana dengan gagap.”
“Ya, Jaka yang dulu berseteru dengan Bapak. Jaka yang dulu pernah dihajar seorang centheng yang kemudian diketahui sebagai suruhan Bapak. Sebab Bapak tahu, proyek di desa tempat tinggal Maya berhasil kugagalkan dengan film itu. Tentunya kini Bapak paham, seperti apa jawaban yang akan diberikan Bapak Sekar.” cetus Jaka, yang sekaligus menciutkan nyali Tuan Kelana.
Tuan Kelana terlihat tak berdaya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi seluruh wajahnya. Ia memelas, lalu memeluk erat anaknya sambil memohon agar ia dimaafkan. Jaka hanya mampu bergeming. Semua yang hadir di pendopo terpaku. Ketiga kalinya, air mataku bermuara. Menganak sungai di kedua pipi. Air mata kemenangan bersama.