• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERAGAMA DI TENGAH KERAGAMAN DAN PROBLEMATIKA INTOLERANSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BERAGAMA DI TENGAH KERAGAMAN DAN PROBLEMATIKA INTOLERANSI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BERAGAMA DI TENGAH KERAGAMAN DAN PROBLEMATIKA INTOLERANSI

DOSEN MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA Bapak Amirullah S.Pd.I, M.A

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9 : 1. Tri Buana Tungga Dewi/ 2101025050 2. Mutiara Aprilliza Kartini/2101025060

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH Prof. Dr. HAMKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

2021 / 2022

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kelimpahan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk yang sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi Pendidikan dalam profesi keguruan.

Dalam penulisan makalah ini kami sebagai penulis menyadari banyaknya kekurangan baik pada teknis penulisan, maupun materi, mengingat kemampuan yang yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sang penulis harapkan demi menyempurnakan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami sebagai penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak- pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata kami sebagai penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan sebagai inadah. Aamiin yaa Robbal ‘Alamiin.

Jakarta, 15 Oktober 2021

Kelompok 8

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... ii

A. PENDAHULUAN ... 1

1. Pengetian Agama ... 1

2. Pengertian Intoleransi ... 2

B. PEMBAHASAN ... 4

1. Realitas Keragaman Manusia ... 4

2. Keragaman Dalam Konteks Ke Indonesiaan ... 6

3. Fenomena Intoleransi Dan Faktornya ... 9

4. Kritik Atas Intoleransi Agama ... 11

PENUTUP ... 12

1. Kesimpulan ... 12

2. Saran dan Masukan ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 13

(4)

1

A. PENDAHULUAN

1. Pengetian Agama

Agama merupakan pondasi kehidupan sekaligus pengarah bagi setiap pemeluknya. Pondasi tersebut diibaratkan seperti sebuah bangunan rumah, yang mana kekuatan rumah tersebut bertumpu pada pondasinya. Jika pondasi pemahaman agama kuat maka keimanan terhadap agama juga kuat. Namun sebaliknya, jika pondasi pemahaman agama lemah, maka keimanan terhadap agama juga lemah. Agama menjadi pedoman bagi setiap pemeluknya karena agama merupakan petunjuk bagi setiap pemeluknya untuk menentukan tujuan dan arah hidup mereka ketika di dunia.

Pada dasarnya, manusia hanya mengakui satu Tuhan yang paling tinggi yaitu yang telah menciptakan seluruh jagad raya ini dan yang telah menentukan takdir manusia sebelum manusia dilahirkan. Ketika manusia rindu terhadap Tuhannya,maka manusia akan mengungkapkannya melalui doa karena selain media interaksi dengan Tuhan, manusia juga percaya bahwa Tuhan akan mengawasi dan menghukum mereka dari setiap dosa mereka.1

Diera modern ini, paradigma globalisasi sangat mempengaruhi sifat dan karakteristik manusia, terutama pengaruh dari paham-paham negara Barat. Dibeberapa negara Barat kesadaran akan toleransi antar umat beragama masih jarang dijumpai, meskipun masih ada beberapa individu tertentu saja yang masih saling bertoleransi, hal ini juga disebabkan adanya hubungan darah atau keluarga, sahabat, teman, rekan kerja.

Toleransi sebenarnya bukan hanya sekedar menerima perbedaan tetapi saling mengakui, saling terbuka, dan saling mengerti adanya perbedaan dan tidak mempersoalkan perbedaan tersebut meski mereka tidak sepakat.2

1 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, (Bandung: Mizan Media Umum, 2002). h. 27.

2 Henry Thomas Simarmata, dkk, Indonesia Zamrud Toleransi, (Jakarta Selatan: PSIK-Indonesia, 2017), h. 10-12.

(5)

2

2. Pengertian Intoleransi

Sebagai sebuah negara yang memiliki ragam kemajemukan, Indonesia memiliki ruang yang cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat perbedaan keyakinan dari para individu penghuni negara. Perbedaan keyakinan tersebut, pada kenyataanya memiliki pemaknaan yang lebih mendalam dari sekedar perbedaan sebagai 'akibat pilihan individu', namun merupakan perbedaan yang telah diwariskan secara historis dan mengakar dalam secara kultural. Dalam konteks kehidupan sosial, perbedaan pandangan sebagai buah karya pewarisan secara historis, telah melahirkan adanya pengelompokkan terhadap apa yang dinamakan mayoritas dan minoritas.

Pengelompokan tersebut, hendaknya dimaknai sebagai sebuah kekayaan yang diakibatkan adanya perbedaan keyakinan, yang menjadi sarana pemersatu dalam kehidupan bernegara. kepercayaan lain adalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan intoleransi ideologi.

Kata intoleransi berasal dari prefik in-yang memiliki arti "tidak, bukan" dan kata dasar toleransi yang memiliki arti sifat atau sikap toleran, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Dalam hal ini, pengertian toleransi yang dimaksud adalah

"sifat atau sikap toleran".Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri."

Sebagai sebuah negara yang memiliki ragam kemajemukan, Indonesia memilikiruang yang cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat perbedaankeyakinan dari para individu penghuni negara. Perbedaan keyakinan tersebut, padakenyataanya memiliki pemaknaan yang lebih mendalam dari sekedar perbedaansebagai ‘akibat pilihan individu’, namun merupakan perbedaan yang telah diwariskansecara historis dan mengakar dalam secara kultural.

Dalam konteks kehidupan sosial, perbedaan pandangan sebagai buah karyapewarisan secara historis, telah melahirkan adanya pengelompokkan terhadap apayang dinamakan mayoritas dan minoritas. Pengelompokan tersebut, hendaknyadimaknai sebagai sebuah kekayaan yang diakibatkan adanya perbedaan

(6)

3 keyakinan,yang menjadi sarana pemersatu dalam kehidupan bernegara.Apa itu Intoleransi?Intoleransi beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok (misalnyamasyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifikmenolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaanyang berlandaskan agama.

Namun, pernyataan bahwa kepercayaan ataupraktik agamanya adalah benar sementara agama atau kepercayaan lainadalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan intoleransiideologi.Kata intoleransi berasal dari prefik in- yang memiliki arti "tidak, bukan" dankata dasar toleransi yang memiliki arti sifat atau sikap toleran, batas ukuruntuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkanpenyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Dalamhal ini, pengertian toleransi yang dimaksud adalah

"sifat atau sikaptoleran".Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau bersikapmenenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya

Kasus Intoleransi bisa terjadi karena sikap diskriminatif terhadap sesama danperasaan paling benar dalam diri seseorang. Tetapi bisa juga Intoleransiterjadi karena faktor Pendidikan, Karena pendidikan toleransi dan menghargaiharus ditanam sejak dini (PAUD), tetapi jika sejak usia dini tidak ditanamsikap sikap toleran, maka seseorang akan susah untuk bertoleransi kepadaorang lain.Setelah masa yang panjang hingga saat ini, Sikap toleransi kini sudah mulaipudar. Tingkatan gairah Keagamaan tidak mendorong kelancaran kasihsayang,dan etika moral. Peningkatan Rumah ibadah dan penyelengaraanupacara Keagamaan tidak sebanding dengan peningkatan toleransikeagamaan satu sama lain

(7)

4

B. PEMBAHASAN

1. Realitas Keragaman Manusia

Pluralisme berasal dari bahasa Inggris yaitu plural berarti keanekaragaman dalam masyarakat, banyak hal lain yang harus diakui. Secara istilah, pluralisme ialah sikap mengakui dan menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembangkan keadaan menjadi plural atau beragam. Secara fenomenologis, pluralisme beragama (religious pluralisme) ialah fakta terkait sejarah agama-agama yang menampilkan suatu pluralitas tradisi dan berbagai varian tradisi.

Secara filosofis, pluralisme beragama berkaitan pada suatu teori dengan hubungan antar berbagai konsepsi, persepsi, dan respon mengenai realitas ketuhanan.

Pluralisme merupakan usaha untuk menciptakan hubungan sosial antar umat beragama agar terciptanya kerukunan antar umat beragama.3

Pluralisme agama pada kenyataannya bukan untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan, atau mencampur adukkan antar agama yang satu dengan yang lain, melainkan untuk saling menghormati, saling mengakui, dan bekerja sama. Oleh sebab itu, pluralisme agama diakui sebagai dasar pijakkan pengakuan suatu eksistensial pluralitas agama dalam mencari titik temu antar agama berdasarkan kesamaan melalui nilai kemanusiaan yang universal dalam masing-masing agama.Indonesia sendiri sangat menjunjung tinggi dan menghormati semua umat beragama yang ada karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama.

Namun pada kenyataanya, perpecahan dan konflik yang berlatar belakang agama sangat mudah sekali untuk terjadi dan bahkan hanya disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya sepele.4

3 Ismail Pangeran, Toleransi Beragama Sebuah Keniscayaan Bagi Muslim dalam Bermasyarakat, Jurnal Al Miskeah, Vol. 13 No. 1, (Palu: Institut Agama Islam Negeri Palu, 2017), h. 43.

4Ismail Pangeran, Toleransi Beragama Sebuah Keniscayaan ..., h. 45-46.

(8)

5 Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah lama karena perbincanganmengenai pluralitas telah dielaborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Pluralisme itu given, sementara konflik adalah sesuatu yang inhern di dalamnya.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik.

Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada.

Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas), ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif. Memahami pluralisme seharusnya melibatkan sikap diri secara pluralis pula.

Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan bagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.

Oleh karena itu dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dunia yang plural seperti ini, maka model dakwah Islamiah akan lebih bermakna (meaningfull) jika dilakukan dengan melibatkan kerjasama dengan semua pihak termasuk mereka yang berada di luar Islam. Dengan demikian, pluralitas, keragaman atau kemajemukan yang telah menjadi keniscayaan ini dapat dimanfaatkan sebagai" energi sosial" guna mengawal dan menetralisir problematika umat manusia.

(9)

6

2. Keragaman Dalam Konteks Ke Indonesiaan

Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memunculkan konflik bahkan kekerasan (violence). Oleh karena itu memahami pluralitas secara dewasa dan arif merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perbedaan budaya, tradisi atau kultur seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik sosial.

Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu komunitas masyarakat tidak selamanya dapat berjalan damai.Penulis mempunyai asumsi bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan budaya salah satunya disebabkan oleh sikap fanatisme sempit serta kurangnya sikap tasamuh (toleran) di kalangan umat. Fanatisme dan intoleransi hanya akan memyebabkan terjadinya desintegrasi bangsa dan konflik di masyarakat.

Tidak berlebihan jika pluralitas tradisi dan budaya diasumsikan dalam masyarakat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia merupakan kekayaan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain ia dapat menjadi faktor pemicu konflik horisontal.

Persoalanya adalah bagaimana menjembatani perbedaan tradisi dan budaya tersebut.

Mampukah Islam sebagai agama yang diklaim “ rahmatan lil alamin dan sholihun li kulli zaman wa makan” menjadi mediator bagi perbedaan-perbedaan budaya tersebut.5

Artinya: Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

5 M. Jandra, Islam dalam konteks Budaya da Tradisi Plural, dalam buku Agama dan Pluralitas Budaya lokal, editor Zakiyyudin Baidhay dan Mutohharun Jina UMS Press 2022. hlm 1-3

(10)

7 Bagaimana menampilkan Islam yang bersifat akomodatif sekaligus reformatif dan tidak hanya bersifat purikatif terhadap budaya-budaya atau tradisi-tradisi yang plural tersebut.Kenyataan di atas, menunjukkan masih ada rasa khawatir terhadap hubungan antara agama dan kebudayaan. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana, karena bila diruntut ke belakang kekhawatiran itu bersumber dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan profan.

Secara eksistensial, bila ketuhanan (agama) difahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian, menghasilkan apa yang disebut aktualisasi, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan(Allah SWT) dalam perilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi.

Dengan demikian, agama sebagai yang sakral mejadi substansi atau inti kebudayaan. Kebudayan merupakan perwujudan konfigurasi semangat Agama.Manifestasi agama dalam berbagai bentuk budaya lokal di Indonesia dapat dilihat dalam keragaman budaya nasional. Kita akan mendapatkan sebuah ekspresi dan pola budaya yang berbeda-beda sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat.

Dengan kata lain, agama selalu dihadapkan dengan dialektika budaya setempat.

Yang penting adalah bagaimana yang universal berada dalam wilayah dialog yang mutual dengan budaya-budaya lokal yang bersifat partikular.

Wali Songo adalah para mubalig yang dalam pengembangan Islamisasinya menyesuaikan dengan sosio-kultural masyarakat yang ada. Seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya. Hal ini mengingat kebiasaan itu sulit untuk ditinggalkan oleh mereka. Para wali menyetujui untuk memberikan toleransi kepada masyarakat yang saat itu menganut ajaran Hindu dan Budha melakukan adat-istiadat yang sudah mengakar. Namun dalam penyampaian dakwahnya, adat-istiadat itu diberi warna Islam.6

6 Depag RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: t. p., 2001), jilid. 5, h. 173-176

(11)

8 Dalam misi dakwahnya, seperti Sunan Bonang meramu ‘seni wayang’ dan music ‘gamelan’ dengan menyisipkan nilai-nilai Islam. Syair lagu yang diciptakannya berisi pesan tauhid, sikap menyembah kepada Allah Swt, dan tidak menyekutukannya.

Setiap lagu diselingi dengan Syahādatain (dua kalimat syahadat) yang dikenal dengan

‘Sekaten’. Permainan anak-anak dengan napas Islam, diciptakan oleh Sunan Giri, seperti Jelungan, Jarnuran, Gendi Ferit, Jor, Gula Ganti, Cublak-cublak Suweng, dan Ilir-ilir.

Sunan Derajat seorang yang berorientasi pada kegotong-royongan dalam dakwahnya, menciptakan tembang Jawa, yaitu tembang Pangkur, yang sampai saat ini masih banyak digemari oleh masyarakat.Sunan Kalijaga, mengembangkan seni

‘wayang purwa’ (wayang kulit) yang bercorak Islami, mengarang aneka cerita wayang yang bernapaskan Islam, terutama mengenai etika yang digunakan untuk menarik masyarakat masuk Islam. Ia juga bukan hanya dalam seni wayang, tetapi juga mengembangkan dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan seni kesusasteraan. Seni ukir terlihat dan corak batik dengan motif burung yang oleh Sunan Kalijaga disebut ‘Kukula’.

Sunan Muria dalam penyiaran dakwah Islam lebih berorientasi pada pengadaan lembaga (pesantren) untuk mendidik para pedagang, nelayan dan rakyat biasa. Hasil ciptaan seninya adalah tembang dakwah Sinom dan Kinani.7 Islamisasi yang dilakukan oleh para wali terhadap masyarakat di pulau Jawa khususnya, menggambarkan sikap toleransi terhadap eksistensi tradisi yang sudah mengakar ratusan tahun pada masyarakat Jawa yang notabene penganut ajaran Hindu dan Budha.

7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), cet, IV, h. 174-182

(12)

9

3. Fenomena Intoleransi Dan Faktornya

Intoleransi adalah suatu kondisi dimana suatu kelompok seperti masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama yang secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama. Namun, jika pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama atau kepercayaan lain adalah salah maka ini bukanlah termasuk intoleransi beragama, namun inilah yang disebut intoleransi ideology.

Menurut Komnas HAM dalam kurun waktu 3 tahun terakhir pengaduan tentang peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah tinggi. Pada Tahun 2015, jumlah pengaduan kasus intoleransi yaitu 87 kasus. Tahun 2016 hampir 100 kasus. Pada tahun 2017 jumlah pengaduan meningkat menjadi 155 kasus.

Sepanjang tahun 2015 kasus intoleransi tertinggi terjadi pada daerah jawa tengah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 14 kasus pelangaran sepanjang tahun ini.

Berdasarkan catatan Polri ada 25 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia sepanjang 2016. Kasus tersebut, di antaranya pengusiran terhadap penganut Gafatar dan Ahmadiyah di Bangka pada Januari 2016. Aksi massa tehradap warga Ahamadiyah di Bangka-Belitung adalah insiden terbaru dalam serangkaian serangan terhadap kelompok minoritas. Belum lama dari terjadinya kasus ahmadiyah, kelompok yang menamakan diri Gafatar juga mengalami kekerasan dari penduduk Kalimantan barat.

Rumah-rumah dari kaum yang menamai Gafatar tersebut dibakar dan mereka diusir.

Dengan sikap yang sama Aparat keamanan tidak melakukan pencegahan dan juga tidak langsung melakukan penyidikan. Kasus lainya adalah Perusakan relief salib di Yogyakarta dan relief Bunda Maria di Sleman pada Agustus 2016 serta banyak lagi kasus yang terjad di tahun 2016.

(13)

10 Sikap intoleransi yang terjadi di Indonesia saat ini tentunya tidak muncuk dengan sendirinya. Pastinya ada beberapa dorongan- dorongan eksternal maupun internal. Pembentukan sikap pada setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah :

• Pengalaman pribadi,

• Kebudayaan,

• Pendidikan Media massa

Sikap individu terhadap berbagai hal berkembang dan berjalan sesuai dengan interaksi dengan/ antar idnividu lainya, termasuk kegiatan kelompok yang ia ikuti sendiri ataupun kelompok yang tidak ia ikuti / kelompok lain. Pada saat ini Indonesia telah diguncang dengan adanya sikap sikap atau pemikiran yang tidak kritis sehingga muncul berbagi masalah atau konflik yang menyebabkan melunturnya nilai toleransi.

Bibit bibit munculnya tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama dipengaruhi oleh banyak faktor seperti:

• faktor sosial, ekonomi,

• Faktor politik

• Faktor social

Kurangnya toleransi dalam ranah sosial akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup antar sesame karena akan menimbulakn sikap tidak menghargai yang lain. Kemajemukan yang sudah dipersiapkan Tuhan seharusnya dibarengi dengan sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi pluralitas atas prinsip persamaan, kesetaraan, dan keadilan

Sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat dalam menempatkan berbagai perbedaan, yaitu : hidup menghormati, memahami dan mengakui diri sendiri, tidak ada paksaan, tidak mementingkan diri sendiri maupun kelompok.8 Inilah mengapa memiliki rasa saling toleransi antar umat beragama sangat diperlukan. Karena toleransi beragama memiliki tujuan dan fungsi yang tak hanya untuk keberlangsungan masyarakat dalam jangka waktu sesaat, tetapi kemaslahatanya akan dirasakan dalam waktu yang Panjang.

8 Elga Sarapung, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 8

(14)

11

4. Kritik Atas Intoleransi Agama

Pancasila adalah pondasi negara Indonesia. Semangat pancasila mengharapkan kemanusiaan dan keberagaman dalam lima dasar prinsip pancasila. Kritik agama adalah kritik yang dilakukan untuk agama itu sendiri. Pemahaman mengenai kritik agama ditujukan kepada seseorang supaya dapat bertindak sesuai dengan norma dan etika dalam beragama, ritus dan upacara antaragama, organisasi umat beragama, dan relasi yang dibangun sebagai umat Indonesia yang multicultural.

Kritik dan semangat untuk selalu mempertanyakan fungsi dan peran agama- agama bagi perdamaian harus senantiasa didiskusikan. Seiring dengan tuduhan keterlibatan agama menjadi elemen utama bagi pertentangan yang menimbulkan penghancuran kemanusiaan. Apakah agama bisa menjadi alternatif penyembuhan bagi manusia dari cengkeraman kemiskinan, ketertindasan, ketidakadilan, radikalisme, terorisme, dan peperangan, atau justru hanya akan menjadi bagian pemicu persoalan daripada menyelesaikan berbagai masalah.

Berbagai argumentasi di atas memberikan pemahaman kepada masyarakat beragama bahwa agama dalam perjalanannya akan selalu mengalami wajah mendua.

Pada satu sisi, secara interen agama memiliki identitas yang bersifat exclusive, secularist, dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalitas, dan transcending. Sehingga, bagaimanapun peran regulasi agama nantinya tergantung sikap masyarakat pemeluknya. Kedewasaan sikap masyarakat beragama akan menentukan wajah agama, apakah akan menjadi sesuatu yang konstruktif atau malah destruktif. Akhirnya, segala perbedaan dalam konteks beragama, harus dipandang menggunakan kerangka optimis- positivistik, yaitu perbedaan dipahami sebagai sebuah keniscayaan yang dapat menumbuhkan tenggang rasa dan semangat solidaritas antar umat beragama. Beragama membutuhkan sikap dinamis untuk dapat berdialog dengan realitas sosial-kemanusiaan.

Menciptakan harmonisasi umat beragama harus dimulai dari sikap keterbukaan diri untuk senantiasa menyesuaikan dengan berbagai realitas sosial-kemasyarakatan.

Dinamis dalam beragama berarti menghendaki adanya perbedaan terhadap kepercayaan umat agama lain, dan memandang secara optimis-positivistik. Pastinya, berbagai solusi telah digulirkan untuk diterapkan secara praksis. Agama selamanya akan selalu mengandung cita dan kritik.

(15)

12

PENUTUP 1. Kesimpulan

Pancasila adalah pondasi negara Indonesia. Semangat pancasila mengharapkan kemanusiaan dan keberagaman dalam lima dasar prinsip pancasila.Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memunculkan konflik bahkan kekerasan .

2. Saran dan Masukan

Memahami pluralitas secara dewasa dan arif merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perbedaan budaya, tradisi atau kultur seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik sosial.

(16)

13

DAFTAR PUSTAKA

Pemuda, A. Peran. "BAB II PERAN PEMUDA DAN TELAAH UMUM TENTANG KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA."

Sodikin, R. Abuy. "Konsep agama dan islam." Al Qalam 20.97 (2003): 1-20.

Arib, Maqbul. "Dakwah di Tengah Keragaman dan Perbedaan Umat Islam." Jurnal Dakwah Tabligh 15.1 (2014): 35-49.

Daryanto, Daryanto. Hubungan Agama Dan Budaya Lokal (Kajian Sekaten di Masjid Agung Surakarta). Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2013.

Muhaemin, Enjang, and Irfan Sanusi. "Intoleransi Keagamaan dalam Framing Surat Kabar Kompas." Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi 3.1 (2019): 17-34.

Dewantara, Agustinus Wisnu. "Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di Indonesia." CIVIS 5.1 (2015).

Ridwan, M. K., and Adang Kuswaya. Agama; Antara Cita dan Kritik. Institut Agama Islam Negeri Kudus, 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Peserta harus melaporkan secara tertulis kepada PKL dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh

Bahan-bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Bakteripelarut fosfat (Burkholderia cepacia), Biochar (bahan organik), Tanah Ultisol yang berasal dari

Dari pernyataan di atas, yang merupakan sifat-sifat cahaya adalah … C. Seberkas sinar terpantul pada cermin seperti gambar di bawah ini.. Besar sudut datang besar sudut pantul

Restorasi Lahan Gambut didefinisikan sebagai pemulihan vegetasi alam dan wilayah aliran (drainage regimes) pada lahan gambut dimana masih dianggap layak, dan bekerjasama dengan

HALAMAN PERSETUJUAN Setelah membaca dan mengoreksi skripsi saudara Dimas Priyo Prabowo NIM 14210035 Jurusan Al- Ahwal Al- Syakhsiyyah Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah

Telaah Pustaka Telaah pustaka atau tinjauan pustaka adalah proses untuk mengetahui tentang penelitian dari fenomena serupa yang telah diangkat oleh peneliti sebelumnya, hal

Dari berbagai hasil wawancara yang kemudian penulis terima dari para informan seperti pegawai Dishub Kab Pangkep, pemilik kapal (nahkoda, ABK kapal) dan penumpang kapal

Prinsip dari penelitan ini adalah untuk memisahkan asam oksalat yang terdapat dalam umbi porang (Amorphophallus Oncophyllus) dengan metode Microwave Solvent Extraction