• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI TEORI MODELLING DAN TEORI ATRIBUSI DALAM PEMBELAJARAN IPS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI TEORI MODELLING DAN TEORI ATRIBUSI DALAM PEMBELAJARAN IPS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

113

Dr. Subaryana, M.Pd Staf pengajar FPIPS IKIP PGRI Wates

ABSTRACT

Teaching and learning process is an activity that involves teachers and students as well as other learning instruments to deliver students to reach the learning objectives or competencies that have been formulated. In connection with this, social studies teachers must have an understanding of various learning theories. By having an understanding of various learning theories, the teacher will be able to create effective learning. Bandura modeling theory explains that the mechanism of acquiring child behavior is the result of conditioning and modeling where the perpetrators of the socialization are the models or people who become their idols. Therefore the teacher must be professional so that he can become a role model for his students, and help direct his students to choose the right model to emulate. Meanwhile attribution theory is built on the basis of two main dimensions, namely from the location of causes and stability is the nature of stability or instability of the cause. The teacher's job is to help and / or guide students to get the right attributes, namely by guiding and directing the students' perceptions that the cause of success comes from themselves or their potential. Likewise the cause of failure is not something permanent but its nature is only temporary, if students want to learn from the causes of failure and try to improve it, then they will get success.

Kata kunci: implementasi, teori modeling, teori atribusi, dan pembelajaran IPS

Pendahuluan

Pembelajaran sebagai suatu kegiatan antara guru dengan siswa untuk tujuan pendidikan, sudah ada semenjak dahulu kala, namun selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan kreativitas manusia. Pembelajaran ini dialami oleh manusia sepanjang hayat dan berlaku di mana pun serta kapan pun, sehingga pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya siswa dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai tujuan yang ditentukan yaitu menguasi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

UU No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 1 Ayat 20 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran juga dapat dikatakan sebagai proses atau kegiatan yang sitematis dan sistemik dan bersifat komunikatif dan interaktif antara guru dengan siswa dalam rangka membantu siswa memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan.

Menurut Darling-Hammond dan Branford, (2005: 51) ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran, yaitu (1) apa yang akan diajarkan, ini berkaitan dengan tujuan dan materi yang akan diajarkan, (2) bagaimana cara mengajarkannya, yaitu berkaitan dengan pemilihan metode dan media yang akan dipergunakan dalam pembelajaran, dan (3) bagaimana cara untuk mengetahui apa yang telah diajarkan dapat

(2)

114

dimengerti oleh siswa, yaitu berkaitan dengan evaluasi untuk dapat mengetahui dimengerti atau tidaknya materi yang telah diajarkan.

Sementara itu Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai ilmu terapan memerlukan sistem pembelajaran yang menarik dan mudah diimplementasikan oleh siswa dalam lingkungan sosialnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka seorang guru IPS harus mampu memilih teori pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan materi pembelajaran IPS sehingga siswa dapat mencapai bahkan melebihi standar kompetensi yang telah ditetapkan. Dalam tulisan singkat ini penulis berusaha untuk mengkaji secara singkat tentang implementasi teori modeling dari Bandura dan teori atribusi dari Weiner dalam pembelajaran IPS.

Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

IPS merupakan pengejawantahan dari sosial studies yang ada di Amerika Serikat yang lahir untuk membantu mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di sana akibat perang dunia. Social studies atau IPS pada awalnya dikemukakan oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 yaitu, “The social studies as the social science simplified for pedagogical purpose” atau social studies adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa “ The social studies consists of Geography, History, Economic, Sociology, Civics and various combination of these subjects”

(Barr, Barth, dan Shermis, 1987: 194).

Sementara itu, National Council for Social Studies (NCSS) mendefinisikan social studies sebagai berikut.

Social studies is the integrated study of social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school pogram, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology as well as appropriate content from humanities, mathematics and natural sciences.The primary purpose of socialstudies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decision for the public good a citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world (NCSS, 1994: 213)

IPS atau Social studies di dalamnya mencakup berbagai konsep yang berhubungan dengan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, geografi, dan filsafat yang dipilih untuk tujuan pembelajaran pada jenjang sekolah dan perguruan tinggi. Namun bila dianalisis, pengertian social studies memberikan gambaran bahwa social studies merupakan disiplin dari ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah maupun pada tingkat pendidikan tinggi. Oleh karena itu aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi dan disesuaikan dengan kompetensi atau sub kompetensi pembelajaran tersebut.

Sejalan dengan itu Somantri (2001: 103) menyatakan bahwa IPS dapat dimaknai sebagai seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila.

(3)

115

IPS atau Social studies sebagai kajian akademik merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan praktek kependidikan. Adanya sekelompok ahli dan masyarakat yang berkomitmen untuk mengembangkan pengetahuan sosial dan humaniora yang dikemas secara psikologis untuk tujuan pendidikan. Oleh karena itu IPS di sini merupakan sinthesa kajian pendidikan dan kajian sosial serta humaniora untuk program pendidikan pada kurikulum tingkat sekolah. IPS bukanlah mengembangkan keilmuan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilmu–ilmu sosial tetapi lebih pada tataran praktik pendidikan ilmu-ilmu sosial baik secara menyeluruh dan terpadu (holistic and integrated) maupun secara terpisah dalam keterkaitan (interdisipline /crossdiscipline) untuk tujuan pendidikan di tingkat sekolah. Sedangkan untuk perguruan tinggi, khususnya di LPTK kependidikan IPS dijadikan sebagai nama mata kuliah dan nama program studi atau jurusan yang menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi dibidang ke-IPS-an.

Dalam perjalanannnya IPS disebut juga sebagai pendidikan terpadu terutama terkait dengan masalah sosial secara akademik. Pemikiran tentang IPS sebagai kajian akademik oleh banyak ahli karena semakin banyak dan kompleksnya permasalahan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta ketidakmenentuan masa depan dan sulit diprediksi, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan pengetahuan terpadu (integrated approach). Tidak ada suatu disiplin ilmu tertentu saat ini yang mampu menyelesaikan masalah dalam kehidupan manusia. Misalnya awalnya masalah krisis politik, dalam mengatasinya tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan disiplin ilmu politik saja, tetapi membutuhkan juga pendekatan disiplin ilmu sosial lainnya seperti ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu sejarah dan lainnya. Untuk itu, maka program pendidikan ilmu pengetahuan sosial sebagai kajian terpadu dewasa ini sangat dibutuhkan, terutama untuk tingkat SD dan SMP. Namun di tingkat SLTA kajian IPS tidaklagi terpadu tetapi lebih bersifat terpisah tetapi saling berhubungan (interdiscipline /crossdiscipline). Bahkan saat ini di beberapa jurusan atau program studi di LPTK ada mata kuliah pembelajaran IPS terpadu.

Dalam pembelajaran IPS siswa berupaya seoptimal mungkin berusaha memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pengetahuan bukan seperangkat fakta atau kaidah yang diingat siswa, tetapi siswa harus mengonstruksi pengetahuan itu kemudian memberimakna melalui pengalaman nyata. Siswa akan bergulat dengan ide-ide dan kemudian mampu mengkonstruksinya. Penerapannya di kelas, misalnya saat siswa bekerja atau praktik mengerjakan sesuatu, memecahkan masalah, berlatih keterampilan secara fisik, menulis karangan, membaca teks, kemudian menuliskan isi kesimpulannya, mendemonstrasikan, dan sebagainya (Sardiman, 2007: 223-224).

Guru sebagai pengajar sekaligus pendidik harus mengetahui hakikat pembelajaran sebagai suatu proses yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa.

Pembelajaran menurut Sagala (2007: 63) melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekadar mendengar dan mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir. Dengan demikian, dalam pembelajaran IPS akan tercipta interaksi yang kondusif dan harmonis antara guru dengan siswanya, sehingga akan mempermudah tercapainya kompetensi yang diharapkan.

Melihat kenyataan tersebut di atas, maka sebagai guru IPS harus memiliki krestifitas dalam praktek pembelajarannya. Mereka wajib memiliki landasan filosofis dari ilmu yang diajarkan dan memahami tujuan atau kompetensi yang diharapkan. Oleh karena itu

(4)

116

pemahaman terhadap berbagai teori pembelajaran perlu dilakukan oleh guru IPS. Dengan memiliki pemahaman terhadap berbagai teori pembelajaran maka guru akan mampu memilih metode dan media yang tepat sehingga mampu mengantarkan siswanya dalam mencapai tujuan yang dharapkan. Guru selain sebagai pengajar juga sebagai pendidik, oleh sebab itu guru harus bisa menjadi role model bagi siswanya.

Implementasi Teori Modeling Bandura dalam Pembelajaran IPS

Albert Bandura lahir Mondare pada tanggal 4 Desember 1925. Ia merupakan seorang psikholog sosial yang sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (social learning) yang menekankan pada komponen kognitif dari pengetahuan, pemahaman dan evaluasi. Teori pembelajaran modeling dari Bandura ini lebih lengkap dari teori pembelajaran sebelumnya, karena lebih menekankan pada lingkungan sosial dan perilaku yang dihubungakan melalui sistem kognitif dari orang yang bersangkutan. Bandura melihat bahwa bukan smata-mata dari hubungan antara stimulus dengan respon, tetapi juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara skema kognitif seseorang dengan lingkungan sosialnya.

Teori Modeling dari Bandura dilandasi dari hasil eksperimennya yang terkenal yaitu eksperimen Bobo Doll, hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa sikap agresif yang dilakukan oleh anak sebagai representatif dari perilaku agresif orang di sekitarnya. Teori Modeling Bandura menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial dianugerahi kemampuan untuk belajar dan memperhatikan orang lain. Dalam kehidupan di masyarakat ada orang yang berhasil dan kurang berhasil dalam mengatasi suatu masalah, hal tersebut akan menjadi referensi siswa untuk meniru sikap dan perilaku orang tersebut. Pada umumnya manusia belajar melalui peniruan (imitation) dan contoh perilaku (modeling) yang ditampilkan oleh orang lain, terutama yang menjadi idolanya. Namun teori modeling ini sering dikritik dengan anggapan yang salah bahwa pengamatan terhadap perilaku orang lain atau model hanya menghasilkan peniruan yang sifatnya khusus saja (Bandura, 1969: 252).

Menurut Bandura (1971: 89-90) bahwa perilaku seseorang merupakan hasil interaksi faktor dalam diri dan lingkungan, yang sering disebut sebagai teori pembelajaran pemodelan atau pembelajaran lewat pengamatan (obsevational learning). Teori ini dikonseptualisasikan sebagai fenomena multiproses yang meliputi:

(1) Attentional processes that regulate sensory registration of modeling stimuli;

(2) retention processes that are influenced by rehearsal operations and symbolyc coding of modeled events into easily remembered schemes; (3) motoric reproduction processes that are concerned with availability of component responses and the utilization of symbolic codes in guiding behavioral reproduction: and (4) incentive or motivational processes that determine wether or not acquired responses will be activated into overt performances.

Dari uraian tersebut dapat disarikan bahwa untuk dapat meniru model sampai berhasil, kita harus (1) memiliki atensi pada model yang akan ditiru; (2) mengingat-ingat apa yang sudah dilihat dalam bentuk simbolik; (3) mempunyai kemampuan motorik yang dibutuhkan untuk mereproduksi sikap dan perilaku; dan (4) memperoleh insentif atau penguatan dan motivasi yang akan menentukan respon terhadap model.

Bandura (Hergenhahn & Olson, 2009: 385) dalam teorinya tentang agen manusia menyatakan bahwa salah satu agen manusia dicirikan oleh self-reflectiveness, kemampuan

(5)

117

metakognisi untuk merenungkan arah, atau anggapan tentang kecakapan diri adalah faktor terpenting yang menentukan pilihan tindakan dan sikap seseorang. Seseorang yang menganggap kecakapan yang dimilikinya rendah maka hasil belajarnya pun cenderung rendah, dan sebaliknya seseorang yang menganggap kecakapan yang dimilikinya tinggi, maka hasil belajarnya pun cenderung tinggi.

Menurut teori modeling Bandura bahwa perilaku seseorang adalah hasil dari interaksi faktor dari dalam diri atau kognitif dan lingkungan. Oleh sebab itu siswa cenderung meniru atau mencontoh apa yang telah ditampilkan oleh guru atau orang lain, termasuk di dalamnya adalah sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh guru dan orang lain yang menjadi idolanya. Oleh sebab itu guru sering menjadi role model bagi siswanya, karena itu guru harus memiliki sikap profesional. Salah satu ciri guru yang profesional adalah memiliki kompetensi kepribadian yang baik, sehingga ia akan dapat menjadi tauladan bagi siswanya dalam bersikap dan berperilaku.

Teori pembelajaran sosial dari Bandura menekankan bahwa siswa perlu belajar dari lingkungan sosialnya, lingkungan itu sering kali dipilih dan diubah orang tersebut melalui perilakunya. Bandura (1991) menjelaskan bahwa sebagaian besar umat manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan melihat sikap dan perilaku orang lain. Adapun inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modeling), teori modeling ini sangat cocok untuk pembelajaran IPS terpadu. Karena mengingat pembelajaran IPS, khususnya di tingkat SD dan SLTP masih menerapkan IPS terpadu (integrited), misalnya dengan mengangkat tema tentang permasalahan sosial yang ada di sekitar siswa, maka siswa akan berusaha untuk memecahkan masalah sosial tersebut melalui berbagai sudut pandang ilmu sosial dan melihat atau mencontoh beberapa tokoh yang berhasil dalam mengatasi masalah sosial.

Sebagai contoh seorang kepala daerah X mampu menangani masalah sosial yang ada di daerahnya dengan suatu kebijakan. Kebijakan yang diambil oleh seorang kepala daerah tersebut dapat dijadikan model oleh siswa dalam menangani masalah sosial yang serupa yang ada di sekitarnya.

Implementasi Teori Atribusi Weiner dalam Pembelajaran IPS

Bernard Weiner lahir pada tahun 1935, ia adalah seorang psikolog sosial yang dikenal karena mengembangkan teori atribusi yang menjelaskan dorongan emosional dan motivasi keberhasilan serta kegagalan akademik. Teori atribusi merupakan teori kontemporer yang sangat berpengaruh terhadap motivasi akademik (Weiner (1992). Hal ini karena teori ini mencakup modifikasi perilaku dalam arti menekankan gagasan bahwa siswa sangat termotivasi dengan hasil yang menyenangkan sehingga merasa terpuaskan atau paling tidak dapat menghargai dirinya sendiri dan pada gilirannya siswa tersebut akan memiliki konsep diri yang positif. Dengan konsep diri yang positif mereka memandang belajar itu sebagai suatu kebutuhan, bukan karena kewajiban. Dengan memandang belajar itu sebagai suatu kebutuhan mereka akan dengan sadar melakukan kegiatan belajar secara optimal.

Teori atribusi dibangun melalui asumsi bahwa siswa ingin mengetahui sebab-sebab dari pengalamnnya. Karena banyaknya sebab dari keberhasilan maupun kegagalan, maka Weiner telah mengklasifikasikan berdasarkan dari pengalaman yang mereka hayati, sehingga sebab-sebab tersebut dibandingkan dan dicari perbedaan dan persamaannya, dasar untuk mengklasifikasikan tersebut yang sering disebut dengan dimensi kausal yang

(6)

118

menjadi kerangka landasan dari teori atribusi Weiner. Pada mulanya teori atribusi dibangun atas dasar dua dimensi pokok yaitu dari letak penyebab (locus of causality) adalah letak kedudukan penyebab dari interpretasi dirinya dan ini bisa bersifat internal maupun eksternal; dan stabilitas (stability) merupakan sifat kestabilan atau ketidak setabilan dari penyebab. Selanjutnya ada dimensi keterkendalian (controllability), yakni tingkatan seberapa jauh suatu penyebab dapat dikendalikan oleh si pelaku. Setiap dimensi penyebab menimbulkan reaksi afektif dan konskuensi psikologis, misalnya dimensi letak, dimana seseorang yang mengatribusikan keberhasilannya karena faktor eksternal, mereka cenderung akan terkejut atau berterimakasih, namun jika keberhasilannya karena faktor internal mereka cenderung akan berbanggga dan dapat meningkatkan harga dirinya, begitu pula dengan hal yang sebaliknya. Demikian juga dimensi kesetabilan akan mempengaruhi reaksi afektif, jika penyebab dari kegagalan itu adalah faktor yang sifatnya tetap, maka cenderung akan merasa gagal dikemudian hari. Seperti dikemukakan oleh Weiner (1985:

563) ”Attributions play a key role in affective life”, atau atribusi memainkan peran yang kunci dalam kehidupan afektif.

Menurut Weiner ada empat faktor yang berhubungan dengan teori atribusi yang berpengaruh terhadap motivasi dalam pendidikan:

1) Ability (kemampuan) adalah faktor internal dan stabil dimana peserta didik tidak banyak latihan pengendalian langsung.

2) Task difficulty (kesulitan tugas) merupakan faktor eksternal dan stabil yang sebagaian besar di luar pengendalian peserta didik.

3) Effort (usaha), adalah faktor internal dan tidak stabil dimana peserta didik dapat melakukan banyak pengendalian.

4) Luck (keberuntungan) adalah faktor eksternal dan tidak stabil dimana peserta didik latihan pengendalian sangat kecil.

Dengan demikian untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatu kejadian/tindakan, Weiner melihat adanya dua dimensi, yaitu: dimensi internal dan eksternal sebagai sumber penyebab, dan dimensi stabil dan tidak stabil sebagai sifat kausalitas. Di samping itu atribusi yang dilabelkan oleh seseorang terhadap sebab dari tindakan atau pengalamannya akan menimbulkan penilaian tertentu terhadap dirinya serta reaksi afektif yang menyertainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi motivasi seseorang dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya serta penghargaan dan prestasi yang akan diraihnya dikemudian hari. Oleh karena itu sudah sepantasnya dalam upaya mencapai hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS yang baik, maka diperlukan bimbingan kepada siswa untuk memberikan atribusi yang tepat terhadap sebab-sebab keberhasilan maupun kegagalannya.

Perlu disadarkan juga pada siswa bahwa usaha dan kerja keras merupakan kunci dari suatu keberhasilan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Weiner, (1985: 567) ”There is an increasingly popular therapeutic treatment that induces participants to alter their attributions for success and failure”, atau Ada terapi semakin populer yang menginduksi peserta untuk mengubah atribusi mereka untuk keberhasilan dan kegagalan.

Weiner (1985: 567) mencontohkan Studi Andrews & Debus, 1978; Chapin & Dyck, 1976 yang menemukan bahwa ketekunan dalam menghadapi kegagalan perlu ditingkatkan ketika atribusi kegagalan yang berubah dari rendahnya kemampuan berusaha. Sehubungan

(7)

119

dengan hal tersebut maka melalui bimbingan guru yang profesional akan membantu siswa untuk memberikan atribusi yang tepat terhadap keberhasilan maupun kegagalannya dalam belajar IPS yang pada gilirannya akan dapat memperoleh hasil belajar IPS yang memuaskan.

Teori atribusi ini sangat tepat digunakan dalam pembelajaran IPS karena dapat membantu guru dalam melatih peserta didik untuk memotivasi agar lebih aktif dalam belajar, karena memang menekankan pada kemampuan berkomunikasi. Keberhasilan dan kegagalan yang terjadi dalam belajar banyak tergantung pada sikap guru dalam menciptakan suasana belajar. Meski terdapat beberapa kekurangan, namun teori ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam pembelajaran.

Simpulan

Untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi yang telah ditetapkan, maka seorang guru harus profesional, sehingga mampu menciptakan situasi yang kondusif dalam pembelajaran, oleh sebab itu selain penguasaan ilmu yang menjadi bidang keahliannya juga harus memahami teori-teori pembelajaran. Dengan penguasaan teori pembelajaran maka guru dapat memilih teori pembelajaran yang mana yang dianggap paling tepat diterapkan dalam pembelajaran.

Teori modeling bandura menjelaskan bahwa mekanisme perolehan tingkah laku anak merupakan hasil dari conditioning dan modelling dimana pelaku sosialisasinya adalah model-model atau orang yang menjadi idolanya. Karena itu guru harus profesional sehingga bisa menjadi role modell bagi siswanya. Dalam pembelajaran IPS teori pembelajaran modeling dari Bandura kiranya dapat dipakai untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah sosial yang ada di sekitarnya melalui tema tertentu yang diangkat dan dipecahkan secara terpadu menggunakan berbagai disiplin ilmu sosial. Selanjutnya siswa dapat memilih model pemimpin atau orang disekitarnya yang dianggap telah berhasil memecahkan masalah serupa, yakni dengan jalan mengamati apa yang telah dilakukan oleh mereka dan kemudian berusaha untuk mencontoh dan mempraktekannya.

Teori atribusi dari Weiner juga dapat membantu siswa mencapai tujuan pembelajarannya. Pada mulanya teori atribusi dibangun atas dasar dua dimensi pokok yaitu dari letak penyebab adalah letak kedudukan penyebab dari interpretasi dirinya dan ini bisa bersifat internal maupun eksternal; dan stabilitas merupakan sifat kestabilan atau ketidak setabilan dari penyebab. Tugas guru untuk membantu dan atau membimbing siswanya memperoleh atribut yang tepat, misalnya atribut penyebab keberhasilan itu karena faktor internal atau dari potensi yang dimilikinya maka siswa akan merasa bangga dan lebih menghargai dirinya. Begitu pula dengan penyebab kegagalan guru harus membantu menjelaskan pada siswa bahwa kegagalan itu merupakan keberhasilan yang tertunda, karena kegagalan sifatnya hanya sementara, jika yang bersangkutan mampu belajar dari apa yang menjadi penyebab kegagalan dan berusaha untuk memperbaikinya, maka keberhasilan akan diperoleh di kemudian hari.

Daftar Pustaka

Bandura, A. (1969). Social learning theory of identificatory process. in D. A.Goslin (Ed.).

From Handbook of socialization on the mistaken research. PP. 231-262. Rand Mc Nally and Company.

Bandura, A. (1971). Psychological modeling: Conflicting theories. Chicago: Aldine-Atherton.

(8)

120

Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of moral thought and action, in W.M. Kurtines &

J.L. Gewirtz (Ed.), Handbook of moral behavior and development (Vol.1. pp. 45 – 103). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.

Barr, R.D., et al. (1987). Hakikat Dasar Studi Sosial. Disadur oleh Alma, B. &

Haslasgunawan. Bandung: Sinar Baru.

Hergenhahn, B.R., & Olson, M.H. (2009). Theories of Learning (Teori Belajar). Edisi ke-7.

Terj. Tri Wibowo, B.S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

NCCS, (1994).”Curriculum Standar for Social Sudies, Expection for Excelence”. Washington:

NCCS.

Sagala, S. H. (2007). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Badung.

Sardiman, A.M. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Somantri, M. N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Weiner, B. (1985). An Attributional Theory of Achievement Motivation and Emotion.

Psychological Review, Vol. 92, No. 4. P. 548-573.

Weiner, B. (1992). Human Motivation: Metaphors, Theories, and Research. Newbury Park, CA: Sage Publications.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari analisis uji t menunjukkan bahwa variabel partisipasi pemakai, komunikasi pemakai-pengembang dan moderat 5 yakni pengurangan antara partisipasi pemakai

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien menunjukkan NOC : Suhu tubuh dalam rentang normal Nadi dan RR dalam normal Tidak ada perubahan warna

dengan kebutuhan pada akseptor KB IUD Copper T Cu 380 A. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan kebidanan yang telah. dilakukan pada akseptor KB IUD Copper T Cu 380

BAPPEDA.NTTPROV.GO.ID - Buku Standar Satuan Harga Barang dan Jasa (SSHBJ) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2017 merupakan buku yang berisi pedoman standar satuan

Australian and New Zealand Institute for Information Literacy (ANZIIL) dan Council of Australian University Librarians (CAUL) mengembangkan sebuah IL model/standard (yang

Namun, hal ini telah membuktikan bahwa pembelajaran menggunakan modul Memberikan Pelayanan kepada Pelanggan berbasis Guided Inquiry di kelas eksperimen dapat dikatakan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sriwijaya “hak bebas royalti non-ekslusif” ( non-exclusively royalty-freeright )

Pemberian sari buah belimbing wuluh selama 14 hari pada kelompok perlakuan dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus secara signifikan (p=0,000) dengan