• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. COVID-19

a. Epidemiologi

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di Cina setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Pada awalnya mayoritas laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh Cina. Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7,736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di Cina, dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman. COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus.

Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8.9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Per 30 Maret 2020, terdapat 693,224 kasus dan 33,106 kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui Cina. Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus baru sebanyak 19,332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6,549 kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11.3% (Susilo et al., 2020).

b. Virologi

Virus corona termasuk virus yang menyerang saluran pernapasan. Virus yang berhubungan dengan infeksi pada saluran pernapasan akan menggunakan sel epitel dan mukosa saluran napas sebagai target awal dan menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan atau kerusakan organ. Virus corona merupakan virus RNA rantai tunggal dan rantai positif yang masuk keluarga coronaviridae yang

(2)

dibagi menjadi subfamili menurut serotip dan genotip karakteristik yang meliputi a, β, γ dan δ. Virus corona pada umumnya menyerang hewan khususnya kelelawar dan unta. Virus corona mempunyai sampul (enveloped), dengan partikel bulat dan seringkali berbentuk pleomorfik. Dinding transmisi coronavirus dilapisi oleh protein S sebagai protein antigenik utama yang dapat berikatan dengan reseptor yang ada di tubuh hostnya. Terdapat enam jenis coronavirus yang ditemukan di saluran napas pada manusia yaitu 229E, NL63 dari genus Polygonum, OC43 dan HPU dari genus beta, Middle East Respiratory Syndrome-associated Coronavirus (MERS-CoV), and Severe Acute Respiratory Syndrome-associated Coronavirus (SARS-CoV). Coronavirus jenis baru atau SARS-CoV2 penyebab COVID-19 dapat diklasifikasikan dalam kelompok betacoronavirus yang menyerupai SARS- CoV dan MERS-CoV tetapi tidak sama persis (Levani et al., 2021).

c. Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak jauh berbeda dengan SAR-SCoV yang sudah lebih banyak diketahui. Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2. Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan sel. Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru (Susilo et al., 2020).

(3)

Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa masuknya SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan plasma membran dari sel. Pada proses ini, protein S2 berperan penting dalam proses pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran.

Selain fusi membran, terdapat juga clathrindependent dan clathrin-independent endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu. Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respon imun menentukan keparahan infeksi.

Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respon imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, respon imun yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan

d. Faktor risiko

Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2.

Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV- 2. Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk (Susilo et al., 2020).

e. Manifetasi klinis

Menurut Susilo et al. (2020) manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80%

kasus tergolong ringan atau sedang, 13.8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6.1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai

(4)

dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah. Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: frekuensi pernapasan lebih dari 30x/menit, distres pernapasan berat atau saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38.1-39.0°C sementara 34%

mengalami demam suhu lebih dari 39°C.

Gambar 2.1 Skema perjalanan penyakit COVID-19 Sumber: (Susilo et al., 2020)

Gambar 2.2 Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat Sumber: (Susilo et al., 2020)

Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (rata-rata 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang

(5)

mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya.

2. Obat Antiplatelet

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Antiplatelet Sumber: (Neal, 2015)

Gambar 2.4 Aktifasi dan aggregasi aksi dari platelet dalam antiplatelet Sumber: (Aaronson, 2013)

(6)

Proses pembekuan darah dipengaruhi adanya agregasi yang menyebabkan pelepasan TXA2, 5HT dan ADP dan memicu terjadinya agregasi selanjutnya, vasokonstriksi dan aktivasi kaskade atau pembekuan darah. Obat antiplatelet berfungsi mengurangi agregasi platelet sehingga menghambat pembentukan trombus pada sirkulasi arteri dimana antikoagulan kurang dapat berperan.

Obat-obatan Golongan Antiplatelet:

a. Asetosal (ASA)

Asetosal atau asam asetilsalisilat atau aspirin, adalah obat antiplatelet yang menghambat agregasi platelet. Mekanisme biokimia utama dimana aspirin menghambat kerusakan trombotik adalah melalui inaktivasi ireversibel enzim siklooksigenase 1 (COX-1). Dalam hal ini, gugus asetil aspirin menempel pada sisi aktif COX-1 pada S529, menghambat biosintesis prostaglandin H2 (PGH2), yang merupakan substrat dari tromboksan-A sintase yang mengkatalisis pembentukan protrombotik eicosanoid tromboksan A2 (TXA2). Menekan agregasi trombosit yang mengarah pada pencegahan VTE tanpa perubahan signifikan pada fungsi endotel. Di sisi lain, aspirin mengasetilasi fibrinogen dan protein lain yang terlibat dalam pembekuan darah, juga mencegah pembentukan trombus. Mekanisme biokimia ini menyebabkan penurunan pelepasan granula padat dari trombosit. Trombosit teraktivasi dan sel endotel biosintesis p-selectin, glikoprotein adhesi sel yang mendorong adhesi leukosit dan trombosit, dan perlekatan leukosit ke endotel vaskular. Aspirin menghambat p-selectin, yang menghasilkan pengurangan deep vein thrombosis (DVT). Mekanisme antitrombotik aspirin lainnya melibatkan peningkatan produksi metabolisme oksida nitrat (NO) oleh sel endotel, melalui penghambatan sintesis prostasiklin, yang menyebabkan inaktivasi trombosit. Selain itu, aspirin mencegah pembentukan trombin enzim protease serin, yang mengkatalisis transformasi fibrinogen menjadi fibrin dan karenanya, menyebabkan pembentukan bekuan darah.

b. Clopidogrel

Clopidogrel yang merupakan derivat thienopyridine, yang memiliki efek anti inflamasi selain menghambat ADP yang menginduksi terjadinya agregasi platelet.

Clopidogrel merupakan prodrug yang harus dikonversi ke bentuk aktif di hati.

(7)

Setelah clopidogrel diabsorpsi di dalam usus, dimana penyerapan dibatasi oleh P- glikoprotein yang dikodekan oleh gen ABCB1. Sebagian besar obat (sekitar 85%) dimetabolisme oleh esterase menjadi bentuk yang tidak aktif, sedangkan sisanya dikonversi dari prodrug ke bentuk aktif oleh enzim sitokrom P450 (CYP) oleh isoform aktif. Ikatan permanen metabolit aktif tersebut dengan reseptor P2Y12 menghasilkan blokade efektif terhadap aktivasi platelet yang diinduksi ADP serta agregasi platelet. Clopidogrel secara ireversibel menghambat reseptor ADP, dikodekan oleh gen P2RY12 yang bertanggung jawab untuk menonaktifkan reseptor fbrinogen, glikoprotein IIb / IIIa, untuk agregasi platelet (Rakhmawati et al., 2019).

c. Prasugrel dan Ticagrelor

Prasugrel dan ticagrelor adalah inhibitor ADP lainnya yang bekerja pada reseptor P2Y12 (Neal, 2015).

d. Eptifibadide, Tirofiban, dan Abciximab

Eptifibatide, tirofiban dan abciximab (antibodi monoklonal) menghambat agregasi trombosit dengan mengikat reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Neal, 2015).

e. Dipyridamole

Dipyridamole digunakan dengan warfarin untuk mencegah pembentukan trombosis pada katup jantung buatan, walaupun ada keraguan akan khasiatnya.

Diperkirakan mengurangi agregasi trombosit dengan meningkatkan kadar cAMP (Neal, 2015).

3. Antiplatelet sebagai penurun mortalilas pasien Covid-19

Pada pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 mengalami peningkatan molekul sitokin proinflamasi, yang merupakan faktor utama yang menyebabkan agregasi trombosit abnormal, yang menyebabkan trombosis dan tromboemboli di pasien COVID-19. Penyakit trombotik menyebabkan perubahan pada banyak organ, terutama paru-paru, dan sistem kardiovaskular. Pengobatan dengan antiplatelet merupakan strategi farmakologis penting untuk pencegahan agregasi trombosit, yang mengarah pada perkembangan penyakit potensial yang dapat diprediksi dari arteri/vena sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kematian pasien COVID-19 sebagaimana digambarkan dalam gambar 2.5 di bawah ini.

(8)

Gambar 2.5 Mekanisme diduga penyakit trombotik pada pasien COVID-19 dan mekanisme biokimia antiplatelet untuk mencegah trombosis

Sumber: (Susilo et al., 2020) 4. Meta-analisis

a. Definisi meta-analisis

Meta-analisis merupakan suatu studi epidemiologi yang menggabungkan dan menyatukan secara statistik hasil dari sejumlah penelitian primer independen yang bisa digabungkan. Dalam penelitian meta-analisis juga menguji hipotesis yang sama, dengan cara yang sama sehingga didapatkan ikhtisar secara kuantitatif (Murti, 2018).

b. Kesalahan dalam penelitian meta-analisis

Analisa pada meta-analisis perlu dilakukan karena adanya realitas bahwa tidak ada penelitian yang terbebas dari kesalahan, meskipun peneliti telah berusaha meminimalisir eror ataupun kesalahan dalam penelitian yang dilakukan. Koreksi terhadap ketidaksempurnaan penelitian yang disebut dengan artefak perlu dilakukan. Menurut Hunter dan Schmidt (2004) dalam Retnawati et al. (2018) artefak yang dapat dikoreksi dalam meta-analisis yaitu:

1) Kesalahan pengambilan sampel

2) Kesalahan pengukuran pada variabel independen 3) Kesalahan pengukuran pada variabel dependen 4) Sifat dikotomi pada variabel independen 5) Sifat dikotomi pada variabel dependen 6) Variasi rentang dalam variabel independen

(9)

7) Variasi rentang dalam variabel dependen

8) Ketidaksempurnaan validitas konstruk pada variabel independen 9) Ketidaksempurnaan validitas konstruk pada variabel dependen 10) Kesalahan pada pelaporan atau transkripsi

11) Varian yang disebabkan faktor luar c. Kelebihan dan kekurangan meta-analisis

Retnawati et al. (2018) menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan meta- analisis, dimana meta-analisis memungkinkan kita untuk mengkombinasikan berbagai macam hasil penelitian dengan cara kuantitaitf. Meta-analisis juga mampu menggambarkan hubungan antar penelitian dengan baik, sehingga dapat mengatasi adanya perbedaan hasil antar penelitian. Selain itu, sifat meta-analisis yang lebih objektif dari pada narative review, memungkinkan meta-analisis lebih fokus pada data, bukan fokus pada kesimpulan dari berbagai macam studi.

Terlebih lagi, meta-analisis lebih mudah dilakukan kerena dilakukan secara kuantitaif dan berfokus pada effect size. Meta-analisis juga mempunyai kelebihan lainnya, yaitu:

1) Prosedur meta-analisis menerapkan disiplin yang berguna dalam proses merangkum temuan penelitian.

2) Meta-analisis merupakan studi yang dilakukan dengan cara yang lebih canggih dari pada prosedur peninjauan konvensional yang cenderung mengandalkan ringkasan kualitatif atau “vote-counting”.

3) Meta-analisis mampu menemukan pengaruh atau hubungan yang dikaburkan dalam pendekatan lain untuk meringkas penelitian.

4) Meta-analisis menyediakan cara terorganisir untuk menangani informasi dari sejumlah besar temuan penelitian yang sedang dikaji.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut, meta-analisis juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain:

1) Membutuhkan waktu lebih lama

Analisis ini membutuhkan waktu yang lebih lama dalam penyelesaiannya dari pada review penelitian kualitatif konvensional. Dalam melaksanakan meta-analisis

(10)

seorang peneliti membutuhkan pengetahuan yang khusus dalam memilih dan mengkomputasi effect size yang tepat dan menganalisis secara statistika.

2) Bias pada pengambilan sampel dan publikasi.

Bias pada pengambilan sampel disebabkan karena ketidakseragaman tiap-tiap studi. Pada bias publikasi disebabkan karena data yang digunakan cenderung merupakan data yang telah terpublikasi dengan hasil signifikan, sedangkan data yang tidak signifikan cenderung tidak di publikasikan.

3) Tidak sebanding

Studi yang digunakan dalam meta-analisis tidak sebanding atau sering dikenal dengan analogi apel dan jeruk. Analogi tersebut mempunyai arti bahwa dalam meta-analisis dapat ditemukan studi-studi yang yang berbeda dalam analisis yang sama.

4) Kesalahan secara metodologi

Kesalahan dalam menentukan kesimpulan suatu studi dapat disebabkan karena kesalahan yang bersifat metodologi. Oleh karena itu, untuk mengatasinya peneliti sebaiknya menggunakan data dan statistik yang terdiri dari effect size, sample size, moderator variable, atau yang lainnya.

d. Langkah-langkah meta-analisis

Langkah-langkah meta-analisis menurut Retnawati et al. (2018) meliputi 3 langkah utama yaitu:

1) Merumuskan pertanyaan dan menentukan penelitian yang relevan Langkah-langkah dalam merumuskan pertanyaan penelitian dan menentukan penelitian yang relevan terdiri dari 3 tahapan, yaitu:

a) Menentukan Pertanyaan Penelitian

Dalam menentukan pertanyaan penelitian maka perlu melakukan agregasi kemudian mengestimasi proporsi atau rerata dari banyak penelitian. Selain itu perlu membandingkan antara kelompok perlakukan dan kelompok kontrol, perbedaan pretes dan postes, korelasi antara dua variabel, atau moderator dari hasil. Pertanyaan dalam meta-analisis terkait dengan 4 hal, yakni ukuran pemusatan, perbandingan pre dan post, perbandingan dua kelompok, dan korelasi.

Menentukan Penelitian yang Relevan

b) Menentukan Penelitian yang Relevan

(11)

Sebelum melakukan meta-analisis, perlu dipertegas spesifikasi dari literatur yang akan digunakan dalam meta-analisis. Terdapat tiga alasan utama pentingnya untuk menentukan kriteria, pertama kriteria-kriteria tersebut dapat digunakan untuk memandu dalam memilih penelitian mana yang akan digunakan dalam meta- analisis. Alasan kedua adalah kriteria tersebut penting untuk menentukan populasi yang berkaitan dengan pembuatan kesimpulan. Alasan ketiga adalah transparasi yang berkaitan dengan publikasi meta-analisis.

Beberapa kriteria yang harus diperhatikan adalah bidang ketertarikan yang akan dianalisis, karakteristik sampel, desain penelitian, waktu penelitian, jenis publikasi, dan informasi effect size. Karakteristik penelitian yang digunakan dalam meta-analisis harus jelas. Salah satu karakteristik dari meta-analisis yang baik adalah bahwa peneliti sangat eksplisit tentang populasi penelitian yang temuannya harus diperiksa dan dirangkum. Kriteria kelayakan pada penelitian yang digunakan dalam meta-analisis tergantung pada topik meta-analisis, akan tetapi, secara umum kategori yang harus dipertimbangkan untuk diaplikasikan.

c) Melakukan Pengkodean

Dalam mengadministrasikan hasil penelitian yang akan diagregasikan dalam meta-analisis, pengkodean perlu dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah mempertimbangkan pertanyaan penelitian, mempertimbangkan aspek spesifik dari penelitian tertentu.

2) Menghitung Effect Size

Adanya effect size menjadikan meta-analisis mungkin untuk dilakukan, karena effect size diperoleh dari dependent variable. Effect size menstandarisasi temuan dari berbagai macam studi yang dapat secara langsung dibandingkan. Indeks standar yang dapat digunakan sebagai effect size adalah standarized mean difference, koefisien korelasi, dan odds-ratio, asalkan mempunyai karakteristik yaitu dapat dibandingkan antar penelitian, menunjukkan besaran dan arah hubungan yang diminati, serta ukuran sampel yang independen. Perbedaan pada suatu meta-analsis dapat disebabkan karena perbedaan penggunaan statistika dalam penelitian dan belum adanya tansformasi data menjadi data yang sudah terstandarisasi.

(12)

3) Koreksi Bias dan Prosedur Umum dalam Meta-analisis

Koreksi bias dapat dilakukan apabila sampel berukuran kecil yaitu 𝑛 < 20. Bias dapat dikoreksi sebelum melakukan analisis dengan mengaplikasikan persamaan.

Setelah effect size dihitung, selanjutnya dilakukan uji homogenitas untuk melihat signifikansi variasi effect size. Setelah menguji homogenitas, peneliti perlu mengestimasi rerata effect size terbobot unik, kemudian menguji signifikansinya.

Rerata Effect size terbobot yang unik penghitungannya berbeda-beda, tergantung dari rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang menjadi fokus meta- analisis. Dari data effect size tiap studi, batas bawah dan batas atasnya dapat dihitung. Demikian pula pada rerata effect size terbobot, batas bawah dan batas atasnya dapat diestimasi. Hasil estimasi batas bawah dan batas atas kemudian digunakan untuk menggambarkan forest plot. Setelah melakukan interpretasi, diperlukan pula informasi publikasi bias. Apakah sumber-sumber yang digunakan merupakan sumber-sumber yang signifikan saja, ataukah sumber-sumber dengan kualitas metode penelitian yang semuanya bagus. Penyimpulan dengan dasar studi-studi yang melibatkan ukuran sampel yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang bisa saja bagus atau bisa saja memuat bias.

B. Kerangka Berpikir

Dari uraian teori diatas dapat digambarkan bahwa pada pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 mengalami peningkatan molekul sitokin proinflamasi, yang merupakan faktor utama yang menyebabkan agregasi trombosit abnormal, yang menyebabkan trombosis dan tromboemboli di pasien COVID-19. Penyakit trombolitik menyebabkan perubahan pada banyak organ, terutama paru-paru, dan sistem kardiovaskular. Pengobatan dengan aspirin merupakan strategi farmakologis penting untuk pencegahan agregasi trombosit, yang mengarah pada perkembangan penyakit potensial yang dapat diprediksi dari arteri/vena.

(13)

Gambar 2.5 Kerangka Berpikir C. Penelitian Terkait

1. Chow et al. (2021) dengan judul “Aspirin use is associated with decreased mechanical ventilation, intensive care unit admission, and in- hospital mortality in hospitalized patients with coronavirus disease 2019”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah penggunaan aspirin dikaitkan dengan kebutuhan ventilasi mekanis, dan kami berhipotesis bahwa penggunaan aspirin akan dikaitkan dengan penurunan risiko ventilasi mekanis. Penelitian ini merupakan studi kohor observasional retrospektif terhadap pasien dewasa yang dirawat dengan COVID-19 ke beberapa rumah sakit di Amerika Serikat antara Maret 2020 dan Juli 2020. HASIL: Empat ratus dua belas pasien dilibatkan dalam penelitian ini. Tiga ratus empat belas pasien (76.3%) tidak menerima aspirin, sedangkan 98 pasien (23.7%) menerima aspirin dalam waktu 24 jam setelah masuk atau 7 hari sebelum masuk. Penggunaan aspirin memiliki hubungan kasar dengan ventilasi mekanis yang lebih sedikit (35.7% aspirin versus 48.4%

nonaspirin, p= 0.030) dan masuk ICU (38.8% aspirin versus 51.0% nonaspirin, p=

0.04), tetapi tidak ada hubungan kasar dengan kematian di rumah sakit (26,5%

SARS-CoV-2 Saluran nafas

Memicu agregasi trombosit

antiplatelet

Agregasi platelet terkontrol

COX1

Arteri/vena trombolisis & tromboemboli Paru dan

kardiovaskular

Mortalitas

Agregasi platelet berlebih

(14)

aspirin versus 23.2% nonaspirin, p= 0.510). Setelah disesuaikan untuk 8 variabel pengganggu, penggunaan aspirin secara independen dikaitkan dengan penurunan risiko ventilasi mekanis (HR = 0.56; CI 95%= 0.37 hingga 0.85; p= 0.007), masuk ICU (HR= 0.57; CI 95%= 0.38 hingga 0.85; p=0.005), dan mortalitas di rumah sakit (HR= 0.53; CI 95%= 0.31 hingga 0.90; p= 0.020). Tidak ada perbedaan dalam perdarahan besar (p= 0.690) atau trombosis nyata (p= 0.820) antara pengguna aspirin dan pengguna nonaspirin. Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta- analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat.

2. Aghajani et al. (2021) dengan judul “Decreased in-hospital mortality associated with aspirin administration in hospitalized patients due to severe COVID-19”

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak penambahan aspirin sebagai tambahan terapi pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19 yang parah. Populasi Dalam studi kohor ini adalah 991 pasien dengan diagnosis COVID-19 berat yang dirawat di Pusat Medis Imam Hossein, Teheran, Iran dari Maret 2019 hingga Juli 2020. Hasil penelitian multivariat ini menunjukkan hubungan independen yang signifikan antara penggunaan aspirin dan pengurangan risiko kematian di rumah sakit (HR= 0.75; CI 95%= 0.56 hingga 0.99; p= 0.046). Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat.

3. Harthi et al. (2020) dengan judul “Evaluation of low-dose aspirin use among COVID-19 critically ill patients: a multicenter propensity score matched study”

Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi penggunaan aspirin dosis rendah pada pasien COVID-19 yang dalam kondisi kritis. Ini adalah studi kohor retrospektif multisenter untuk semua pasien dewasa yang sakit kritis dengan COVID-19 yang dirawat di Unit Perawatan Intensif (ICU) antara 1 Maret 2020 sampai 31 Maret 2021 Sebanyak 1.033 pasien memenuhi syarat; 352 pasien dimasukkan setelah pencocokan skor kecenderungan (rasio 1:1). Mortalitas di rumah sakit (HR= 0.73;

(15)

CI 95%= 0.56 hingga 0.97; p= 0.030) lebih rendah pada pasien yang menerima aspirin selama tinggal di rumah sakit. Di sisi lain, pasien yang menerima aspirin memiliki risiko perdarahan mayor yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (OR= 2.92; CI 95%= 0.91 hingga 9.36; p= 0.070). Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat.

4. Karruli et al. (2021) dengan judul “Multidrug-resistant infections and outcome of critically ill patients with coronavirus disease 2019: a single center experience”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai pendorong perkembangan infeksi bakteri multidrugresistant (MDR) pada penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) dan dampaknya terhadap hasil pasien berupa resistensi obat dan kematian pasien.

Metode yang digunakan adalah analisis retrospektif pada data dari 32 pasien dengan COVID-19, yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dari Maret hingga Mei 2020. Hasil yang dari penelitian ini adalah 50% pasien mengalami infeksi akibat resistesi obat selama tinggal di ICU setelah waktu rata-rata 8 (4-11) hari. Patogen MDR yang paling umum adalah resisten terhadap Klebsiella pneumoniae dan Acinetobacter baumannii, menyebabkan infeksi aliran darah dan pneumonia. Infeksi MDR dikaitkan dengan lama tinggal di ICU yang lebih tinggi (p= 0.002), terapi steroid (p= 0.011), dan terkait dengan mortalitas ICU yang lebih rendah (OR= 0.44; 95%: CI= 0.25 hingga 0.76; p< 0.001). Asupan aspirin dosis rendah dikaitkan dengan kedua infeksi MDR (p= 0.043) dan kelangsungan hidup (p= 0.015). Di antara pasien MDR, kematian terkait dengan penggunaan piperacillintazobactam (p= 0.035) dan onset awal infeksi MDR (p= 0.042).

Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat. Serta outcome yang diteliti hanya mortalitas saja.

(16)

5. Liu et al. (2021) yang berjudul “Effect of low-dose aspirin on mortality and viral duration of the hospitalized adults with COVID-19”

Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas efek aspirin pada mortalitas dan durasi virus pada orang dewasa yang terinfeksi dengan sindrom pernapasan coronavirus 2 (SARS-Cov-2). Penelitian kohor ini melibatkan 232 pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit Rakyat Pusat Yichang antara 30 Januari hingga 20 Maret 2020. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa mortalitas 30 hari dan 60 hari pada kelompok aspirin (log-rank Chi-Squared= 5.48; p= 0.021) secara signifikan lebih rendah daripada kelompok non-aspirin (log-rank Chi-Squared= 4.78; p=

0.030). Durasi virus pada pasien dalam kelompok non-aspirin dan aspirin adalah 26 orang (IQR= 20–31) dan 27 orang (IQR= 20–31), yang tidak berbeda secara signifikan (p= 0.942). Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat. Serta outcome yang diteliti hanya mortalitas saja.

6. Meizlish et al. (2021) dengan judul “Intermediate-dose anticoagulation, aspirin, and in-hospital mortality in COVID-19: A propensity score- matched analysis”

Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi penggunaan aspirin untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular pada pasien COVID-19. Ini merupakan studi kohor retrospektif besar terhadap 2.785 pasien dewasa COVID-19 yang dirawat di rumah sakit pada bulan Maret hingga Juni 2020. Hasil utama adalah insiden kumulatif kematian di rumah sakit ditemukan bahwa pasien diberikan antikoagulan dosis menengah dibandingkan dengan dosis profilaksis dikaitkan dengan insiden kematian, lebih rendah secara signifikan di rumah sakit (HR=

0.52; CI 95%= 0.31 hingga 0.87; p= 0.013). Di antara pasien dengan pemberian aspirin dalam model regresi multivariabel, pemberian aspirin dibandingkan dengan tidak ada terapi antiplatelet dikaitkan dengan insiden kumulatif kematian, lebih rendah secara signifikan di rumah sakit (HR= 0.52; CI 95%= 0.34 hingga 0.81; p= 0.001). Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer

(17)

terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat. Serta yang diteliti hanya penggunaan obat antiplatelet terkait mortalitas saja.

7. Merzon et al. (2021) dengan judul “The use of aspirin for primary prevention of cardiovascular disease is associated with a lower likelihood of COVID-19 infection”

Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi penggunaan aspirin untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular pada pasien COVID-19. Ini merupakan studi cross-sectional berbasis populasi retrospektif, memanfaatkan data dari database Layanan Kesehatan Leumit. Periode penelitian adalah dari 1 Februari sampai 30 Juni 2020 pada 725,000 database anggota Leumit Health Services (LHS). Proporsi pasien yang diobati dengan aspirin secara signifikan lebih rendah di antara kelompok positif COVID-19, dibandingkan dengan kelompok negatif COVID-19 kelompok positif 73 orang (11.03%) vs kelompok negatif 1548 orang (15.8%); p=

0,001. Penggunaan aspirin dikaitkan dengan kemungkinan infeksi COVID-19 yang lebih rendah, dibandingkan dengan bukan pengguna (OR= 0.71; CI 95%=

0.52 hingga 0.99; p= 0.041). Durasi penyakit COVID-19 antara pengguna aspirin secara signifikan lebih pendek, dibandingkan dengan bukan pengguna aspirin (p=

0.045). Pasien positif COVID yang dirawat di rumah sakit, didapatkan proporsi hidup lebih tinggi yang diobati dengan aspirin (19.1%), dibandingkan dengan subjek meninggal (14.3%), meskipun perbedaan ini tidak signifikan (p= 0.449).

Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat. Serta outcome yang diteliti hanya mortalitas saja.

8. Osborne et al. (2021) dengan judul “Association of mortality and aspirin prescription for COVID-19 patients at the Veterans Health Administration”

Penelitian retrospektif ini dirancang untuk mengukur korelasi antara aspirin pra- diagnosis dan kematian untuk pasien positif COVID-19. Populasi penelitian ini adalah Veteran dari seluruh negeri dengan hasil laboratorium positif COVID-19 yang dimasukkan dalam kejadia kematian 30 hari terdiri dari 35,370 pasien dari 2 Maret 2020 hingga 13 September 2020 untuk kasus kematian 14 hari dan 32,836

(18)

pasien dari 2 Maret 2020 hingga 28 Agustus 2020. Gambaran hasil penelitian didapatkan bahwa di antara Veteran positif COVID-19, resep aspirin yang sudah diberikan dikaitkan dengan penurunan angka kematian, signifikan secara statistik dan klinis dalam kematian 14 hari (OR= 0.38; CI 95%= 0.32 hingga 0.46) dan pada 30 hari (OR= 0.38; CI 95%= 0.30 hingga 0.45). Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta- analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat.

9. Mura et al. (2021) dengan judul “Clinical evidence for improved outcomes with histamine antagonists and aspirin in 22,560 COVID-19 patients”

Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi penggunaan obat histamin dan aspirin pada pasien COVID-19. Ini merupakan studi kohor retrospektif pada 22,560 pasien COVID-19 dari data TriNetX, yang terdiri dari 400 juta pasien dari 130 organisasi perawatan kesehatan di 30 negara dengan fokus pada 1,379 kasus parah yang membutuhkan bantuan pernapasan. Hasil penelitian ini menemukan risiko kematian yang berkurang secara signifikan untuk pengobatan famotidine (OR=

0.73; CI 95%= 0.57 hingga 0.94). Penggunaan famotidine tunggal didapatkan (OR= 0.75; CI 95%= 0.39 hingga 1.46). Penggunaan kombinasi famotidine dan aspirin (344 kasus parah sebelum pencocokan) memang menunjukkan manfaat kelangsungan hidup sinergis yang signifikan (OR= 0.55; CI 95%= 0.39 hingga 0.78). Perbedaan dengan penelitian di atas adalah jumlah populasi lebih banyak, metode yang digunakan adalah meta-analisis dari beberapa studi primer terpilih sehingga diharapkan validitas data lebih akurat. Serta yang diteliti hanya penggunaan obat antiplatelet terkait mortalitas saja.

D. Kebaruan Penelitian

Kebaruan penelitian ini terletak pada tinjauan sistematis dan penelitian menggunakan meta-analisis, dengan menggunakan metode penggabungan artikel penelitian yang relevan terkait hubungan penggunaan obat antiplatelet dengan mortalitas pasien COVID-19. Selain itu, panduan sistematisnya menggunakan PRISMA flow diagram serta dilakukan penilaian kualitas artikel dengan Critical Appraisal Checklist.

(19)

Kebaruan lainnya terletak pada artikel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu berasal dari berbagai negara di dunia, menggunakan ukuran hubungan adjusted Odds Ratio (aOR) dengan batas waktu artikel yang telah dipublikasikan pada tahun 2020-2021 dalam bentuk full text dan berbahasa inggris.

E. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah penggunaan obat antiplatelet menurunkan tingkat kematian atau mortalitas pasien COVID-19.

(20)

Gambar

Gambar 2.2 Perjalanan penyakit pada COVID-19 berat   Sumber: (Susilo et al., 2020)
Gambar 2.4 Aktifasi dan aggregasi aksi dari platelet dalam antiplatelet  Sumber: (Aaronson, 2013)
Gambar 2.5 Mekanisme diduga penyakit trombotik pada pasien COVID-19  dan mekanisme biokimia antiplatelet untuk mencegah trombosis
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir  C.  Penelitian Terkait

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan sector tersebut jelas membutuhkan suatu tahapan perencanaan yang Pembangunan sector tersebut jelas membutuhkan suatu tahapan perencanaan yang matang dan benar untuk

Pada saat transformator memberikan keluaran sisi positif dari gelombang AC maka dioda dalam keadaan forward bias sehingga sisi positif dari gelombang AC tersebut

Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat kebisingan pada sistem sekunder di Gedung reaktor Kartini, penulis menganalisa tingkat kebisingan sistem pendingin sekunder

Secara umum, lidah yang sehat berwarna merah muda, tidak terlalu kering atau basah, tidak terlalu tipis atau bengkak, dan tanpa cetakan gigi di pinggir lidah atau

Kus (41 tahun) dengan keluhan tinnitus tanpa vertigo dan pendengaran menurun sejak empat hari sebelumnya, didiagnosis SNHL telinga kiri dengan PTA 93,75 dB

Selama proses ini berlangsung, peneliti mendiskusikan penemuan dengan pembimbing, serta menghubungi kembali partisipan sebagai upaya untuk memastikan apakah data

Belanja Barang dan Jasa Tahun 2009 sampai dengan Tahun Anggaran 2010 mencapai 1,5% dikarenakan Badan Pemberdayaan Perempuan baru berdiri dan membutuhkan masukan dari Kabupaten /

bahwa Tarif A i r Minum PDAM TIRTA OGAN Kabupaten Ogan l Iir yang berlaku berdasarkan pada Keputusan Bupati Ogan Komering II ir Nomor : 0033/SKlPDAM/2001 tanggal 12 Maret 2001