• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PENCABULAN BAGI ANAK DI BAWAH UMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PENCABULAN BAGI ANAK DI BAWAH UMUR"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II 

TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PENCABULAN BAGI  ANAK DI BAWAH UMUR 

A.  Hukum Pidana 

1.  Pengertian Hukum Pidana 

Moeljanto mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari pada  keseluruhan  hukum  yang  berlaku  di  suatu  Negara,  yang  mengadakan  dasar­ 

dasar  dan  aturan  untuk:  Menentukan  perbuatan  mana  yang  tidak  boleh  dilakukan,  yang  dilarang,  yang  disertai  ancaman  atau  sanksi  yang  berupa  pidana  tertentu  bagi  barang  siapa  melanggar  larangan  tersebut,  menentukan  kapan dan dalam  hal­hal apa kepada  mereka  yang telah  melanggar  larangan­ 

larangan  itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana  sebagaimana  yang telah  diancamkan  dan  menentukan  dengan  cara  bagaimana  pengenaan  pidana  itu  dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan  tersebut. Dan Satochid Kartanegara menerangkan bahwa Hukum Pidana dapat  dipandang  dari  beberapa  sudut,  yaitu  :  Hukum  Pidana  dalam  arti  objektif,  yaitu sejumlah perturan yang mengandung larangan­larangan atau keharusan­ 

keharusan  terhadap  pelanggarannya  diancam  dengan  hukuman  dan  hukum  pidana  dalam  arti  subjektif,  yaitu  sejumlah  peraturan  yang  mengatur  hak 

Moeljatno, Asas­asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002), 53

(2)

Negara  untuk  menghukum  seseorang  yang  melakukan  perbuatan  yang  dilarang. 

Dari pengertian­pengertian  yang telah disebutkan di atas,  maka dapat  disimpulkan  bahwasanya  hukum  pidana  adalah  keseluruhan  aturan­aturan  mengenai  perbuatan  yang  dapat  dihukum  menurut  aturan  yang  telah  ditentukan sebagai alat peringatan yang dipergunakan oleh hakim untuk objek  hukum  pidana,  yang  terbagi  menjadi  dua  yakni  hukum  pidana  yang  bersifat  objektif dan subjektif dan dalam penerapannya dibedakan  menjadi dua  yakni  hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. 

2.  Tujuan/ Fungsi Hukuman dan Klasifikasinya 

Pada dasarnya secara umum fungsi hukum pidana sama dengan fungsi  hukum pada umumnya.  Hal  ini disebabkan hukum pidana  merupakan bagian  dari  hukum  pada  umumnya.  Namun  demikian,  hukum  pidana  juga  mempunyai fungsi khusus yang berbeda dengan hukum pada umumnya. 

Menurut  Soedarto, fungsi  hukum  pidana  dapat  dibedakan  menjadi  2  (dua) fungsi: 

a.  Fungsi Umum 

Oleh  karena  Hukum  Pidana  itu  merupakan  bagian  dari  hukum  pada  umumnya,  maka  fungsi  hukum  pidana  juga  sama  dengan  fungsi  hukum  pada  umumnya,  yaitu  mengatur  hidup  kemasyarakatan,  atau 

Tongat,  Dasar­dasar  Hukum  Pidana  Indonesia  dalam  Perspektif  Pembaharuan,  (Malang: 

UMM Press, Cet. I, 2008), 21

(3)

menyelenggarakan  tata  dalam  masyarakat.  Dengan  demikian  menurut  Soedarto,  hukum  hanya  memperhatikan  perbuatan­perbuatan  yang  sosial  relevant,  artinya  yang  ada  sangkut  pautnya  dengan  masyarakat.  Hukum  tidak  mengatur  sikap  batin  seseorang  yang  bersangkutan  dengan  tata  susila. Demikian juga hukum pidana. 

b.  Fungsi Khusus 

Secara  khusus  hukum  pidana  dapat  berfungsi  melindungi  kepentingan hukum (nyawa, badan, kehormatan, harta dan kemerdekaan)  dari  perbuatan  yang  hendak  memperkosanya  dengan  sanksi  yang  berupa  pidana  yang  sifatnya  lebih  kejam  bila  dibandingkan  dengan  sanksi  yang  terdapat pada cabang­cabang hukum lainnya. 

Dari  gambaran  fungsi  hukum  pidana  yang  diberikan  Soedarto  diatas,  tersimpul  pendapat,  bahwa  hukum  pidana  mempunyai  dua  dimensi  yang  berbeda.  Pertama,  karena  kedudukannya  sebagai  bagian  dari  hukum  pada  umumnya, maka hukum pidana mempunyai fungsi yang sama dengan hukum  pada  umumnya,  perbuatan­perbuatan  yang  sekiranya  tidak  akan  menggoyahkan  tertib  sosial,  berada  diluar  jangkauan  hukum.  Kedua,  adanya  legitimasi dalam hukum pidana untuk menggunakan sanksi yang lebih kejam  apabila ada pelanggaran terhadap norma yang diaturnya. 

Ibid., 22

(4)

Sehubungan dengan  fungsi  Hukum Pidana di  atas, berbagai pendapat  muncul  mengenai  tujuan  dari  adanya  pemidanaan.  Dapat  dikemukakan  beberapa pendapat ahli Hukum mengenai tujuan pidana sebagai berikut: 

Menurut  Ricard  D.  Schwartz  dan  Jerome  H.  Sholnick  yang  dikutip  oleh Barda Nawawi Arif sanksi pidana dimaksudkan untuk : 

a.  Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. (to prevent recidivism)  b.  Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si 

terpidana (to deterother from the perforcemance of si,illar act) 

c.  Menyediakan  saluran  untuk  mewujudkan  motif­motif  balas  dendam  (to  provide a chanel for the expression of retaliotary motives). 

Menurut  pendapat  Lamintang,  terdapat  3  pokok  pemikiran  tentang  tujuan yang ingin dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu: 

a.  Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri. 

b.  Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan­ kejahatan. 

c.  Untuk  membuat  penjahat­penjahat  tertentu  menjadi  tidak  mampu  untuk  melakukan kejahatan­kejahatan  lain,  yakni penjahat­penjahat  yang dengan  cara lain sudah tidak dapat lagi diperbaiki. 

Tujuan  pemidanaan  yang  berupa  perlindungan  masyarakat  untuk  mencapai  kesejahteraan  masyarakat,  merupakan  tujuan  yang  umum  yang  sangat  luas.  Tujuan  umum  tersebut  menurut  Barda  Nawawi  Arief  merupakan 

Barda  Nawawi  Arief,  Bunga  Rampai  Kebijakan  Hukum  Pidana,  (Jakarta:  Raja  Grafindo  Persada, 2002), 20 

Ibid.

(5)

induk  dari  keseluruhan  pendapat  dan  teori­teori  mengenai  tujuan  pidana  dan  pemidanaan.  Dengan  kata  lain,  semua  pendapat  dan  teori  yang  berhubungan  dengan tujuan pidana dan pemidanaan sebenarnya hanya merupakan perincian  atau pengidentifikasian dari tujuan umum tersebut. 

Adapun  identifikasi  dari  tujuan  utama  dari  pidana  dan  pemidanaan  yakni  perlindungan  masyarakat  untuk  mencapai  kesejahteraan  masyarakat  dapat dikemukakan sebagai berikut: 

a.  Tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan. Perumusan tujuan pidana  demikian  ini dilatar  belakangi perlunya perlindungan  masyarakat terhadap  perbuatan  anti  sosial  yang  merugikan  dan  membahayakan  masyarakat. 

Tujuan  ini  sering  digunakan  dengan  berbagai  istilah  seperti  ”penindasan  kejahatan”  (repression  of  crime)  ”pengurangan  kejahatan”  (reduction  of  crime) ”pencegahan kejahatan” (prvention of crime) ataupun ”pengendalian  kejahatan” (control of crime). 

b.  Tujuan  pidana  adalah  untuk  memperbaiki  si  pelaku.  Tujuan  ini  dilatar  belakangi  perlunya  perlindungan  masyarakat  terhadap  sifat  berbahayanya  orang  (si  pelaku).  Istilah­istilah  lain  yang  digunakan  untuk  merefleksikan  tujuan  ini  adalah  rehabilitasi,  reformasi,  treatment  of  offenders,  reduksi,  readaptasi sosial, resosialisasi pemasyarakatan, maupun pembebasan. 

Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana, 85 

Ibid., 86

(6)

c.  Dilihat  dari  sudut  perlunya  perlindungan  masyarakat  terhadap  penyalahgunaan kekuasaan dalam  menggunakan sanksi pidana atau reaksi  terhadap  pelanggar  pidana,  maka  tujuan  pidana  sering  dirumuskan  untuk  mengatur  atau  membatasi  kesewenangan  penguasa  maupun  warga  masyarakat  pada  umumnya.  Perumusan  pidana  lain  yantg  sejalan  dengan  tujuan  ini  antara  lain:  ”policing  the  police”,  ”menyediakan  saluran  untuk  motif­motif  balas  dendam”  atau  ”menghindari  balas  dendam”,  maupun 

”tujuan  menteror”  yang  melindungi  pelanggarar  terhadap  pembalasan  sewenang­wenang diluar hukum. 

d.  Tujuan  pidana  adalah  untuk  memulihkan  keseimbangan  masyarakat. 

Tujuan  ini  dilatar  belakangi  perlunya  perlindungan  masyarakat  dengan  mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan  nilai  yang  terganggu  oleh  adanya  kejahatan.  Perumusan  tujuan  pidana  lainnya  yang  mencerminkan  tujuan  antara  lain:  ”untuk  menghilangkan  noda­noda  yang  diakibatkan  oleh  tindakan  pidana”,  untuk  menyelesaikan  konflik  yang  ditimbulkan  oleh  tindak  pidana,  memulihkan  keseimbangan  untuk mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 

Setelah  berbagai  hal  dijelaskan  tentang  tindak  pidana,  yaitu  pengertian  dan tujuan hukuman, maka di jelaskan juga tentang klasifikasi hukuman (macam­ 

macam  hukuman).  Dalam  KUHP,  pidana  yang  dapat  dijatuhkan  kepada  pelaku  tindak  pidana  dibedakan  dalam  pidana  pokok  dan  pidana  tambahan,  terutama  sebagaimana  ditentukan  dalam  pasal  10  KUHP.  Dalam  hal  ini  Roeslan  Saleh

(7)

menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuat menurut beratnya pidana, dan yang  terberat disebut lebih depan. 

Jenis­jenis Pidana yang disebutkan dalam pasal 10 KUHP ialah: 

Secara  rinci  dari  jenis­jenis  pidana  yang  terdapat  dalam  Pasal  10  Kitab  Undang­undang Pidana  tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 

1.  Hukuman­hukuman Pokok  a.  Hukuman mati 

Pidana  mati  di  dalam  Kitab  Undang­undang  Hukum  Pidana  Indonesia  diatur  dalam  Pasal  11,  yang  menyatakan  bahwa  pidana  mati  dijalankan  algojo  di  atas  tempat  gantungan  (schavot)  dengan  cara  mengikat  leher  siterhukum  dengan  jerat  pada  tiang  gantungan,  lalu  dijatuhkan  papan  dari  bawah  kakinya. 10  Berdasarkan  Penetapan  Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 yang  ditetapkan  menjadi  Undang­undang  dengan  Undang­undang  Nomor  5  Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana. 

b.  Hukuman penjara 

Pidana  penjara  merupakan  pidana  utama  diantara  pidana  penghilangan  kemerdekaan  dan  pidana  ini  dapat  dijatuhkan  untuk 

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), 49 

Soesilo,  Kitab  Undang­undang  Hukum  Pidana  (serta  komentar­komentarnya  lengkap  pasal  demi pasal), (Bogor: Polietia, 1991), 34 

10 Wirdjono Prodjodikoro, Asas­asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,  2003), 178

(8)

seumur  hidup  atau  sementara  waktu.  Berbeda  dengan  jenis  lainnya,  maka  pidana  penjara  ini  adalah  suatu  pidana  berupa  pembatasan  kebebasan  bergerak  dari  seorang  terpidana,  yang  dilakukan  dengan  menutup  orang  tersebut  di  dalam  sebuah  lembaga  permasyarakatan. 

Andi  Hamzah  pernah  mengemukakan  bahwa  pidana  penjara  disebut  juga  dengan  pidana  hilang  kemerdekaan,  tetapi  juga  narapidana  kehilangan  hak­hak  tertentu,  seperti  hak  memilih  dan  dipilih,  hakim  memangku jabatan publik, dan beberapa hak sipil lain. 11 

Pidana  penjara  bervariasi  dari  penjara  sementara  minimal  1  (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun pada umumnya  pidana  penjara  maksimum  15  (lima  belas)  tahun  dan  dapat  dilampaui  dengan 20 (dua puluh) tahun. 

Roeslan  Saleh  menjelaskan  bahwa  banyak  pakar  memiliki  keberatan terhadap penjara seumur hidup ini, keberatan ini disebabakan  oleh  putusan  kemudian  terhukum  tidak  akan  mempunyai  harapan  lagi  kembali  dalam  masyarakat.  Padahal  harapan  tersebut  dipulihkan  oleh  lembaga  grasi  dan  lembaga  remisi. 12  Maka  dari  itu  walaupun  pidana  penjara  sudah  menjadi  pidana  yang  sudah  umum  diterapkan  di  seluruh  dunia  namun  dalam  perkembangan  terakhir  ini  banyak  yang  mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara. 

11 Andi  Hamzah,  Sistem  Pidana  dan  Pemidanaan  di  Indonesia,  (Jakarta:  Pradnya  Paramita,  1993), 28 

12 Roeslan, Pidana Indonesia, 62

(9)

c.  Hukuman kurungan 

Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana penjara, namun  lebih  ringan  dibandingkan  dengan  pidana  penjara  walaupun  kedua  pidana  ini  sama­sama  membatasi  kemerdekaan  bergerak  seorang  terpidana. 13 

Perbedaan  antara pidana kurungan dengan pidana penjara  dapat  dirinci sebagai berikut: 14 

1) Pidana  kurungan  hanya  diancamkan  pada  tindak  pidana  yang  lebih  ringan dari pada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara. 

2) Ancaman maksimum umum pidana penjara 15 tahun, sedang ancaman  maksimum umum pidana kurungan1 tahun. 

3) Pelaksanaan  pidana  denda  tidak  dapat  diganti  dengan  pelaksanaan  pidana penjara, tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan  pelaksanaan pidana kurungan. 

4) Dalam  melaksanakan  pidana  penjara  dapat  dilakukan  di  Lembaga  Pemasyarakatan  diseluruh  Indonesia  (dapat  dipindah­pindahkan),  sedang  pelaksanaan  pidana  kurungan  Lembaga  Pemasyarakatan  di  mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan. 

5) Pekerjaan­pekerjaan  narapidana  penjara  lebih  berat  dari  pada  pekerjaan­pekerjaan pada narapidana kurungan. 

13 Wirdjono, Asas­asas Hukum Pidana, 180 

14 Adami  Chazawi,  Pelajaran  Hukum  Pidana:  Bagian  I,  (Jakarta:  Raja  Grafindo  Persada,  2002), 33­34

(10)

d.  Hukuman denda 

Pidana  denda  ini  banyak  diancamkan  pada  banyak  jenis  pelanggaran,  baik  sebagai  alternatif  dari  pidana  kurungan  atau  berdiri  sendiri. 

Adapun  keistimewaan  yang  terdapat  pada  pidana  denda  adalah  sebagai berikut: 15 

1)  Pelaksanaan  pidana  denda  bisa  dilakukan  atau  dibayar  oleh  orang  lain. 

2)  Pelaksanaan  pidan  denda  boleh  diganti  dengan  menjalani  pidana  kurungan  dalam  hal  terpidana  tidak  membayarkan  denda.  Hal  ini  tentu saja diberi kebebasan kepada terpidana untuk memilih. 

3)  Dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada  hanyalah  minimum  umum.  Sedangkan  maksimum  khususnya  ditentukan  pada  masing­masing  rumusan  tindak  pidana  yang  bersangkutan. 

2.  Hukuman­hukuman Tambahan 

a.  Pencabutan beberapa hak yang tertentu 

Menurut  Pasal  35  ayat  1  KUHP, 16 hak­hak  yang  dapat  dicabut  adalah: 

1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu. 

15 Ibid., 40 

16 Pasal 35 ayat 1, yang berbunyi: Hak­hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut  dalam hal­hal yang ditentukan dalam kitab undang­undang ini, atau dalam aturan umum lainnya

(11)

2) Hak memasuki Angkatan Bersenjata. 

3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan  aturan­aturan umum. 

4) Hak  menjadi  penasehat  hukum  atau  pengurus  atas  penetapan  pengadilan,  hak  menjadi  wali,  wali  pengawas,  pengampu  atau  pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri. 

5) Hak  menjalankan  kekuasaan  bapak,  menjalankan  perwalian  atau  pengampuan atas anak sendiri. 

6) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. 

b.  Perampasan barang yang tertentu 

Barang  yang dapat dirampas  melalui putusan hakim ada  2  jenis  berdasarkan Pasal 39 ayat 1 KUHP, 17 yaitu: 

1)  Barang­barang  yang  berasal  atau  diperoleh  dari  suatu  kejahatan,  misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang. 

2)  Barang­barang  yang  digunakan  dalam  melakukan  kejahatan,  misalnya: pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau  penganiayaan. 

c.  Pengumuman putusan hakim 

Pengumuman  hakim  ini,  hakim  dibebaskan  menentukan  perihal  cara  melaksanakan  pengumuman  itu,  dapat  melalui  surat  kabar, 

17 Pasal  39  ayat  1,  yang  berbunyi:  “Barang­barang  kepunyaan  terpidana  yang  diperoleh  dari  kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”.

(12)

ditempelkan  di  papan  pengumuman,  atau  diumumkan  melalui  media  radio atau televisi. Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orang­orang  tertentu  agar  tidak  melakukan  tindak  pidana  yang  dilakukan  orang  tersebut. 

Disamping  jenis  sanksi  yang  berupa  pidana,  dalam  hukum  pidana  positif  dikenal  juga  jenis  sanksi  yang  berupa  tindakan. 

Misalnya: 18 

1)  Penempatan  dirumah  sakit  jiwa  bagi  orang  yang  tidak  dapat  dipertanggung  jawabkan  karena  jiwanya  cacat  dalam  tumbuhnya  atau terganggu penyakit seperti penjelasan pasal 44 ayat 2 KUHP. 19  2)  Bagi  anak  yang  belum  umur  16  (enam  belas)  tahun  melakukan 

tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa: 20 

a.  Mengembalikan  kepada  orang  tuanya,  walinya  atau  pemeliharanya, dengan tidak dikenai suatu hukuman, atau; 

b.  Memerintahkan  agar  anak  tersebut  diserahkan  kepada  pemerintah,  dengan  tidak  dikenakan  suatu  hukuman  yang  kejahatan tesebut ditentukan. 

3)  Tindakan  tata  tertib  dalam  hal  tindak  pidana  ekonomi  (pasal  8  Undang­undang  No. 7 Drt. 1955) dapat berupa: 

18  Rusli  Muhammad,  Hukum  Acara  Pidana:  Bagian  ke­II,  (Yogyakarta:  Fakultas  Hukum  Universitas Islam Indonesia, 2005), 63 

19 Pasal 44 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat  dipertanggungkan  kepadanya  karena  daya  akalnya  (zijner  verstandelijke  vermogens)  cacat  dalam  pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 

20 Penjelasan pasal 45 Kitab Undang­undang Hukum Pidana, 61

(13)

a.  Penempatan  perusahaan  si  terhukum  di  bawah  pengampuan  untuk  selama  waktu  tertentu  (tiga  tahun  untuk  kejahatan  TPE  dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE). 

b.  Pembayaran uang jaminan untuk waktu tertentu. 

c.  Pembayaran  sejumlah  uang  sebagai  pencabutan    keuntungan  yang  menurut taksiran  yang diperoleh dari tindak pidana  yang  dilakukan. 

d.  Kewajiban  mengerjakan  apa  yang  dilalaikan  tanpa  hak,  meniadakan  apa  yang  dilakukan  tanpa  hak,  dan  melakukan  jasa­jasa  untuk  memperbaiki  akibat­akibat  satu  sama  lain,  semua atas biaya si terhukum sekedar hakim tidak menentukan  lain. 

B.  Tindak Pidana 

1.  Pengertian Tindak Pidana 

Peristiwa  pidana  yang  juga  disebut  tindak  pidana  (delict)  ialah  suatu  perbuatan  atau  rangkaian  perbuatan  yang  dapat  dikenakan  hukum  pidana. 

Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau  memenuhi unsur­unsur pidananya. 21 Dan unsur­unsur itu terdiri dari : 

a.  Obyektif. 

Yaitu  suatu  tindakan  (perbuatan)  yang  bertentangan  dengan  hukum  dan 

21 Moeljatno, Hukum Pidana ,  54

(14)

mengindahkan  akibat  yang  oleh  hukum  dilarang  dengan  ancaman  hukum. 

Yang  dijadikan  titik  utama  dari  pengertian  obyektif  di  sini  adalah  tindakannya. 22 

b.  Subyektif. 

Yaitu perbuatan seseorang  yang  berakibat tidak dikehendaki oleh undang­ 

undang.  Sifat  unsur  ini  mengutamakan  adanya  pelaku  (seseorang  atau  beberapa orang). 

Dilihat  dari  unsur­unsur  pidana  ini,  maka  kalau  ada  suatu  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  seseorang  harus  memenuhi  persyaratan  supaya  dapat  dinyatakan  sebagai  peristiwa  pidana.  Dan  syarat­syarat  yang  harus  dipenuhi  sebagai suatu peristiwa pidana ialah: 

a.  Harus  ada  suatu  perbuatan.  Maksudnya  bahwa  memang  benar­benar  ada  suatu  kegiatan  yang  dilakukan  oleh  seseorang  atau  beberapa  orang. 

Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami  oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa. 

b.  Perbuatan  itu  harus  sesuai  dengan  apa  yang  dilukiskan  dalam  ketentuan  hukum.  Artinya  perbuatan  sebagai  suatu  peristiwa  hukum  memenuhi  isi  ketentuan  hukum  yang  berlaku  pada  saat  itu.  Pelakunya  memang  benar­ 

benar  telah  berbuat  seperti  yang  terjadi  dan  terhadapnya  wajib  mempertanggung  jawabkan  akibat  yang  timbul  dari  perbuatan  itu. 

Berkenaan dengan syarat ini  hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu 

22 Ibid.,  55

(15)

perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu  mempertanggung  jawabkan.  Perbuatan  yang  tidak  dapat  dipersalahkan  itu  karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam melaksanakan  tugas,  membela  diri  dari  ancaman  orang  lain  yang  mengganggu  keselamatannya dan dalam keadaan darurat. 23 

c.  Harus  terbukti  adanya  kesalahan  yang  dapat  dipertanggung  jawabkan. 

Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa  orang  itu  dapat  dibuktikan  sebagai  suatu  perbuatan  yang  disalahkan  oleh  ketentuan hukum. 24 

d.  Harus  berlawanan  dengan  hukum.  Artinya  suatu  perbuatan  yang  berlawanan  dengan  hukum  dimaksudkan  kalau  tindakannya  nyata­nyata  bertentangan dengan aturan hukum. 

e.  Harus  tersedia  ancaman  hukumannya.  Maksudnya  kalau  ada  ketentuan  yang  mengatur  tentang  larangan  atau  keharusan  dalam  suatu  perbuatan  tertentu,  maka  ketentuan  itu  memuat  sanksi  ancaman  hukumannya.  Dan  ancaman  hukuman  itu  dinyatakan  secara  tegas  maksimal  hukumnya  yang  harus  dilaksanakan  oleh  para  pelakunya.  Kalau  di  dalam  suatu  perbuatan  tertentu,  maka  dalam  peristiwa  pidana  terhadap  pelakunya  tidak  perlu  melaksanakan hukuman. 25 

23 Adami Chazawi, Hukum Pidana I, 45. 

24 Ibid., 46. 

25 Adami Chazawi, Hukum Pidana I, 47.

(16)

2.  Tindak  pidana  pencabulan  yang  dilakukan  oleh  anak  dan  sanksinya  dalam  hukum pidana. 

Pengertian perbuatan cabul (pencabulan) adalah segala  macam wujud  perbuatan,  baik  yang  dilakukan  pada  diri  sendiri  maupun  dilakukan  pada  orang lain  mengenai dan  yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian  tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. 26 

Pengertian  perbuatan  cabul  yang  dijelaskan  di  dalam  KUHP  adalah  segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang  keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. 27 

Pengertian perbuatan cabul itu lebih luas dari pengertian persetubuhan. 

Sebagaimana  pengertian  persetubuhan  menurut  Hoge  Raad,  yaitu  perpaduan  alat  kelamin  laki­laki  dengan  alat  kelamin  perempuan,  dimana  disyaratkan  masuknya penis kedalam liang vagina, kemudian penis mengeluarkan sperma  sebagaimana biasanya membuahkan kehamilan. 28 Sementara itu, apabila tidak  memenuhi  salah  satu  syarat  saja,  misalnya  penis  belum  masuk  spermanya  sudah  keluar,  kejadian  ini  bukan  persetubuhan,  akan  tetapi  termasuk  perbuatan  cabul  sehingga  bila  dilakukan  dengan  memaksa  dengan  kekerasan  atau ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan berbuat cabul menurut 

26 Adami  Chazawi,  Tindak  Pidana  Mengenai  Kesopanan,  (Jakarta:  Raja  Grafindo  Persada,  2007), 80 

27 Soesilo, Kitab Undang­undang Hukum Pidana, 121 

28 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, 81.

(17)

Pasal  289  KUHP, 29  ini  apabila  maksud  memaksa  ditujukan  pada  perbuatan  cabulnya. 

Anak  adalah  sebagai  generasi  penerus  bangsa  anak  merupakan  tunas  bangsa  yang  akan  melanjutkan  eksistensi  suatu  bangsa,  dalam  hal  ini  adalah  bangsa  Indonesia.  Namun  pada  akhir­akhir  ini  sering  terdapat  suatu  tindak  pidana  mengenai pencabulan anak dibawah umur  yang dilakukan oleh orang  dewasa  maupun  oleh  anak  di  bawah  umur,  dan  hal  ini  merupakan  suatu  ancaman yang sangat besar dan berbahaya bagi anak, mengingat anak adalah  generasi penerus bangsa. 

Perkara  persetubuhan  terhadap  anak  di  bawah  umur  yang  dilakukan  oleh  anak  di  bawah  umur  merupakan  kualifikasi  perbuatan  yang  menyerang  kehormatan kesusilaan atau juga disebut dengan perkosaan berbuat cabul. 30 

Pasal­pasal yang menerangkan tentang tindak pidana pencabulan yaitu  sebagaimana  diatur  dalam  KUHP  dan  Undang­undang  No.  23  tahun  2002  tentang perlindungan anak adalah sebagai berikut: 

Pasal 287 ayat (1), yang berbunyi: 31 

”Barang  siapa  bersetubuh  dengan  perempuan  yang  bukan  istrinya,  sedang  diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum  cukup  15  tahun  kalau  tidak  nyata  berapa  umurnya,  bahwa  perempuan  itu  bukan masanya untuk kawin, dihukum penjara selama­lamanya 9 tahun”. 

29 Pasal 289, yang berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa  seorang  untuk  melakukan  atau  membiarkan  dilakukan  perbuatan  cabul,  diancam  karena  melakukan  perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 

30 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, 78. 

31 Moeljatno, Kitab Undang­undang Hukum Pidana, 105

(18)

Pasal 289, yang berbunyi: 32 

“Barang  siapa  dengan  kekerasan  atau  ancaman  kekerasan  memaksa  seorang  untuk  melakukan  atau  membiarkan  dilakukan  perbuatan  cabul,  diancam  karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan  pidana penjara paling lama sembilan tahun”. 

Didalam Undang­undang No. 23 tahun 2002, menyatakan bahwa: 33  Pasal 81, yang berbunyi: 

1)  Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  kekerasan  atau  ancaman  kekerasan  memaksa  anak  melakukan  persetubuhan  dengannya  atau  dengan orang  lain, dipidana dengan pidana penjara paling  lama 15 (lima  belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp  300.000.000,00  (tiga  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  sedikit  Rp  60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 

2)  Ketentuan  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  berlaku  pula  bagi  setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  tipu  muslihat,  serangkaian  kebohongan,  atau  membujuk  anak  melakukan  persetubuhan  dengannya atau dengan orang lain. 

Pasal 82, menyatakan bahwa: 

“Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  kekerasan  atau  ancaman  kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau  membujuk  anak  untuk  melakukan  atau  membiarkan  dilakukan  perbuatan  cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan  paling  singkat  3  (tiga)  tahun  dan  denda  paling  banyak  Rp  300.000.000,00  (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta  rupiah)”. 

C.  Hukum Pidana Islam 

1.  Pengertian Tindak Pidana (Jari>mah) 

Secara  bahasa  Jari>mah  mengandung  pengertian  dosa,  durhaka. 

Larangan­larangan  syara>‘  (hukum  Islam)  yang  diancam  hukuman  h{aa>d 

32 Ibid., 106 

33 Undang­undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(19)

(khusus)  atau  ta’zi>r  pelanggaran  terhadap  ketentuan­ketentuan  hukum  syariat yang mengakibatkan pelanggarnya mendapat ancaman hukuman. 34 

Larangan­larangan  syara>’  tersebut  bisa  berbentuk  melakukan  perbuatan  yang  dilarang  ataupun  tidak  melakukan  suatu  perbuatan  yang  diperintahkan.  Melakukan  perbuatan  yang  dilarang  misalnya  seorang  memukul orang lain dengan benda tajam yang mengakibatkan korbannya luka  atau tewas. Adapun contoh Jari>mah berupa tidak melakukan suatu perbuatan  yang diperintahkan ialah seseorang tidak memberi makan anaknya yang masih  kecil  atau  seorang  suami  yang  tidak  memberikan  nafkah  yang  cukup  bagi  keluarganya. 

Perbuatan  Pidana  dalam  Hukum  Islam  dikenal  dengan  “Jari>mah”,  yaitu:  larangan­larangan  syara>’  yang  diancamkan  oleh  Allah  dengan  hukuman h}aad atau ta’zi>r. 35 

Para fuqaha sering memakai kata­kata “jina>yah” untuk “jari>mah”. 

Semula pengertian “jina>yah” ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya  dibatasi  kepada  perbuatan  yang  dilarang  saja.  Di  kalangan  fuqaha  yang  dimaksud  dengan  kata­kata  “jina>yah”  ialah  perbuatan  yang  dilarang  oleh  Syara’,  baik  perbuatan  itu  mengenai  (merugikan)  jiwa  atau  harta­benda  ataupun lain­lainnya. 

34 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam ­Fikih Jinayah­, (Jakarta: 

Sinar Grafika, 2006), 22 

35 Ahmad Hanafi, Asas­asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 1

(20)

Seperti pengertian Jarimah yang dikemukakan oleh Imam al­Mawardi  adalah sebagai berikut: 36 

ُﻢِﺋﺍَﺮَﺠﻟﺍ  ﺕﺍَﺭْﻮُﻈْﺤَﻣ 

ﺔﱠﻴِﻋْﺮَﺷ 

ُﷲﺍَﺮِﺧُﺯ 

َﻰﻟﺎَﻌَﺗ  ﺎَﻬْﻨَﻋ 

َﺤِﺑ  ﱟﺪ  ﺮْﻳِﺰْﻌَﺗْﻭَﺍ 

Jarimah  adalah  perbuatan­perbuatan  yang  dilarang  oleh  Sya>ra’  yang  diancam oleh Allah dengan hukuman h}ad atau ta’zi>r. 

Secara  singkat  dapat  dijelaskan,  bahwa  suatu  perbuatan  dianggap  delik (jarimah) bila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat  dikategorikan  menjadi  2  (dua):  pertama,  rukun  umum,  artinya  unsur­unsur  yang  harus  terpenuhi  pada  setiap  jarimah.  Kedua,  unsur  khusus,  artinya  unsur­unsur yang harus terpenuhi pada jenis jari>mah tertentu. 37 

Pertama, unsur­unsur umum jari>mah adalah: 38 

a)  Unsur  Formil  (adanya  undang­undang  atau  nas).  Artinya  setiap 

perbuatan  tidak  dianggap  melawan  hukum  dan  pelakunya  tidak  dapat  dipidana  kecuali  adanya  nas  atau  undang­undang  yang  mengaturnya. 

Dalam  hukum  positif  masalah  dikenal  dengan  istilah  asas  legalitas. 

Dalam  syari’at  islam  lebih  dikenal  dengan  istilah  ar­ru>kn  asy­syar’i. 

Kaidah  yang  mendukung  unsur  ini  adalah  “tidak  ada  perbuatan  yang  dianggap  melanggar  hukum  dan  tidak  ada  hukuman  yang  dijatuhkan  kecuali  adanya  ketentuan  nas”.  Dan  kaidah  lain  menyebutkan  “tiada  hukuman bagi pembuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan nas”. 

36 Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 1 

37 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, Cet. I, 2009), 10 

38 Ibid., 10­11

(21)

b)  Unsur  Materiil  (sifat  melawan  hukum).  Artinya  adanya  tingkah  laku 

seseorang  yang  membentuk  jari>mah,  baik  dengan  sikap  berbuat  maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana islam disebut  dengan ar­ru>kn al­ma>di. 

c)  Unsur Muril (pelakunya mukalaf). Artinya pelaku jarimah adalah orang 

yang  dapat  dimintai  pertanggung  jawaban  pidana  terhadap  jari>mah  yang dilakukannya. Dalam syari’at islam unsur moril disebut dengan ar­ 

ru>kn al­adabi. 

Unsur­unsur  umum  diatas  tidak  selamanya  terlihat  jelas  dan  terang,  namun  dikemukakan  guna  mempermudah  dalam  mengkaji  persoalan­ 

persoalan hukum pidana islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi. 

Kedua,  unsur  khusus.  Yang  dimaksud  dengan  unsur  khusus  ialah  unsur  yang  hanya  terdapat  pada  peristiwa  pidana  (jari>mah)  tertentu  dan  berbeda  antara  unsur  khusus  pada  jenis  jari>mah  yang  satu  dengan  jenis  jari>mah yang lainnya. 39 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara unsur yang umum  dengan  unsur  yang  khusus  pada  jari>mah  ada  perbedaan.  Unsur  umum  jari>mah macamnya hanya satu dan sama pada setiap jari>mah. Sedangkan  unsur  khusus  bermacam­macam  serta  berbeda­beda  pada  setiap  jenis  jari>mah. 

2.  Tujuan Hukuman dan Sanksinya 

39 Ibid., 11

(22)

Sebagaimana  hukuman  dan  tujuan  hukuman  dalam  hukum  pidana  umum,  dalam  hukum  pidana  Islam  pun  hukuman  mempunyai  tujuan  yang  sama, yaitu demi mencapai kemaslahatan bagi individu dan masyarakat. 40 

Jika  hukuman  merupakan  suatu  kebutuhan  atau  demi  kemaslahatan  masyarakat, ia harus disesuaikan dengan kadarnya. Karena itu hukuman tidak  boleh  lebih  atau  kurang  dari  ukuran  yang  semestinya  untuk  melindungi  masyarakat dan menolak bahaya tindak pidana atas diri mereka. 

Hukuman  dapat  dianggap  mewujudkan  kemaslahatan  masyarakat  manakala ia jauh dari sifat berlebih­lebihan (ifra>t wa tafri>t), dan memenuhi  unsur­unsur dibawah ini: 41 

a.  Hukuman  mempunyai  daya  kerja  yang  cukup  sehingga  bisa  memberikan  pendidikan dan mencegah terpidana mengulangi perbuatannya. 

Dalam  hukuman  tersebut,  hakim  dapat  memilih  hukuman  yang  sesuai  dengan kepribadian pelaku serta menentukan jumlah hukuman yang cukup  untuk mendidik dan mencegah bahayanya. 

Ketetapan  ini  menuntut  adanya  berbagai  jenis  hukuman  untuk  satu tindak  pidana  dan  membuat  dua  jenis  hukuman  (batas  terendah  dan  batas  tertinggi) dalam satu hukuman, dengan tujuan agar hakim dapat memilih di  antara kedua hukuman tersebut. 

40 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam, 124 

41 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, (Bogor: Kharisma Ilmu, t.t), 60

(23)

b.  Hukuman tersebut juga mempunyai daya kerja yang cukup bagi orang lain. 

Artinya  hukuman  tersebut  dapat  mencegah  orang  lain  untuk  melakukan  tindak pidana sehingga ketika ia berfikir untuk berbuat tindak pidana, akan  berfikir  olehnya  bahwa  hukuman  yang  akan  menimpanya  lebih  besar  dari  pada keuntungan yang diperolehnya. 

Hal  ini  mengharuskan  jenis dan  bentuk hukuman atas suatu tindak pidana  dapat menimbulkan efek takut untuk melakukan tindak pidana tersebut. 

c.  Ada  persesuaian  antara  hukuman  dan  tindak  pidana  yang  diperbuat. 

Dengan  demikian  suatu  hukuman  sesuai  dengan  tindak  pidananya.  Maka  dari  itu,  tidak  tepat  bila  hukuman  bagi  perampok  disamakan  dengan  hukuman percurian biasa. 

d.  Ketentuan  hukuman  bersifat  umum.  Artinya  pelaku  untuk  setiap  orang  yang memperbuat tindak pidana tanpa memandang pangkat, keturunan dan  berbagai ketentuan lainnya. 

Hukuman yang memenuhi unsur­unsur tersebut adalah hukuman biasa  yang  boleh  dijatuhkan  kepada  pelaku  tindak  pidana  yang  memiliki  pengetahuan dan pilihan (mudrik mukhta>r). 

Maka  dari  itu,  sebagaimana  ditetapkan  oleh  prinsip  (kaidah)  umum,  apabila  si  pelaku  adalah  orang  gila  atau  orang  yang  dipaksa,  mereka  tidak  dapat  dijatuhi  hukuman.  Misalnya  jika  orang  gila  membunuh  orang  lain,  ia  tidak  di  qishash,  jika  ia  berzina  ghairu  mukhsan  (statusnya  belum  kawin)  ia  tidak didera. Keputusan yang sama juga berlaku pada anak kecil yang belum

(24)

tamyiz,  melakukan  tindak  pidana  tidak  mungkin  untuk  di  qisas,  ia  dapat  di  titipkan dip anti asuhan atau dikirim ke panti rehabilitasi. 42 

Sebagaimana Hadits Nabi Saw: 

ْﻦَﻋ 

َﺔَﺷِءﺎَﻋ 

َﻲِﺿَﺭ 

َﷲﺍ  ﺎَﻬْﻨَﻋ  ﱠﻥَﺍ  ﻝﻮُﺳَﺭ  ﷲﺍ 

ﻰّﻠَﺻ 

ُﷲﺍ 

ِﻪْﻴَﻠَﻋ 

َﻢﱠﻠَﺳَﻭ 

َﻝﺎَﻗ  : 

َﻊِﻓُﺭ 

ُﻢَﻠَﻘْﻟﺍ 

ْﻦَﻋ 

َﻼَﺛ 

ٍﺔَﺛ 

ِﻦَﻋ  ﻡِءﺎﱠﻨﻟﺍ  ﻰﱠﺘَﺣ 

َﻆِﻘْﻴَﺘْﺴَﻳ 

ِﻦَﻋَﻭ  ﻰَﻠَﺘْﺒُﻤْﻟﺍ  ﻰﱠﺘَﺣ 

َﺃَﺮْﺒَﻳ 

َﻋَﻭ 

ِﻦ  ﻲِﺒﱠﺼﻟ  ﻰﱠﺘَﺣ 

َﺮُﺒْﻜَﻳ  . 

43 

Artinya:  Dari  Aisyah  ra.  Rasulullah  saw.  bersabda:  Tidak  dianggap  (dosa  terhadap  tindakan  diri)  tiga  orang,  yakni  orang  tidus  sampai  bangun,  dan  orang gila sampai dia waras, dan anak kecil sampai dia bermimpi senggama  (dewasa). (HR. Abu Daud) 

Pengertian  anak  dalam  berbagai  disiplin  ilmu  berbeda­beda,  menurut  ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002, menyatakan bahwa: 

”Anak  adalah  seseorang  yang  belum  berusia  18  (delapan  belas)  tahun,  termasuk anak yang masih didalam kandungan”. 

Menurut Pasal 1 Undang­undang Republik Indonesia No. 3 tahun 1997  tentang Pengadilan Anak: 

1)  Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8  (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan  belum pernah kawin. 

2)  Anak  nakal  adalah:  Anak  yang  melakukan  tindak  pidana  atau  anak  yang  melakukan  perbuatan  yang  dinyatakan  terlarang  bagi  anak,  baik  menurut 

42 Ibid., 60­61 

43 Abu Daud sulaima>n bin al­Asy’a>b bin Ishaq bin Basyi>r bin Syada>d bin ‘Amr al­Azdiy  al­Sijistaniy, Sunan Abi Daud, Juz 4, Hadits Nomor 3498, (Beirut: Maktabah al­‘As}riyyah, tt), 139

(25)

peraturan  perundang­undangan  maupun  menurut  peraturan  hukum  lain  yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 

Sedangkan dari segi hukum Islam bahwa yang dimaksud dengan anak  adalah  seorang  manusia  yang  telah  mencapai  umur  tujuh  tahun  dan  belum  ba>ligh, sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap ba>ligh  apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun. 44 

Adapun  yang  menjadi  dasar  tidak  cakapnya  seorang  anak  adalah  disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al­Qur’a>n. 

ﺍﻮُﻠَﺘْﺑﺍَﻭ  ﻰَﻣﺎَﺘَﻴْﻟﺍ 

ﻰﱠﺘَﺣ  ﺍَﺫِﺇ  ﺍﻮُﻐَﻠَﺑ 

َﺡﺎَﻜِّﻨﻟﺍ 

ْﻥِﺈَﻓ 

ْﻢُﺘْﺴَﻧﺁ 

ْﻢُﻬْﻨِﻣ  ﺍًﺪْﺷُﺭ  ﺍﻮُﻌَﻓْﺩﺎَﻓ 

ْﻢِﻬْﻴَﻟِﺇ 

ُﻬَﻟﺍَﻮْﻣَﺃ 

ْﻢ 

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian  jika  menurut  pendapatmu  mereka  telah  cerdas  (pandai  memelihara  harta),  Maka serahkanlah kepada mereka harta­hartanya. (al­Nisa>’ ayat 6). 45  Yakni:  Mengadakan  penyelidikan  terhadap  mereka  tentang  keagamaan,  usaha­usaha mereka, kelakuan dan lain­lain sampai diketahui bahwa anak itu  dapat dipercayai. 

Dengan  demikian,  apabila  pelaku  tindak  pidana  tidak  dapat  dimintai  pertanggung  jawaban  dan  tidak  bisa  dijatuhi  hukuman  yang  semestinya,  sedangkan  tindak  pidananya  harus  dicegah  dan  masyarakat  harus  dilindungi  dirinya, masyarakat boleh menggunakan cara­cara yang dapat melindungi diri  mereka dari kejahatan si pelaku, seperti menempatkan pelaku tindak pidana di  lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, atau sekolah sampai pada batas waktu 

44 Hukum  Islam  (http://teosufi.webs.com/apps/blog/show/7280762),  diakses  tanggal  10  Juli  2012 

45 Kementerian Agama RI, al­Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Fokus Media, 2010), 77

(26)

yang  ditentukan,  yang  sekiranya  begitu  ia  keluar  dari  tempat  tersebut,  keadaannya sudah sembuh dan perilaku jahatnya tidak lagi dikhawatirkan. 

Berdasarkan  penjelasan  di  atas  mengenai  pelaku  tindak  pidana  yang  dilakukan  oleh  anak  di  bawah  umur  atau  dalam  istilah  islamnya  belum  mumayyiz,  maka tidak dikenakan  hukuman. Hanya  saja dikenakan  hukuman  untuk  mendidik  murni  (ta’bi>diyyah  kha>lisah),  bukan  hukuman  pidana. 46  Ini  karena  anak  kecil  bukan  orang  yang  pantas  menerima  hukuman.  Hukum  Islam tidak menentukan jenis hukuman untuk mendidik yang dapat dijatuhkan  kepada  anak  kecil.  Hukum  Islam  memberikan  hak  kepada  waliyal­amr  (penguasa)  untuk  menentukan  hukuman  yang sesuai  menurut pandangannya. 

Para  fuqaha  menerima  hukuman  pemukulan  dan  pencelaan  sebagai  bagian  dari hukuman untuk mendidik. 

Pemberian  hak  kepada  penguasa  untuk  menentukan  hukuman  agar  ia  dapat  memilih  hukuman  yang  sesuai  bagi  anak  kecil  di  setiap  waktu  dan  tempat. Dalam kaitan ini, penguasa berhak menjatuhkan hukuman: 47 

a.  Memukul si anak. 

b.  Menegur atau mencelanya. 

c.  Menyerahkan kepada penguasa atau orang lain. 

d.  Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak­anak nakal. 

e.  Menempatkannya di suatu tempat dengan pengawasan khusus. 

46 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, 259. 

47 Ibid., 259

(27)

f.  Dan lain­lain 

D.  Hukuman Kumulatif 

1.  Hukuman Kumulatif Ditinjau dari Hukum Pidana 

Dalam  hukum pidana di Indonesia,  hukuman kumulatif disebutkan di  dalam Kitab Undang­undang Hukum Pidana dalam Bab II Penjelasan Pasal 10  tentang hukuman­hukuman. 48 

Dalam  penjelasan  tersebut  disebutkan  bahwa  undang­undang  membedakan  dua  macam  hukuman,  yaitu  hukuman  pokok  dan  hukuman  tambahan.Bagi  satu  kejahatan  atau  pelanggaran  hanya  boleh  dijatuhkan  satu  hukuman pokok. “cumulatie” (kumulasi) lebih dari satu hukuman pokok tidak  diperkenankan.  Akan  tetapi  dalam  tindak  pidana  ekonomi  (Undang­undang  Darurat No. 7 tahun 1955) dan tindak pidana subversi (Penpres No. 11 tahun  1963)  cumulatie  hukuman  dapat  dijatuhkan,  yaitu  hukuman  badan  dan  hukuman denda. 49 

Dalam  penetapan  kumulasi  hukuman  pun,  hakim  mempunyai  dasar  pertimbangan  pribadi  dalam  menetapkan  hukumannya,  hal  itu  terlihat  dari  pembebanan  hukuman  yang  dijatuhkan  pada  terdakwa  dalam  setiap  perkara 

48 Soesilo, Kitab Undang­Undang Hukum Pidana, 36 

49 Ibid.

(28)

pidana.  Berikut  merupakan  acuan  yang  menjadikan  pertimbangan  hakim  dalam menetapkan putusan­putusan hukuman, diantaranya mengenai lamanya  pemidanaan, serta tujuan pemidanaan. 

Dalam  pemidanaan  terdapat  pedoman  pemidanaan,  dimana  hakim  wajib mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut: 50 

a.  Kesalahan pembuat 

b.  Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana  c.  Cara melakukan tindak 

d.  Sikap batin pembuat 

e.  Riwayat  hidup  dan  keadaan  sosial  pembuat  sesudah  melakukan  tindak  pidana 

f.  Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana  g.  Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat 

h.  Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan  i.  Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban  j.  Tindak pidana dilakukan dengan berencana. 

Hal  penting  yang  menyertai  pemidanaan  ialah  lamanya  suatu  pidana  tertentu,  hal  tersebut  tak  lain  berkaitan  juga  dengan  pola  dalam  penetapan  jumlah ancaman pidana. 

50 Niniek  Suparni, Eksistensi  Pidana  Denda  dalam  Sistem  Pidana  dan  Pemidanaan,  (Jakarta: 

Sinar Grafika, 1996), 3

(29)

a.  Pola Penetapan Jumlah Ancaman Pidana 

Dalam  menetapakan  jumlah  atau  lamanya  ancaman  pidana,  dikemukakan  oleh  Barda  Nawawi  Arief  terdapat  dua  alternatif  sistem  yaitu: 51 

1) Sistem  pendekatan  absolut,  yakni  untuk  setiap  orang  tindak  pidana  ditetapkan  bobot  atau  kualitasnya  sendiri­sendiri,  yaitu  dengan  menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman pidana  minimum)  untuk  setiap  tindak  pidana.  Penetapan  maksimum  pidana  untuk  tiap  pidana  ini  dikenal  dengan  sistem  indifinite  atau  sistem  maksimum. 

2)  Sistem  atau  pendekatan  relatif,  yaitu  untuk  tiap­tiap  tindak  pidana  tidak  ditetapkan  bobot  atau  kualitasnya  (maksimum  pidananya)  sendiri­sendiri tetapi  bobotnya direlatifkan:  yaitu  dengan  melakukan  penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus  menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana. 

b.  Pola Maksimum dan Minimum Pidana 

Menurut  pola  KUHP  maksimum  khusus  pidana  penjara  yang  paling rendah adalah berkisar 3 (tiga)  minggu dan 15 (lima belas) tahun,  yang  dapat  mencapai  20  (dua  puluh)  tahun  apabila  ada  pemberatan. 

Sedangkan  maksimum  yang  di  bawah  1  (satu)  tahun  sangat  bervariasi  dengan  menggunakan  bulan  dan  minggu.  Ancaman  pidana  maksimum 

51 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 131

(30)

khusus yang paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan  15  (lima  belas)  tahun  yang  dapat  juga  mencapai  20  (dua  puluh)  tahun  apabila ada pemberatan. 52 

c.  Pola Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana 

Menurut  Konsep  KUHP  pemberatan  dan  peringanan  pidana  tidak  berbeda  dengan  KUHP  yaitu  ditambah  atau  dikurangi  sepertiga.  Namun  menurut  Konsep  KUHP,  pemberatan  danatau  peringanan  sepertiga  itu  tidak  hanya  terhadap  ancaman  maksimum  tetapi  juga  terhadap  ancaman  minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan pidana menurut Konsep  KUHP  dapat  juga  dikurangi  setengahnya  dari  pembatasan  pidana  bagi  anak  yang  berusia  12  (dua  belas)  sampai  dengan  18  (delapan  belas)  tahun. 53 

d.  Pola Perumusan Pidana 

Jenis­jenis  pidana  yang  pada  umumnya  diancamkan  dalam  perumusan  delik  menurut  pola  KUHP  ialah  pidana  pokok,  dengan  menggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu: 54 

1)  Diancam  pidana  mati  atau  penjara  seumur  hidup  atau  penjara  selama  waktu tertentu. 

2)  Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu. 

3)  Diancam dengan pidana penjara (tertentu) 

52 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 174­175 

53 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 175 

54 Ibid, 165

(31)

4)  Diancam dengan pidana penjara atau kurungan. 

5)  Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda. 

6)  Diancam dengan pidana penjara atau denda. 

7)  Diancam pidana kurungan. 

8)  Diancam dengan pidana kurungan atau denda  9)  Diancam dengan pidana denda. 

Dalam perumusan pidana pokok tersebut terlihat bahwa KUHP hanya  menganut 2 sistem perumusan delik yakni perumusan tunggal (hanya diancam  satu pidana pokok) dan perumusan alternatif. 

Pidana pokok yang dirumuskan  secara tunggal,  hanya pidana penjara,  kurungan,  atau  denda.  Tidak  ada  pidana  mati  atau  pidana  penjara  seumur  hidup yang diancam secara tunggal. 

Sistem  perumusan  alternatif  dimulai  dari  delik  yang  paling  berat  sampai yang ringan, sedang untuk pidana tambahan bersifat fakultatif, namun  pada  dasarnya  untuk  dapat  dijatuhkan  harus  tercantum  dalam  perumusan  delik. 

Dalam  konsep  ditentukan  jenis  pidana  yang  dicantumkan  dalam  perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa  pidana  tutupan,  pidana  pengawasan  dan  pidana  kerja  sosial  tidak  dicantumkan. 55 

55 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, 179

(32)

Bentuk­bentuk perumusan pidana tidak berbeda dengan KUHP, hanya  dengan cacatan bahwa di dalam Konsep: 

1)  Pidana penjara dan denda, ada yang dirumuskan ancaman minimalnya. 

2)  Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori. 

Pedoman untuk menerapakan pidana  yang dirumuskan secara tunggal  dan  secara  alternatif  yang  memberi  perumusan  tunggal  diterapkan  secara  alternatif dan perumusan secara alternatif diterapkan secara kumulatif. 56  2.  Hukuman Kumulatif Ditinjau dari Hukum Islam (Fikih Jina>yah) 

Hukuman  dalam  istilah  Arab  sering  disebut  ‘uqubah,  yaitu  bentuk  balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara>’ 

yang ditetapkan Allah dan Rasulnya untuk kemaslahatan Manusia. 57 Menurut  Abd  al­Qadir  Awdah,  hukuman  adalah  suatu  penderitaan  yang  dibebankan  kepada seseorang akibat perbuatannya melanggar aturan. 58 

Hukuman dalam fikih jina>yah dapat dibagi menjadi beberapa macam  sesuai dengan tindak pidananya. 59 

a.  Hukuman  ditinjau  dari  segi  terdapat  atau  tidak  terdapat  nasnya  dalam  al­ 

Qur’a>n dan al­Hadi>st. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua: 

56 Ibid, 180­181 

57 Makhrus, Hukum Pidana Islam, 111 

58 Abdul al­Qadir Awdah, at­Tasyri’ al­Jina’i al­Islami,Cet. I, (Bairut: Dar al­Fikr, t.t), 214 

59 Djazuli,  Fikih  Jina>yah  ­Upaya  Menanggulangi  Kejahatan  dalam  Islam­,  (Jakarta:  Raja  Grafindo Persada, 1997), 28

(33)

1) Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudu>d, qis}as, diyad dan kafarat. 

Misalnya  hukuman  bagi  pezina,  pencuri,  perampok,  pemberontak,  pembunuh dan orang yang mendzihar istrinya. 

2) Hukuman  yang  tidak  ada  nashnya,  hukuman  ini  disebut  dengan  hukuman ta’zi>r,  seperti  percobaan  melakukan  tindak  pidana,  tidak  melaksanakan amanah, saksi palsu, dan melanggar aturan lalu lintas. 

b.  Ditinjau  dari  hubungan  antara  satu  hukuman  dengan  hukuman  lain,  hukuman dapat dibagi menjadi empat: 60 

1) Hukuman  Pokok  (‘uqu>bah  as{liah),  seperti  hukuman  qis}as  untuk  jarimah  pembunuhan,  atau  hukuman  potong  tangan  untuk  jarimah  pencurian. 

2) Hukuman  pengganti  (‘uqu>bah  badaliah),  yaitu  yang  menggantikan  hukuman  pokok,  apabila  hukuman  pokok  tidak  dapat  dilaksanakan  karena  alasan  yang  sah,  seperti  hukuman  diyat  (denda)  sebagai  pengganti  hukuman  qis}as  atau  hukuman  ta’zi>r  sebagai  pengganti  hukuman h}aa>d atau hukuman qis}as yang tidak bisa dijalankan. 

3) Hukuman  tambahan  (‘uqu>bah  taba’iah),  yaitu  hukuman  yang  mengikuti  hukuman  pokok  tanpa  memerlukan  keputusan  secara  tersendiri  seperti  larangan  menerima  warisan  bagi  orang  yang  melakukan  pembunuhan  terhadap  keluarga,  sebagai  tambahan  dari  hukuman  qis}as  (mati),  atau  hukuman  dicabutnya  hak  sebagai  saksi 

60 Djazuli, Fikih Jina>yah, 28

(34)

yang  dijatuhkan  terhadap  orang  yang  melakukan  jari>mah  qadzaf  (memfitnah  orang  lain  berbuat  zina)  disamping  hukuman  pokoknya,  yaitu jilid 80 (delapan puluh) kali. 

4) Hukuman  pelengkap  (‘uqu>bah  takmiliah),  yaitu  hukuman  yang  dijatuhkan  sebagai  pelengkap  terhadap  hukuman  pokok    yang  telah  dijatuhkan,  dengan  syarat  ada  keputusan  tersendiri  dari  hakim,  dan  syarat inilah yang menjadi pemisahannya dengan hukuman tambahan. 

Contoh hukuman pelengkap ialah mengalungkan tangan pencuri yang  telah di potong di lehernya. 

c.  Ditinjau  dari  segi  kekuasaan  hakim  yang  menjatuhkan  hukuman,  maka  hukuman dapat dibagi menjadi dua: 61 

1) Hukuman yang memiliki satu batas tertentu, dimana hakim tidak dapat  menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman h}aa>d. 

2) Hukuman  yang  memiliki  dua  batas,  yaitu  batas  tertinggi  dan  batas  terendah,  dimana  hakim  dapat  memilih  hukuman  yang  paling  adil  dijatuhkan  kepada  terdakwah,  seperti  dalam  kasus­kasus  maksiat  yang diancam dengan ta’zi>r. 

d.  Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat: 62 

61 Djazuli, Fikih Jina>yah, 29 

62 Ibid.

(35)

1) Hukuman  badan,  yaitu  hukuman  yang  dijatuhkan  kepada  badan  manusia, seperti hukuman jilid (dera). 

2) Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman mati. 

3) Hukuman  yang  dikenakan  kepada  kemerdekaan  manusia,  seperti  hukuman penjara atau pengasingan. 

4) Hukuman  harta,  yaitu  hukuman  yang dikenakan  kepada  harta, seperti  diyat, denda, dan perampasan. 

Hukum  pidana  Islam  (Fikih  Jina>yah)  tidak  menyebutkan  hukuman  kumulatif secara eksplisit, hanya saja hukuman kumulatif dalam pidana Islam  disebutkan sebagai gabungan hukuman. 

Gabungan  hukuman  ialah  serangkaian  sanksi  yang diterapkan kepada  seseorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah secara berulang­ulang dan  antara  perbuatan  jarimah  yang  satu  dengan  lainnya  belum  mendapatkan  putusan terakhir. 63 

Dalam  gabungan  hukuman  pun,  para  ulama  berbeda  pendapat  mengenai  gabungan  dan  penyerapan  hukuman.  Imam  Malik,  misalnya,  mengenal  teori  al­tada>khul  (saling  memasuki),  yaitu  apabila  seseorang  melakukan  jari>mah  qadzaf  dan  minum  khamr.  Sesudah  itu,  tertangkap. 

Menurut teori ini hukumannya hanya satu, yaitu 80 (delapan puluh) kali jilid. 

Alasannya karena jenis dan tujuannya sama. 

63 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam, 117

(36)

Menurut  Imam  Malik,  Abu  Hanifah,  dan  Imam  Ahmad,  hukuman  mati  itu  menyerap  semua  hukuman.  Demikian  pula  jika  kejahatannya  itu  berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan  gabungan  antara  hak  Allah  dan  hak  adami,  maka  hukuman  yang  dijatuhkan  adalah  hak  adami  dulu,  baru  hukuman  yang  berkaitan  dengan  hak  Allah. 

Menurut  Imam  Syafi’i,  setiap  jarimah  tidak  dapat  digabungkan,  melainkan  harus dijatuhi hukuman satu persatu. 64 

64 Abdul qadir audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, 257

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan diterapkan untuk menetukan waktu

(2011), mengatakan bahwa corporate governance yang baik akan meningkatkan firm performance. Secara bersamaan, praktik ini dapat melindungi perusahaan dari kemungkinan

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : (1) menganalisis kesesuaian rancangan sistem remunerasi di tiga PTNbh dengan tahapan dan prinsip

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan mengenai pengaruh pengaruh rasio pada bab sebelumnya, maka diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut: secara

Pienemmillä kristillisillä yhteisöillä, kopteilla ja abessinialaisilla (nyk. etiopialaisilla) oli myös oma asemansa pyhän haudan kirkon alueella. 53 Eri kirkkokunnilla oli myös