1 kemarau panjang, dan larva gunung berapi (Adinugroho dkk, 2005).
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi (2007), kebakaran hutan dan lahan di Riau merupakan salah satu bencana tahunan yang disebabkan oleh perilaku manusia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa ada faktor kesengajaan membakar hutan dan lahan. Tujuan pembakaran tersebut adalah untuk melakukan pembersihan lahan dalam rangka persiapan pembangunan perkebunan. Menurut Susanti (2014) dalam Imron (2014), pembakaran digunakan dalam aktivitas pembersihan lahan ini karena murah dan mudah dilakukan. Selain itu, abu sisa pembakaran dapat memperbaiki struktur lahan agar dapat ditanami atau dengan kata lain sebagai pengganti pupuk atau amelioran, serta dapat menghilangkan hama.
Berdasarkan data dari Portal Nasional Republik Indonesia (2014), luas
daratan Riau adalah seluas 89.150,15 km
2. Sebanyak 56% dari luas daratan di
Riau tersebut merupakan ekosistem lahan gambut dan selebihnya (44%) berupa
lahan mineral (Silalahi, 2014). Melihat kondisi ini, maka wajar jika jumlah titik
api kebakaran hutan dan lahan di Riau didominasi oleh kebakaran pada lahan
gambut selama Januari-14 Maret 2014 (sebesar 94%), seperti yang dijelaskan oleh
Gambar 1.1.
Gambar 1.1.Data Jumlah Titik Api Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Berdasarkan Tipe Lahan Selama Januari-14 Maret 2014 (Maas, 2014) Secara alami, ekosistem lahan gambut bersifat selalu basah atau lembab (Maas, 2014). Menurut Adinugroho dkk (2005), ekosistem lahan gambut memiliki banyak fungsi yakni:
a. Sebagai wadah penyimpan air.
b. Sebagai penyangga atau penyeimbang lingkungan atau ekologi.
c. Sebagai tanah pertanian.
d. Sebagai habitat untuk beberapa macam flora dan fauna.
e. Sebagai raw material untuk pembuatan charcoal briquettes dan media tanam untuk tumbuhan.
f. Sebagai carbon sink; gambut memiliki kapasitas untuk menyimpan karbon dan jumlah besar dan membatasi pelepasan emisi karbon ke atmosfer.
Namun akibat pengalihfungsian lahan gambut menjadi lahan perkebunan,
ekosistem lahan gambut yang basah kemudian dimanfaatkan sebagai lahan kering
dengan cara dikanalisasi (Maas, 2014). Kanalisasi adalah proses pengaliran air
yang berasal dari lahan gambut ke kanal-kanal buatan yang telah disiapkan
sebelumnya dengan tujuan untuk menyiapkan lahan agar tingkat air pada lahan
tersebut sesuai dengan kriteria optimal untuk tumbuh kembang tanaman pertanian
dan perkebunan. Kanalisasi telah mengubah lahan gambut yang tadinya basah,
menjadi mudah terbakar dan kehilangan fungsi sebagai penyedia air (Prayoto,
2014).
permukaan gambut, namun juga biomassa yang berada di bawah permukaan.
Panas akibat terbakarnya biomassa permukaan, akan menjalar ke gambut, mengeringkan permukaan gambut, sekaligus membakar gambut tersebut.
Selanjutnya api akan menjalar di permukaan dan bawah permukaan gambut.
Kebakaran di lahan gambut hanya dapat dipadamkan jika seluruh bagian dari gambut yang terbakar, tergenangi oleh air. Namun untuk melakukan itu, diperlukan jumlah air yang sangat banyak misalnya dari hujan yang sangat deras (Adinugroho dkk, 2005).
Berdasarkan data jumlah hotspot (titik api) tahun 2001-2006 yang didapat
dari satelit NOAA dan telah diolah oleh Walhi (2007), total hotspot di Riau adalah
yang terbanyak dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Tabel 1.1 menunjukkan
jumlah titik api dari tahun ke tahun serta total luas kawasan hutan yang terbakar di
14 provinsi di Indonesia. Sedangkan Gambar 1.2 menunjukkan peta akumulasi
hotspot di provinsi Riau selama 12 tahun (2000-2012) yang jika dibandingkan
dengan peta akumulasi hotspot selama 15 bulan yaitu tahun 2013-Maret 2014
(Gambar 1.3), mengalami peningkatan cukup signifikan dalam waktu yang lebih
singkat, ditandai dengan makin banyaknya titik api baru yang muncul.
Tabel 1.1. Data Jumlah Titik Api dan Luas Hutan Terbakar (Walhi, 2007)
Gambar 1.2. Akumulasi Titik Api di Riau Tahun 2000-2012 (Imron, 2014)
Gambar 1.3. Akumulasi Titik Api di Riau Selama 2013-Maret 2014 (Imron, 2014)
akan berpotensi menjadi kebakaran besar karena sifat gambut yang sulit dipadamkan jika sudah terbakar api.
Salah satu daerah di Provinsi Riau yang memiliki wilayah gambut terluas adalah kabupaten Bengkalis seperti yang dijelaskan oleh Tabel 1.2. Selain itu, berdasarkan data satelit NOAA 18 selama tahun 2014, jumlah titik api di kabupaten Bengkalis pun merupakan yang terbanyak di provinsi Riau seperti terlihat pada Tabel 1.3. Karena hal inilah, maka penelitian ini akan berfokus pada pemodelan dan simulasi mekanisme persebaran titik api di kabupaten Bengkalis.
Tabel 1.2. Data Luas Gambut di Kabupaten Riau tahun 2009 (BPPD Riau, 2014)
No. Kabupaten
Luas Gambut Kawasan Hutan
Gambut (Ha)
Kawasan Lahan Gambut (Ha)
1. Bengkalis 1.240.122 474.383
2. Indragiri Hilir 1.267.237 222.706
3. Indragiri Hulu 225.635 107.938
4. Rokan Hilir 734.050 263.032
5. Rokan Hulu 117.645 19.607
6. Siak 735.835 231.990
7. Pelalawan 904.461 234.088
8. Dumai 298.521 123.317
9. Kampar 153.811 15.924
10. Pekanbaru 42.266 0
Tabel 1.3. Rekapitulasi Data Titik Api Provinsi Riau tahun 2014 (Kementrian Lingkungan Hidup, 2015)
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Agent Based Modeling (ABM) atau pemodelan berbasis agen. Ciri dari pendekatan pemodelan berbasis agen adalah jika masalah yang diteliti erat kaitannya dengan pengambilan keputusan oleh agen yang terlibat, yang mana keputusan tersebut dapat menentukan perubahan dalam suatu sistem secara keseluruhan. Keputusan agen tersebut bersifat otonom dan berbeda antar satu agen dengan agen lainnya.
Salah satu agen yang akan diteliti adalah petani individu/rumah tangga.
Berdasarkan data sensus pertanian tahun 2013 Provinsi Riau, petani kelapa sawit dan petani karet adalah dua macam petani terbanyak di kabupaten Bengkalis yakni sebanyak 25.583 rumah tangga untuk petani kepala sawit dan 22.642 rumah tangga untuk petani karet. Dari laporan Tempo (2015) menyebutkan bahwa para petani tersebut melakukan pembakaran hutan dengan tujuan untuk pembersihan lahan serta mengambil kayu hasil pembakaran hutan. Selain petani, perilaku api dan karakteristik lahan gambut juga akan dikaji lebih lanjut karena dinilai berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan di Bengkalis, Riau secara keseluruhan.
Pendekatan pemodelan dan simulasi berbasis agen digunakan karena dapat mensimulasikan bermacam keputusan yang mungkin diambil oleh tiap agen, menggambarkan interaksi antar agen yang heterogen, serta melihat emergence
Kab/Kota Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
BENGKALIS 61 2.812 3.238 46 50 184 203 18 22 14 10 9
DUMAI 4 640 853 13 5 191 194 16 4 4 4 1
INDRAGIRI
HILIR 39 624 727 24 21 35 39 19 98 61 8 5
INDRAGIRI
HULU 1 39 86 5 4 25 64 23 87 5 7 5
KAMPAR 0 26 13 10 8 63 64 19 27 9 2 2
KEPULAUAN
MERANTI 32 1.024 1.332 21 11 20 9 13 14 10 4 3
KUANTAN
SINGINGI 0 1 3 5 1 31 34 0 22 4 1 4
PEKANBARU 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
PELALAWAN 79 737 568 31 36 148 126 47 112 65 10 11
ROKAN HILIR 1 440 778 29 6 801 1.393 257 3 3 1 0
ROKAN HULU
0 15 3 7 1 51 98 19 8 4 2 0
SIAK 46 1.172 1.763 27 16 88 33 18 19 16 8 1