• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBANDINGAN STRUKTUR BIAYA PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA UDANG PASCA TSUNAMI DI ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PERBANDINGAN STRUKTUR BIAYA PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA UDANG PASCA TSUNAMI DI ACEH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 283

ANALISIS PERBANDINGAN STRUKTUR BIAYA PADA TIGA SISTEM BUDIDAYA UDANG PASCA TSUNAMI DI ACEH

Comparison Analysis of Cost Structure in Three Post-Tsunami Shrimp Cultivation Systems in Aceh

Sitti Maghfirah Beu Aulia1, Irfan Zikri1, Agus Nugroho1*

1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

*Corresponding author:nugroho@unsyiah.ac.id

Abstrak. Terdapat tiga sistem budidaya udang yang dilakukan yaitu, tradisional, semi intensif dan intensif. Pada dasarnya ke 3 sistem tambak ini memiliki perbedaan yang terletak pada struktur fisik tambak, penggunaan teknologi, dan jumlah pemberian pakan serta obat-obatan. Dalam budidaya udang masing-masing sistem memiliki perbedaan biaya yang digunakan. Struktur biaya pada ketiga sistem budidaya udang ini dapat menentukan tingkat pendapatan petambak yang diperolehnya. Apabila para petambak efesien dalam pengelolaan biaya maka hasil yang didapatkan akan lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur biaya dari tiga sistem budidaya tambak udang tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa biaya tetap (fixed cost) tertinggi selama budidaya adalah sistem intensif, selanjutnya secara berurutan yaitu semi intensif dan tradisional vaname serta windu. Sedangkan biaya tidak tetap (variabel cost) tertinggi selama budidaya adalah sistem intensif, selanjutnya secara berurutan yaitu semi intensif dan tradisional vaname serta windu. Total biaya produksi (total cost) tertinggi selama masa budidaya adalah sistem intensif, selanjutnya secara berurutan yaitu semi intensif dan tradisional vaname serta windu. Total penerimaan (total revenue) tertinggi selama masa budidaya yaitu sistem intensif, kemudian secara berurutan yaitu semi intensif dan tradisional vaname serta windu. Setelah dilakukan analisis pendapatan maka didapatkan total pendapatan tertinggi selama masa budidaya yaitu sistem tradisional vaname kemudian tradisional windu, sedangkan semi intensif dan intensif mengalami kerugian.

Kata Kunci : Budidaya udang, sistem budidaya, struktur biaya.

Abstrak.There are three shrimp culture systems implemented, namely, traditional, semi-intensive and intensive.

Basically these 3 pond systems have differences in the physical structure of the pond, the use of technology, and the amount of feeding and medicine. In shrimp culture, each system has a different cost used. The cost structure in these three shrimp culture systems can determine the level of income a farmer receives. If the farmers are efficient in managing costs, the results obtained will be higher than the costs incurred. The purpose of this study was to determine the cost structure of the three shrimp farming systems. The results of this study indicate that the highest fixed costs during cultivation are intensive systems, then sequentially namely semi-intensive and traditional vaname and tiger. While the highest variable costs during cultivation are intensive systems, then sequentially semi-intensive and traditional vaname and windu. The highest total production cost (total cost) during the cultivation period is the intensive system, then sequentially namely semi-intensive and traditional vaname and windu. The highest total revenue (total revenue) during the cultivation period is intensive system, then sequentially namely semi-intensive and traditional vaname and windu. After analyzing the income, the highest total income obtained during the cultivation period is the traditional vaname system and then the traditional black tiger, while the semi-intensive and intensive losses.

Key words : Shrimp farming, cultivation system, cost structure.

PENDAHULUAN

Udang adalah salah satu komoditas perikanan yang unggul karena menjadi target utama untuk diekspor. Prospek dalam mengembangkan budidaya udang di Indonesia sangat baik karena beberapa faktor yang sangat mendukung yaitu nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi, serta kondisi perairan yang luas. Produksi udang windu pada tahun 1996 menurun yang disebabkan oleh serangan penyakit White Spot Syndrome Virus. Pada tahun 2002 para petambak mencoba untuk membudidayakan udang jenis lain yaitu vannamei

(2)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 284

sebagai komoditas alternatif (Taukhid, 2006). Pada tanggal 24 Desember 2004 di Provinsi Aceh terjadi gempa bumi dan tsunami yang menghilangkan banyak korban jiwa, kerusakan harta benda masyarakat, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat seperti usaha budidaya tambak yang berada didekat pantai (Zainun, et al., 2007). Menurut FAO (2005) tsunami di Aceh mengakibatkan kerusakan pada tambak sebesar 20.429 ha, yaitu 5.859 ha rusak ringan, 5.127 ha rusak sedang, 7.270 ha rusak berat, dan 1.022 ha lahan hilang.

Terdapat tiga sistem budidaya udang yang dilakukan yaitu, tradisional, semi intensif dan intensif. Pada dasarnya ke 3 sistem tambak ini memiliki perbedaan yang terletak pada struktur fisik tambak, penggunaan teknologi, dan jumlah pemberian pakan serta obat-obatan (Zainun, et al., 2007). Sehingga dalam hal ini, penggunaan sistem pengembangan tambak udang yang sesuai akan sangat berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan. Data yang tertera di dalam Badan Pusat Statistik (2018), bahwa ada sekitar 80% dari intensitas budidaya perairan Indonesia termasuk di Aceh masih menggunakan sistem tradisional (ekstensif).

Masalah utama yang dialami oleh masyarakat merupakan kekurangan modal, kurangnya keterampilan dan pengetahuan tentang sistem budidaya lainnya untuk melakukan peningkatan atau moderalisasi teknik yang mereka gunakan. Sehingga mayoritas dari pelaku budidaya ini yaitu industri rumah tangga dengan menggunakan sistem yang tidak diperhitungkan struktur biaya terkandung didalamnya.

Struktur biaya merupakan hal yang harus diperhatikan dalam sebuah usaha. Dalam budidaya udang masing-masing sistem memiliki perbedaan biaya yang digunakan. Struktur biaya pada ketiga sistem budidaya udang ini dapat menentukan tingkat pendapatan petambak yang diperolehnya. Apabila para petambak efesien dalam pengelolaan biaya maka hasil yang didapatkan akan lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan (Rantung, 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur biaya dari tiga sistem budidaya tambak udang tersebut.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 5 Kabupaten di Provinsi Aceh (Pidie, Pidie Jaya, Bireun Aceh Utara dan Langsa). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2019.

Objek dan Ruang Lingkup Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah petambak udang di Provinsi Aceh. Sedangkan ruang lingkup penelitian terbatas pada perbandingan struktur biaya dimana didalamnya terdapat biaya bahan baku, tenaga kerja dan overhead yang dikeluarkan pada tiga sistem budidaya tambak udang pasca tsunami di Provinsi Aceh.

Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yang digunakan berasal dari hasil wawanara mengenai usaha tambak udang responden secara umum dan kusioner mengenai profil responden, biaya-biaya apa saja yang dikeluarkan terkait usaha budidaya tambak udang oleh petambak udang di lima Kabupaten Provinsi Aceh.

Model Analisis

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis metode pendekatan kuantitatif yaitu metode analisis biaya, analisis pendapatan dan analisis kajian perbandingan struktur biaya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(3)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 285

1. Gambaran Umum Daerah Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 5 Kabupaten Provinsi Aceh yang merupakan sentral produksi udang di Aceh, yaitu Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara dan Langsa.

Provinsi Aceh secara geografis terletak antara 01o 58' 37,2" - 06o 04' 33,6" Lintang Utara (LU) dan 94o 57' 57,6" - 98o 17' 13,2" Bujur Timur (BT) dengan luas wilayah 56.770,81 km².

Penelitian ini dilakukan selama satu minggu terhitung dari tanggal 18 Maret sampai 24 Maret 2019.

Karakteristik Usaha Budidaya Udang

Data yang diperoleh selama penelitian berlangsung yaitu salah satunya adalah karakteristik usaha budidaya udang yang menjadi sampel penelitian kemudian ditabulasikan pada tabel. Karakteristik usaha budidaya udang terdiri atas luas lahan, kepemilikan lahan, sistem tambak, jenis udang dan jumlah tenaga kerja.

Karakteristik Responden

Beberapa hal-hal penting yang terkait dengan karateristik responden yaitu: jenis kelamin, umur, status dalam keluarga, pendidikan terakhir, pekerjaan diluar tambak dan pengalaman bertambak.

2. Analisis Biaya Produksi pada Tiga Sistem Budidaya Udang Pasca Tsunami di Aceh Dalam hal ini analisis biaya produksi dibedakan atas dua, yaitu biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC) yang akan diuraikan dibawah ini:

Komponen biaya tetap (FC) pada tiga sistem budidaya udang pasca tsunami di Aceh Pada sistem budidaya tradisional vaname pengeluaran biaya paling tinggi yang dapat dilihat dari presentase adalah biaya pembelian alat 47.00%, kemudian secara berurutan yaitu biaya sewa lahan (16.41%), biaya persiapan lahan (32.82%), tenaga kerja (2.46%) dan biaya prasarana (1.31%) sedangkan sistem budidaya tradisional windu presentase terbesar terdapat pada biaya pembelian alat sebesar 63.71%, selanjutnya secara berurutan yaitu sewa lahan (23.58%), biaya persiapan lahan (7.48%), tenaga kerja (3.64%) dan biaya prasarana (1.60%).

Pada sistem budidaya semi intensif persentase biaya tertinggi terdapat pada biaya pembelian lahan yaitu sebesar 91.79%, yang selanjutnya biaya pembelian alat (7.03%), biaya tenaga kerja (0.48%), biaya persiapan lahan (0.36%) dan biaya prasarana (0.34%). Dan yang terakhir adalah sistem budidaya intensif yang urutan presentase biaya tertinggi yang dikeluarkan adalah biaya pembelian lahan sebesar 52.5%, kemudian biaya pembelian alat (40.9%), biaya tenaga kerja (2.4%), biaya persiapan lahan (2.3%) dan biaya prasarana (2.0%).

Dapat kita lihat pada jumlah total pengeluaran sistem intensif merupakan sistem yang mengeluarkan biaya paling tinggi, yaitu sebesar Rp. 789.280.500 dengan komponen terbesar adalah biaya pembelian lahan, terpal, paralon dan kincir air. Selanjutnya pengeluaran tertinggi yaitu sistem semi intensif sebesar Rp. 626.440.000 dengan komponen terbesar yaitu pembelian lahan, paralon, mesin aerator dan kincir air. Kemudian sistem tradisional vaname yaitu sebesar Rp. 36.565.000 dengan komponen terbesar yaitu pintu air, pengapuran dan sewa lahan. Dan yang paling rendah adalah sistem tradisional windu dengan biaya sebesar Rp.

29.690.000 dengan komponen terbesar yaitu pintu air, sewa lahan, dan tenaga kerja.

(4)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 286

Tabel 1. Komponen biaya tetap (FC) pada tiga sistem budidaya udang pasca tsunami di Aceh

Uraian

Sistem Budidaya

Ekstensif (Tradisional) Semi Intensif

(vaname) Intensif (vaname)

Vaname Windu

Rp/Ha % Rp/Ha % Rp/Ha % Rp/Ha %

Lahan 16.41 23.58 91.79 52.5

a. Beli - - 575,000,000 414,250,000

b. Sewa 6,000,000 7,000,000 - -

Tenaga Kerja 2.46 3.64 0.48 2.4

Tenaga Kerja pada Persiapan Lahan

900,000 1,080,000 3,000,000 18,750,000

Alat 47.00 63.71 7.03 40.9

Pintu Air 10,000,000 12,500,000 - -

Mesin Pompa 2,000,000 5,000,000 3,000,000 8,500,000

Mesin Aerator - - 11,000,000 11,000,000

Kincir - - 10,000,000 60,000,000

Alat Pengukur

PH - - - 1,250,000

Alat Pengukur

Suhu - - - 600,000

Jaring 5,000,000 330,000 - 1,443,000

Jaring panen 100,000 100,000 500,000 1,500,000

Paralon - - 18,750,000 75,000,000

Cangkul 50,000 50,000 100,000 100,000

Terpal - - - 156,240,000

Selang - - 500,000 3,800,000

Ember/Jerigen 35,000 35,000 40,000 292,500

Drum - 400,000 150,000 900,000

Viber - 500,000 - 1,800,000

Prasarana 1.31 1.60 0.34 2.0

Listrik (1x

panen) 200,000 225,000 1,500,000 13,075,000

BBM 180,000 150,000 200,000 2,075,000

Biaya

perbaikan alat 100,000 100,000 450,000 775,000

Persiapan

Lahan 32.82 7.48 0.36 2.3

Pemberantas

Hama 4,000,000 1,000,000 - 4,180,000

Pengapuran 8,000,000 500,000 2,250,000 8,750,000

Pemupukan - 720,000 - 5,000,000

TOTAL 36,565,000 100 29,690,000 100 626,440,000 100 789,280,500 100

Komponen Biaya Tidak Tetap (VC) pada Tiga Sistem Budidaya Udang Pasca Tsunami di Aceh

Pada sistem budidaya tradisional vaname persentase biaya tertinggi terdapat pada biaya pembeliaan bahan sebesar 76.9%, selanjutnya secara berurutan adalah biaya tenaga kerja (22.4%) dan untuk biaya penunjang (0.68%) sedangkan sistem tradisional windu persentase urutan biaya tertiggi sama dengan sistem tradisional vaname yaitu pembelian bahan 68.3%, biaya tenaga kerja (30.5%) dan biaya penunjang yaitu (1.24%). Pada sistem semi intensif persentase biaya tertinggi yang dikeluarkan adalah biaya pembeliaan bahan sebesar 97.0%

dan setelah itu biaya tenaga kerja (3.0%) Sistem budidaya intensif persentase biaya tertinggi

(5)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 287

yang dikeluarkan adalah biaya pembelian bahan sebesar 95.7%, kemudian secara berurutan yaitu biaya tenaga kerja (4.1%) dan biaya penunjang (0.12%).

Pada tabel dibawah dapat kita lihat bahwa total pengeluaran untuk biaya tidak tetap (VC) yang tertinggi adalah sistem intensif yaitu sebesar Rp. 419.907.500 dengan komponen terbesar yaitu pembelian pakan, vitamin, benih/bibit udang. Selanjutnya adalah sistem semi intensif, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 184.545.000 dengan komponen terbesar yaitu pembelian pakan, pembelian benih/bibit udang dan obat-obatan. Kemudian sistem tradisional windu mengeluarkan biaya sebesar Rp. 8.043.000 dengan komponen terbesar adalah pembelian pakan, tenaga kerja selama budidaya dan pembelian benih/bibit udang. Sedangkan untuk sistem budidaya dengan pengeluaran terendah adalah sistem tradisional vaname yaitu Rp. 7.360.000 dengan komponen terbesar yaitu pembelian pakan, benih/bibit udang dan biaya tenaga kerja selama budidaya.

Tabel 2. Komponen biaya tidak tetap (VC) pada tiga sistem budidaya udang pasca tsunami di Aceh

Uraian

Sistem Budidaya

Ekstensif (Tradisional) Semi Intensif

(vaname) Intensif (vaname)

Vaname Windu

Rp/Ha % Rp/Ha % Rp/Ha % Rp/Ha %

Tenaga Kerja 22.4 30.5 3.0 4.1

Tenaga Kerja Selama Budidaya

1,250,000 2,000,000 3,000,000 8,250,00

Tenaga kerja

Panen 400,000 450,000 2,500,000 9,112,500

Bahan 76.9 68.3 97.0 95.7

Benih/benur

udang 1,760,000 1,640,000 35,200,000 43,920,000

Pakan 3,600,000 2,270,000 107,395,000 270,540,000

Vitamin 300,000 180,000 4,800,000 61,195,000

Obat-obatan - 350,000 31,650,000 24,975,000

Pupuk - 1,125,000 - 1,420,000

Penunjang 0.68 1.24 0.00 0.12

Transportasi

Pengangkutan 50,000 50,000 - 420,000

Biaya

pengemasan - 50,000 - 75,000

TOTAL 7,360,000 100 8,043,000 100 184,545,000 100 419,907,500 100

Total Biaya Produksi pada Tiga Sistem Budidaya Udang Pasca Tsunami di Aceh

Pada tabel dibawah dapat kita lihat bahwa sistem budidaya dengan total biaya produksi tertinggi adalah sistem intensif yaitu Rp 1.209.188.000 dimana presentasi biaya tetap lebih tinggi yaitu 65% dibandingkan biaya tidak tetap hanya 35%. Untuk selanjutnya adalah sistem semi intensif dengan total biaya produksi sebesar Rp. 810.985.000 dengan persentasi biaya tetap 77% dan biaya tidak tetap 23%. Kemudian sistem tradisional vaname dengan total biaya produksi Rp. 43.925.000 dengan biaya tetap lebih tinggi yaitu 83% dibandingkan biaya tidak tetap yaitu 17%. Sedangkan sistem tradisional windu adalah sistem dengan pengeluaran paling rendah yaitu Rp. 37.733.000 dimana persentasi biaya tetap lebih tinggi yaitu 79%

dibandingkan biaya tidak tetap hanya 21%.

Dapat kita lihat bahwa apabila sistem tradisional vaname meningkatkan usahanya ke sistem intensif maka biaya tetapnya akan meningkat sebanyak 21x lipat, sedangkan biaya

(6)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 288

tidak tetapnya meningkat sebanyak 57x lipat, dan total produksi akan meningkat menjadi 27x lipat. Sistem semi intensif ke intensif akan mengalami peningkatan biaya tetap 1x lipat, biaya tidak tetap 2x lipat dan total produksi 1x lipat.

Tabel 3. Total biaya produksi pada tiga sistem budidaya udang pasca tsunami di Aceh

Uraian

Sistem Budidaya Ekstensif (Tradisional) Semi Intensif

(vaname) Intensif (vaname)

Vaname Windu

Rp/Ha % Rp/Ha % Rp/Ha % Rp/Ha %

Biaya Tetap

(FC) 36,565,000 83 29,690,000 79 626,440,000 77 789,280,500 65 Biaya Tidak

Tetap (VC) 7,360,000 17 8,043,000 21 184,545,000 23 419,907,500 35 Total Biaya

Produksi 43,925,000 100 37,733,000 100 810,985,000 100 1,209,188,000 100

3. Analisis Total Revenue (Penerimaan) pada Tiga Sistem Budidaya Udang Pasca Tsunami di Aceh

Pada tabel dibawah dapat kita ketahui bahwa sistem intensif merupakan sistem dengan total penerimaan paling tinggi yaitu sebesar Rp. 995,820,000 kemudian adalah sistem semi intensif dengan penerimaan sebesar Rp. 615.000.000, selanjutnya adalah sistem tradisional vaname sebesar Rp. 60,000,000 dan yang terakhir adalah sistem tradisional windu dengan penerimaan sebesar Rp. 45.000.000. Perbedaan harga jual udang vaname lebih rendah dibandingkan dengan udang windu karena udang windu merupakan udang dengan kualitas tinggi, ukuran yang lebih besar, serta rasa yang lebih enak. Selain itu juga udang windu merupakan udang primadona di Aceh, bahkan menjadi salah satu komoditi perikanan yang diekspor.

Tabel 4. Total penerimaan pada tiga sistem budidaya udang pasca tsunami di Aceh

Uraian

Sistem Budidaya Ekstensif (Tradisional) Semi Intensif

(vaname)

Intensif (vaname)

Vaname Windu

Harga jual (Rp/kg) 60,000 100,000 60,000 60,000

Jumlah panen (kg) 1,000 450 10,250 16,597

Total Revenue (Penerimaan) 60,000,000 45,000,000 615,000,000 995,820,000

4. Analisis Keuntungan pada Tiga Sistem Budidaya Udang Pasca Tsunami di Aceh Berdasarkan tabel dibawah dapat kita lihat bahwa hanya sistem tradisional vaname dan tradisional windu yang mendapatkan keuntungan, sedangkan kedua sistem lainnya mengalami kerugian. Keuntungan yang didapat pada sistem tradisional vaname sebesar Rp. 16.075.000 dan sistem tradisional windu sebesar Rp 7.267.000. Pada sistem semi intensif kerugian terjadi sebesar Rp. 195.985.000 dan sistem intensif sebesar Rp. 213.368.000.

Sistem tradisional baik vaname maupun windu mendapatkan keuntungan karna pada sistem ini tidak membeli lahan tetapi sewa selama 1 tahun, selain itu sistem tradisonal hanya menggunakan mesin pompa. Kemudian pada sistem ini penebaran benih yang tidak padat,

(7)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 289

pemberian pakan yang hanya sebagai tambahan karena pakan alami adalah pakan utama bagi udang tersebut serta pemberian obat-obatan dan vitamin yang rendah.

Untuk sistem semi intensif dan sistem intensif merupakan sistem dengan skala usaha yang besar, sehingga penggunaan alat-alat canggih untuk mendukung kelancaran budidaya sangat diperlukan, tetapi juga membutuhkan modal yang besar. Sistem semi intensif dan intensif melakukan penebaran benih yang padat, maka pemberian pakan, vitamin serta obat- obatan harus seimbang agar kualitas udang yang dihasilkan tetap terjaga. Pada kedua sistem ini juga pembelian lahan merupakan biaya terbesar yang harus dikeluarkan, sehingga pada panen pertama mereka tidak mendapatkan keuntungan.

Tabel 5. Keuntungan pada tiga sistem budidaya udang pasca tsunami di Aceh Uraian

Sistem Budidaya Ekstensif (Tradisional) Semi Intensif

(vaname) Intensif (vaname)

Vaname Windu

Pengeluaran 43,925,000 37,733,000 810,985,000 1,209,188,000 Penerimaan 60,000,000 45,000,000 615,000,000 995,820,000 Total Pendapatan 16,075,000 7,267,000 (195,985,000) (213,368,000)

5. Asumsi Perhitungan Sistem Budidaya Tambak Udang Selama 10 Tahun

Dapat dilihat bahwa perhitungan sistem budidaya tambak udang selama 10 tahun pada lampiran halaman 81-84 menggunakan df 10%, biaya tetap dan biaya tidak tetap diasumsikan sama setiap tahunnya dan dengan jumlah produksinya juga tidak mengalami peningkatan.

Dengan dilakukannya asumsi tersebut maka hasilnya menunjukkan bahwa selama 10 tahun total biaya produksi, penerimaan dan pendapatan setiap sistem budidaya tambak udang mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan nilai mata uang yang setiap tahunnya berbeda dan semakin meningkat.

NPV (net present value) pada sistem tradisional vaname sebesar Rp. 794.702.761 tradisional windu Rp. 565.386.746 semi intensif vaname 7.196.546.333 dan intensif Rp.

8.990.581.48. Sistem intensif merupakan sistem dengan NPV tertinggi dibandingkan dua sistem lainnya. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem intensif ini hasil produksinya banyak.

Tetapi untuk kedua sistem lainnya juga menguntungkan selama 10 tahun dan layak untuk ditetap dijalankan.

6. Keterkaitan dengan Penelitian Lain

Penelitian mengenai struktur biaya pada sistem budidaya udang telah dilakukan sebelum tsunami oleh Zainun et al., (2007) yang berjudul “Socio Economic Aspects of Brackish Water Aquacultur (Tambak) Production in Naggroe Aceh Darussalam”, penelitian ini dilakukan di enam Kabupaten di Provinsi Aceh yang terkena bencana tsunami pada tahun 2004, yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.

Analisis anggaran biaya budidaya tambak udang pada penelitian ini menggunakan skenario produksi salama 10 tahun dengan tingkat diskonto sebesar 15%. Sedangkan pada penelitian saya menggunakan asumsi produksi selama 10 tahun dengan tingkat diskonto sebesar 10%.

Tujuan dari dilakukannya perbandingan ini adalah untuk mengetahui peningkatan atau penurunan yang terjadi pada struktur biaya sistem budidaya udang setelah tsunami di Aceh.

Terdapat beberapa perbedaan hasil penelitian yang dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:

6.1. Sistem Tradisional

Pada tabel dibawah dapat kita lihat bahwa biaya yang dikeluarkan pada sistem tradisional windu setelah tsunami mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Peningkatan

(8)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 290

biaya ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu penggunaan teknologi yang semakin canggih, jumlah penebaran benih, peningkatan upah tenaga kerja, dan harga jual udang yang semakin tinggi.

Tabel 6. Perbandingan struktur biaya pada sistem tradisional sebelum dan setelah tsunami di Aceh

6.2. Semi Intensif

Pada tabel dibawah dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan biaya yang sangat tinggi antar sistem budidaya semi intensif udang windu sebelum tsunami dengan semi intensif udang vaname. Perbedaan biaya ini disebabkan karena beberapa faktor, yang pertama jenis udang yang dibudidayakan, penggunaan teknologi yang semakin canggih, penebaran benih dan hasil produksi.

Tabel 7. Perbandingan struktur biaya pada sistem semi intensif sebelum dan setelah tsunami di Aceh

6.3. Intensif

Sistem intensif setelah tsunami dengan jenis udang vaname memiliki biaya yang cukup tinggi, baik dari pengeluaran, penerimaan hingga pendapatan. Dapat kita lihat bahwa terjadi perbedaan biaya antara sistem intensif windu sebelum dengan intensif vaname setelah tsunami. Pada sistem intensif windu sebelum tsunami teknologi yang digunakan sudah canggih, yaitu penggunaan satu mesin pompa air, satu mesin aerator dan satu ph meter, sedangkan sistem intensif vaname setelah tsunami menggunakan dua mesin pompa air, dua mesin aerator, dua belas kincir air, satu ph air, satu alat pengukur suhu serta penggunaan terpal dalam budidaya. Untuk teknisi yang digunakan pada sistem intensif windu sebelum tsunami berjumlah satu orang, sistem intensif vaname setelah tsunami menggunakan dua orang.

Uraian

Subjek Zainun et al., (2007)

Udang windu

Sitti magfirah beu aulia (2019)

Tradisional vaname Tradisional windu

Pengeluaran 148,774,000 17,239,568 14,710,019

Penerimaan 169,329,000 69,397,792 52,048,344

Pendapatan 20,555,000 52,158,224 37,338,325

Uraian

Subjek Zainun et al., (2007)

udang windu

Sitti magfirah (2019) udang vaname

Pengeluaran 332,805,000 220,471,002

Penerimaan 418,520,000 711,327,369

Pendapatan 85,715,000 490,856,367

(9)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 291 Tabel 8. Perbandingan struktur biaya pada sistem intensif sebelum dan sesudah tsunami

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa biaya tetap (fixed cost) tertinggi selama budidaya yaitu sistem intensif, selanjutnya secara berurutan yaitu sistem semi intensif dan sistem tradisional vaname serta windu. Sedangkan biaya tidak tetap (variabel cost) tertinggi selama budidaya yaitu sistem intensif selanjutnya secara berurutan yaitu sistem semi intensif dan sistem tradisional windu serta vaname. Total biaya produksi (total cost) tertinggi selama masa budidaya yaitu sistem intensif selanjutnya secara berurutan yaitu sistem semi intensif dan sistem tradisional vaname serta windu.

2. Diharapkan pemerintah dapat memberikan sosialisasi kepada para petambak tentang sistem budidaya dengan struktur biaya yang efisien yang dapat memberikan pendapatan dan keuntungan yang optimal bagi petambak.

Saran

1. Struktur biaya merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam sebuah usaha.

Pada struktur biaya budidaya udang dengan sistem semi intensif dan intensif, biaya pakan merupakan biaya yang sangat besar pada biaya tidak tetap. Jika mampu mengoptimalkan penggunaan pakan tersebut maka biaya operasional yang dikeluarkan akan lebih efisien. Pengurangan jumlah pakan tidak disarankan karena akan mengurangi berat bobot dan size udang. Biaya pakan dikonpensasi dengan peningkatan produktivitas dan harga jual.

2. Diharapkan pemerintah dapat memberikan sosialisasi kepada para petambak tentang sistem budidaya dengan struktur biaya yang efisien yang dapat memberikan pendapatan dan keuntungan yang optimal bagi petambak.

Uraian

Subjek Zainun et al., (2007)

udang windu

Sitti maghfirah (2019) udang vaname

Pengeluaran 463,606,000 538,153,854

Penerimaan 868,271,000 1,151,795,155

Pendapatan 404,665,000 613,641,302

(10)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian, Volume 4, Nomor 4, November 2019 292

DAFTAR PUSTAKA

Amri. (2008). Budidaya Udang Vannamei Secara Intensive, Semi Intensive dan Tradisional.

Gramedia Pustaka Utami. Jakarta.

Atjo, H. (2013). Inovasi budidaya udang.Lebih efisien dengan supraintensif.Sistem supraintensif mampu mengatrol produksi udang. Surat kabar Agrina (Inspirasi Agribisnis Indonesia) ”Bisnis Udang Inovasi Baru Pemicu Produksi. Jakarta.

Babu, D., Ravuru, J. N., & Mude. (2014). Effect of Density on Growth and Production of Litopenaeus vannamei of Brackish Water Culture System in Summer Season with Artificial Diet in Prakasam District, India. American International Journal of Research in Formal, Applied, & Natural Sciences.

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2018). Statistik Indonesia Tahun 2018. Jakarta Pusat.

FAO. (2005). An assessment of the impacts of the 26th December 2004 earthquake and tsunami on aquaculture in the Provinces of Aceh and North Sumatra, Indonesia.

Farchan, M. (2006). Teknik Budidaya Udang Vannamei. Penerbit BAPPL-STP. Serang.

Ghufran, M., & Kordi. (2011). Budidaya 22 Komoditas Laut Untuk Kosumsi Lokal dan Ekspor. Andi Offset. Yogyakarta.

Hadi. (2014). Struktur Biaya Budidaya Ikan Hias Air Tawar Studi Kasus Pada Tiga Usaha Di Kab. Bogor.

Hamdi, & Bahruddin. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan.

Deepublish. Yogyakarta.

Hansen, D. R., & Mowen, M. M. (2009). Akuntansi Manjerial Terjemahan Deny Arnos.

Salemba Empat. Jakarta.

Rantung, I. (2002). Analisis Biaya Panen Cengkeh di Desa Kombi. Fakultas Pertanian Unsrat.

Taukhid. (2006). Manajemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan Riset Kesehatan Ikan. Bogor.

Zainun, I., Suseno, B., Yanis, R., & Mifftachhuddin, C. A. (2007). Socio-Economic Aspects of Brackish Water Aquaculture (Tambak) Production in Nanggroe Aceh Darussalam.

Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat hasil uji determinasi variabel bebas (motivasi, kemampuan dan kesempatan) terhadap variabel terikat kinerja Pegawai nilainya baru mencapai level 73,2 %, maka

Permasalahan yang ada dalam pengambilan keputusan diantaranya adalah kurangnya pemahaman terhadap tujuan sekolah, kurangnya kemampuan (skill) kepala sekolah dalam

Target penerbitan lelang di kuartal akhir tahun ini sebesar IDR24,78 triliun, turun IDR70,8 triliun dari target penerbitan selama 3Q14 yang mencapai IDR95,66

Seperti yang terjadi di wilayah RT 05 RW 06 Kelurahan Tanjung Rhu, Kecamatan Limapuluh, Kota Pekanbaru, panitia yang telah ditunjuk oleh Ketua RW 06 telah diberikan

Sentosa Agrindo yang menunjukkan bahwa usaha pengolahan onggok menjadi pakan ternak dapat memberikan nilai tambah yang cukup besar dengan nilai 62,10% dari nilai

Spontaneous bacterial peritonitis , variceal bleeding dan penyakit kardiovaskular merupakan faktor – faktor risiko yang dominan, namun faktor – faktor risiko

Denaturasi protein adalah kondisi di mana struktur sekunder, tersier maupun kuartener kondisi di mana struktur sekunder, tersier maupun kuartener dari suatu protein mengalami

JURNAL KESEHATAN TAMBUSAI 94 Penatalaksanaan yang harus diterapkan yaitu menggunakan masker, tidak melakukan kontak fisik, menjaga jarak minimal 2 meter, rajin cuci