• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

84

STATUS HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB ANAK PERUSAHAAN PT (PERSEROAN TERBATAS) DALAM SUATU KELOMPOK PERUSAHAAN

RIA SINTHA DEVI UNIVERSITAS DARMA AGUNG

ABSTRACT

Group companies or better known as conglomerates is a topic that always attracts attention, because the uncontrolled growth and development of group companies can lead to a monopoly on a business network. What is meant by a holding company or also called a holding company in Indonesian, is a company that aims to own shares in one or more other companies and / or regulate one or more other companies. Usually, a holding company has many companies engaged in very different business fields. The formulation of the problem in this study is What is the form of responsibility of the parent company for the problems caused by the subsidiary? What is the role and legal position of the parent company in the group of companies? What is the responsibility of the subsidiary company for the parent company if it loses? The research objective is to determine the form of responsibility of the parent company for problems caused by the subsidiary, to know the role and legal position of the parent company in the group of companies, to determine the responsibility of the subsidiary company to the parent company if it incurs losses.

The results of this study are the parent company that can be liable for criminal liability for actions or problems committed by its subsidiary companies in the form of liability is the holding company that directly controls the subsidiary company and also actively operates in carrying out business activities. Moral responsibility is the burden of the good name held by the parent company in the business environment. In the event that the subsidiary is negligent or unable to fulfill its achievements, the parent company as the guarantor must repay the debt to the creditor (after demanding that the debtor's property be confiscated and sold to repay the debt). In a group company, every company enters into an agreement / agreement with a third party (creditor), then the company must pay it off without holding any liability to its parent company. If a loss occurs, the company is liability based on an error because the new parent company can be held responsible if it commits an error in the form of a parent company dominance over the subsidiary, an illegal act or breach of contract and an element of loss to another party.

The parent company is held responsible if it is proven that the loss suffered by the subsidiary due to the intervention of the parent company in management and finance so that the subsidiary suffers a loss. Therefore, if there is an inadvertent action by the Board of Directors in managing the company, it can cause losses to the company. The loss can be seen from the failure to maintain the prudential nature of running the company. The director in charge is responsible for the company's losses. The research suggestion is, criminal liability against the parent company can be done if the subsidiary company does an action that is not a corporate action, where the act is a direct instruction or the result of a decision / policy made by the parent company as the controller of the company and the majority shareholder through the mechanism of the Meeting.

General Shareholders (GMS).

Keywords : Legal Status, Responsibility, Subsidiaries, PT, Group of Companies PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan seseorang melakukan kegiatan bisnis adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar seseorang dapat menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan yang besar. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar para penanam modal mengembangkan usahanya dalam bentuk perseroan terbatas, selain karena berbentuk badan hukum, kontinuitas perseroan terbatas juga tidak tergantung pada pribadi para pemilik melainkan oleh modal, serta pemisahan tanggung jawab (limited liability) antara pemilik perusahaan dengan perusahaan itu sendiri yang erat baik satu sama lain; dalam kebijakan menjalankan usaha maupun dalam hal

(2)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

85

pengaturan keuangan dan hubungan organisasi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perusahaan yang berada dibawah satu pimpinan sentral atau pengurusan bersama dikelola dengan gaya dan pola yang sama.

Akan tetapi perusahaan yang terkait didalam satu peruahaan grup haruslah perusahaan-perusahaan yang berstatus badan hukum seperti Perseroan Terbatas. Tidak tertutup kemungkinan bahwa anak perusahaan yang tidak tergolong dalam badan hukum pun dapat bergabung didalam suatu perusahaan grup, misalnya perusahaan berbentuk Firma, CV (Commanditeir Vennootschaap) atau perseroan, menjadi anak-anak perusahaan dari satu induk perusahaan yang bersatus badan hukum.

Realita bisnis perusahaan grup ini mengindikasikan bahwa tergabungnya anak perusahaan pada perusahaan kelompok/grup merupakan strategi perusahaan kelompok/ grup untuk menciptakan sinergi kegiatan usaha anak-anak perusahaan. Selain itu, juga untuk memudahkan pengendalian induk perusahaan terhadap kegiatan usaha anggota perusahaan kelompok hingga lapisan anak perusahaan yang paling bawah.

Secara proporsional hal ini dirasa tidak mencerminkan rasa adil karena segala keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan anak dapat juga menjadi keuntungan bagi perusahaan holding. Namun,ketika perusahaan anak mengalami kerugian, perusahaan induk dapat saja menolak untuk ikut bertanggung jawab dengan alasan kedua perusahaan tersebut adalah entitas yang terpisah, hal tersebut bertentangan dari konsepsi keadilan menurut pemikiran filosof Yunani, Phytagoras, memberikan berpendapat bahwa, keadilan adalah persamaan perlakuan (equality) yang dimanifestasikan melalui konsep

“balas dendam”, yang berarti bahwa keadilan memberikan hal yang sama kepada prestasi yang sama.

Tentunya hal tersebut memunculkan sikap oportunis perusahaan induk melalui pengalihan risiko kepada anak perusahaan.Karena pada dasarnya perseroan berdasarkan undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas menganut prinsip kemandirian. Artinya direksi dalam suatu perseroan melaksanakan usahanya tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi pihak luar selain karena kepentingan para stakeholdersnya dan para pemegang saham tidak dapat mencampuri kepengurusan direksi karena fungsi dari pemegang saham hanyalah memberikan modalnya kepada perseroan berdasarkan prinsip kepercayaan (fiduciary duty) untuk dikelola oleh direksi berdasarkan prinsip business the judgment rule. Yang dimaksud dengan holding company atau disebut juga Perusahaan Induk dalam bahasa Indonesia, adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut. Biasanya, suatu perusahaan holding memiliki banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang bisnis yang sangat berbeda-beda.

Keberadaan holding company sendiri di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak dijelaskan secara jelas seperti apa konsep holding company yang dikehendaki. Namun, secara eksplisit keberadaan holding company dapat dilakukan dengan cara melakukan pengambilalihan saham (akuisisi) maupundengan cara membentuk perseroan baru. Pengambilalihan (akuisisi) menurut pasal 125 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas dapat dilakukan oleh orang perseorangan maupun badan hukum.

Secara hukum, perusahaan angota group tidak ada kaitannya dengan hak dan kewajiban keluar dari Perusahaan satu sama lain, akan tetapi perusahaan-perusahaan yang berada dalam perusahaan group dimiliki oleh pemilik modal yang sama sehingga dapat dikatakan sebagai satu kesatuan kelompok kegiatan ekonomi. Bentuk tanggung jawab dari Induk Perusahaan dapat berupa: Induk Perusahaan ikut serta sebagai penjamin corporate guarantee; personal guarantee; atau memberikan garansi terbatas terhadap pelunasan hutang-hutang anak perusahaan dengan kreditur.

TINJAUAN PUSTAKA

Perusahaan Sebagai Badan Hukum

Secara historis, istilah Perusahaan berasal dari Hukum Dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.Istilah “Perusahaan” adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembaharuan dalam Hukum Dagang. Masuknya istilah Perusahaan dalam KUHD diawali dengan ditemukannya beberapa kekurangan atau kelemahan dalam KUHD. Saat ini, beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia usaha atau perdagangan.

Oleh karena itulah, sejak beberapa pasal dalam Buku I KUHD dicabut, maka sejak saat itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemudian memiliki hubungan, kepentingan dan atau ikut ambil bagian dalam aktivitas perusahaan.

(3)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

86

Pengertian perusahaan menurut Undang-Undang Stb. 1938-376, di samping mempunyai pengertian yuridis juga mempunyai pengertian ekonomis. Pengertian perusahaan tersebut mengandung unsur-unsur :

a. Terus-menerus, b. Terang-terangan,

c. Dalam kedudukan tertentu,

d. Dengan maksud mencari keuntungan.

Suatu usaha yang tidak memiliki unsur-unsur seperti yang dimaksudkan di atas tidak dapat dikategorikan sebagai suatu perusahaan, melainkan hanya dapat dimasukkan ke dalam pengertian pekerjaan/jabatan (beroep) saja.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat diketahui perbedaan pengertian perusahaan (bedrijf) dan onderneming yaitu jika bedrijf mengandung pengertian kesatuan finansial-ekonomis, maka onderneming merupakan suatu kesatuan kerja (werkeenheid) yang semata-mata mengandung pengertian ekonomis saja, dan kedua-duanya mengandung pengertian yang bersifat non juridis, sedangkan vennootschap mengandung pengertian yang bersifat yuridis.

Saat ini, bentuk-bentuk perusahaan atau badan usaha yang ada di Indonesia sudah sangat beragam. Sebagian besar dari bentuk-bentuk badan usaha tersebut merupakan peninggalan pemerintah Belanda, di antaranya ada yang telah diganti dengan nama dalam bahasa Indonesia dan juga ada yang tetap menggunakan nama aslinya. Nama-nama yang belum diubah dan masih terus dipergunakan antara lain seperti Maatschap/Burgerlijk Maatschap, Vennootschap onder Firma atau Firma (Fa), dan Commanditaire Vennootschap (CV). Badan usaha yang telah diganti namanya dengan nama dalam bahasa Indonesia yakni perseroan terbatas (PT), yang sebenarnya berasal dari Naamloze Vennootschap (NV).

Pengertian badan hukum juga diberikan oleh Soebekti yang menyatakan bahwa “suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti menerima serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat, dan menggugat di muka hakim”.

Para ahli hukum mencoba membuat kriteria badan usaha atau perusahaan yang dapat dikelompokkan sebagai badan hukum dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. adanya pemisahan harta kekayaan antara perusahaan dan harta pribadi (pemilik);

b. mempunyai tujuan tertentu;

c. mempunyai kepentingan sendiri;

d. adanya organisasi yang teratur;

e. adanya pengakuan oleh peraturan perundang-undangan;

f. adanya pengesahan dari pemerintah.

Kelompok Perusahaan

Para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usaha tidak jarang melakukan pemecahan usahanya melalui pembentukan beberapa perusahaan atau perseroan terbatas. Dalam keadaan tersebut, dapat terjadi suatu tatanan sejumlah perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang secara yuridis merupakan beberapa subyek hukum yang mandiri yang tidak ada hubungannya satu sama lain (separate legal entity), namun dari segi ekonomis sebenarnya merupakan satu kesatuan ekonomis. Tatanan perseroan terbatas itulah yang disebut dengan perusahaan grup. Dengan demikian, UUPT telah memberikan legitimasi bagi munculnya realitas kelembagaan perusahaan grup yang dikonstruksikan oleh adanya keterkaitan antara induk dan perusahaan anak melalui kepemilikan saham induk pada perusahaan anak. Hal ini berimplikasi kepada adanya kepemilikan perusahaan induk atas saham perusahaan anak melalui berbagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan. Menurut Emmy Pangaribuan, perusahaan grup merupakan gabungan atau susunan perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang satu sama lain terkait begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk kepada suatu pimpinan perusahaan induk sebagai pimpinan sentral. Perusahaan grup biasanya terjadi dikarenakan suatu perusahaan melebarkan sayapnya dengan membentuk anak-anak perseroan untuk suatu usaha tertentu, baik di luar negeri meupun di dalam negeri.

Perusahaan Induk

Perusahaan induk (parent corporation) adalah pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak- perusahaan anak dalam suatu kesatuan ekonomi. Pimpinan sentral oleh perusahaan induk ini menggambarkan suatu

(4)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

87

kemungkinan melaksanakan hak atau pengarahan yang bersifat menentukan. Pelaksanaan pengaruh dalam perusahaan grup dapat bersifat mengurangi hak atau mendominasi hak perusahaan lain. Perusahaan induk dianggap menjalankan fungsi sebagai holding company dengan adanya kewenangan perusahaan induk yang bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan perusahaan-perusahaan anak secara kolektif sebagai kesatuan manajemen. Selain menjalankan pengendalian terhadap perusahaan anak, sebagian besar perusahaan induk pada perusahaan grup di Indonesia masih menjalankan kegiatan usaha sendiri. Model pengendalian ini disebut dengan operating holding company, dimana perusahaan induk menjalankan kegiatan usaha atau mengendalikan perusahaan anak. Kegiatan usaha perusahaan induk dalam hal ini biasanya akan menentukan jenis izin usaha yang harus dipenuhi oleh perusahaan induk tersebut.

Keberadaan perusahaan induk sebagai operating holding company ini telah ada diatur pada Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1960 mengenai Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan N.V. Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V.) dan N.V. Semarang Veer di Semarang. Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1960 menyatakan bahwa S.S.P.V. dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan berbentuk badan hukum yang berdiri sendiri untuk memudahkan pengoperasiannya kepada perusahaan-perusahaan nasional, sedangkan S.S.P.V. sebagai

“holding company” memegang seluruh saham N.V-N.V baru itu, yang terdiri dari N.V. Semarang Veer dan N.V. Semarang Dock Works. Ketiga perusahaan tersebut satu sama lainnya oleh fiskus (petugas pajak) dianggap terpisah, juga dalam hal perusahaan-perusahaan itu satu sama lainnya memberikan jasa-jasa, walaupun pada hakikatnya ketiga perusahaan tersebut merupakan satu perusahaan.

Perusahaan Anak

Perseroan berdasarkan Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menganut prinsip kemandirian, artinya direksi dalam suatu perseroan melaksanakan usahanya tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi pihak luar selain karena kepentingan para stakeholdersnya,dan para pemegang saham tidak dapat mencampuri kepengurusan direksi karena fungsi dari pemegang saham hanyalah memberikan modalnya kepada perseroan berdasarkan prinsip kepercayaan (fiduciary duty) untuk dikelola oleh direksi berdasarkan prinsip business the judgment rule. Setiap perusahaan individual yang terdaftar merupakan badan hukum yang terpisah dan bertanggung jawab atas tindakan sendiri serta bertanggung jawab atas hutangnya sendiri. Hal tersebut adalah fitur yang sudah umum dari suatu perusahaan grup untuk dapat menentukan perusahaan mana yang termasuk ke dalam struktur kelompok atau perusahaan grup. Suatu perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung di bawah kendali perusahaan induk yang memimpin kelompok perusahaan disebut dengan perusahaan anak.

Berdasarkan Memori Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 (UUPT sebelum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007), yang dimaksud dengan “anak perusahaan” atau perusahaan anak adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena:

a. lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh perusahaan induknya;

b. lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh perusahaan induknya; dan atau

c. kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh perusahaan induknya.

Ketentuan mengenai perusahaan anak berdasarkan Memori Penjelasan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1995 tersebut, hampir sama dengan apa ketentuan yang terdapat pada Section 736, CompanyAct 1989 di Inggris. Section 736 (1) mengatur bahwa perusahaan adalah perusahaan anak dari perusahaan induk jika:

a. perusahaan induk menguasai mayoritas hak suara di perusahaan;

b. perusahaan induk adalah anggota dari perusahaan dan memiliki hak untuk menunjuk atau memberhentikan mayoritas dewan direktur perusahaan,

c. perusahaan induk adalah anggota perusahaan dan mengendalikan sendiri atau dalam perjanjian dengan pemegang saham lainnya atau anggota dari perusahaan, mayoritas hak suara di perusahaan.

Terkait dengan penghitungan kontrol pemungutan suara, "hak suara" adalah hak-hak yang dimiliki oleh pemegang saham (atau anggota di mana perusahaan tidak juga memiliki modal saham) dalam kaitannya dengan kemampuan mereka untuk memberikan suara pada rapat umum pada seluruh atau sebagian hal.Hak untuk menunjuk atau memberhentikan mayoritas

(5)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

88

direksi sesuai dengan Section 736 (1) didefinisikan sebagai hak untuk menunjuk atau memberhentikan direktur memegang mayoritas hak suara pada rapat dewan pada semua atau sebagian besar hal. Suatu perusahaan atau perseroan dapat mendirikan perusahaan anak (subsidiary) untuk menjalankan bisnis dari perusahaan induknya (parent corporation) dalam rangka memanfaatkan sifat limited liability atau pertanggung jawaban terbatas. Dengan demikian, sesuai dengan prinsip keterpisahan (separation) dan perbedaan yang dikenal dengan istilah separate entity, maka aset dari perusahaan induk dengan perusahaan anak menjadi terisolasi terhadap kerugian potensial yang akan dialami oleh satu di antaranya. Fakta pengendalian tersebut menjadi penting dikarenakan fakta tersebut berkaitan dengan pembebanan tanggung jawab hukum perusahaan induk terhadap implikasi perbuatan hukum perusahaan anak yang kehilangan kemandirian yuridis karena menjalankan instruksi/kebijakan perusahaan induk kepada pihak ketiga dari perusahaan anak (pemegang saham minoritas, kreditor, ataupun karyawan).

METODE PENELITIAN Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris atau sosiologis yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti langsung ke lapangan, dengan meneliti langsung ke lapangan maka akan didapat data yang nyata atau faktual terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisa teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

Sumber Data Penelitian

Dilihat dari sudut informasi, penelitian kepustakaan (library research), dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitubahan hukum yang mengikat, berupa ketentuan perundang-undangan antara lain undang- undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas, Kitab undang-undang Hukum Dagang, Kitab undang-undang Hukum Perdata.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya tulis ilmiah dan berbagai makalah yang berkaitan, hasil-hasil seminar, buku-buku ilmiah, hasil penelitian para ahli dan sebagainya.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang dapat mendukung bahan-bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, majalah, surat kabar, internet dan sebagainya.

Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan:

a. Studi dokumen, yaitu: membaca, mempelajari, meneliti literatur, dokumen dokumen tertulis serta dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan kerangka dasar penelitian.

b. Wawancara, yaitu: dilakukan denganmenggunakan pedoman wawancara yang bertujuan untuk memperoleh data yang lebih mendalam berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Metode Analisis Data

Data yang diperoleh, baik itu data primeer maupun data sekunder yang di analisis dengan analisis kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, dari apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku dalam kenyataan di lapangan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, dari penjelasan-penjelasan yang diambil dari pengamatan-pengamatan dan penelitian di lapangan (baik berupa wawancara maupun analisa data-data yang diperoleh di lapangan) yang bersifat khusus, yang akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.

(6)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

89 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ruang Lingkup Tanggung Jawab Direksi Perusahaan

Tanggung jawab dalam bahasa Inggrisnya adalah responsibility atau dalam bahasan Belanda adalah aansprekelijk, yang artinya adalah bertanggung jawab, terikat, bertanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu perbuatan. Ada pula istilah lainnya yang berkaitan adalah pertanggung jawaban yang dalam bahasa Inggris adalah accountability dan dalam bahasa Belanda adalah aansprakelijkheid yang artinya juga tanggung jawab, keterikan, tanggung jawab dalam hukum memikul tanggung jawab. Menurut Soehardi dikatakan bahwa dasar dari suatu tanggung jawab adalah suatu wewenang (authority) atau hak wewenang itu berkaitan dengan tugas dan merupakan kekuasaan yang melekat pada tugas atau pekerjaan (responsibility, duty), sedangkan hak melekat pada pribadi. Untuk melaksanakan suatu tugas akan tergantung pada capability atau ability yang berfungsi secara memadai untuk melaksanakan suatu tugas atau suatu tanggung jawab (responsibility). Hasil hubungan antara responsibility dengan capability ini adalah suatu accountability atau suatu pertanggung jawaban.

Suatu pertanggungjawaban (accountability atau suatu pertanggung jawaban atas suatu tindakan seorang Direksi dapat dilihat dari apakah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukannya (responbility) berdasar atas wewenang (Authority), termasuk di dalamnya harus pula berdasar pada prinsip fiduciary duty, dan tindakan atau perbuatan (responbility) tersebut didukung oleh kadaan yang seimbang antara tugas kewajiban (duty atau responbility) dengan kemampuan melaksanakan tugas kewajiban (capability). Suatu tindakan hukum yang dilakukan seorang Direksi untuk dapat dipertanggung jawabannya (capability).

Menurut Moeljatnodikatakan adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan melawan hukum;

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Apa yang dikemukakan oleh Moeljatno tersebut diatas sebetulnya dalam konteks pembicaraan kemampuan bertanggung jawab di aspek hukum perdata. Dalam ini indikator kemampuan bertanggung jawab tersebut dapat dipergunakan dalam menilai suatu tindakan atau perbuatan seorang Direksi dapat tidaknya dipertanggung jawaban (Accountability) kepadanya. Indikator mengenai kemampuan bertanggung jawab dapat di-kembangkan lebih lanjut dari pernyataan Moeljatno, yaitu yang pertama merupakan faktor akal (intelectualfactor) yang dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitionalfactor) yang dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Tanggung jawab direksi dalam melakukan tindakan atau perbuatan hukum untuk dan atas nama perusahaan, dapat dijelaskan melalui posisi seorang Direksi terhadap perusahaan yang dipimpinya (organ PT) dan harus tunduk pula pada Anggaran Dasar Perusahaan, serta harus memperhatikan prinsip fiduciary duty, sebagai berikut :

a.Selaku organ Perseroan

Menurut Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan bahwa mengenai tanggung jawab Direksi disebutkan: “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”. Melihat tanggung jawab dan posisi Direksi tersebut diatas menunjukan bahwa keberadaan Direksi dalam suatu perseroan merupakan keharusan karena sebagai “artifical person” tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya Direksi sebagai “natural person”.

Hubungan antara Perseroan dengan Direksi disini terlihat bukan sebagai hubungan atas dasar perjanjian kerjasebagaimana diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata dan juga tidak bisa diartikan seperti hubungan antara Majikan dengan buruh, seperti yang digambarkan oleh Imam Soepomo sebagai bekerja pada pihak lainnya berarti bekerja dibawah pimpinan pihak lain (majikan) dan karena kewajiban buruh adalah melakukan pekerjaan menurut petunjuk dari Majikan.

Hubungan antara Perseroan dengan Direksi lebih nampak pada hubungan perwakilan, yaitu Direksi mewakili perseroan dan dengan iktikad baik dan bertanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan (Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007). Pembatasan wewenang mewakili perseroan bagi Direksi diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007).

(7)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

90

Menurut Hartono Soerjopraktikno dikemukakan: “Perwakilan dapat timbul dari perbuatan, yang sengaja bermaksud menimbulkan akibat itu (lastgeting machtiging)”. Pemahaman mengenai perwakilan yang dikemukakan diatas apabila dicermati dapat dirinci menjadi:

1) Perwakilan yang berdasarkan kehendak atau lahir dari perjanjian;

2) Perjanjian yang berdasarkan karena bukankehendak dalam arti yang lahir dari undang-undang. Perwakilan dalam hubungan antara Perseroan dengan Direksi termasuk dalam pengertian perwakilan yang lahir bukan karena perjanjian, melainkan lahir karena ketentuan undang-undang.

Tugas seorang Direksi secara rinci telah dirumuskan dalam Anggaran Dasar, sehingga dalam bertindak atau berbuat dalam hukum seorang Direksi harus selalu menguji tindakannya pada Anggaran Dasar.Dalam perwakilan mengenai siapa yang menurut hukumsebagai yang melakukan perbuatannya, dalam arti dilakukan oleh si wakil ata u oleh orang yang diwakili, terdapat 3 (tiga) teori yang dijelaskan oleh Hartono Soerpraktiknyo, sebagai berikut:

(1) Teori representasiatau fiksi,bahwa si wakillah yang melakukan perbuatan. Dia tidak hanya berbuat /bertindak realiter, tetapi juga dialah yang yuridis menyatakan kehendaknya. Berdasarkan suatu fiksi maka akibat hukum dari perbuatannya tindakanya dipindahkan pada prinsipalnya;

(2) Teori organ (nuntius-theorie) yang melihat si wakil, person(pribadi) yang berbuat menurut hukum. Si wakil hanyalah organ yang tersedia untuk orang yang diwakili, yang kehendaknya untuk terjadinya hubungan hukum itu adalah menentukan;

(3) Teori koperasi, yang merupakan kombinasi dari teori reprensentasi dan teori organ perbuatan yang dilakukan oleh si wakil atas nama prinsipal terjadi karenasesungguhnya ada kerjasama yuridis antara wakil dan orang yang diwakili.

Pada dasarnya suatu perseroan apakah harus terikat pada tindakan atau perbuatan Direksi atau suatu Direksi harus bertanggung jawab secara pribadi atau tidak atas tindakan atau perbuatan yang dilakukannya, yang kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Untuk ini dapat diperhatikan adanya 2 (dua) prinsip hukum yang berupa Doktrin ”Ultra Virres”dan prinsip ”Fiduciary Duty”.

b. Doktrin ”Ultra Virres”

Kewenangan Direksi ini harus dirujuk pada ketentuan yang berlaku sekarang, yaitupada Pasal 97 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebagai berikut:

(1) Direksi bertanggung jawab atas peng-urusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1);

(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab;

(3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Di negara-negara Anglo Saxon, dikenal suatu doktrin yang bersifat umum, dan agaknya doktrin inipun juga telah dimuat di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Istilah ultra virres berarti diluar kewenangan di hukum perseroan, tindakan korporasi melampui kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar disebut tindakan ultra virres, dengan perkataan lain suatu tindakan untuk melaksanakan tujuan perseroan yang secara tegas disebutkan berada di dalam ruang lingkup kewenangan. Tindakan yang diluar ruang lingkup kewenangan bisnis perseroan sebagaimana disebutkan pada akta pendirian berarti tindakan ultra virres, jadi tindakan ultra virres hanya dapat dimengerti di dalam konteks tujuan perseroan untuk mana perseroan itu dibentuk.

Kewenangan Direksi sebagaimana yang digambarkan pada doktrin ultra virresmenunjukan bahwa kewenangan Direksi telah ditentukan baik di dalam Anggaran Dasar maupun disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 40 Tahun 2007).Pengaturan mengenai kewenangan Direksi tersebut tidaklah mungkin bisa dirinci secara pasti, artinya ada hal-hal yang bisa secara tegas disebutkan, dan ada hal-hal yang tidak secara tegas disebutkan dalam kewenangan Direksi.

(8)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

91 c. Prinsip fiduciary duty

Sebelum mempertimbangkan aspek hubungan perwakilan dan ultra virresdoctrine tersebut diatas, dalam tanggung jawab Direksi harus pula mempertimbangkan prinsip fiduciary duty. Berdasarkan prinsip ini mestinya Direksi memiliki kebebasan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sepanjang tidak melanggar ketentuan Undang-Undang dan Anggaran Dasar, dalam hal ini pemegang saham mayoritas tidak boleh mempengaruhi apalagi memaksakan kehendak kepada Direksi dalam pengelolaan perseroan selain melalui mekanisme RUPS.

Adanya prinsip fiduciary duty ini diharapkan agar Direksi dalam mengelola perseroan dapat lebih profesional apalagi seorang Direksi dituntut agar memiliki managerial skill yang cukup baik. Prinsip fiduciary duty ini berlaku bagi Direksi dalam menjalankan tugasnya baik dalam menjalankan fungsinya sebagai manajemen, yaitu dalm mimpim perusahaan, maupun sebagai representasi, yaitu mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan.

Selanjutnya seorang Direksi perseroan haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), iktikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perseroan dengan “derajat yang tinggi” ( high degree). Mengenai duty of care yang merupakan prinsip yang harus dipegang oleh seorang Direksi, oleh Munir Fuady juga dirumuskan prinsip- prinsip hukum yang harus diperhatikan :

1) Standar kepedulian seorang Direksi (standard of care), yang terinci sebagai berikut:

a. Selalu beriktikad baik;

b.Tugas-tugas dilakukan kepedulianya seperti yang dilakukan oleh biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent person) dalam posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya;

c.Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis (reasonnably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best interest) dari perseroan.

2) Secara hukum, seorang Direksi perseroan tidak akan bertanggung jawab sematamata atas salah dalam mengambil keputusan (mere errors). Bahkan, asalkan dia beriktikad baik dan cukup berhati-hati, keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada Direksi, sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurang komprehensif dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatu hoinest mistake yang dilakukan oleh Direksi masih dapat ditoleransi oleh hukum. Bahkan Hakim tidak diperkenalkan untuk melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap keputusan Direksi. Hal ini sesuai pula dengan prinsip-prinsip hukum yangterdapat dalam “teori keputusan bisnis” (business judgement rule);

3) Secara hukum, seorang Direktur tidak diharapkan tingkat keahlian (degree skill) kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara wajar dari orang yang sama pengetahuan dan sama pengalaman dengannya, atau yang dalam bahasa hukum popular dengan istilah degree of skill that reasonably be expected from a person of this knowledge andexperience;

4) Terhadap tugas-tugas Direksi yang dapat didelegasikan kepada bawahanya, maka berlaku asumsi hukum bahwa pihak bawahan telah melakukan tugasnya secara jujur (kecuali ada kerugian sebaliknya);

5) Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala direksi gagal dalam mengarahkan (failure to direct) bawahannya dan jalannya perusahaan;

6) Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala diamengetahui, membantu atau ikut melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, sungguhpun hal tersebutsemata-mata untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya. Dalam tugas mempedulikan (duty of care) yang diharapkan oleh seseorang Direktur perusahaan, diharapkan harus dilakukan secara hati-hati sehingga tidak terjadi adanya perbuatan atau tindakan yang merugikan pihak lain karena kelalaiannya (onrechmatige daad).

Untuk itu dalam tindakan atau perbuatannya seorang Direktur harus memenuhi 2 (dua) syarat :

a. Syarat prosedural, yang artinya Direksi harus selalu sungguh-sungguh memperhatikan jalannya perseroan;

b. Syarat subtantif, yang artinya bahwa dalam mengambil keputusan perseroan harus didasarkan atas pertimbangan yang rasional. Sebagai standar rasional disini diukur dari keputusan tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi yang ada, atau sebagai suatu diskresi yang dibenarkan oleh hukum, atau bukan suatu diskresi yang melanggar hukum.

(9)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

92

Pengaruh pemegang saham mayoritas ini akan semakin terlihat apabiladikaitkan dengan adanya Perusahaan Kelompok (Group Company) atau yang dikenal sebagai konsern. Menurut Raaijimakers suatu Konsern atau Perusahaan Kelompok adalah suatu susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis tetap mandiri dan yang satu dengan lain merupakan satu kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh suatu perusahaan induk. Cara membentuk Konsern bisa dilakukan dengan membuat perusahaan anak.

Tanggung Jawab Menurut Pasal 1365 KUHP Perdata

Pada Pasal 1365 KUHPerdata dikandung ajaran tentang tanggung jawab, seperti dalam rumusan sebagai berikut : ”Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Pada Pasal 1367 KUHPerdata, ajaran mengenai tanggung jawab ini dikonkritkan lagi dengan diberikan rumusan sebagai berikut:

(1) Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh-oleh barang- barang yang berada di bawah pengawasannya;

(2) Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali;awab itu.

Rumusan Pasal 1367 KUHPerdata di atas, menunjukan bahwa dalam KUHPerdata dikenal ada 2 (dua) jenis tanggung jawab, yaitu :

1) Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, artinya seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang telah diperbuatnya dan akibat kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bago orang lain;

2) Tanggung jawab berdasarkan risiko, artinya seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita oleh orang lain bukan karena kesalahan yang bersangkutan, melainkan sebagai resiko yang ditanggungnya karena kesalahan orang lain dan orang tersebut adalah menjadi bawahannya atau menjadi tanggungnya, atau dalam pengawasannya.

Tanggung jawab karena kesalahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata merupakan bentuk klasik pertanggung jawaban perdata.

Tanggung Jawab Seorang Direktur Yang Telah Terbukti Lalai Dalam Pengelolaan Perseroan

Pada dasarnya direksi bertanggung jawab secara pribadi tidak hanya terhadap tindakan yang dilakukannya dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan.

1. Duty of Loyality

Direksi adalah trustee bagi perseroan yang akan bertindak mewakili perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya dilakukan dengan itikad baik untuk mencapai tujuan dan kepentingan perseroan (duty of loyality and good faith). Tugas dan tanggungjawab ini merupakan tugas dan tanggung jawab direksi sebagai suatu organ, yang merupakan tanggungjawab kolegial sesama anggota direksi terhadap perseroan.

Direksi tidak sendiri-sendri bertanggungjawab kepadaperseroan. Hal ini berarti setiap tindakan yang di ambil atau yang dilakukan oleh salah satu atau lebih anggota Direksi akan mengikat anggota direksi lainnya. Namun ini tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas diantaraanggota direksi perseroan, demi pengurusan perseroan yang efisien.

2. Duty of Care

Tugas mempedulikan (duty of care) yang diharapkan dari Direksi adalah daty of care sebagaimana yang dimaksud dalam hukum tentang perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigedaad), dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat secara hati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian (negligence) yang merugikan pihak lain. Dalam teori ilmuhukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari direksi terhadap perseroan memiliki (2) persyaratan sebagai berikut:

a) Syarat Procedural

(10)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

93

Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh perhatian dengan sungguh-sungguh kepada jalannya perseroan. Di samping itu, dia juga harus selalu mendapatkan informasi yang lengkap (will informed) terhadap perseroannya.

b) Syarat Substantive

Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care) terhadap seorang direktur perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional.

Akan tetapi, standar rasional tersebut tidak berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar optimal.

Yang dibutuhkan bahwa munculnya (appearance) dari keputusan tersebut dilihat sebagai respon yang wajar tehadap situasi yang ada, yang oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu sangat bijaksana, sangat tidak rasional, dan diluar direksi - direksi yang dibenarkan oleh hukum.

Direksi dianggap telah memenuhi kewajibannya menjalankan prinsip duty of care apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Membuat keputusan bisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh keadaan yang tepat,dan

2) Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan.

Salah satu tolak ukur memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgement) tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah:

1) Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar;

2) Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik;

3) Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.

3. Ultra Vires

Istilah ultra vires diterapkan dalam arti luar, yakni termasuktidak hanya kegiatan yang dilarang oleh anggaran dasarnya, tetapi termasukjuga tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui kewenangan yang diberikan. Ultra vires juga tidak hanya diterapkan jika perseroan melekukan tindakan yang sebenarnya bukan kewenangannya, melainkan juga terhadap tindakan yang ia berwenang tetapi dilaksanakan secara tidak teratur (irregular). Bahkan lebih jauh lagi suatu tindakan di golongkan sebagai suatuultravires bukan hanya jika tindakannya itu melampaui kewenangannya yang tersurat maupunt ersirat(dalam anggaran dasar), tetapi juga tindakannya itu bertentangan dengan peraturan yangberlaku atau yang bertentangan dengan ketertibanumum. Pada umumnya suatu perbuatan dikatakan ultra vires apabila dilakukan tanpa wewenang (authority) untuk melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan perbuatan tersebut adalah ultra vires bila dilakukan diluar/melampaui wewenang direksi atau perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar dan hukum perusahaan. Suatu kontrak yang dibuat oleh perseroan dan melampaui batas wewenangnya adalah tidak sah (unlawful).

Mengenai ultra vires, menerangkan : “disebut ultra vires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas (capacity) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan tujuan perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar”. Sedangkan, mengatakan bahwa : Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan. Ada dua hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan yaitu :

1.Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku sera anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan

2.Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.

Prinsip - prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuaannya sesuai dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau tidak. Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggungjawab sampai harta pribadinya dan bertanggungjawab pada dirinya sendiri, baik pidana maupun perdata.

4. Busines Judgement Rule

Selain doktrin duty of care, di Amerika Serikat juga dianut doktrin lain yang disebut Business Judgement Rule. Berdasarkan prinsip fiducia fiduty, maka sebagai organ perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dantujuan perseroan, direksi tentu diharapkan kepada risiko bisnis. Resiko itu terkadang berada di luar kemampuan maksimal direksi.

(11)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

94

Oleh kerena itu, “untuk melindungi ketidak mampuan yang disebabkan olehadanya keterbatasan manusia, maka direksi dilindungi oleh doctrine business judgements rule”.

Menurut Gunawan Widjaya, mengatakan “konsep business judgements rule mencegah pengadilan-pengadilan mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh direksi yang diambil dengan itikad baik tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan perseroan”.

Menurut Sutan Remi Syahdeni, menyatakan bahwa dalam doktrin putusan bisnis (business judgement rule) ini merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktifitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Putusan sesuai hukum yang berlaku;

b. Dilakukan dengan itikad baik;

c. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose)

d. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational basis);

e. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti yang dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa;

f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayanya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.

Dengan demikian, berbeda (tetapi tidak bertentangan) dengan doktrin – doktrin lain yang lebih memberatkan direksi, seperti doktrin fiduciaty duty, due care, skill and prudence, gugatan derivatif, piercing the corporate veil, ultra vires dan sebagainya.

Dengan demikian doktrin business judgement rule ini lebih memihak kepada direksi, tetapi masih dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat melakukan penilaian (secrutiny) terhadap setiap putusan dari direksi, termasuk putusan bisnis yang sudah disetujui oleh rapat umum pemegang saham, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Dengan perkataan lain, perseroan juga harus menanggung resikobisnis, termasuk resiko kerugian. Karena itu, direksi tidak dapat diminta tanggungjawabnya hanya karena alasan dalam memutuskan (mere error judgement) atauhanya karena alasan kerugian perseroan. Direksi tidak dapat dimintakan tanggungjawabnya hanya karena adanya tindakan yang termasuk dalam kategori miscalculation atau mismanagement.

Perlindungan Business Judgement Rule dikatakan tidak berlaku bagi anggota Direksi perseroan, jika dalam transaksi yang dilakukan oleh Direksi, diketahui bahwa direksi tersebut telah berupaya untuk mendapatkan kepentingan pribadinya, atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Dengan demikian judgement yang di ambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai discretionaty exercise of power on behalf of the corporation”

yang merupakan tindakan yang mengandung kecurangan (fraud), dan benturan kepentingan (conflict of interest). Terhadap pelanggaran berikutnya Business Judgement Rule, dalam hal terdapat perbuatan yang melanggar hukum (illegality exeptions), maka “shareholder’s derivative suits can be auseful supplement to theen forcement activities of public prosecutors and regulatory agencies”. Dari penjelasan yang diberikan tersebut sepintast ampak bahwa doktrin business judgement rule menyisihkan kekuatan berlakunya doctrine off care, dimana praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertanggungjawab atas kerugian perseroan, apabila anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgement) diketahui telah melakukannya dengan itikad baik. Namun kebanyakan pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya anggota Direksi itu tidak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently way). Bila halnya demikian, maka anggota Direksi yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, hal ini tentunya sangatlah berkaitan dengan doktrin business judgment rule yang termuat didalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu : “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan”, a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b)Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik lansung maupun tidak lansung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Direksi yang memiliki kewenangan besar untuk menentukan arah serta metode yang akan diambil

(12)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

95

perusahaan menyebabkan setiap tindakan yang akan diambil wajib memenuhi unsur-unsur fiduciary duty karena tidak akan ada seorangpun yang dapat mencegah dirinya mengambil keputusan tersebut. Konsekuensi kebebasan adalah Direksi harus mempertanggung jawabkan keputusan tersebut dalam RUPS tahunan, dan apabila RUPS menerima laporan pertanggung jawaban tersebut, maka untuk setiap keputusan Direksi akan diberikan pelunasan dan pembebasan. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa tergugat dalam eksepsinya akan mempertimbangkan tindakan yang akan diambilnya dan Tergugat telah melaporkan perihal untung dan rugi dari tindakan yang akan diambil tersebut di dalam RUPS dan telah disetujui oleh pemilik saham.

Dari rumusan Pasal 97 ayat (5) UUPT tersebut diatas secara jelas, memberikan konsekuensi yuridis kepada seorang Direksi bilamana ingin terlepas dari pertanggungjawaban secara pribadi apabila dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Beban pembuktian tersebut tentunya ada pada Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini tentulah sangat membutuhkan peran serta hakim dalam proses peradilan, dimana hakimlah yang akan menentukan bahwa dapatkah seorang Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty untuk dimintakan pertanggung-jawabannya terhadap sebuah keputusan yang telah diambil oleh Direksi. Kedudukan hakim dalam memutus perkara tersebut juga seharusnya tidak boleh memberikan second guess terhadap keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi karena pihak Direksilah yang paling mengetahui posisi serta keadaan bisnis pada saat itu mengenai perihal untung dan ruginya suatu keputusan bisnis, dan hakim dianggap tidak boleh mengambil suatu perbandingan hukum terhadap keputusan tersebut.

Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang Direksi, yaitu prinsip duty of skill and care, maka semua kesalahan yang timbul setelah dijalankannya prinsip duty of skill and care ini, memperoleh konsekuensi Direksi mendapat pembebasan tanggung jawab secara pribadi bila terjadi kesalahan dalam keputusannya tersebut. Bertitik tolak pada hal tersebut sudah sewajarnya bahwa Direksi perusahaan dapat dibebaskan dari segala bentuk pertanggung jawaban kepada dirinya. Doktrin business judgment rule ini belum diaplikasikan dengan baik terhadap seorang Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty, Fiduciary duty dalam hal ini dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu hubungan fiduciary antara Direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan Direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Maka seorang Direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), iktikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan “derajat yang tinggi” (high degree).

Eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia masih sebatas teori dan belum sepenuhnya diterapkan apabila Direksi dianggap melanggar fiduciary duty perseroan, seharusnya ketika seorang Direksi dianggap melakukan pelanggaran terhadap fiduciary duty perseroan, yang dijadikan pembelaan adalah doktrin business judgment rule sepanjang dapat membuktikan sesuai dengan Pasal yang dikenal sebagai penjelmaan doktrin business judgment rule di dalam UUPT yaitu Pasal 97 ayat (5) UUPT. Walaupun secara teoritis business judgment rule dikenal dinegara ini, namun dikarenakan situasi dan kondisi pengadilan di Indonesia, maka para hakim-hakim tidak banyak yang mengenali keberadaan doktrin ini. Dalam sistem peradilan memang menyisahkan sedikit pertanyaan tentang bagaimana standar dalam menilai apakah tindakannya tersebut telah sesuai dengan business judgment rule atau tidak terkait keputusan bisnis seorang Direksi yang dianggap merugikan perseroan,seorang hakim dalam memeriksa perkara seharusnya tidak hanya melihat dari sisi kesalahan dan kelalaian seorang Direksi dalam mengambil keputusan, akan tetapi juga harus memperhatikan dari posisi seorang Direksi ketika mengambil keputusan bisnis apakah mengandung kecurangan (fraud), dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi seorang Direksi ataukah betul semata-mata untuk kepentingan usaha perseroan dalam mengambil keputusan tersebut. Karena mengingat bahwa dalam dunia bisnis tidak selamanya suatu keputusan bisnis dapat memperoleh keuntungan melainkan kadang menimbulkan kerugian. Seharusnya ketika Direksi dianggap melanggar prinsip fiduciary duty terhadap perseroan, maka yang dijadikan alasan pembelaan agar terlepas dari pertanggung-jawaban atas kerugian yang dialami perseroan tersebut dapat berlindung pada business judgment rule sepanjang dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut telah sesuai dengan apa yang di maksudkan dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT yang dikenal sebagai bentuk perlindungan Direksi ketika dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya berdasarkan iktikad baik dan kehati-hatian dalam mengelola perseroan.

(13)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

96 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:

1. Induk perusahaan dapat juga dimintakan tanggung jawabnya atas bisnis anak perusahaan, dalam hal ini dapat juga dibuat kontrak-kontrak yang bersifat personal, misalnya dilakukan untuk menjamin hutang-hutangnya anak perusahaan.

Perusahaan induk yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindakan atau permasalahan yang dilakukan oleh perusahaan anaknya karena perusahaan induk secara langsung mengendalikan perusahaan anaknya dan juga ikut beroperasi secara aktif dalam menjalankan kegiatan usaha. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007 pasal 3 ayat (1) yaitu pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Selain itu tanggung jawab moriil, yaitu beban nama baik yang dimiliki perusahaan induk dalam lingkungan bisnis. Dalam hal anak perusahaan lalai atau tidak mampu memenuhi prestasinya, maka induk perusahaan sebagai penanggung harus membayar pelunasan hutang kepada kreditur (setelah menuntut agar harta benda debitur lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya). Dengan demikian induk perusahaan sebagai penanggung wajib membayar pelunasan hutang tersebut.

2. Dalam perusahaan Grup setiap perusahaan yang melakukan perjanjian/ perikatan dengan pihak ketiga (kreditur) maka perusahaan itu sendiri yang harus melunasinya tanpa bisa dimintakan pertanggung jawaban ke induk perusahaannya, yang bisa dilakukan dalam perusahaan satu grup adalah, apabila salah satu perusahaan mengalami kesulitan keuangan maka perusahaan induk/perusahaan lain dalam grup yang dalam keadaan keuangan stabil meminjamkan dana sementara untuk membantu salah satu perusahaan yang membutuhkannya . Apabila terjadi kerugian perusahaan merupakan pertanggung-jawaban berdasarkan kesalahan karena induk perusahaan baru dapat ikut bertanggungjawab apabila melakukan kesalahan yang berupa dominasi induk perusahaan terhadap anak perusahaan, adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dan adanya unsur kerugian pihak lain. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 378 KUHP tentang perbuatan curang atau penipuan.

3. Tanggungjawab perusahaan induk adalah sebagai pemegang saham anak perusahaan tidak berarti apabila anak perusahaan wanprestasi maka induk perusahaan dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Induk perusahaan diminta bertanggung jawab apabila terbukti kerugian yang diderita anak perusahaan itu akibat campur tangan induk perusahaan dalam manajemen dan keuangan sehingga anak perusahaan mengalami kerugian. Namun hal ini menimbulkan tidak adanya standar tanggung jawab perseroan yang didesain untuk kepentingan perseroan tunggal. Karena itu, apabila ada tindakan Direksi yang kekurang hati-hatian dalam pengelolaan perseroan dapat menimbulkan kerugian pada perseroan.

Kerugian tersebut terlihat dari gagalnya mempertahankan sifat kehati-hatian (reasonable care) dalam menjalankan perseroan. Dalam hal demikian, Direktur yang bersangkutan harus menanggung atau bertanggung jawab atas kerugian perseroan. Apabila Direksi terdiri dari beberapa anggota, maka para anggota Direksi bersama-sama harus bertanggung jawab untuk membayar kerugian yang dialami oleh Perseroan Terbatas. Hal ini sesuai dengan UU No. 40 tahun 2007 pasal 97 tentang tanggung jawab direksi atas kerugian yang ditimbulkan anak perusahaan.

Saran

1. Diharapkan agar pertanggungjawaban pidana terhadap perusahaan induk dapat dilakukan apabila perusahaan anak melakukan perbuatan yang bukan merupakan corporate action, di mana perbuatan tersebut merupakan instruksi langsung atau hasil keputusan/ kebijakan yang dibuat oleh perusahaan induk sebagai pengendali perusahaan dan pemegang saham mayoritas melalui mekasnisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

2. Diharapkan agar pemerintah membuat peraturan perundang-undangan tersendiri mengenai perusahaan grup untuk memperjelas tanggung jawab Induk perusahaan terhadap anak perusahaan dan mempertegas hubungan induk dan anak perusahaan sehingga tidak terjadi kesalahan prosedur dan kebimbangan dalam prakteknya.

3. Untuk mengetahui dengan jelas seluk beluk, mekanisme dan tanggung jawab dalam perusahaan grup hendaklah masalah perusahaan kelompok diatur dalam Peraturan Pelaksana dari undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007. Dengan diaturnya perusahaan group/kelompok kedalam per undang-undangan, kepentingan pihak ketiga dapat dilindungi dan agar pertumbuhan perusahaan grup/kelompok tidak menjurus pada praktek monopoli.

(14)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

97 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis dan Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, Permata Aksara, 2012.

Boen Hendra Setiawan, Bianglala Business Judgment rule, Jakarta, Tatanusa, 2008.

Ais, Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,2004.

Ali, Chaidir, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung.

Ali Rido, 1986, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Penerbit Alumni.

Emmy Pangaribuan, 1997, Seri Hukum Dagang; Perusahaan Kelompok (Group Company/ Concern), Universitas Gajah Mada Press, Jogyakarta.

Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subyek Dalam Gugatan Perdata, PT. Rineka Cipta,Jakarta, 2007, hal. 135.

Gatot Supramono,2007, Kedudukan Perusahaan, PT.Rineka Cipta, Jakarta, hal.91.

Fockema Andrea, Kamus Istilah Hukum, diterjemahkan oleh Adiwinata A. Te-loeki dan H. Boerchanudin St. Batoeh, 1983, , Cet. Pertama, Binacipta, Jakarta.

Handri Rahardjo, 2009, Hukum Perusahaan, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.

Hariyanto, 2001. Pertangunggjawaban Direksi PT Dalam Sistem Hukum Perseroan Indonesia, Majalah Mimbar Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hal.44.

I.G. Rai Widjaya, 2000, Hukum Perusahaan, Jakarta: Megapoin Divisi Dari Kesaint Blant, hal.208.

Imam Soeparno, 2001, Hukum Perburuhan bidang Hubungan Kerja, Penyunting Helena Poerwanto dan Suliati Rachmat, Cetakan kesembilan, Jakarta: Penerbit Djambatan, hal.92.

Kenenth Clakson W. Roger Miller Gaylord A. Jens, Franks B. Creas, 1991, West’s Businees Law, Fith Edisition West Publising Company, St. Paul New York, Los Angeles, San Fransisco.

M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika.

Munir Fuady, 2009, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis,Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha Di Indonesia, Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.

Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Penerbit PT. Alumni, Bandung.

Rochmat Soemitro, 1979, Penuntun: Perseroan Terbatas Dengan Undang-Undang Pajak Perseroan, Bandung: PT.

Eresco.

Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soehardi Sigit, 1992, Pengorganisasian, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Soerjopraktino Hartono, 1994, Perwakilan Berdasarkan Kehendak, Edisi kedua, Yogyakarta : Penerbit PT. Mustika Wikasa Stephen Griffin, 2000, Company Law – Fundamental Principles, Third Edition, Great Britain: Pearson Education.

Sulistiowati, 2010.,Aspek Hukum Dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Widjaya, I G, Rai, 2000. Hukum Perusahaan : Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang - Undang di Bidang Usaha. Megapoin :Jakarta.

Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756.

Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang – Undang Hukum Dagang.

(15)

JURNAL ILMIAH KOHESI Vol. 4 No. 1 Januari 2020

98

Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Tambahan.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian kesamaan model GWNBR dengan regresi binomial negatif dilakukan untuk melihat terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak antara model GWNBR dengan

Akhirnya dengan terbitnya pedoman uji kompetensi, pembentukan lembaga sertifikasi kompetensi, pembentukan tempat uji kompetensi, serta pelatihan dan ujian calon penguji uji

Fig. —Osteoderms of different parts of the carapace of Zaedyus pichiy. A) Movable bands, 20 mm length by 6 mm width; note that the lateral figures are subdivided into smaller,

Panjang Bentang dalam mm Salinan tabel No.. Kartono Hd 3 Pelat

Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional guru PAI dalam praktikum materi ibadah praktis, (2)

Hasil belajar siswa menggunakan nilai post test dengan teknik analisis data statistik uji-t satu sampel ( one sample t-test ). Hasil penelitian ini menunjukan penuntun

Sejalan dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini ³ Bagaimana penerapan model pembelajaran penemuan terbimbing dapat

Berdasarkan hasil uji secara visual dapat disimpulkan bahwa perbedaan kemasan wadah tembus cahaya (TC) dan wadah tidak tembus cahaya (TTC) tidak berpengaruh